Bab 7

Semakin jauh mereka menjelajah, hutan selatan terasa semakin menelan mereka ke dalam kegelapannya yang pekat. Kanopi dedaunan yang lebat menghalangi hampir semua cahaya matahari, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak seiring embusan angin. Suara gemerisik dedaunan terdengar dari segala arah, terkadang diikuti oleh suara cabang pohon yang patah di kejauhan, membuat suasana terasa seolah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tak terlihat.

Alcard tetap berada di barisan terdepan, matanya tajam menelusuri tanah lembab yang penuh dengan dedaunan basah. Setiap jejak samar di tanah menjadi petunjuk penting baginya, memastikan mereka tidak salah jalur atau, lebih buruk lagi, masuk ke wilayah yang dihuni oleh makhluk berbahaya. Kudanya melangkah pelan, hampir tanpa suara, mengikuti gerakan tuannya yang penuh kehati-hatian. Para Outcast lain mengikuti dalam formasi yang ketat, menyesuaikan langkah agar tidak mengeluarkan suara berlebihan yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk liar di sekitar.

"Jangan terlalu dekat dengan pohon-pohon berlumut itu," suara Alcard terdengar pelan namun penuh kewaspadaan. Tangannya menunjuk ke arah sekelompok pohon besar dengan akar yang melilit menyerupai ular. "Ada makhluk kecil yang bersarang di sana. Mereka bisa menyemburkan racun."

Para Outcast langsung menyesuaikan jalur mereka, menghindari pohon-pohon yang dimaksud tanpa banyak bertanya. Mereka telah belajar bahwa ketika Alcard memberi peringatan, itu bukan sekadar spekulasi—itu adalah hal yang bisa menentukan hidup dan mati.

Tiba-tiba, suara gemerisik dari semak-semak di depan mereka terdengar semakin jelas, disertai dengan langkah berat yang menggetarkan tanah. Gerakan mendadak ini membuat semua anggota kelompok secara refleks mencengkeram senjata mereka, otot mereka menegang dalam kewaspadaan.

"Berhenti," Alcard mengangkat tangannya, memberikan isyarat agar semua diam. Nafas mereka tertahan, tubuh mereka kaku menunggu apa yang akan muncul dari balik pepohonan gelap itu.

Di tengah kegelapan, siluet besar akhirnya muncul, berjalan perlahan di antara semak-semak yang bergetar. Seekor Direwolf Mutasi melintas dengan gerakan mengintai, tubuhnya jauh lebih besar dibandingkan direwolf biasa. Namun yang paling mengerikan, ia memiliki dua kepala, masing-masing mengendus udara dengan hidung yang lebar dan gigi tajam yang mencuat dari rahangnya. Cahaya samar dari mata merahnya berkilat dalam kegelapan, mengawasi sekitar seolah sedang mencari sesuatu.

Para Outcast menahan napas. Bahkan tanpa bergerak, mereka bisa merasakan tekanan dari keberadaan makhluk itu.

"Kita tak bisa melawannya sekarang," bisik Alcard, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas bagi kelompoknya. "Ke kanan, kita gunakan jalan memutar."

Mereka mengikuti arahannya dengan hati-hati, bergerak mundur dengan langkah yang nyaris tanpa suara. Tidak ada yang berani menarik napas terlalu dalam atau bergerak sembarangan. Satu langkah ceroboh bisa menarik perhatian monster itu dan mengubah perjalanan ini menjadi pertarungan hidup dan mati.

Perjalanan mereka menjadi lebih lambat karena harus menghindari ancaman tak terduga, tetapi Alcard tahu ini adalah keputusan yang tepat. Jika mereka bertarung dengan Direwolf Mutasi itu sekarang, mereka bisa kehilangan anggota bahkan sebelum mencapai tujuan utama mereka.

"Kita hanya punya makanan dan air untuk tiga hari," bisik salah satu Outcast dengan nada cemas saat mereka berhasil menjauh dari bahaya.

"Kita akan sampai di kaki Gunung Orcal sebelum persediaan habis," jawab Alcard tegas, tidak menunjukkan keraguan sedikit pun. "Fokuslah, dan hemat tenaga untuk menghadapi musuh yang tak bisa kita hindari."

Mereka terus melanjutkan perjalanan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Namun, ketika mereka mencapai tepi sebuah lembah kecil, sesuatu yang tak terduga menarik perhatian mereka.

Di kejauhan, di dalam lembah yang diterangi sedikit cahaya rembulan yang tembus melalui celah pepohonan, sekelompok makhluk besar terlihat bergerak di antara batu-batu dan pepohonan kecil. Mereka tampak berburu sesuatu, dengan gerakan yang terkoordinasi dan cepat.

"Itu… tidak mungkin," salah seorang Outcast berbisik dengan mata terbelalak. "Orc seharusnya sudah punah puluhan ribu tahun lalu."

Namun, Alcard tetap tenang, matanya menyipit saat ia mengamati lebih dekat makhluk-makhluk tersebut. "Begitulah yang dipercaya orang luar. Tapi kita yang tinggal di The Wall tahu kenyataannya."

Orc yang mereka lihat bukan seperti yang digambarkan dalam cerita-cerita lama. Tubuh mereka jauh lebih besar dan kekar, dengan otot-otot yang mencuat di bawah kulit yang terlihat kasar dan mengelupas. Namun yang paling mengerikan adalah tanda hitam yang bersinar samar di dada mereka, tanda mutasi yang merusak tubuh mereka dan memberi mereka kekuatan yang lebih liar dan tak terkendali.

"Kita tidak boleh membuat mereka sadar akan keberadaan kita," suara Alcard terdengar lebih serius kali ini. "Orc mutasi bukan hanya kuat, tetapi juga lebih cerdas dan jauh lebih berbahaya."

Para Outcast dengan cepat menyesuaikan langkah mereka, mengikuti Alcard yang memimpin mereka melalui jalur alternatif yang lebih tersembunyi. Dengan penuh kehati-hatian, mereka menutupi jejak mereka, memastikan tidak ada yang bisa mengikuti mereka dari belakang. Hutan ini adalah tempat di mana satu kesalahan kecil bisa berujung pada kematian, dan Alcard tidak ingin mengambil risiko.

Saat mereka semakin jauh dari lembah, salah satu Outcast muda akhirnya memberanikan diri bertanya dengan suara pelan, "Kapten, mengapa para Lord atau Raja di utara tak pernah tahu tentang hal ini?"

Alcard menatap lurus ke depan, suaranya dingin saat ia menjawab, "Karena mereka tak peduli. Mereka lebih sibuk dengan perebutan kekuasaan dan perang politik mereka sendiri. Kita, Outcast, adalah satu-satunya yang mengetahui kebenaran ini dan satu-satunya yang berjuang melawan ancaman ini."

Tidak ada lagi yang berbicara setelah itu. Kata-kata Alcard terlalu benar untuk disangkal.

Ketika perjalanan berlanjut, mereka akhirnya mulai melihat bayangan Gunung Orcal di kejauhan. Kabut tebal menyelimuti lerengnya, menambah kesan menyeramkan pada gunung yang sudah dipenuhi dengan begitu banyak cerita horor dan legenda. Namun, mereka tahu—ini bukan sekadar cerita. Di tempat itu, bahaya yang sesungguhnya menanti mereka.

Para Outcast tidak memiliki kemewahan untuk berpikir dua kali. Mereka telah melangkah sejauh ini, dan tidak ada pilihan selain maju ke depan. Apa pun yang menunggu di Gunung Orcal, mereka harus siap menghadapinya.

****

 

Di tengah perjalanan yang sementara terasa tenang, Alcard menarik tali kudanya, memperlambat langkah hingga akhirnya berhenti di sebuah area yang tampak cukup aman. Tempat itu dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi dengan cabang lebat yang saling bertaut, menciptakan kanopi alami yang melindungi mereka dari pandangan makhluk-makhluk yang mungkin mengintai di kegelapan. Ranting dan akar besar menjalar di tanah, seolah menandai bahwa tempat ini jarang disentuh manusia. Di sinilah, mungkin untuk terakhir kalinya sebelum mereka memasuki wilayah Gunung Orcal, mereka bisa beristirahat sejenak sebelum menghadapi bahaya yang jauh lebih besar.

Alcard menoleh ke arah kelompoknya dan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berkumpul. Para Outcast pemula ini langsung mengikuti instruksinya tanpa banyak bicara. Wajah mereka menunjukkan kelelahan setelah perjalanan panjang, tetapi juga ketegangan yang sulit disembunyikan.

Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan ekspresi penuh kecemasan, akhirnya mengajukan pertanyaan yang sudah lama mengusik pikirannya. "Bos, kenapa monster di sini terasa jauh lebih menyeramkan dibandingkan yang pernah aku hadapi?" suaranya terdengar ragu, tetapi ia benar-benar ingin tahu jawabannya.

Alcard menatap pemuda itu sejenak sebelum menjawab dengan nada datar. "Karena mereka memang berbeda," katanya, matanya menatap hutan yang semakin gelap di sekitar mereka. "Monster yang kalian lihat di Middle Earth hanyalah bayang-bayang dari ancaman yang sebenarnya. Mereka adalah makhluk liar yang terbentuk dari dunia biasa. Tapi di selatan... semuanya jauh lebih berbahaya."

Ia membiarkan kata-katanya menggantung sesaat sebelum melanjutkan, memastikan semua anggota kelompoknya memperhatikan.

"Dengarkan baik-baik," katanya. "Monster yang kita hadapi di The Wall dan di Middle Earth bisa dikelompokkan menjadi tiga tingkatan."

Ia mulai menjelaskan tingkatan pertama, sambil memandang ke arah hutan dengan sorot mata penuh kewaspadaan.

"Tingkatan pertama adalah monster biasa," jelasnya. "Mereka adalah makhluk yang umum ditemukan di berbagai wilayah Middle Earth, tanpa pengaruh dari kekuatan selatan."

Beberapa Outcast tampak mengangguk, seolah mengingat kembali pengalaman mereka dengan makhluk-makhluk seperti ini.

"Direwolf, Troll, dan Goblin biasa dari middle earth adalah contohnya," lanjut Alcard. "Mereka memang berbahaya, tapi pola serangan mereka mudah ditebak. Selama kau punya senjata yang cukup baik dan pengalaman bertarung, kau bisa mengalahkan mereka tanpa terlalu banyak risiko."

Setelah menjelaskan tingkatan pertama, Alcard menatap lebih serius ke arah kelompoknya sebelum melanjutkan ke tingkatan kedua.

"Lalu ada monster yang mulai terjangkit mutasi," katanya, suaranya lebih dalam. "Mereka telah terpengaruh oleh kekuatan selatan, tetapi belum sepenuhnya berubah."

Para Outcast mendengarkan dengan lebih serius. Mereka tahu, monster jenis ini sudah sering menyerang The Wall.

"Biasanya, mereka ditemukan di perbatasan hutan selatan atau di dekat The Wall," Alcard menambahkan. "Orge dan Goblin mutasi yang menyerang Markas Pusat adalah contoh dari kategori ini."

Ia melihat beberapa dari mereka menegang saat mengingat pertempuran melawan Orge mutasi beberapa waktu lalu. Luka-luka kecil dan kelelahan yang mereka rasakan adalah bukti bahwa monster jenis ini tidak bisa diremehkan.

"Tubuh mereka lebih besar, kulit mereka sering kali kehilangan warna alaminya, berubah menjadi hitam atau pucat dengan tanda bercahaya di tubuh mereka," lanjutnya. "Mereka lebih agresif, lebih liar, dan lebih sulit diprediksi dibandingkan monster biasa. Tapi dengan strategi yang baik, mereka masih bisa dikalahkan."

Alcard menarik napas dalam, membiarkan sejenak kata-katanya meresap ke dalam pikiran para Outcast. Kemudian, ia beralih ke tingkatan terakhir—yang paling mengerikan.

"Tingkatan terakhir," katanya dengan nada lebih serius. "Monster yang telah mengalami mutasi penuh."

Wajah beberapa Outcast berubah tegang. Mereka tahu, kategori ini adalah sesuatu yang belum pernah mereka hadapi langsung.

"Monster dalam tingkatan ini telah terpapar kekuatan selatan selama bertahun-tahun atau bahkan lebih lama lagi," jelas Alcard. "Mereka bukan lagi seperti makhluk yang kalian kenal. Beberapa dari mereka bahkan sudah kehilangan bentuk aslinya."

Para Outcast menatapnya dengan rasa ngeri yang semakin jelas.

"Ukuran mereka jauh lebih besar," lanjutnya. "Beberapa memiliki kemampuan regenerasi yang nyaris tak masuk akal. Ada yang menunjukkan kecerdasan melebihi monster pada umumnya, seolah mereka bisa membaca taktik kita dan bertindak layaknya seorang prajurit."

Alcard menatap mereka satu per satu, memastikan mereka mengerti betapa berbahayanya musuh yang mungkin akan mereka hadapi.

"Orge mutasi yang kita lawan sebelumnya hanyalah contoh dari tingkatan kedua," katanya. "Dan bahkan untuk mengalahkan mereka, kita harus bertarung dengan sekuat tenaga. Tapi makhluk yang ada di kedalaman selatan… itu jauh lebih mengerikan."

Keheningan menyelimuti kelompok itu. Beberapa dari mereka mulai memahami bahwa perjalanan ini lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan.

"Semakin jauh kita masuk ke selatan," lanjut Alcard, "semakin besar kemungkinan kita bertemu dengan monster yang sudah sepenuhnya berubah. Lebih baik kita lari, saat melihat mereka."

Salah seorang Outcast menelan ludah, suaranya sedikit bergetar ketika ia bertanya, "Kalau begitu… kenapa kita tetap maju, Bos? Bukankah ini terlalu berbahaya?"

Alcard menoleh ke arahnya, lalu menjawab dengan nada dingin namun tegas. "Karena kita tidak punya pilihan," katanya. "Jika kita gagal, persediaan Bloody Potion di The Wall akan habis. Itu berarti kekuatan kita akan melemah, atau mungkin kita akan mati karena kecanduan bloody potion. Dan saat itu terjadi, monster-monster ini akan menyerbu Middle Earth tanpa ada yang bisa menghentikan mereka."

Para Outcast kembali terdiam. Meski ketakutan masih terlihat di wajah mereka, mereka mulai memahami alasan misi ini sangat penting.

Alcard mengamati ekspresi mereka sebelum akhirnya memberi aba-aba untuk melanjutkan perjalanan. Mereka segera bersiap, mengecek senjata dan perbekalan mereka sekali lagi. Langkah kaki mereka kembali bergerak, lebih hati-hati dari sebelumnya.

Kabut tebal mulai menyelimuti jalan di depan, menggantung rendah di antara pepohonan yang menjulang. Suara gemerisik samar kembali terdengar dari kejauhan, menggema dari arah yang sulit dipastikan.

Ketegangan kembali memenuhi udara. Tapi tidak ada yang berbicara. Mereka tahu, tidak ada waktu untuk ragu. Tidak ada tempat untuk mundur.

Di depan mereka, bayangan gelap Gunung Orcal mulai terlihat di kejauhan—tempat di mana monster sejati menunggu.

****

 

Kelompok Alcard terus bergerak semakin dalam ke jantung hutan selatan. Pepohonan di sekitar mereka mulai berubah, tidak lagi seperti hutan biasa yang pernah mereka lihat di wilayah selain selatan. Dahan-dahannya tidak tumbuh lurus ke atas, melainkan melengkung dengan sudut yang aneh, seolah dipelintir oleh kekuatan yang tak kasat mata. Daunnya tampak layu dengan warna pudar yang tidak wajar, sebagian besar sudah menghitam atau berlapis lendir keunguan.

Alcard terus berada di depan, memperhatikan setiap langkah dengan penuh kehati-hatian. Ia tahu, mereka tidak bisa ceroboh di tempat ini. Setiap kesalahan kecil bisa berarti kematian. Sesekali, ia menoleh ke belakang untuk memastikan rombongan tetap dalam formasi yang rapi. Di tengah kesunyian yang semakin menyesakkan, seorang Outcast pemula akhirnya mengutarakan kegelisahannya.

"Kapten, kenapa udara di sini terasa begitu berat?" tanyanya dengan nada cemas. "Rasanya berbeda… lebih menekan dibandingkan hari-hari kemarin."

Alcard tetap berjalan tanpa memperlambat langkahnya, tetapi suaranya terdengar jelas saat ia menjawab. "Karena kita semakin dekat dengan pusat kekuatan selatan," katanya dingin. "Udara di sini dipenuhi energi jahat yang berasal dari Gunung Orcal. Kekuatan itu meresap ke dalam tanah, ke dalam pepohonan, bahkan ke dalam air. Segala sesuatu di sini sudah terkontaminasi."

Ia mengangkat tangannya dan menunjuk sebuah pohon besar di sisi jalan. Kulit kayunya menghitam, keriput, dan penuh dengan duri-duri panjang yang tampak tajam seperti taring hewan buas. Beberapa cabangnya bergerak pelan meskipun tidak ada angin yang bertiup, seolah memiliki kesadaran sendiri.

"Lihat pohon itu," lanjutnya. "Seharusnya, di hutan normal, pohon seperti ini berwarna hijau dan subur. Tapi di sini, mereka berubah. Jangan pernah menyentuhnya. Resin yang keluar dari kulitnya bisa membakar kulitmu, bahkan menyebabkan halusinasi jika terhirup terlalu lama."

Para Outcast segera menjauh dari pohon-pohon itu, semakin menyadari betapa berbahayanya lingkungan yang mereka masuki.

Tak lama kemudian, mereka tiba di tepi sungai kecil. Biasanya, sungai adalah sumber kehidupan, tetapi tidak di tempat ini. Airnya tampak keruh dengan warna kehijauan pekat, mengeluarkan bau busuk samar yang menusuk hidung. Beberapa dari mereka berhenti dan menatap sungai itu dengan ngeri.

"Sungai-sungai di wilayah ini bukan sumber kehidupan," kata Alcard memperingatkan. "Sebaliknya, ini adalah jebakan. Jangan pernah mencoba meminum airnya, bahkan jika persediaan kita habis."

Salah seorang Outcast menelan ludah, merasa haus setelah perjalanan panjang. "Tapi… bagaimana jika kita benar-benar kehabisan air?" tanyanya dengan ragu.

Alcard mengangkat botol air yang ia bawa. "Kita hanya bisa mengandalkan persediaan kita," katanya tegas. "Jika habis, satu-satunya harapan kita adalah menemukan oase tersembunyi—dan itu pun sangat jarang terjadi."

Ia kemudian menambahkan, "Air ini bukan hanya beracun. Ia penuh dengan makhluk kecil yang tidak terlihat, yang bisa masuk ke tubuhmu dan menyebabkan kematian perlahan. Satu tegukan saja, dan kau akan mati dalam penderitaan."

Mereka semua semakin berhati-hati. Tidak ada yang berani mendekati sungai itu lagi.

Saat mereka melanjutkan perjalanan, Alcard mulai menjelaskan lebih lanjut tentang lingkungan sekitar.

"Hutan ini tidak hanya dihuni oleh monster," katanya, suaranya rendah tetapi penuh kewaspadaan. "Tanaman-tanaman di sini juga bisa membunuhmu."

Ia menunjuk ke sebuah bunga merah mencolok yang tumbuh di dekat semak-semak. Kelihatannya indah dan berkilauan di bawah cahaya redup, tetapi Alcard tidak terkesan.

"Itu Crimson Wisp," katanya. "Kelopaknya mengandung racun yang bisa membakar kulitmu hanya dengan menyentuhnya. Bahkan jika hanya debu dari serbuk sarinya terkena kulitmu, efeknya bisa sangat menyakitkan."

Kemudian ia menunjuk semak-semak yang tampak biasa saja, tetapi penuh dengan duri-duri kecil.

"Itu Thornveil," lanjutnya. "Durinya cukup tajam untuk menembus armor tipis dan menembus kulit dengan mudah. Jika kau tergores olehnya, lukanya akan terus berdarah tanpa henti."

Salah seorang Outcast yang hampir tanpa sengaja menyentuh salah satu ranting semak itu segera menarik tangannya dengan cepat, matanya membulat karena ketakutan.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih hati-hati dari sebelumnya. Namun, tak lama kemudian, mereka melihat sesuatu yang membuat mereka semakin tegang.

Di kejauhan, berdiri seekor rusa besar. Hewan itu tampak diam, hanya menatap lurus ke arah mereka. Namun, ada sesuatu yang aneh pada penampilannya. Matanya bersinar merah menyala, dan tanduknya lebih panjang dari ukuran normal, melengkung ke belakang seperti tanduk iblis.

Seorang Outcast menatapnya dengan bingung. "Itu… rusa, kan?" tanyanya pelan.

Alcard mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka tidak bergerak. "Jangan tertipu," katanya tajam. "Itu bukan rusa biasa. Hewan itu sudah terkontaminasi."

Para Outcast membeku di tempat, ngeri melihat bagaimana rusa itu tetap berdiri tanpa bergerak sedikit pun, seolah sedang menunggu sesuatu.

Alcard melanjutkan dengan suara dingin, "Di wilayah ini, bahkan hewan herbivora bisa menjadi pembunuh yang sangat berbahaya. Mereka kehilangan rasa takut pada manusia, dan banyak di antara mereka yang telah berubah menjadi predator."

Salah seorang anggota kelompok tampak semakin khawatir. "Bagaimana kita tahu mana yang berbahaya?" tanyanya dengan suara bergetar.

Alcard tidak langsung menjawab. Ia menatap rusa itu sesaat, lalu berkata, "Percaya pada instingmu. Jika sesuatu terlihat terlalu tenang atau terlalu agresif, anggap itu ancaman."

Sejenak, suasana hening. Lalu, rusa itu akhirnya bergerak, berjalan menjauh ke dalam bayangan pepohonan. Namun, perasaan tidak nyaman masih menggantung di udara.

Alcard berbalik menghadap kelompoknya, menatap mereka satu per satu dengan ekspresi serius.

"Semakin kita mendekati Gunung Orcal, semakin banyak hal aneh dan berbahaya yang akan kalian temui," katanya. "Di sini, alam bukanlah tempat berlindung. Alam di sini adalah musuh kita."

Para Outcast menelan ludah, menyadari sepenuhnya betapa mengerikan perjalanan ini.

Alcard kemudian menegaskan, "Tetap bersama kelompok. Jangan pernah menjauh sendirian. Kita hanya punya satu kesempatan untuk menyelesaikan misi ini dan kembali hidup-hidup."

Tidak ada yang membantah. Mereka semua tahu bahwa apa yang ada di depan mereka jauh lebih mengerikan dibandingkan apa pun yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

Setelah memberi waktu sebentar untuk memastikan semua siap, Alcard memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan.

Langkah kaki mereka semakin hati-hati, hampir tanpa suara. Namun, suara gemerisik samar terdengar dari berbagai arah, seolah sesuatu sedang mengawasi mereka dari dalam kegelapan.

Gunung Orcal sudah semakin dekat, tetapi begitu pula dengan bahaya yang menanti di setiap sudut.

****

 

Setelah melewati perjalanan panjang yang penuh dengan bahaya, kelompok Alcard akhirnya mencapai batas wilayah pegunungan. Di hadapan mereka, Gunung Orcal menjulang tinggi dengan puncaknya yang terselimuti awan gelap, berputar seperti pusaran badai yang tak henti-hentinya bergejolak. Udara di sekitar gunung terasa semakin berat, dipenuhi aroma sulfur yang menyengat, membuat setiap tarikan napas terasa seperti memasukkan kepulan asap ke dalam paru-paru.

Seorang Outcast muda menatap gunung itu dengan ekspresi campuran antara kagum dan ketakutan. Suaranya nyaris tak terdengar saat ia berbisik, "Jadi… inilah Gunung Orcal. Tidak heran banyak cerita menyeramkan tentang tempat ini."

Alcard, yang berdiri di barisan terdepan, tetap diam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada datar, "Cerita itu bukan hanya dongeng. Semua yang kalian dengar… bahkan yang terdengar paling mustahil sekalipun… kemungkinan besar adalah kenyataan."

Ia memberi isyarat agar kelompok berhenti sejenak di sebuah ceruk yang terlindungi oleh bebatuan besar. Tempat ini relatif lebih aman dibandingkan jalur terbuka, memberikan mereka sedikit waktu untuk mengatur ulang tenaga sebelum mendaki lebih jauh. Salah satu Outcast yang bertugas mencatat persediaan menghampirinya dengan raut cemas, membawa lembaran logistik yang tampak penuh coretan.

"Senior," lapornya dengan suara khawatir, "perbekalan kita hanya cukup untuk satu hari lagi. Jika kita tidak menemukan akar itu secepatnya, kita akan terjebak di sini tanpa makanan."

Alcard menerima informasi itu tanpa menunjukkan perubahan ekspresi. Ia mengangguk kecil, lalu dengan suara tegas, memanggil semua anggota kelompok untuk berkumpul di bawah bayangan tebing kecil.

"Dengarkan baik-baik," ucapnya dengan nada yang tidak menyisakan ruang untuk perdebatan. "Kita tidak punya banyak waktu. Mulai sekarang, kita akan naik ke bagian bawah gunung ini untuk mencari Rotrofila Root. Target kita adalah dua kantong penuh, tidak kurang."

Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh anggota kelompok, memperhatikan wajah-wajah lelah yang penuh keletihan dan kecemasan. Dengan nada lebih tajam, ia melanjutkan, "Begitu kita mendapatkan yang kita cari, kita langsung turun tanpa berhenti. Aku tidak peduli seberapa lelah kalian, aku tidak ingin mendengar keluhan. Gunung Orcal bukan tempat untuk beristirahat. Bahkan, tidur sebentar saja di sini bisa berarti kematian."

Alcard menunjuk puncak gunung yang tertutup kabut pekat. "Di atas sana, segalanya bisa membunuh kalian. Udara yang beracun, tanah yang tidak stabil, bahkan bayangan dari pepohonan mati bisa menjadi malapetaka jika kalian lengah. Jangan kehilangan fokus, jangan teralihkan oleh apa pun. Kita datang ke sini bukan untuk mati, tapi untuk bertahan."

Salah seorang anggota yang terlihat paling muda dan paling pendiam, dengan suara yang hampir gemetar, mengajukan pertanyaan dengan nada ragu. "S-Senior… kenapa kita harus terus maju? Bukankah ini sudah terlalu berbahaya? Kita bisa saja kembali dengan membawa sebagian dari yang kita temukan."

Mata Alcard langsung mengunci tatapan pemuda itu, dingin dan tanpa emosi. "Ini bukan tentang kalian atau aku," jawabnya dengan nada rendah tapi tajam seperti mata pisau. "Setiap langkah yang kita ambil, setiap luka yang kita terima, semua itu bukan untuk diri kita sendiri. Kita melakukannya agar Outcast lain bisa bertahan. Jika kita gagal, persediaan Bloody Potion di The Wall akan habis. Tanpa itu, kita tidak akan memiliki cukup kekuatan untuk melawan monster yang terus berevolusi. Tanpa kita, tidak akan ada yang cukup kuat untuk menjaga Middle Earth."

Ia membiarkan kata-katanya menggantung sejenak sebelum menambahkan dengan suara yang lebih dingin, "Kalian tahu risiko ini sejak awal. Jika kalian tidak siap, seharusnya kalian tidak ikut dari awal. Tapi sekarang, kita sudah berada di sini, dan kita akan menyelesaikan misi ini."

Tak ada yang berani membantah. Mereka tahu Alcard tidak berbicara untuk membesarkan diri, melainkan untuk mengingatkan mereka akan kenyataan yang tak terbantahkan.

Tanpa membuang waktu, kelompok mulai bergerak naik, mendaki jalur berbatu yang semakin curam. Udara semakin berat, seakan setiap langkah mereka dihisap oleh energi gelap yang meresap dari dalam tanah. Napas mereka semakin sulit, bukan hanya karena medan yang menanjak, tapi juga tekanan mental yang terus menghantui mereka.

Di sepanjang perjalanan, mereka mulai menyadari keanehan di sekitar:

Pohon-pohon mati dengan akar yang mencuat dari tanah seperti tentakel raksasa yang mencoba menangkap siapa saja yang lewat.

Serangga bercangkang hitam berkilauan, ukurannya hampir sebesar tangan manusia, bersembunyi di celah-celah batu, mengeluarkan suara berdesis yang tidak wajar.

Raungan dalam yang samar terdengar dari kejauhan, bergema melalui lembah-lembah berbatu, seakan menandakan keberadaan sesuatu yang jauh lebih besar dari apa pun yang pernah mereka hadapi.

Alcard berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. "Jaga jarak dekat dengan kelompok," perintahnya. "Jika ada yang tertinggal, kita tidak akan menunggu. Gunung ini tidak akan memberi kesempatan kedua."

Para Outcast meneguk ludah mereka sendiri. Mereka sudah melihat banyak hal mengerikan selama perjalanan ini, tetapi Gunung Orcal memiliki aura yang jauh lebih menakutkan dibandingkan apa pun yang mereka hadapi sebelumnya.

Namun, tak ada waktu untuk ketakutan. Mereka harus terus bergerak.

Langkah demi langkah, kelompok itu melanjutkan perjalanan mereka, semakin tinggi ke jalur berbatu yang kian sulit. Sementara itu, di kejauhan, kabut yang menyelimuti Gunung Orcal tampak bergerak perlahan—seolah menyadari kehadiran mereka dan sedang menunggu saat yang tepat untuk menelan mereka dalam kegelapan.

****

 

Setelah perjalanan panjang yang dipenuhi kewaspadaan, akhirnya kelompok Alcard tiba di sebuah area yang tampak berbeda dari bagian hutan yang mereka lewati sebelumnya. Tanah di tempat ini dipenuhi oleh akar-akar besar yang berwarna merah gelap, seperti urat nadi yang berdenyut dengan bara tersembunyi di dalamnya. Keheningan menyelimuti lokasi ini, menciptakan suasana yang mencekam seolah seluruh hutan menahan napas, enggan mengusik sesuatu yang tak terlihat.

Salah seorang Outcast pemula menelan ludah, suaranya lirih saat berbicara, "Bos, ini… tempatnya, bukan?"

Alcard melangkah mendekati salah satu akar, menekannya dengan ujung jarinya sebelum menghunus belatinya untuk menggores permukaannya. Begitu lapisan luar akar terkelupas, tampak cairan merah gelap yang sedikit kental, berbau tajam seperti tanah basah bercampur logam.

"Rotrofila Root," gumamnya pelan, memastikan temuan mereka. "Tapi ini belum cukup. Kita butuh lebih banyak."

Mereka berdiri di sebuah jurang kecil yang dikelilingi tebing batu tinggi. Meski tempat ini memberikan perlindungan dari pandangan makhluk liar, ia juga menciptakan rasa terperangkap. Jika ada sesuatu yang menyerang mereka di sini, tak banyak ruang untuk kabur.

Di belakang mereka, kuda-kuda mulai menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan. Telinga mereka bergerak-gerak, kaki mereka menghentak tanah dengan gelisah, dan beberapa bahkan mulai menarik tali kendali seakan ingin berbalik arah.

Salah seorang Outcast menoleh ke arah Alcard dengan ekspresi ragu. "Mereka tidak suka tempat ini, Senior."

Tanpa mengalihkan tatapannya dari sekeliling, Alcard menjawab singkat, "Bukan hanya mereka. Kita semua harus tetap siaga."

Tanpa membuang waktu, para Outcast mulai bekerja. Mereka mencabut akar-akar itu dengan hati-hati, menggunakan belati kecil agar tidak merusaknya. Namun, tugas ini terbukti lebih sulit dari perkiraan. Rotrofila Root memiliki struktur keras seperti baja yang hanya bisa dipotong dengan teknik tertentu.

Seorang Outcast pemula mencoba mematahkan salah satu akar menggunakan kapaknya, tetapi hanya menciptakan bunyi keras yang menggema di udara.

Alcard segera menoleh tajam. "Jangan pakai kapak besar," perintahnya dengan nada tegas. "Gunakan kapak kecil, pedang atau belati. Kapak besar terlalu berisik. Kita tidak tahu apa yang bisa mendengar suara kita di tempat ini."

Mereka kembali bekerja, kali ini lebih hati-hati. Beberapa jam berlalu, dan mereka berhasil mengisi satu kantong besar dengan akar yang telah dipotong rapi. Alcard memeriksa isinya dan mengangguk kecil. Namun, ekspresinya tetap serius.

"Satu kantong sudah penuh," katanya, suaranya tetap dingin. "Tapi kita butuh dua. Kita belum selesai."

Salah seorang Outcast yang kelelahan mengangkat wajahnya, napasnya berat. "Kapten… satu kantong ini sepertinya sudah cukup. Tempat ini terlalu berbahaya. Kita harus segera pergi."

Alcard menatapnya tajam, matanya merah menyala di bawah bayangan tebing. "Jika kita berhenti sekarang, usaha kita akan sia-sia," ucapnya dengan nada tajam. "Satu kantong tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan The Wall. Jika kita tidak menyelesaikan tugas ini, tidak akan ada yang cukup kuat untuk bertahan di utara."

Tidak ada yang berani membantah. Mereka tahu bahwa kata-kata Alcard benar.

Namun, saat mereka bersiap untuk mencari akar tambahan, suasana di sekitar mereka mulai berubah. Udara yang sebelumnya sunyi kini terasa semakin menekan. Beberapa Outcast saling berpandangan, wajah mereka dipenuhi kegelisahan yang semakin jelas.

"Aku… merasa kita sedang diawasi," bisik salah seorang dari mereka.

Alcard tidak mengabaikan perasaan itu. Ia sendiri sudah merasakannya sejak mereka tiba di tempat ini. Dengan ekspresi tetap tenang, ia menjawab, "Kalian tidak salah. Gunung ini selalu mengawasi siapa saja yang berani masuk ke wilayahnya."

Kuda-kuda mereka semakin gelisah. Beberapa mulai menarik tali kendali dengan kuat, nyaris memberontak untuk kabur. Satu di antaranya bahkan hampir jatuh ke tanah akibat kepanikannya.

Alcard dengan cepat mengangkat tangan, memberi perintah, "Jaga posisi. Jangan buat suara berlebihan. Jika kita menarik perhatian, kita tidak akan keluar dari sini hidup-hidup."

Para Outcast langsung mengencangkan genggaman pada senjata mereka, meski tangan mereka sedikit gemetar. Alcard sendiri tetap dalam posisi siaga, matanya menyapu sekeliling, mencari tanda-tanda bahaya. Tangannya dengan refleks menggenggam gagang pedangnya, siap menariknya kapan saja jika keadaan berubah menjadi buruk.

Dalam keheningan yang semakin tegang, mereka mulai bergerak lagi, perlahan-lahan menelusuri jalur sempit di antara akar-akar besar yang menjalar ke segala arah. Setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya. Bayangan gelap dari bebatuan tinggi yang mengelilingi mereka tampak semakin menekan, seakan menutup jalan keluar.

Misi mereka masih jauh dari selesai, dan ancaman yang mengintai di Gunung Orcal belum benar-benar menunjukkan dirinya. Namun satu hal pasti—setiap detik yang mereka habiskan di tempat ini semakin memperkecil peluang mereka untuk kembali hidup-hidup.

****

 

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan dan penuh ketegangan, Alcard serta kelompoknya akhirnya mencapai lokasi terakhir untuk melengkapi kantong kedua mereka. Tempat itu berupa dataran sempit yang dipenuhi akar-Rotrofila Root yang menjalar di atas tanah, seperti urat-urat merah gelap yang berdenyut pelan di bawah cahaya redup pegunungan. Namun, lokasi ini tidak menawarkan rasa aman sedikit pun. Dikelilingi oleh tebing-tebing curam yang menjulang dan semak-semak berduri yang berbahaya, tempat ini terasa seperti jebakan alami—sulit untuk masuk, lebih sulit lagi untuk keluar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Alcard melompat turun dari kudanya, mengawasi sekeliling dengan penuh kewaspadaan sebelum memberi perintah. "Ini dia. Kerjakan dengan cepat dan hati-hati. Kita tidak punya banyak waktu."

Tanpa membuang waktu, para Outcast segera membungkuk untuk mencabut akar-akar itu, menggunakan pisau kecil agar tidak menimbulkan suara berlebihan. Mereka bekerja dengan tempo lebih cepat dari sebelumnya, didorong oleh rasa ingin segera meninggalkan tempat yang membuat bulu kuduk berdiri ini. Namun, meski mereka fokus pada tugasnya, Alcard mulai merasakan sesuatu yang mengganggu.

Biasanya, ada suara-suara alami yang memenuhi hutan—gemerisik dedaunan, nyanyian burung malam, atau raungan monster yang berkeliaran. Tapi kali ini, semuanya lenyap. Udara dipenuhi kesunyian yang terlalu sempurna, seolah seluruh alam menahan napas. Satu-satunya suara yang tersisa hanyalah hembusan angin kering yang membawa aroma busuk samar, sesuatu yang lebih pekat dan menyengat dari bau Rotrofila Root yang mereka panen.

Alcard mempersempit matanya, tubuhnya menegang. "Ada yang tidak beres," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Para Outcast yang mendengarnya langsung berhenti bekerja sejenak, saling berpandangan dengan tatapan cemas. Suasana di sekitar mereka semakin menekan, dan kegelisahan mulai menjalar ke setiap anggota kelompok.

Alcard segera mengeluarkan perintah tegas. "Cepat selesaikan. Isi kantong itu dan bersiap pergi. Kita tidak boleh berlama-lama di sini."

Mendengar nada suara kapten mereka yang lebih tajam, para Outcast kembali bekerja, meskipun tangan mereka kini sedikit gemetar.

Namun, yang paling mengkhawatirkan bukanlah mereka, melainkan kuda-kuda yang mereka bawa. Jika sebelumnya hewan-hewan itu menunjukkan tanda-tanda kegelisahan dengan menggaruk-garuk tanah dan menoleh ke sana kemari, kini mereka justru diam sepenuhnya. Tak satu pun dari mereka bergerak, bahkan ekor mereka yang biasanya berkibas pun berhenti. Mata mereka membelalak, seolah sedang melihat sesuatu yang mengerikan tetapi tak mampu bereaksi.

Salah seorang Outcast mendekati kudanya dengan ekspresi pucat. "Kapten… ini tidak normal. Mereka seharusnya sudah meringkik atau berusaha kabur jika ada bahaya. Tapi sekarang… mereka seperti membatu dan bergetar hebat."

Alcard semakin meningkatkan kewaspadaannya. Ia perlahan menelusuri tanah dengan tatapannya, mencari petunjuk tentang apa yang bisa menyebabkan atmosfer yang begitu mencekam ini. Saat itulah ia melihat sesuatu.

Jejak.

Bukan sembarang jejak.

Bentuknya besar, jauh lebih besar daripada jejak Orge yang mereka lawan sebelumnya. Permukaannya lebih dalam, menandakan bobot yang luar biasa berat, dan di sekelilingnya, semak-semak tampak hancur seolah diinjak oleh sesuatu yang kolosal.

Alcard mengerutkan kening. Ia berlutut dan menyentuh salah satu bekas jejak itu. Tanahnya masih lunak, yang berarti…

"Ini baru," bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia berdiri kembali dengan cepat, menajamkan pendengarannya ke arah pepohonan di kejauhan. Semuanya masih terlalu sepi, tapi itu hanya memperparah kecemasannya.

"Kita harus pergi," kata Alcard tegas. "Sekarang."

Salah satu anggota kelompok, yang masih mengamankan kantong Rotrofila ke pelana kudanya, berseru, "Tapi kantong ini belum sepenuhnya penuh—"

Alcard menoleh tajam ke arahnya, memotongnya sebelum bisa melanjutkan. "Lebih baik kita kembali dengan apa yang kita miliki daripada mati sia-sia di sini. Cepat lakukan!"

Tidak ada yang membantah perintah itu. Dengan tangan tergesa, mereka mengikat kantong kedua di pelana kuda masing-masing. Namun, suasana semakin berubah. Jika sebelumnya mereka merasakan keheningan yang tidak wajar, kini keheningan itu terasa seperti ancaman nyata yang mulai bergerak di sekitar mereka.

Angin yang semula berhembus tipis kini berhenti sepenuhnya. Daun-daun yang menggantung di pepohonan pun tampak diam, seolah waktu sendiri telah berhenti. Bahkan napas para Outcast terdengar lebih keras dari biasanya.

"Apa yang sedang terjadi…?" salah seorang dari mereka berbisik, hampir tak terdengar.

Lalu, terdengar suara itu.

Boom… Boom… Boom…

Gemuruh berat datang dari kejauhan, merambat melalui tanah seperti suara dentuman besar yang semakin mendekat. Getarannya terasa di bawah kaki mereka, seperti guncangan halus yang bertambah kuat seiring berjalannya waktu.

Alcard langsung mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semuanya diam. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menangkap arah datangnya suara itu, lalu membuka matanya dengan sorot tajam.

"Naik kuda kalian! Sekarang juga!" serunya.

Tanpa ragu, semua Outcast segera menaiki kuda masing-masing. Namun, tepat saat mereka bersiap untuk bergerak, salah satu kuda tiba-tiba kehilangan kendali. Hewan itu meringkik keras, mengangkat kedua kakinya ke udara dengan liar, menolak bergerak meskipun penunggangnya sudah berusaha keras mengendalikannya.

"Tenangkan kuda itu!" perintah Alcard cepat, suaranya sedikit lebih keras. "Kita tidak boleh menarik perhatian apa pun yang ada di sini!"

Namun, sebelum mereka sempat berbuat banyak, suara gemuruh semakin dekat—dan dari balik pepohonan, bayangan besar mulai muncul. Siluet raksasa itu bergerak perlahan, tapi cukup untuk menunjukkan ukurannya yang luar biasa besar.

Alcard menatap bayangan itu dengan ekspresi tegang. Tangannya perlahan meraba gagang pedangnya, bersiap untuk menghadapi apapun yang muncul dari dalam kegelapan. Di belakangnya, kelompoknya juga bersiap, sebagian masih berusaha menenangkan kuda mereka, sementara yang lain mulai menegangkan otot mereka, menggenggam senjata dengan lebih erat.

Ketegangan di udara mencapai puncaknya.

Sesuatu ada di sana.

Sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

****