Bab 8

Dalam keheningan yang semakin menekan, Alcard akhirnya melihat dengan jelas sosok besar yang menjadi sumber dari jejak misterius yang mereka temukan sebelumnya. Dari balik pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, muncul sesosok orge mutasi yang jauh lebih besar dibandingkan orge mutasi biasa. Tubuhnya seperti gunung yang bergerak, dengan kulit kasar yang menyerupai batu. Namun, bagian yang paling mengerikan adalah kedua kepalanya—dua wajah buas yang bergerak secara independen, masing-masing memiliki ekspresi berbeda.

Salah satu kepala memiliki tatapan tajam yang menyala merah, matanya penuh amarah dan haus darah. Sementara kepala lainnya tampak lebih liar, bergumam dalam bahasa yang tidak bisa dimengerti, suara beratnya seperti bisikan dari kedalaman neraka. Dari bekas luka menganga yang tersebar di tubuhnya, terlihat daging membusuk dengan urat-urat hitam yang berdenyut, tanda bahwa makhluk ini telah lama terpapar kekuatan selatan.

Di salah satu tangannya yang besar, orge itu menggenggam sebuah balok kayu raksasa yang seukuran batang pohon, seolah itu hanya sebilah ranting. Setiap gerakannya menimbulkan suara gemuruh, membuat tanah bergetar di bawah kaki kelompok Alcard yang langsung menegang begitu melihat monster ini dari jarak sedekat itu.

Beberapa anggota kelompok tanpa sadar mencengkeram senjata mereka lebih erat, napas mereka tertahan di tenggorokan. Tak seorang pun berani bergerak, seolah jika mereka tetap diam, mereka bisa menghindari perhatiannya.

"Apa itu…?" salah satu Outcast berbisik dengan suara nyaris tak terdengar, ketakutan menguasai wajahnya.

Alcard mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua tetap tenang. Dengan suara yang sangat terkontrol, ia berkata, "Itu orge berkepala dua. Spesies mutasi orge yang sangat jarang terlihat. Dan jika kita bertarung dengannya, peluang kita untuk menang sangat kecil."

Seorang Outcast muda yang masih terguncang bertanya dengan suara bergetar, "Apakah dia alasan kenapa tempat ini begitu sunyi?"

Alcard mengangguk kecil, matanya tidak pernah lepas dari makhluk itu. "Kemungkinan besar. Kehadiran makhluk seperti ini biasanya membuat semua monster lain menjauh. Atau lebih buruk lagi… dia telah membunuh semua makhluk di sini. Itulah sebabnya kita tidak bertemu dengan satupun sebelumnya."

Ketegangan semakin terasa di udara. Setiap anggota kelompok bisa merasakan keringat dingin membasahi punggung mereka.

"Kita harus keluar dari sini," Alcard akhirnya berbisik, suaranya nyaris seperti desisan. "Jangan buat suara, gerakkan kuda kalian perlahan, dan hindari kontak mata dengannya."

Dengan sangat hati-hati, mereka mulai menarik tali kekang kuda mereka, berusaha bergerak mundur sejauh mungkin tanpa menarik perhatian makhluk mengerikan itu. Napas mereka tertahan, gerakan mereka nyaris tidak menimbulkan suara. Setiap detik yang berlalu terasa begitu panjang, seolah waktu melambat.

Namun, tepat ketika mereka hampir berhasil menjauh dari jangkauan makhluk itu, salah satu kuda tiba-tiba gelisah. Dengan gerakan mendadak, ia menghentakkan kakinya ke tanah dan mengeluarkan suara meringkik pelan.

Suara itu, meski kecil, cukup untuk menarik perhatian orge.

Salah satu kepala makhluk itu, yang berada di sebelah kiri, langsung menoleh ke arah mereka, matanya menyala dengan kilatan merah yang lebih terang. Wajahnya menegang, seperti sedang mencerna informasi yang baru saja ia temukan.

"Dia melihat kita…" salah satu Outcast berbisik, suaranya nyaris tidak terdengar karena ketakutan yang mencekam.

Alcard segera mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua tetap diam dan tidak melakukan gerakan tiba-tiba. Ia berharap, jika mereka tidak menampakkan ancaman, mungkin orge itu tidak akan menyerang.

Namun harapan itu pupus dalam sekejap.

Kepala kanan orge tiba-tiba mengeluarkan suara raungan yang mengguncang seluruh area.

-GGGRRROOOOAAARRRR!!!

Raungan itu begitu menggelegar hingga udara di sekitar mereka bergetar. Daun-daun kering di tanah beterbangan, dan tanah di bawah kaki mereka bergetar akibat getaran suara yang memekakkan telinga. Kuda-kuda mereka yang awalnya diam, kini kehilangan kendali, melompat panik dan mencoba melarikan diri.

Kepala kiri orge, yang tampak lebih cerdas, mulai menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang tidak dikenal. Nadanya penuh kemarahan, suaranya berat dan menggelegar. Ia kemudian mengangkat tangannya yang besar, menunjuk langsung ke arah mereka.

Alcard tahu, tidak ada lagi kesempatan untuk menghindar.

"Lari! Sekarang! Jangan berhenti sampai aku bilang aman!" teriaknya, suaranya terdengar jelas meskipun masih dipenuhi tekanan situasi.

Tanpa menunggu aba-aba kedua, seluruh kelompok segera menarik tali kekang mereka, membalikkan arah dan memacu kuda mereka secepat mungkin.

Langkah kaki berat orge terdengar semakin mendekat di belakang mereka, menghentak tanah dengan kekuatan yang mampu mengguncangkan bumi. Dengan setiap langkahnya, suara gemuruh memenuhi udara, menandakan bahwa makhluk itu sedang mengejar mereka dengan kecepatan yang tidak seharusnya dimiliki oleh makhluk sebesar itu.

"Jangan melihat ke belakang! Fokus ke depan!" Alcard berteriak, memastikan semua tetap pada jalur mereka.

Kuda-kuda mereka berlari dengan kecepatan penuh, melewati jalur berbatu dan akar-akar besar yang menjulur dari tanah. Ranting-ranting pohon mencambuk wajah dan tubuh mereka saat mereka berusaha menembus pepohonan yang semakin rapat.

Namun, suara orge itu terus terdengar di belakang mereka.

Raungan kemarahan terus menggema, seakan mengguncang seluruh gunung.

Alcard menoleh sekilas, matanya membelalak saat melihat bayangan raksasa itu semakin mendekat. Orge berkepala dua itu kini tidak hanya mengejar, tetapi juga mulai mengangkat balok kayu raksasa di tangannya. Jika ia berhasil mengayunkannya ke arah mereka, satu pukulan saja bisa mengirim mereka terlempar ke udara atau bahkan membunuh mereka seketika.

"Cepat! Ke arah kiri, masuk ke celah tebing!" Alcard memberi perintah cepat.

Kelompok itu mengikuti tanpa ragu, mengarahkan kuda mereka ke jalur sempit yang berada di antara dua batu besar. Mereka berharap celah itu cukup sempit untuk menghalangi pergerakan orge yang ukurannya terlalu besar.

Detik demi detik terasa begitu lama, dan suara gemuruh langkah kaki raksasa itu semakin mendekat.

Saat mereka akhirnya mencapai celah itu, Alcard menarik napas dalam.

Tapi ini belum berakhir.

Mereka mungkin berhasil masuk ke jalur yang lebih sempit, tetapi apakah itu cukup untuk menghentikan kejaran makhluk mengerikan itu?

Hanya waktu yang akan menjawabnya.

****

 

Gemuruh langkah orge berkepala dua mengguncang tanah dengan kekuatan luar biasa, menciptakan guncangan yang hampir membuat para Outcast kehilangan keseimbangan di atas kuda mereka. Pepohonan besar di sekeliling mereka bergetar, beberapa di antaranya tumbang akibat dorongan angin dan getaran dari gerakan makhluk raksasa itu. Suara raungannya yang memekakkan telinga menggema di seluruh wilayah, menambah ketegangan yang sudah memenuhi udara.

Dengan kecepatan luar biasa, Alcard dan kelompoknya melesat melewati celah sempit di antara dua tebing tinggi. Kuda-kuda mereka berlari secepat mungkin, melompati akar-akar besar dan batu-batu tajam yang tersebar di jalur mereka. Ketika orge berkepala dua mencoba mengikuti mereka, tubuhnya yang besar tak bisa melewati celah sempit itu. Dengan raungan marah, ia kehilangan keseimbangan dan jatuh menghantam batu-batu di bawahnya, mengeluarkan suara benturan keras yang menggema di seluruh lembah.

Namun, Alcard tidak berani mengendurkan kewaspadaannya. Saat ia menoleh ke belakang, matanya menyipit melihat sesuatu yang mengejutkan—orge mutasi itu tidak mati. Dengan kekuatan luar biasa, ia mulai mendaki kembali dari tebing, cakarnya menggali celah-celah batu untuk memanjat. Wajah kedua kepalanya dipenuhi kemarahan yang lebih besar dari sebelumnya, dan balok kayu raksasa di tangannya berayun dengan brutal, menghancurkan apa saja yang menghalangi jalannya. Setiap gerakannya merobek pepohonan dan mengguncang tanah dengan dahsyat.

Seorang anggota kelompok berteriak panik, "Dia masih hidup! Kita tidak akan bisa kabur darinya! Dia terlalu cepat!"

"Diam dan ikuti perintahku!" Alcard membalas dengan nada tegas, tak membiarkan kepanikan menyebar di dalam kelompoknya. Mereka tidak bisa terus berlari tanpa strategi. Kecepatan orge itu mengejutkan, dan jika mereka terus berlari tanpa rencana, cepat atau lambat mereka akan tertangkap.

Ketika mereka mencapai perbatasan wilayah Gunung Orcal, Alcard tiba-tiba menghentikan kudanya dengan gerakan mendadak, menarik tali kekang dengan kuat. Kuda itu mengangkat kaki depannya sebelum kembali menapak tanah dengan napas memburu. Para anggota kelompok lainnya mengikuti, meskipun raut wajah mereka dipenuhi kebingungan. Napas mereka terengah-engah, dan kuda-kuda mereka tampak semakin gelisah.

"Kita tidak bisa terus lari seperti ini," ujar Alcard dengan suara rendah namun penuh otoritas. Ia menyapu pandangannya ke seluruh kelompok, memastikan mereka mendengarkannya dengan baik.

Tatapannya kemudian jatuh pada dua anggota yang paling cekatan dan memiliki kuda-kuda dengan stamina terbaik di antara mereka, selain kuda hitam miliknya. "Ridham! Jarren! Bawa semua kantong Folwestian Bloom dan Rotrofila Root. Kalian harus pergi sekarang juga, menuju tempat peristirahatan terakhir kita sebelumnya."

Mata mereka membelalak mendengar perintah itu. Namun, sebelum ada yang bisa protes, Alcard menambahkan dengan nada dingin, "Gunakan jalur memutar. Hindari area terbuka dan jangan berhenti, tidak peduli apa pun yang terjadi. Semua kantong itu lebih penting daripada nyawa kalian sekarang."

Tanpa ragu, keduanya mengangguk tegas, segera mengambil kantong besar dari pelana kuda mereka, lalu bergerak menjauh dengan langkah cepat dan hati-hati. Mereka tahu perintah ini bukan untuk didiskusikan. Mereka harus menyelesaikan tugas mereka tanpa menoleh ke belakang.

Setelah memastikan keduanya mulai bergerak, Alcard berbalik menghadap anggota kelompok yang tersisa. Sorot matanya tajam, penuh ketegasan yang tidak bisa dibantah.

"Kita akan memancing perhatian orge itu," katanya. "Tugas kita adalah menjauhkannya sejauh mungkin dari mereka berdua. Kita akan bertemu di tempat yang sama nanti. Jika tidak berhasil bertahan…" Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "anggap ini adalah perintah terakhirku."

Meskipun ketakutan jelas terlihat di wajah beberapa anggota, mereka tidak menolak perintahnya. Salah satu dari mereka, dengan ekspresi yang lebih berani, menjawab tegas, "Siap, Kapten."

Dengan kelompok yang kini terpisah, orge berkepala dua tampak kebingungan. Kedua kepalanya bergerak ke arah yang berlawanan, seolah sedang berdebat satu sama lain. Satu kepala menatap ke arah Alcard dan kelompoknya, sementara kepala lainnya mengendus udara, mencoba melacak jejak kelompok kecil yang membawa kantong.

Namun, Alcard tahu bagaimana caranya mengalihkan perhatian. Ia menarik tali kekang kudanya dengan keras, membuat kuda itu berputar cepat di tempat. Lalu, tanpa ragu, ia mengayunkan pedangnya ke udara dan berteriak keras.

"Hei, binatang jelek! Aku di sini!"

Raungan tantangannya menggema di udara, cukup untuk membuat orge berkepala dua langsung menoleh ke arahnya. Dengan sorot mata penuh kebencian, makhluk itu mengeluarkan raungan menggelegar, lalu mengarahkan tubuh raksasanya ke arah kelompok Alcard.

"Teruskan! Jangan berhenti sampai aku memberi sinyal!" seru Alcard sambil memimpin kelompoknya melaju ke arah yang berlawanan dari jalur Ridham dan Jarren.

Langkah orge semakin dekat, setiap hentakan kakinya membuat tanah bergetar hebat. Salah satu anggota kelompok nyaris terjatuh dari kudanya karena medan yang semakin sulit, tetapi berhasil menarik kendali kembali dengan susah payah.

Ketika mereka mencapai area yang lebih terbuka, orge itu semakin marah. Kedua kepalanya mengeluarkan raungan memekakkan telinga, suaranya begitu keras hingga daun-daun pohon bergetar dan beberapa burung di kejauhan terbang panik. Mata mereka bersinar merah terang, mencerminkan kebencian yang begitu dalam.

Balok kayu raksasa di tangannya terayun dengan brutal, menghancurkan pohon-pohon besar di jalurnya, menciptakan suara dentuman keras yang membuat tanah bergetar seperti gempa kecil.

Alcard dengan cepat menilai situasi. Mereka tidak bisa terus berlari tanpa rencana.

"Kita harus membuatnya semakin jauh dari mereka yang membawa kantong," gumamnya dalam hati. Ia mencari cara untuk mengalihkan perhatian orge lebih lama tanpa mempertaruhkan nyawa kelompoknya.

"Pertahankan jarak! Jangan biarkan dia terlalu dekat!" teriak Alcard sambil memacu kudanya lebih cepat, memastikan semua anggota masih bersama-sama.

Dengan suara gemuruh yang semakin menakutkan, orge berkepala dua itu terus mengejar mereka, menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya. Meski demikian, Alcard tetap memimpin dengan ketenangan luar biasa, pikirannya terus bekerja mencari solusi untuk situasi yang semakin genting ini.

Tak peduli seberapa mengerikan makhluk itu, satu hal yang pasti—Alcard tidak akan membiarkan dirinya atau kelompoknya mati di sini. Mereka masih punya misi yang harus diselesaikan.

****

 

Orge berkepala dua itu terus mengejar, langkahnya mengguncang tanah dengan kekuatan luar biasa, membuat dedaunan dan ranting beterbangan ke udara. Nafasnya berat dan geramannya menggema, memburu kelompok Alcard tanpa henti. Di antara suara gemuruh langkah raksasa itu, tiba-tiba terdengar teriakan memilukan.

Salah satu anggota kelompok menjerit saat kudanya tersandung dan berhenti mendadak, tubuhnya hampir terlempar ke depan. Namun, sebelum ia sempat memperbaiki keseimbangannya, balok kayu raksasa yang diayunkan oleh orge menghantamnya dengan kekuatan mengerikan.

-GGGRRRROOOOAAARRRR!!!

Seketika, tubuh Outcast malang itu terlempar ke udara, melayang beberapa detik sebelum menghantam batang pohon besar dengan suara yang memekakkan telinga. Darah memercik, menciptakan noda merah pekat di atas tanah berlumpur. Kudanya jatuh bersamanya, kakinya menendang udara beberapa kali sebelum akhirnya terdiam selamanya.

Salah satu anggota kelompok lainnya menoleh ke belakang, matanya melebar dalam ketakutan. "D-dia sudah mati!" serunya dengan suara yang bergetar.

Alcard merasakan amarah bercampur dengan rasa bersalah menggerogoti dadanya, tetapi ia tidak bisa membiarkan emosi mengendalikan dirinya. Ini bukan saatnya untuk berkabung. Dengan nada keras dan penuh otoritas, ia berteriak, "Diam! Pacu kudamu lebih cepat! Kita tidak punya waktu!"

Kelompok itu memacu kuda mereka dengan sekuat tenaga, berusaha menjauh dari kejaran makhluk raksasa itu. Namun, orge berkepala dua terus mengamuk, menghancurkan pohon-pohon di sepanjang jalannya. Dalam kecepatan tinggi, mereka mencapai hutan yang lebih rapat, memberikan sedikit perlindungan dari makhluk besar itu. Setelah merasa cukup jauh, Alcard mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti di balik deretan pepohonan besar.

Semua anggota kelompok terengah-engah, dada mereka naik turun dengan cepat, jantung mereka masih berdegup kencang. Kuda-kuda yang mereka tunggangi juga kelelahan, napasnya berat dan penuh peluh. Namun, orge itu masih di belakang mereka, dan mereka tidak bisa terus melarikan diri tanpa strategi.

Tanpa membuang waktu, Alcard segera menyusun rencana. Suaranya tajam, tegas, dan tidak terbantahkan. "Kita tidak punya pilihan," katanya. "Kita harus membagi kelompok lagi."

Para anggota kelompok yang tersisa menoleh dengan ekspresi ketakutan. Salah satu dari mereka, dengan nada protes, berseru, "Membagi kelompok lagi? Kita baru saja kehilangan satu orang! Ini terlalu berbahaya!"

Tatapan Alcard berubah tajam, sorot matanya penuh tekanan. "Kalau kita tetap bersama, kita semua akan mati. Dengarkan perintahku!" katanya tanpa kompromi.

Ia menunjuk tiga anggota dengan gerakan cepat. "Kalian bertiga! Pergilah ke tempat peristirahatan sebelumnya. Tunggu di sana setengah hari. Jika kami tidak datang, segera kembali ke The Wall. Jangan menunggu kami."

Salah satu dari mereka, Baluk si pendiam, tampak ragu. "Tapi, Kapten… bagaimana dengan kalian?"

Alcard menatapnya lurus, suaranya lebih dingin dari sebelumnya. "Kami akan memancing orge itu lebih jauh. Itu satu-satunya cara. Jika kalian berhasil, kalian harus membawa bahan itu dengan selamat. Tidak ada kompromi!"

Kelompok kecil yang ditugaskan segera bergerak menjauh, membawa perbekalan dan kantong bahan berharga. Sebelum mereka pergi, Alcard menatap pemimpin kelompok kecil itu dengan tatapan penuh tekanan.

"Ingat," katanya. "Jangan berhenti. Jangan kembali jika kalian tidak melihat kami. Prioritaskan misi, apa pun yang terjadi."

Kini, hanya Alcard dan tiga anggota lainnya yang tersisa. Mereka berusaha menenangkan kuda mereka yang gelisah, sementara dari kejauhan, suara langkah berat orge berkepala dua semakin mendekat.

"Kita harus menariknya ke arah lain," ujar Alcard. Dengan cepat, ia memimpin kelompok kecilnya menuju jalur yang lebih terbuka, sengaja menarik perhatian orge dengan langkah kudanya yang terlihat mencolok.

Makhluk raksasa itu segera menangkap pergerakan mereka dan kembali mengamuk, mempercepat langkahnya. Kedua kepalanya menggeram, tampak berkomunikasi satu sama lain, lalu sepakat untuk tidak melepaskan target mereka.

Sambil terus memimpin kelompok, Alcard berkata tanpa menoleh, "Kita akan memancingnya ke gerombolan goblin. Mereka pasti masih berkeliaran di sekitar sini."

Salah satu anggota kelompok menoleh dengan cemas. "Goblin? Tapi, Bos, mereka juga berbahaya!"

Alcard menjawab cepat, "Lebih baik menghadapi goblin daripada orge ini. Kita bisa membuat mereka bertarung."

Langkah kuda mereka melintasi hutan yang semakin gelap. Suara gemerisik samar, jejak kaki kecil, dan bangkai binatang yang berserakan menjadi tanda bahwa mereka semakin dekat dengan wilayah goblin.

Alcard memperlambat kudanya, memastikan orge tetap berada dalam jarak cukup dekat tetapi tidak terlalu dekat. "Kita harus memastikan orge itu melihat goblin lebih dulu sebelum berhasil menyerang kita," katanya.

Akhirnya, mereka menemukan gerombolan goblin yang sedang berkumpul di sebuah tanah lapang kecil. Ada sekitar belasan makhluk kecil dengan kulit hijau kusam dan mata kekuningan yang menyala. Mereka membawa tombak, pisau, dan senjata seadanya, mengelilingi seekor binatang yang terluka—mungkin hasil buruan mereka.

Alcard memberi isyarat kepada kelompoknya untuk berhenti. Tatapan tajamnya berubah menjadi ekspresi puas ketika melihat jumlah goblin yang cukup banyak. Dengan senyum tipis yang nyaris menyerupai seringai, ia berbisik, "Kita akan memberikan orge itu hadiah istimewa."

Dengan rencana di kepalanya, Alcard siap memanfaatkan keberadaan goblin untuk mengalihkan perhatian orge berkepala dua yang masih memburu mereka. Sekarang, ia hanya perlu sedikit memancing konfrontasi, membuat dua kelompok monster itu saling bertarung—dan memberi mereka kesempatan untuk melarikan diri.

****

 

-GGGRRRROOOOAAARRRR!!!

Raungan menggelegar orge berkepala dua menggema melintasi hutan, mengguncangkan cabang-cabang pohon dan membuat burung-burung yang bertengger di dahan-dahan beterbangan panik. Suara itu bukan hanya menggema di udara, tetapi juga menggetarkan tanah di bawah kaki mereka, memberikan sensasi seolah-olah seluruh hutan berdenyut dalam ketakutan.

Di kejauhan, para goblin yang tengah berburu sontak berhenti dari aktivitas mereka. Makhluk-makhluk kecil berkulit hijau itu saling berpandangan, mengeluarkan suara gaduh dengan bahasa mereka yang kasar dan tidak dimengerti. Beberapa mulai mempersiapkan diri, mengangkat tombak-tombak mereka dengan waspada, menatap ke segala arah untuk mencari sumber ancaman yang datang.

Alcard tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan suara mendesak, ia memberi perintah kepada kelompoknya, "Sekarang saatnya! Kita menerobos ke tengah mereka, jangan melawan goblin! Biarkan orge itu yang mengurus mereka!"

Meskipun beberapa anggota tampak ragu, mereka tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintah. Alcard memacu kudanya terlebih dahulu, menembus formasi goblin dengan kecepatan tinggi. Kuda-kuda mereka menderap melewati kerumunan makhluk itu, menciptakan kekacauan di tengah-tengah mereka. Goblin yang kaget dengan serangan tiba-tiba ini segera bereaksi, melompat ke samping atau mengayunkan tombak-tombak mereka dengan panik, mencoba menyerang kuda-kuda yang melintas.

Beberapa tombak melesat dengan akurasi yang mengejutkan, hampir mengenai para Outcast. Seorang anggota kelompok berseru ketakutan, "Bos, ini terlalu berbahaya!"

"Fokus pada tujuan!" balas Alcard tajam. "Orge harus sampai ke sini! Jangan berhenti!"

Namun, meski mereka berusaha melewati goblin secepat mungkin, musuh kecil itu tetap berbahaya. Salah satu tombak berhasil menembus bahu kanan seorang anggota kelompok, membuatnya tersentak sebelum akhirnya terjatuh dari kudanya.

Teriakan kesakitannya menggema seiring tubuhnya menghantam tanah. Sebelum ia sempat bangkit, goblin-goblin yang sebelumnya panik kini melihat kesempatan emas. Dengan geraman liar, mereka menyerbu ke arahnya. Dalam hitungan detik, tubuhnya tenggelam dalam kerumunan goblin yang mencabik-cabiknya tanpa belas kasihan.

Seorang anggota kelompok yang melihat kejadian itu langsung menarik kendali kudanya, ingin kembali untuk menolong. Namun, Alcard yang menyadari tindakan itu segera berteriak keras, suaranya menggelegar seperti cambukan di udara, "Jangan berhenti! Kita tidak bisa kembali! Jika kau berhenti, kita semua akan mati!"

Dengan mata membelalak dan gigi terkatup rapat, anggota itu menahan air matanya dan kembali melajukan kudanya. Rasa bersalah jelas terukir di wajahnya, tetapi mereka semua tahu bahwa kembali ke sana berarti kematian bagi mereka juga.

Sementara itu, langkah berat orge berkepala dua semakin mendekat. Tanah bergetar hebat di bawah tekanan tubuhnya yang raksasa. Kedua kepalanya bergerak tidak sinkron, satu menatap lurus ke arah kelompok Alcard, sementara yang lainnya mulai menggeram ke arah goblin yang sekarang menyadari bahaya yang jauh lebih besar sedang datang.

Salah satu goblin yang lebih berani melemparkan tombaknya ke arah kaki orge, mencoba melawan. Namun, makhluk raksasa itu hanya menggeram marah dan, dengan satu ayunan balok kayunya, menghantam goblin malang itu hingga tubuhnya remuk dalam sekali pukulan. Darah dan dagingnya tersebar di udara, membuat goblin lainnya mundur beberapa langkah dengan ketakutan.

Alcard melihat pemandangan itu dengan cepat dan segera menyadari bahwa rencananya berhasil. Orge kini sepenuhnya terfokus pada gerombolan goblin, melupakan kelompoknya yang kini semakin menjauh dari tempat kejadian.

"Bagus," gumamnya, meski nada suaranya tetap dingin. "Mereka akan bertarung satu sama lain. Itu cukup untuk memberi kita waktu melarikan diri."

Kelompok yang tersisa, meskipun masih terguncang oleh kematian rekan mereka, mengangguk dan mengikuti Alcard tanpa banyak bicara. Dengan kecepatan penuh, mereka memacu kuda mereka melewati semak-semak dan pepohonan, meninggalkan medan pertempuran yang kini berubah menjadi arena pembantaian antara orge mutasi dan goblin liar.

Raungan kemarahan dan jeritan kesakitan masih terdengar dari belakang mereka, tetapi Alcard tidak menoleh ke belakang. Ia tetap fokus ke depan, memastikan jalur pelarian mereka tetap aman.

Setelah merasa mereka telah cukup jauh, Alcard akhirnya memperlambat laju kudanya dan memberi isyarat kepada kelompoknya untuk berhenti di sebuah area yang cukup tersembunyi. Napas mereka masih berat, tubuh mereka masih tegang, tetapi untuk sesaat, mereka bisa merasa aman.

Tanpa membuang waktu, Alcard segera memberikan instruksi, suaranya tetap tegas meskipun kelelahan jelas terlihat di wajahnya. "Kita kembali ke tempat peristirahatan kemarin. Regroup di sana, lalu segera pulang ke The Wall."

Para anggota kelompok, yang masih diliputi ketegangan dan rasa kehilangan, hanya bisa mengangguk. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang mempertanyakan perintah itu. Mereka hanya ingin segera meninggalkan tempat ini dan kembali ke tempat yang lebih aman.

Dengan langkah berat, mereka mulai bergerak kembali ke arah utara, menjauh dari kegelapan Gunung Orcal. Mereka tahu bahwa mereka telah kehilangan beberapa orang dalam misi ini, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka telah menyelesaikan tujuan mereka. Kini, yang tersisa hanyalah perjalanan pulang yang panjang—dan bayangan pertempuran yang akan terus menghantui mereka.

****

 

Saat matahari mulai meredup di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat merah keemasan, Alcard dan kelompoknya yang tersisa akhirnya tiba di tempat peristirahatan terakhir mereka sebelum kembali ke The Wall. Di sana, dua anggota yang lebih dulu membawa Folwestian Bloom dan Rotrofila Root, Ridham dan Jarren, telah menunggu dengan cemas. Bersama mereka, kelompok Baluk juga telah tiba lebih awal. Wajah mereka penuh ketegangan, mencerminkan kekhawatiran yang tak terucapkan saat melihat jumlah orang yang kembali lebih sedikit dari yang berangkat.

Kini, mereka hanya tersisa sembilan orang dari misi awal. Itu mungkin bisa dianggap sebagai pencapaian mengingat bahwa mereka menghadapi orge berkepala dua, makhluk mutasi yang jauh lebih kuat dari musuh biasa. Namun, kehilangan dua rekan tetap menjadi luka yang sulit diterima.

Dengan raut wajah tegang, Ridham segera bangkit dari tempat duduknya dan bertanya dengan nada cemas, "Senior, apakah kalian baik-baik saja? Kami mendengar suara raungan dari arah gunung."

Alcard tidak langsung menjawab. Sorot matanya tetap dingin, tetapi ada beban di dalamnya. Dengan nada datar, ia akhirnya berkata, "Kami kehilangan dua orang. Tapi, kita berhasil membawa apa yang kita perlukan."

Tak ada ekspresi berlebihan dalam suaranya, tapi kalimat itu cukup untuk menimbulkan kesunyian yang menekan di antara mereka. Beberapa anggota kelompok yang baru bergabung dalam tim tampak menundukkan kepala, menyadari kerasnya kenyataan yang baru saja mereka hadapi.

Alcard kemudian memeriksa kantong berisi Folwestian Bloom dan Rotrofila Root. Dengan teliti, ia memastikan bahwa semua bahan tetap utuh dan aman. Itu adalah prioritas utama mereka, karena tanpa bahan ini, pengorbanan yang telah terjadi akan menjadi sia-sia. Meski demikian, kondisi kelompoknya tidak bisa dikatakan baik. Beberapa anggota mengalami luka ringan akibat perjalanan dan pertempuran yang berat. Wajah mereka letih, dengan keringat dan debu yang masih menempel di kulit mereka. Kuda-kuda yang mereka tunggangi tampak kelelahan luar biasa, beberapa di antaranya bahkan nyaris roboh karena kurangnya istirahat dan perjalanan yang begitu panjang.

Salah satu anggota kelompok yang bertugas membawa perbekalan berbicara dengan nada serius, "Bos, persediaan makanan dan air kita sudah habis. Semua bekal terakhir kami habiskan pagi tadi saat menunggu di sini."

Alcard mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang menimbang langkah berikutnya dengan hati-hati. Tak ada waktu untuk berduka atau beristirahat lebih lama. Dengan kondisi yang mereka hadapi, keputusan harus segera diambil.

Akhirnya, ia berbicara dengan nada tegas, "Kita tidak punya pilihan. Kita harus segera bergerak ke utara. Semakin cepat kita meninggalkan wilayah ini, semakin besar peluang kita untuk bertahan. Kita tidak bisa mengambil risiko tetap tinggal di sini."

Setelah memeriksa kondisi setiap anggota, ia memberikan instruksi berikutnya, "Istirahatkan kuda selama lima menit. Gunakan waktu itu untuk menenangkan diri, atur napas, dan pastikan perlengkapan kalian masih lengkap. Setelah itu, kita lanjutkan perjalanan tanpa berhenti."

Meskipun beberapa anggota tampak ragu dan masih ingin lebih banyak waktu untuk memulihkan diri, mereka tahu bahwa keputusan Alcard adalah yang terbaik. Tak ada ruang untuk perdebatan. Perjalanan mereka belum selesai.

Dengan suara lebih serius, Alcard menambahkan, "Kita masih berada di wilayah dalam hutan selatan. Jika kita tetap di sini, kita hanya menunggu kematian datang menjemput."

Tanpa banyak kata, anggota kelompok mulai melakukan persiapan. Beberapa orang membantu menenangkan kuda, sementara yang lain memeriksa senjata dan perlengkapan mereka. Meski tubuh mereka penuh kelelahan, mereka tidak punya pilihan selain terus maju.

Lima menit berlalu lebih cepat dari yang mereka kira. Saat waktu yang ditentukan habis, Alcard memberi isyarat agar mereka kembali bergerak. Dengan langkah hati-hati, mereka mulai menyusuri jalur setapak yang sudah mereka gunakan sebelumnya, berusaha menghindari jalur yang terlalu terbuka atau berisiko tinggi.

Dalam perjalanan, Baluk mendekati Alcard dengan langkah ragu. Wajahnya menunjukkan keraguan, dan dengan suara lemah, ia bertanya, "Kapten… kita sudah kehilangan dua orang. Apa menurutmu misi ini benar-benar sepadan dengan semua pengorbanan ini?"

Alcard meliriknya sekilas, matanya tetap tajam meski terlihat sedikit lebih dalam dari biasanya. Ia menghela napas, lalu menjawab dengan nada tenang tetapi tegas, "Kita adalah Outcast. Hidup kita sudah dibuang sejak awal. Tapi kegagalan misi ini tidak hanya berarti kehilangan hidup kita. Itu juga berarti kita mengorbankan semua nyawa yang bergantung pada The Wall."

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum menambahkan dengan nada yang lebih dingin, "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."

Kata-kata Alcard membuat anggota itu terdiam. Meskipun sederhana, jawabannya mengandung kebenaran yang tak bisa dibantah. Ini bukan sekadar misi untuk bertahan hidup bagi mereka, tapi juga untuk mereka yang bergantung pada Bloody Potion yang hanya bisa didapatkan dengan mengorbankan nyawa.

Para anggota lainnya, yang mendengar percakapan itu, juga ikut terdiam. Namun, meskipun mereka tidak mengatakan apa-apa, sorot mata mereka mulai menunjukkan pemahaman yang lebih dalam. Tidak ada yang menginginkan kematian, tetapi mereka tahu bahwa tanpa mereka, lebih banyak nyawa akan jatuh di The Wall.

Dengan tekad yang kembali menguat, kelompok itu terus bergerak menuju utara. Meskipun fisik mereka melemah, perbekalan mereka habis, dan kehilangan masih terasa di benak mereka, mereka tahu satu hal: mereka harus menyelesaikan misi ini. Tidak hanya untuk mereka sendiri, tetapi untuk setiap Outcast yang masih berjuang menjaga The Wall agar tetap berdiri.

Langkah demi langkah, mereka menjauh dari kegelapan benua selatan. Di kejauhan, matahari telah tenggelam sepenuhnya, meninggalkan langit berwarna kelam. Namun, bagi mereka, perjalanan masih belum berakhir. Satu-satunya pilihan adalah terus melangkah—karena kembali hidup-hidup adalah satu-satunya kemenangan yang bisa mereka bawa pulang.

***

 

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, kelompok Alcard akhirnya mulai melihat siluet The Wall di kejauhan, meski tak ada cahaya rembulan yang menyinari. Tembok raksasa yang menjulang lebih dari seratus meter itu berdiri megah, meskipun beberapa bagiannya telah runtuh dan terkikis waktu. Namun, keberadaannya tetap membawa secercah harapan bagi para Outcast yang kini nyaris mencapai batas ketahanan mereka. Matahari senja memancarkan cahaya keemasan, menciptakan bayangan panjang dari struktur megah itu, seolah memberi perlindungan bagi mereka yang telah berjuang mati-matian di wilayah selatan.

Salah satu anggota kelompok, dengan napas tersengal-sengal, berseru dengan nada penuh kelegaan, "Temboknya terlihat... kita hampir sampai."

Yang lain menimpali, suaranya dipenuhi harapan yang hampir pupus, "Akhirnya... kita bisa selamat."

Alcard tetap diam, meskipun pikirannya berputar cepat. Ia tidak pernah membayangkan bahwa misi yang seharusnya hanya tentang pengumpulan bahan Bloody Potion akan berkembang menjadi bencana sebesar ini. Dalam skenario terburuk yang ia bayangkan sebelumnya, misi ini mungkin akan menemui kesulitan—serangan monster liar, kelelahan ekstrem, atau mungkin pertarungan melawan satu atau dua musuh yang lebih kuat. Namun, tak pernah sekali pun terpikir olehnya bahwa mereka akan memancing kemunculan salah satu monster mutasi paling langka yang hampir sebanding dengan orc, makhluk yang sudah dianggap punah. Jika dalam perjalanan kembali mereka bertemu kelompok orc yang sesungguhnya, Alcard tahu bahwa misi ini pasti akan gagal total. Dalam keadaan terpaksa, ia bahkan telah menyiapkan rencana darurat: mengirim dua anggota kelompoknya untuk kabur membawa keempat kantong Folwestian Bloom dan Rotrofila Root, bahkan jika itu berarti mengorbankan seluruh kelompok yang tersisa.

Namun, harapan yang baru saja muncul itu hancur seketika.

Dari arah belakang, raungan yang mengguncang langit tiba-tiba meledak, bergema ke seluruh hutan. Suara menggelegar itu mengirimkan getaran mengerikan yang menusuk ke dalam dada setiap anggota kelompok. Alcard langsung menoleh, matanya membulat saat melihat siluet raksasa yang kini muncul di kejauhan—orge berkepala dua yang mereka tinggalkan di Gunung Orcal. Makhluk itu bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk ukurannya, seolah dendamnya terhadap mereka telah memberinya dorongan kekuatan yang baru.

Namun itu belum semuanya.

Di belakang orge, kawanan monster mutasi yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang pernah mereka hadapi kini bergerak maju, seperti pasukan kematian yang muncul dari kegelapan. Orge mutasi bertubuh lebih kecil namun tetap mengintimidasi, bergabung dalam formasi liar mereka. Goblin mutasi dengan senjata primitif berlarian dalam gerombolan besar, mata mereka bersinar liar dalam cahaya senja. Direwolf raksasa dengan bulu yang ditumbuhi duri hitam berlari dengan gesit, taring mereka berkilauan dalam cahaya yang tersisa. Semua makhluk itu bergerak serempak, dipimpin oleh orge berkepala dua yang tampak seperti perwujudan mimpi buruk.

Alcard langsung menyadari kesalahannya.

Ia mengumpat dalam hati, "Sial… Aku terlalu meremehkan mereka. Kupikir mereka tidak akan mengejar sejauh ini."

Tak ada waktu untuk berpikir lebih lama. Dengan suara lantang yang menggema di tengah kepanikan, Alcard berteriak, "Lari! Lari demi hidup kalian!"

Seolah tersengat listrik, kelompoknya segera memacu kuda mereka yang sudah kelelahan. Wajah-wajah mereka penuh kepanikan, tetapi mereka mengikuti perintah tanpa ragu. Tidak ada pilihan lain selain berlari secepat mungkin menuju The Wall.

Namun, salah satu anggota kelompok, dengan suara yang hampir putus asa, berseru, "Kuda kita tidak akan bertahan! Mereka terlalu lelah!"

Alcard membalas dengan suara tajam yang tak memberikan ruang bagi keraguan, "Kalau kita berhenti, mereka tidak hanya akan membunuh kita! Mereka akan mencabik-cabik tubuh kita! Terus lari!"

Kawanan monster itu semakin mendekat, dengan orge berkepala dua memimpin di barisan depan. Balok kayu raksasa yang digenggamnya menghantam pohon-pohon di jalurnya, menciptakan suara tumbukan yang begitu keras hingga mengguncang tanah. Getaran langkah mereka terasa hingga ke tulang, membuat beberapa kuda hampir kehilangan keseimbangan.

Alcard tetap berada di bagian belakang kelompok, memastikan semua anggota terus bergerak maju. Ia tidak peduli jika dirinya harus menjadi yang terakhir, yang penting misi ini harus berhasil. Dengan suara keras, ia terus meneriakkan perintah, "Jangan berhenti! Kita hampir sampai!"

Namun, ancaman di belakang mereka semakin besar. Orge berkepala dua itu mengayunkan balok kayunya ke samping, menghancurkan deretan pohon yang berdiri di jalurnya. Goblin mutasi mulai melemparkan tombak kecil mereka, beberapa hampir mengenai anggota kelompok yang sedang berlari. Direwolf dengan kecepatan luar biasa berusaha mengejar dari sisi kiri, taring mereka siap merobek siapa pun yang tertinggal.

Tetapi di depan, The Wall semakin jelas terlihat.

Bayangan hitam raksasa tembok itu menjulang di cakrawala, seolah menjadi benteng terakhir bagi para Outcast yang hampir putus asa. Gerbang besar dari logam tebal masih tertutup rapat, tetapi mereka tahu bahwa pos pengawas di atas tembok The Wall telah melihat mereka. Alcard hanya berharap mereka bisa mencapai gerbang sebelum musuh mengejar.

Langkah kaki monster yang semakin dekat seolah memburu waktu mereka.

Saat Alcard kembali menoleh ke belakang, ia tahu bahwa hanya ada satu pertanyaan yang tersisa:

Apakah mereka akan mencapai The Wall sebelum semua terlambat?

Tidak ada waktu untuk memikirkan jawaban. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah terus berlari—mereka hanya butuh beberapa detik lagi untuk menentukan apakah ini adalah kemenangan atau kehancuran.

****