Bab 9

Angin dingin senja yang telah menghilang, berhembus di puncak The Wall, membawa aroma tanah kering dan baja yang berkarat. Seorang penjaga berdiri di atas menara pengawas, memegang teropong tua yang permukaannya sudah penuh goresan akibat bertahun-tahun digunakan. Pandangannya menyapu ke arah hutan selatan, wilayah yang biasanya sunyi dan tak banyak bergerak kecuali hembusan angin. Namun, sesuatu yang berbeda terjadi hari ini.

Pepohonan di kejauhan bergoyang dengan cara yang tidak wajar. Burung-burung yang biasanya bertengger di dahan-dahan tinggi tiba-tiba beterbangan dalam kawanan besar, melarikan diri ke segala arah seolah sedang menghindari sesuatu. Dari jauh, samar-samar terdengar suara gemuruh yang dalam dan berat—seperti langkah kaki raksasa yang mengguncang bumi. Penjaga itu menegang, tangannya mencengkeram gagang teropong lebih erat. Nalurinya mengatakan bahwa ini bukan gangguan biasa.

Tanpa ragu, ia segera meraih tali lonceng peringatan dan membunyikannya dengan sekuat tenaga. Suara nyaring itu menggema di seluruh benteng, memberi tanda bahaya yang tak bisa diabaikan. Dengan suara lantang, ia berteriak sekuat tenaga, "Serangan monster! Gerakan besar di hutan selatan! Semua bersiap!"

Di markas pusat, Oldman sedang duduk di meja kayu besar yang penuh dengan gulungan peta dan catatan logistik. Ia tengah meneliti laporan persediaan ketika suara lonceng darurat menggema di seluruh penjuru The Wall. Seolah nalurinya langsung bekerja, ia bangkit dari kursinya dengan cepat, matanya menyipit penuh kewaspadaan. Langkah-langkah tergesa-gesa terdengar dari lorong, sebelum seorang Outcast datang berlari, wajahnya pucat dan napasnya tersengal.

"Apa yang terjadi?" suara Oldman terdengar dalam dan tegas, tidak menunjukkan kepanikan sedikit pun.

Outcast itu dengan cepat menjawab, "Penjaga di atas The Wall melaporkan serangan besar dari hutan selatan! Mereka bilang jumlahnya sangat banyak!"

Tanpa membuang waktu, Oldman langsung berjalan menuju lift tua yang dibuat oleh kaum Dwarf. Meskipun sudah berusia ratusan tahun dan berderit dengan suara logam yang aus, mekanismenya masih cukup kuat untuk mengangkat manusia ke puncak The Wall. Ia melangkah masuk dengan sikap penuh wibawa.

"Naikkan aku ke atas, cepat!" perintahnya pada benda mati tersebut.

Begitu lift mencapai puncak, Oldman keluar dan segera merebut teropong dari tangan salah seorang penjaga. Apa yang ia lihat di kejauhan membuat napasnya tertahan sejenak. Di antara bayangan pepohonan yang bergerak liar, terlihat ratusan monster mutasi yang berlari ke arah The Wall. Barisan terdepan dipimpin oleh sosok yang lebih besar dari yang lain—orge berkepala dua, tubuhnya mengerikan, membawa balok kayu raksasa yang bisa menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya. Di belakangnya, lebih banyak orge mutasi berkepala satu berlari dengan gerakan liar. Goblin mutasi dengan kulit kehitaman dan mata bersinar merah membawa tombak dan pedang kasar, mengeluarkan pekikan ganas. Di antara mereka, direwolf raksasa berlari lincah, bulunya dipenuhi duri tajam yang berkilauan di bawah cahaya matahari senja.

Oldman menarik napas dalam-dalam, ekspresinya mengeras. "Sialan… Ini jauh lebih buruk dari yang aku bayangkan."

Saat ia menggeser teropongnya sedikit lebih jauh ke depan barisan monster, matanya menangkap sesuatu yang lain—sekelompok manusia yang melarikan diri dengan kecepatan penuh, hanya beberapa langkah di depan kawanan monster itu. Salah satu di antaranya, dengan rambut hitam dan long sword di punggungnya, tampak memimpin kelompok kecil itu. Oldman langsung mengenali siapa orang itu.

"Itu Alcard!" serunya, rahangnya mengencang.

Penjaga di sampingnya ikut mengintip ke arah yang sama. "Siapa mereka? Apakah mereka yang dikirim untuk misi pembersihan monster?" tanyanya, tampak bingung.

Oldman menggeleng cepat. "Mereka adalah kelompok Alcard! Mereka kembali dari misi mengumpulkan bahan bloody potion di selatan, tapi mereka sedang dikejar!" Tanpa ragu, ia langsung berbalik dan berteriak ke arah para penjaga lainnya, suaranya menggema di seluruh puncak benteng. "Buka gerbang! Cepat! Semua bersiap untuk pertempuran besar!"

Lonceng darurat dipukul berkali-kali sekali lagi, memberi sinyal bagi para Outcast di seluruh markas untuk bergerak. Dalam sekejap, pasukan pemanah naik ke posisi mereka di atas tembok The Wall, menyiapkan busur dan anak panah mereka. Para prajurit di bawah segera mengambil senjata dan membentuk barisan pertahanan di depan gerbang besar, yang perlahan mulai terbuka dengan suara berderit dari mekanisme rantai baja yang telah lama berkarat.

Di kejauhan, Alcard dan kelompoknya terus memacu kuda mereka dengan tenaga yang tersisa. Kuda-kuda itu nyaris kehabisan napas, otot-otot mereka tegang akibat perjalanan panjang dan ketegangan dari pengejaran yang tak henti-hentinya. Hanya beberapa langkah di belakang mereka, orge berkepala dua meraung marah, semakin mempercepat langkahnya. Goblin mutasi berlari dengan mata liar, senjata primitif mereka teracung, siap membunuh. Direwolf mutasi melesat dari sisi kiri dan kanan, mengepung seperti pemburu yang menunggu momen tepat untuk menerkam mangsa mereka.

Raungan orge berkepala dua terdengar semakin dekat, seperti lonceng kematian yang membayangi mereka.

Oldman berdiri di tepi tembok, matanya menatap ke bawah dengan penuh ketegangan. Ia berteriak lantang, "Lindungi mereka! Kita tidak hanya menyelamatkan alcard dan kelompoknya, tapi juga memastikan monster-monster ini tidak menembus the wall!"

Busur-busur ditarik, anak panah diarahkan, dan pedang-pedang bersinar dalam cahaya matahari yang hampir tenggelam. Para Outcast bersiap menghadapi gelombang kematian yang sebentar lagi akan menerjang. Di bawah sana, Alcard dan kelompoknya berpacu dengan waktu, mencoba mencapai gerbang sebelum monster-monster itu merenggut nyawa mereka.

Saat derit gerbang besar semakin terbuka, hanya satu pertanyaan yang tersisa di benak semua orang di atas tembok The Wall.

Apakah mereka akan berhasil masuk sebelum monster-monster itu mencapai mereka?

Dan jika mereka tidak berhasil… Apakah The Wall akan sanggup menahan badai kegelapan yang semakin mendekat?

****

 

Di bawah langit malam yang kelam, rembulan tersembunyi di balik gumpalan awan pekat yang melayang di atas benteng raksasa The Wall. Cahaya redup dari obor yang dipasang di sepanjang tembok hanya memberikan sedikit penerangan, sementara angin dingin berembus membawa aroma tanah dan darah yang pekat.

Di kejauhan, kelompok Alcard semakin dekat dengan gerbang besar yang perlahan terbuka. Suara rantai baja berderit saat mekanisme tua yang menggerakkan pintu kayu raksasa itu berfungsi, mengeluarkan bunyi berat yang bergema di udara. Setiap detik terasa begitu berharga, sementara bayangan monster yang mengejar mereka semakin besar, semakin dekat, mengintai seperti kematian yang tak bisa dihindari.

Di atas tembok The Wall, barisan pemanah Outcast telah bersiap di posisi mereka. Anak panah berujung api sudah tertancap di tali busur, siap dilepaskan kapan saja. Cahaya kecil dari nyala api pada ujung panah mereka berkilauan di tengah kegelapan, menciptakan pemandangan yang menegangkan. Di bawah, tepat di depan gerbang, lapisan minyak yang telah disebar di tanah berlumpur mengkilap, menunggu untuk dinyalakan sebagai pertahanan terakhir jika monster-monster itu berhasil menerobos terlalu dekat.

Alcard menoleh ke belakang, melihat wajah-wajah lelah namun penuh tekad dari rekan-rekannya. Nafas mereka terengah-engah, kuda-kuda yang mereka tunggangi sudah hampir kehabisan tenaga. Namun, ini bukan saatnya untuk menyerah.

"Jaga fokus! Jangan panik! Kita hampir sampai!" teriaknya dengan suara lantang.

Kuda-kuda mereka berlari dengan langkah-langkah berat, menerobos gerbang yang masih terbuka sebagian. Para penjaga di dalam segera bergerak cepat, menyambut mereka dengan formasi pertahanan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tanpa menunggu lama, mereka menarik kendali kuda, menuntun kuda-kuda mereka ke tempat yang aman sementara Alcard dan beberapa orang lainnya turun, melepaskan kantong berisi bahan-bahan penting yang mereka bawa sepanjang perjalanan.

"Masuk ke formasi! Segera tutup gerbang!" seru Alcard dengan suara penuh kewaspadaan.

Alcard dan kelompoknya turun dan memasuki barisan outcast, membiarkan hanya kuda-kuda mereka yang berhasil memasuki benteng, gerbang besar The Wall segera tertutup rapat di belakang mereka. Rantai-rantai baja ditarik dengan tenaga penuh, memastikan pintu itu terkunci rapat, mengeluarkan bunyi dentuman keras yang menggema.

Di depan gerbang, para Outcast sudah bersiap dalam barisan pertahanan. Mereka berdiri tegak dalam formasi, mengenakan armor sederhana yang mereka miliki, tangan mereka mencengkeram erat senjata masing-masing. Beberapa membawa perisai besar yang ditempa dari baja kasar, sementara yang lain memegang tombak atau pedang panjang. Wajah mereka mungkin menunjukkan ketegangan, tetapi mata mereka dipenuhi tekad untuk bertarung.

Alcard berdiri di garis depan, pandangannya terarah ke luar melalui celah kecil di gerbang yang masih bergetar akibat dorongan dari kawanan monster di luar. Orge berkepala dua berdiri di tengah barisan musuh, tubuhnya yang besar bergetar dengan amarah. Matanya yang bersinar merah menyala penuh kebencian, sementara mulutnya mengeluarkan raungan panjang yang mengguncang udara, membuat beberapa pemula di barisan belakang merinding.

Dari atas tembok The Wall, panah-panah api akhirnya dilepaskan. Seperti hujan cahaya, mereka melesat menembus kegelapan, jatuh ke barisan monster mutasi di depan. Beberapa panah mengenai langsung tubuh makhluk-makhluk itu, menyalakan kobaran api yang membakar kulit dan daging mereka. Beberapa lainnya menghantam lahan berlumpur yang telah dilumuri minyak, menciptakan dinding api besar yang membentang di hadapan The Wall.

Oldman, berdiri tegak di atas tembok The Wall, menyaksikan medan pertempuran dengan tatapan tajam. Sesaat, matanya bertemu dengan Alcard yang berada di bawah, di barisan pertahanan terdepan. Tanpa perlu kata-kata, Oldman mengangguk kecil—sebuah isyarat yang penuh kepercayaan.

"Pertempuran ini tidak akan mudah."

Alcard menarik napas dalam, lalu mengangkat pedangnya ke udara, suaranya menggema dalam komando tegas, "Minum Bloody Potion kalian!"

Serentak, para Outcast di barisan depan mengeluarkan botol kecil dari kantong mereka. Cairan merah gelap di dalamnya berkilauan di bawah cahaya api sebelum mereka meneguknya tanpa ragu. Dalam hitungan detik, efek potion mulai terasa. Otot-otot mereka menegang, darah mereka terasa panas, dan energi baru mengalir di dalam tubuh mereka. Aura merah samar menyelimuti tubuh mereka, menandakan kekuatan luar biasa yang kini mengalir dalam darah mereka.

Gelombang pertama monster menerjang, melewati sisa-sisa api yang mulai meredup. Goblin mutasi berlari dengan gerakan liar, mata mereka menyala dalam gelap, pedang dan tombak mereka diarahkan ke pertahanan The Wall. Direwolf mutasi melompat dari sisi-sisi gelap, mencoba menerobos barisan pertahanan. Di belakang mereka, orge berkepala dua bersiap mengayunkan balok kayunya, siap menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.

Alcard mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi, lalu berteriak dengan suara lantang yang memecah kegelisahan di udara, "Tahan formasi! Bersiap untuk serangan!"

Para Outcast di barisan depan langsung merapatkan barisan, mengangkat perisai dan senjata mereka. Tombak diarahkan ke depan, siap menusuk siapa pun yang berani mendekat. Mereka berdiri kokoh, meski gelombang monster yang menyerang tampak seperti gelombang pasang yang tidak akan pernah surut.

Raungan orge berkepala dua sekali lagi mengguncang udara. Dengan langkah-langkah berat, ia maju ke depan, memimpin kawanan monster dalam serangan brutal. Kobaran api dari jebakan minyak yang sempat menahan mereka kini mulai memudar, membuka jalan bagi mereka yang selamat untuk menerjang tanpa ampun.

Benturan pertama terjadi.

Goblin pertama yang berhasil menerobos dihantam oleh salah satu Outcast dengan tamengnya, sebelum pedang tajam menebas lehernya. Darah hitam muncrat ke tanah, tetapi tak ada waktu untuk mundur. Serangan lain datang bertubi-tubi. Alcard sendiri berada di garis depan, mengayunkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa, membelah makhluk-makhluk itu satu per satu. Tubuhnya bergerak seperti bayangan di antara darah dan kobaran api.

Di sisi lain, para Outcast veteran bertarung dengan penuh keberanian. Pedang mereka berkilat dalam gelap, menebas dan menusuk tanpa henti. Para pemula, meski beberapa sempat gentar, berjuang keras untuk tetap bertahan, mengikuti ritme pertarungan yang semakin kacau.

Suara benturan senjata, pekikan monster, dan teriakan manusia bercampur menjadi satu. Darah mengalir di tanah, bercampur dengan abu dan api yang terus membakar sisa-sisa jebakan minyak. Meski jumlah musuh seakan tak pernah habis, barisan Outcast tetap berdiri tegak.

Malam itu, The Wall menjadi saksi pertempuran hidup dan mati.

Dan di garis depan, Alcard terus berjuang tanpa gentar, bertekad memastikan bahwa monster-monster ini tidak akan pernah melewati gerbang yang mereka lindungi dengan nyawa mereka.

****

 

Di tengah malam yang kelam, di bawah langit yang diselimuti awan pekat, pertempuran masih berlangsung dengan keganasan yang tak berkurang. Gerombolan monster mutasi terus mengamuk, menyerang The Wall dengan kekuatan yang seolah tak habis-habisnya. Raungan, jeritan, dan suara benturan senjata berpadu dalam simfoni kekacauan yang menggema di sepanjang benteng raksasa. Bau darah bercampur dengan asap dari panah api yang membakar tubuh-tubuh monster yang jatuh, sementara tanah basah oleh campuran darah dan keringat para pejuang.

Di garis depan, Alcard tetap memimpin, matanya tajam mengawasi medan pertempuran, mencari celah untuk mengubah jalannya pertempuran. Orge mutasi berkepala dua, yang lebih besar dan lebih mematikan dari semua makhluk lain di medan ini, masih menjadi ancaman utama. Makhluk raksasa itu mengayunkan balok kayu raksasanya, menciptakan hempasan dahsyat yang menghancurkan segala yang ada di jalurnya.

Di sekeliling orge berkepala dua, goblin mutasi dan orge berkepala satu terus menerjang, berusaha menembus barisan pertahanan yang mulai melemah. Direwolf mutasi, dengan taring dan bulu penuh duri hitam, melompat ke tengah formasi Outcast, mencabik-cabik mereka yang tak sempat menghindar. Medan perang berubah menjadi pertarungan brutal tanpa henti.

Alcard tidak tinggal diam. Dengan suara yang menggema di antara suara perang, ia memberikan perintah tegas, "Pemula! Jangan dekati orge berkepala dua! Fokus habisi goblin dan orge berkepala satu! Bertarunglah dalam kelompok, jangan bergerak sendirian!"

Ia menatap para Outcast senior dengan penuh keyakinan dan berteriak, "Senior! Alihkan perhatian orge berkepala dua! Buat barisan pertahanan dan lindungi para pemula! Bunuh direwolf yang paling kuat sebelum mereka menghancurkan formasi kita!"

Dengan sigap, para Outcast bergerak sesuai perintah. Meski tubuh mereka sudah kelelahan, para senior maju ke depan, menghadapi langsung orge berkepala dua. Setiap kali makhluk raksasa itu mengayunkan balok kayunya, mereka berusaha menghindar dan menyerang dari celah yang ada. Namun, satu kesalahan fatal terjadi—seorang Outcast senior yang bergerak terlalu dekat dihantam langsung oleh balok raksasa itu. Tubuhnya terlempar jauh dengan suara tulang yang patah, menghantam tembok dengan kekuatan yang cukup untuk meremukkan tubuh manusia.

Alcard melihat kejadian itu dan langsung berteriak, "Jaga jarak dari orge itu! Jangan biarkan dia memecah formasi kita!"

Sementara itu, para goblin terus menyerang dengan brutal, melompat ke arah barisan depan dengan cakarnya yang tajam. Beberapa pemula berhasil menahan mereka, bekerja dalam kelompok untuk menangkis serangan, tetapi beberapa lainnya tak sempat bereaksi, jatuh tersungkur dan menjadi korban dari serangan liar para goblin.

Pedang Alcard melesat cepat menuju titik lemah musuhnya. Ia menyerang tanpa ragu, menebas satu orge berkepala satu dalam satu ayunan kuat, membuat makhluk itu roboh dengan darah hitam menyembur dari lehernya.

Namun, situasi masih belum berpihak pada mereka. Jumlah musuh terlalu banyak, dan tekanan di barisan depan semakin besar. Tepat saat keadaan mulai terdesak, gerbang The Wall sedikit terbuka. Dari baliknya, pasukan tambahan muncul.

Oldman, yang sebelumnya mengamati dari atas The Wall, kini turun ke medan perang bersama para pemanah dan pasukan tambahan. Panah-panah api mulai menghujani monster-monster di barisan belakang, menciptakan celah dalam formasi musuh. Tombak-tombak dilemparkan dari kejauhan, menembus tubuh goblin dan orge yang tak menyadari serangan datang dari atas.

Dengan tongkat kayunya di tangan, Oldman berdiri di atas reruntuhan kecil dan berteriak lantang, "Outcast! Pertaruhkan hidup kalian di sini! Tidak ada yang boleh mundur!"

Kini, seluruh kekuatan yang tersisa di The Wall telah bergabung dalam pertempuran. Para pemanah yang biasanya berjaga di atas kini turun ke garis depan, menghunus pedang dan tombak mereka, bertarung berdampingan dengan rekan-rekan mereka yang sudah sejak awal berada di medan perang.

Formasi perlahan mulai stabil. Alcard tetap berada di garis depan, memimpin serangan dengan pedangnya yang menebas tanpa henti, sementara Oldman mengoordinasikan strategi dari belakang, memberikan instruksi kepada pasukan tambahan yang baru saja tiba.

Orge berkepala dua masih menjadi ancaman terbesar. Para Outcast senior berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan perhatiannya, menyerang dengan serangan cepat dan mundur sebelum terkena balok kayu raksasa itu. Namun, setiap serangan yang mereka lakukan hanya meninggalkan luka-luka kecil di tubuh raksasa itu—tidak cukup untuk menjatuhkannya.

Di sisi lain medan perang, para pemula yang awalnya ketakutan mulai menemukan ritme bertarung mereka. Mereka bekerja sama, menahan serangan goblin dengan strategi yang lebih terkoordinasi, membentuk barisan yang saling melindungi. Kepercayaan diri mereka tumbuh seiring dengan setiap goblin yang mereka tumbangkan.

Dari belakang, Oldman mengangkat tangannya dan berteriak, "Gunakan jebakan! Ledakkan mereka sekarang!"

Beberapa Outcast segera bergerak cepat, menyalakan sumbu jebakan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dalam hitungan detik, ledakan terjadi. Tanah di bawah kaki goblin dan orge yang berada di garis depan runtuh, sementara kobaran api menyebar ke berbagai arah, membakar mereka yang terlalu dekat. Suara teriakan monster yang terbakar menggema di seluruh medan perang, menciptakan kehancuran yang semakin menguntungkan pihak Outcast.

Namun, meski banyak dari mereka yang sudah tumbang, musuh-musuh yang tersisa tetap menyerang dengan keganasan yang sama. Darah, api, dan bau kematian semakin kuat terasa di udara.

Di bawah bayang-bayang kokohnya The Wall, para Outcast terus bertarung dengan tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu, tidak ada tempat untuk lari, tidak ada ruang untuk mundur. Jika mereka gagal, The Wall akan runtuh, dan Middle Earth akan jatuh dalam kekacauan yang lebih besar.

Dengan semangat yang membara dan pedang yang masih berlumuran darah, Alcard kembali mengangkat senjatanya tinggi-tinggi, suaranya menggema di atas medan perang, "Bertahan! Jangan menyerah! Kita adalah tembok terakhir yang melindungi Middle Earth!"

Pertempuran belum usai, tetapi satu hal yang pasti—mereka akan bertarung sampai titik darah penghabisan.

****

 

Di tengah malam yang semakin pekat, pertempuran di depan The Wall berubah menjadi perlawanan brutal yang menguras tenaga dan nyawa. Cahaya dari kobaran api jebakan masih membara, menerangi bayangan-bayangan yang bergerak cepat dalam pertarungan tanpa akhir. Namun, meski api berkobar dan pedang masih beradu, semakin jelas bahwa pasukan Outcast mulai kehilangan keunggulan.

Darah mengalir deras di atas tanah yang telah menjadi lautan mayat dan puing. Para pemula yang kurang pengalaman mulai kelelahan menghadapi gempuran tanpa henti dari goblin mutasi, direwolf liar, dan orge berkepala satu yang semakin ganas. Ketakutan mulai merayap di wajah mereka, tangan yang memegang senjata mulai gemetar, dan langkah kaki yang tadinya mantap kini goyah oleh kelelahan dan keputusasaan.

Sementara itu, Alcard tetap berdiri tegak di garis depan, meski tubuhnya mulai dipenuhi luka dari serangan yang lolos melewati pertahanannya. Dengan napas berat dan darah mengalir dari lengan kirinya, ia tetap menggenggam erat pedangnya yang berlumuran darah monster. Suaranya yang lantang tetap menjadi komando yang menghidupkan semangat para Outcast.

"Jaga formasi! Jangan biarkan mereka menembus pertahanan kita!" teriaknya dengan suara penuh ketegasan. "Habisi monster terkuat! Biarkan pemula menangani goblin dan direwolf! Kita harus bertahan!"

Namun, meskipun banyak orge berkepala satu telah berhasil ditumbangkan, ancaman terbesar masih berdiri di tengah medan perang: orge berkepala dua, makhluk raksasa yang belum menunjukkan tanda-tanda kelemahan meski telah menerima banyak luka. Kedua kepalanya terus bergerak liar, satu meraung dalam kemarahan, sementara yang lain menatap pasukan Outcast dengan kebencian yang mendalam.

Melihat situasi yang semakin berbahaya, Alcard segera memberikan perintah tegas kepada pasukan yang tersisa. "Semua senior! Pusatkan serangan pada orge berkepala dua! Kepung dari semua sisi, jangan beri ruang gerak! Serahkan sisanya pada junior!"

Sementara para senior mulai mengatur formasi untuk mengepung orge itu, ia juga memberikan instruksi kepada para pemula yang mulai kehilangan semangat bertempur. "Tetap di barisan belakang! Selesaikan goblin dan direwolf yang tersisa! Jangan panik! Kita masih bisa menang!"

Para Outcast senior segera bergerak dalam koordinasi yang terlatih, melingkari orge berkepala dua dan menyerangnya dari berbagai sisi. Mereka menggunakan tombak panjang untuk menusuk titik-titik lemah di tubuh raksasa itu, sementara para pemanah yang tersisa terus menembakkan panah dari atas tembok The Wall. Orge itu mengamuk, mengayunkan balok kayu raksasanya dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan batu dan menghantam tanah hingga bergetar. Beberapa Outcast yang kurang waspada terhempas oleh serangan liar itu, tubuh mereka remuk dalam satu hantaman.

Di sisi lain medan perang, Oldman berdiri tegak di dekat gerbang, menjaga pertahanan tetap terorganisir meski jumlah pasukan yang tersisa semakin menipis. Ia melihat bagaimana para pemula mulai kehilangan semangat, wajah mereka dipenuhi ketakutan melihat rekan-rekan mereka berjatuhan satu per satu.

Menyadari bahwa keputusasaan bisa menghancurkan mereka sebelum musuh melakukannya, Oldman mengangkat tongkat kayunya tinggi-tinggi dan berteriak dengan suara yang menggema di seluruh medan perang.

"Jangan biarkan mereka menembus The Wall! Kita adalah benteng terakhir Middle Earth!" suaranya bergemuruh, penuh wibawa. "Lebih baik mati di sini dengan kehormatan daripada membiarkan monster ini menghancurkan segalanya!"

Teriakan itu menggetarkan hati para pemula yang tersisa. Mereka menatap satu sama lain, lalu kembali mengangkat senjata mereka dengan tekad baru. Meski tangan mereka masih gemetar dan tubuh mereka sudah kelelahan, mereka kembali fokus, menghadapi goblin mutasi yang masih menyerang dengan liar.

Di sisi lain, Alcard memimpin langsung serangan terhadap orge berkepala dua, terus memberikan arahan dengan cepat dan tepat.

"Serang kakinya! Ganggu keseimbangannya!" perintahnya kepada para Outcast senior. "Pemanah! Tembak mata kanannya dengan panah!"

Para pemanah yang tersisa langsung membidik dengan teliti, menunggu momen yang tepat. Salah satu dari mereka akhirnya berhasil menembakkan panah tepat ke mata kanan orge, menyebabkan makhluk itu mengeluarkan raungan kesakitan yang mengguncang medan perang.

Sementara itu, seorang Outcast dengan tombak panjang melihat celah dan langsung menusukkan senjatanya ke paha kiri orge dengan kekuatan penuh. Tombak itu menancap dalam, membuat makhluk itu kehilangan keseimbangan dan terhuyung mundur, menginjak beberapa goblin mutasi di belakangnya.

Namun, meskipun terkena serangan berat, orge berkepala dua tidak jatuh begitu saja. Kedua kepalanya mengaum bersamaan, tubuhnya gemetar dengan kemarahan yang semakin membuncah. Darah hitam mengalir deras dari mata dan pahanya, tetapi makhluk itu masih bertahan.

Dari atas tembok The Wall, Oldman terus memantau situasi. Melihat bahwa mereka mulai memiliki peluang untuk menang, ia kembali meneriakkan perintah, "Jangan menyerah! Pertahankan formasi kalian! Kita bisa menang!"

Di tengah pertempuran yang semakin sengit, Alcard tetap berdiri di garis depan. Meski tubuhnya dipenuhi luka dan napasnya semakin berat, ia tetap menatap orge berkepala dua dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Dengan langkah maju yang penuh keyakinan, ia mengangkat pedangnya, darah monster masih menetes dari bilahnya. "Ini kesempatan kita!" teriaknya dengan suara yang menggema. "Serang dengan semua yang kita punya! Jatuhkan dia sekarang!"

Malam yang gelap semakin kelam, tetapi medan perang justru semakin terang oleh api, darah, dan harapan yang masih menyala. Para Outcast, meskipun telah kehilangan banyak rekan mereka, tidak mundur. Mereka bertarung dengan seluruh kekuatan yang tersisa, mempertahankan The Wall dengan segala yang mereka miliki.

Di bawah bayangan tembok yang menjulang tinggi, pertarungan mencapai puncaknya. Nyawa terus dipertaruhkan, dan hanya satu pertanyaan yang tersisa—akankah mereka mampu bertahan, atau apakah ini akan menjadi akhir dari perlawanan mereka?

****

 

Di bawah langit malam yang masih diselimuti asap dan bau darah, Alcard terus memimpin serangan dengan penuh ketelitian. Tubuhnya dipenuhi luka, napasnya berat, tetapi matanya tetap tajam, mengamati setiap pergerakan musuh yang tersisa. Ia tahu bahwa satu kesalahan bisa membuat mereka kehilangan segalanya.

"Targetkan persendiannya! Lumpuhkan dia! Jangan biarkan dia menggunakan senjatanya lagi!" suaranya menggema di tengah pertempuran, menghidupkan semangat para outcast senior yang tersisa.

Tanpa ragu, para outcast senior melaksanakan perintah dengan cepat dan presisi. Beberapa dari mereka menggunakan tombak panjang, menusuk lutut dan pergelangan kaki orge berkepala dua, memaksanya kehilangan keseimbangan. Pemanah yang masih tersisa di atas tembok The Wall mengarahkan panah mereka ke mata dan kepala makhluk itu, menciptakan gangguan yang membuat gerakannya semakin kacau. Alcard sendiri memimpin serangan frontal, menargetkan persendian lengan orge yang masih memegang balok kayu raksasa, menghantamnya dengan serangkaian tebasan tajam dan akurat.

Serangan bertubi-tubi dari berbagai arah mulai membuahkan hasil. Balok kayu yang dipegang orge akhirnya terlepas dari genggamannya, jatuh ke tanah dengan suara gemuruh yang menggetarkan medan perang. Orge itu meraung kesakitan, kedua kepalanya berteriak dalam kemarahan dan keputusasaan. Dua outcast senior memanfaatkan kesempatan itu, menyerang dengan koordinasi sempurna. Salah satu dari mereka menancapkan tombak dalam ke bahu kanan orge, sementara yang lain menebas otot lengan kirinya, membuat makhluk itu benar-benar tak berdaya.

Tubuh raksasa itu mulai kehilangan stabilitas, lututnya bergetar hebat sebelum akhirnya jatuh berlutut, menimbulkan getaran kuat yang terasa hingga ke kaki para outcast. Nafasnya berat, matanya yang bersinar merah perlahan meredup, tetapi belum sepenuhnya menyerah.

Melihat kesempatan emas itu, Alcard segera berteriak, suaranya penuh determinasi. "Ini saatnya! Serang bersama! Habisi dia sekarang!"

Tanpa menunggu lebih lama, para outcast senior melancarkan serangan terakhir. Tombak dan pedang menghujani tubuh orge dari segala sisi. Sebuah tombak panjang menancap tepat di lehernya, menyebabkan darah hitam kental menyembur liar ke tanah yang telah basah oleh kematian. Beberapa pedang menghantam perut dan paha makhluk itu, menciptakan luka besar yang mengeluarkan cairan busuk.

Alcard, dengan sisa tenaga yang ia miliki, meloncat ke bahu orge, menyeimbangkan diri dalam hitungan detik sebelum menghujamkan pedangnya ke salah satu kepala makhluk itu. Ujung bilahnya menembus tengkorak, menghancurkan tulang dan otak dalam satu serangan yang mematikan. Kepala orge itu langsung terkulai, mulutnya yang masih terbuka seolah hendak mengeluarkan raungan terakhir yang tak pernah sempat terdengar.

Orge berkepala dua itu akhirnya tumbang, tubuh besarnya jatuh dengan suara menggelegar, menciptakan gelombang debu yang melayang di udara. Tanah berguncang di bawah berat badannya, dan untuk sesaat, seluruh medan perang terasa sunyi.

Alcard menarik pedangnya yang kini sepenuhnya berlumuran darah, napasnya memburu, tetapi matanya masih tajam mengamati keadaan sekitar. Ia tahu bahwa meskipun pemimpin mereka telah gugur, monster-monster yang tersisa masih bisa menjadi ancaman.

"Habisi monster yang tersisa! Fokus pada orge dan goblin yang masih kuat!" serunya, memastikan pasukannya tidak lengah.

Mendengar perintah itu, para outcast kembali bertarung dengan semangat yang diperbaharui. Mereka yang sebelumnya hampir kehilangan harapan kini bertempur dengan lebih ganas, menebas goblin mutasi yang tersisa dan menghabisi orge berkepala satu yang masih mencoba melawan.

Tidak butuh waktu lama sebelum kawanan monster yang tersisa mulai kehilangan semangat bertarung. Goblin mutasi yang masih hidup mulai berlarian kembali ke dalam kegelapan hutan selatan, suara mereka penuh kepanikan. Orge kepala satu yang tersisa juga mundur dalam ketakutan, menyadari bahwa mereka telah kehilangan pemimpin mereka dan tidak lagi memiliki peluang untuk menang.

Melihat tanda-tanda kemunduran musuh, Alcard segera mengangkat tangannya tinggi untuk menghentikan pengejaran.

"Cukup! Jangan kejar mereka lebih jauh! Fokus pada pertahanan dan pastikan area ini aman!" perintahnya tegas.

Para outcast segera menghentikan serangan dan mundur, kembali ke posisi mereka di depan The Wall. Dengan kemenangan ini, tidak ada gunanya mengambil risiko lebih lanjut dengan mengejar musuh ke dalam kegelapan yang tidak mereka kenal.

Medan pertempuran kini dipenuhi mayat monster yang berserakan. Darah hitam mereka mengalir seperti sungai kecil di bawah cahaya rembulan yang akhirnya muncul dari balik awan, seolah menatap sunyi atas pertumpahan darah yang baru saja terjadi.

Alcard berdiri di tengah medan, tubuhnya penuh luka dan kelelahan, tetapi ia tetap tegak memegang pedangnya. Ia mengamati sekelilingnya, memastikan bahwa pertempuran benar-benar telah berakhir dan tidak ada ancaman yang tersisa.

Dari arah gerbang, langkah berat mendekat. Oldman, dengan tongkat kayunya yang masih kokoh di genggaman, berjalan menghampiri Alcard. Wajahnya penuh kelelahan, tetapi ada kelegaan di sorot matanya. Ia menepuk bahu Alcard dengan kekuatan yang masih tersisa.

"Kita menang..." katanya dengan nada rendah, suaranya dipenuhi rasa puas yang pahit. "Setidaknya untuk malam ini."

Alcard mengangguk perlahan. Ia tidak menjawab, tetapi tatapan matanya sudah berbicara banyak. Ia tahu betul bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Ancaman dari selatan tidak akan berhenti sampai di sini. Mereka mungkin telah bertahan malam ini, tetapi pertempuran seperti ini akan terus datang, dan mereka harus selalu siap.

Dengan langkah berat, ia berjalan menuju The Wall, diikuti oleh para outcast yang masih tersisa. Tubuh mereka penuh luka, pakaian mereka sobek dan berlumuran darah, tetapi mereka telah bertahan. Mereka telah melawan dan menang.

Namun, jauh di dalam hutan selatan, di balik kegelapan yang belum tersentuh oleh cahaya, sesuatu yang lebih besar mungkin sedang mengamati mereka. Dan pertempuran ini, Alcard tahu, hanyalah awal dari peperangan yang jauh lebih besar.

****