Bab 10

Setelah pertempuran besar yang menguras tenaga dan merenggut banyak nyawa, Oldman mengambil alih komando dengan suara yang penuh ketegasan, meskipun matanya memancarkan kelelahan dan duka yang mendalam.

"Kumpulkan saudara-saudara kita yang gugur. Mereka berhak mendapatkan penghormatan terakhir. Kita tidak akan meninggalkan siapapun."

Meski tubuh mereka penuh luka dan napas mereka masih terengah-engah akibat pertarungan yang panjang, para outcast yang selamat mulai mengangkat satu per satu jasad rekan-rekan mereka yang telah gugur. Tubuh-tubuh itu dikumpulkan dengan hati-hati, dipisahkan antara pemula dan senior, lalu disusun rapi di sisi dalam The Wall, menunggu ritual penghormatan terakhir yang akan diberikan kepada mereka yang telah berjuang sampai akhir.

Di sisi lain, beberapa outcast yang masih memiliki tenaga segera bergerak untuk membersihkan medan perang. Mayat-mayat monster mutasi yang berserakan dikumpulkan, disiram dengan minyak, lalu dibakar di luar The Wall. Kobaran api menjilat langit malam, menciptakan pemandangan mengerikan yang berbaur dengan bau darah dan kematian. Tindakan ini bukan sekadar untuk menghilangkan jejak pertempuran, tetapi juga untuk mencegah bau busuk menarik perhatian lebih banyak monster dari selatan.

Dari atas tembok markas pusat, Oldman berdiri diam, mengamati pemandangan di bawah dengan ekspresi yang sulit dibaca. Namun, sorot matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Pertempuran ini telah membebani mereka lebih dari yang ia perkirakan. Hasilnya berat—lebih dari setengah pasukan outcast dari markas pusat telah gugur.

Pemula menjadi korban terbanyak. Mereka kurang pengalaman, dan meskipun berlatih bertahun-tahun, pertempuran nyata dengan monster mutasi bukanlah sesuatu yang bisa mereka siapkan sepenuhnya. Beberapa senior juga tewas saat melawan orge kepala satu dan goblin mutasi yang jauh lebih kuat dari biasanya.

Keheningan yang menyesakkan menyelimuti The Wall. Tidak ada suara perayaan kemenangan, hanya langkah berat para outcast yang sibuk mengurus sisa-sisa pertempuran dan suara kayu terbakar yang bercampur dengan aroma kematian di udara.

Setelah memastikan bahwa semua berjalan sesuai perintahnya, Oldman turun dari tembok dan berjalan menuju Alcard, yang berdiri di dekat jasad orge berkepala dua yang telah mereka tumbangkan. Tubuh raksasa itu kini mulai dibaluri minyak, bersiap untuk dibakar bersama dengan mayat monster lainnya.

Dengan suara berat, Oldman membuka pembicaraan. "Alcard, apakah kalian berhasil membawa Folwestian Bloom dan Rotrofila Root?"

Alcard, yang masih tampak lelah dengan pakaian robek dan darah mengering di tubuhnya, mengangguk perlahan. "Bloom-nya cukup, tapi Root-nya masih kurang. Kami tidak sempat mengumpulkan semuanya. Makhluk ini mengejar kami lebih awal, dan kami tidak punya pilihan lain selain melarikan diri."

Oldman menyipitkan matanya, ekspresinya semakin tegang. Ia menatap tubuh besar orge yang terbujur kaku di tanah, lalu kembali memandang Alcard.

"Makhluk ini mengejar kalian sejauh ini dari Gunung Orcal?" suaranya mengandung nada kecurigaan. "Itu tidak biasa. Mereka seharusnya tidak meninggalkan wilayah mereka."

Alcard hanya mengangguk. "Dia tidak sendirian. Dia membawa pasukan monster lain bersamanya. Jika kami sedikit saja melakukan kesalahan, tak satu pun dari kami yang akan selamat."

Oldman menghela napas panjang. Pikirannya berputar dengan cepat, mencoba memahami situasi yang semakin aneh ini. "Jika orge mutasi berkepala dua ini bisa meninggalkan Gunung Orcal dan memimpin monster lain dalam serangan, itu berarti sesuatu sedang terjadi di selatan. Sesuatu yang mungkin lebih besar dari yang kita duga."

Alcard menyadari hal yang sama. Sepanjang perjalanan mereka di hutan selatan, suasananya terasa lebih mencekam dari biasanya. Para monster yang mereka temui juga lebih agresif, seolah didorong oleh kekuatan yang tidak terlihat.

"Aku merasakan hal yang sama," kata Alcard, pandangannya tajam menatap Oldman. "Sepanjang perjalanan, aku merasa ada sesuatu yang salah. Dan makhluk ini… dia tidak bertindak seperti monster biasa. Seolah dia memiliki tujuan."

Oldman terdiam sejenak, lalu dengan cepat berbalik, memberi perintah kepada beberapa outcast senior yang berjaga di sekitar.

"Bakar makhluk ini sekarang. Kita tidak boleh mengambil risiko."

Beberapa outcast segera menyalakan obor dan melemparkannya ke tubuh orge. Api segera menjalar, membakar kulit tebalnya dengan cepat. Bau daging terbakar menyebar di udara, bercampur dengan aroma kematian yang masih menyelimuti medan perang.

Oldman kembali menatap Alcard dan menepuk bahunya dengan berat. "Kita akan membahas ini nanti. Sekarang kau butuh istirahat. Tapi aku ingin laporan lengkap darimu setelah ini."

Alcard mengangguk singkat, lalu kembali mengamati nyala api yang membakar tubuh orge berkepala dua itu.

Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan akhir. Ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya.

Ancaman dari selatan belum berakhir—dan ia bisa merasakannya.

****

 

Saat matahari masih bersembunyi di balik cakrawala, langit tetap diselimuti kelam, seolah enggan menyapa dunia yang baru saja melalui malam penuh darah dan kematian. Di markas pusat, bunyi lonceng peringatan menggema keras, memecah kesunyian dan membangunkan siapa pun yang masih tersisa di dalam benteng.

Para outcast, yang sebagian besar belum sempat beristirahat, segera menghentikan pekerjaan mereka dan bergerak menuju lapangan utama. Sejak malam hingga fajar, mereka tak pernah berhenti bekerja—menggali lubang besar untuk mengubur saudara-saudara mereka yang gugur, memastikan mayat monster yang tak terhitung jumlahnya terbakar habis agar tidak mengundang lebih banyak ancaman dari selatan, serta membersihkan senjata dan armor mereka yang berlumuran darah agar tidak meninggalkan bau yang menarik perhatian makhluk lain.

Udara pagi masih dingin, bercampur dengan kabut tipis yang mengambang rendah di atas tanah. Asap hitam dari pembakaran monster masih mengepul, menyebarkan aroma busuk yang menusuk hidung, mengingatkan semua orang bahwa pertempuran baru saja berakhir, tetapi peringatan itu belum usai.

Di tengah lapangan utama, Oldman berdiri tegap. Meski wajahnya dipenuhi garis-garis kelelahan, matanya masih menyala penuh tekad. Ia memandang sekeliling, melihat para outcast berkumpul perlahan. Sebagian besar dari mereka terluka, ada yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat, ada yang masih berbalut perban dengan darah yang belum kering, tetapi tidak ada satu pun yang absen. Mereka semua tahu, pertemuan ini bukan sekadar formalitas—ini adalah penghormatan bagi mereka yang telah gugur dan sebuah pengingat akan siapa mereka sebenarnya.

Oldman mengangkat tangannya, meminta semua orang untuk diam. Suaranya, dalam dan kuat, menggema di seluruh lapangan.

"Dengarkan aku baik-baik!"

Para outcast langsung mengalihkan perhatian mereka kepadanya. Tidak ada bisikan, tidak ada gerakan yang tak perlu. Mereka semua tahu betapa beratnya malam yang baru saja mereka lalui, dan mereka siap mendengar apa yang akan disampaikan pemimpin mereka.

"Semalam, kita menghadapi sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang belum pernah datang ke tembok ini selama bertahun-tahun. Kita kehilangan banyak saudara… lebih dari separuh dari kita telah gugur, mengorbankan hidup mereka demi memastikan tembok ini tetap berdiri."

Sejenak, hening menyelimuti lapangan. Beberapa outcast menundukkan kepala, mengenang nama-nama mereka yang tak akan pernah kembali. Sementara yang lain menatap Oldman dengan mata yang penuh luka, tetapi juga dengan keteguhan hati.

Oldman menarik napas dalam sebelum melanjutkan, suaranya semakin tegas, semakin dalam, menusuk hati setiap orang yang mendengarnya.

"Ingat ini, wahai para penjaga The Wall! Kita tidak memilih untuk berada di sini. Kita bukan bangsawan, bukan pahlawan yang dihormati. Kita adalah mereka yang diasingkan, diabaikan, dan dilupakan oleh dunia luar. Tapi biarkan aku memberitahu kalian satu hal…"

Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, pantulan cahaya fajar yang mulai muncul mengenai bilahnya, seolah menegaskan makna dari kata-katanya.

"Meski dunia melupakan kita, kita tetap berdiri di sini untuk melindungi mereka. Meski mereka mencampakkan kita, kita adalah satu-satunya yang menjaga agar Middle Earth tidak jatuh ke dalam kegelapan!"

Mata para outcast mulai berbinar. Meski kelelahan, meski kehilangan, mereka mendengarkan. Mereka merasakan setiap kata yang diucapkan Oldman.

"Jadi, tanyakan pada diri kalian sendiri! Apa arti menjadi seorang outcast?"

Oldman menurunkan pedangnya perlahan, menatap mereka satu per satu, memastikan kata-katanya benar-benar meresap dalam hati mereka.

"Ini bukan sekadar hukuman. Ini adalah panggilan. Menjadi seorang outcast berarti berdiri di antara dunia dan kehancuran, tanpa harapan akan balas jasa, tanpa nama yang tertulis dalam buku sejarah. Tapi ingatlah ini… tembok ini masih berdiri karena kita. Dunia ini tetap utuh karena kita!"

Beberapa outcast mengepalkan tangan mereka, beberapa meneteskan air mata tanpa suara, sementara yang lain menggenggam senjata mereka lebih erat. Dalam hati mereka, bara yang sempat meredup kini kembali menyala.

Oldman mengangkat pedangnya sekali lagi, tetapi kali ini, ia menurunkannya perlahan ke depan wajahnya, memberi isyarat kepada semua yang hadir untuk melakukan hal yang sama.

"Kita tidak akan melupakan mereka yang telah gugur. Mereka bukan hanya rekan kita, mereka adalah bagian dari tembok ini. Bagian dari perjuangan ini. Maka, mari kita beri mereka penghormatan terakhir dengan semboyan kita."

Para outcast, satu per satu, menundukkan kepala. Dengan tangan yang gemetar kelelahan tetapi penuh penghormatan, mereka mengangkat senjata mereka ke depan, lalu bersama-sama melantunkan sumpah mereka.

"Di dunia yang mengasingkan kami, kami berdiri di antara kegelapan.

Kami tidak memiliki tanah, tidak memiliki nama, hanya memiliki jalan ini.

Kami adalah bayangan di balik tembok ini.

Kami adalah para penjaga yang dilupakan dunia.

Kami adalah Outcast, dan kami akan bertahan, atau mati di jalan kami."

Suara mereka menggema, bergema di dinding batu raksasa yang telah menjadi saksi bisu pertarungan mereka. Di langit, burung-burung yang baru saja kembali setelah malam yang mencekam seolah ikut mendengar, menyaksikan sumpah mereka yang tak tergoyahkan.

Setelah beberapa saat keheningan yang penuh makna, Oldman kembali bersuara.

"Penghormatan kita selesai."

Ia menatap mereka semua, memastikan tak satu pun dari mereka menyerah pada kelelahan atau kehilangan.

"Dan sekarang, bangkitlah! Perbaiki markas kita! Kita tidak boleh lengah lagi!"

Meskipun tubuh mereka masih terasa berat, meskipun luka mereka belum sepenuhnya sembuh, para outcast mulai bergerak. Mereka berdiri lebih tegak, mengangkat tubuh mereka dengan tekad yang diperbarui.

Mereka tahu tugas mereka belum selesai.

Mereka tahu bahwa The Wall, perisai terakhir yang melindungi Middle Earth, bergantung pada mereka.

Dan selama mereka masih bernapas, mereka tidak akan membiarkan tembok ini runtuh.

****

 

Setelah semua anggota yang gugur dimakamkan dengan penghormatan terakhir, Alcard melangkah menuju ruang pertemuan Oldman. Langkahnya tetap tegas meskipun kelelahan jelas tergambar di wajahnya. Sisa-sisa pertempuran masih terasa di tubuhnya—pakaian yang ternoda darah kering, luka-luka yang belum sepenuhnya pulih, dan beban mental yang semakin menumpuk.

Di dalam ruangan yang remang-remang, Oldman berdiri di hadapan peta besar The Wall yang tergantung di dinding. Coretan-coretan baru memenuhi permukaannya, mencatat jalur perjalanan kelompok Alcard serta titik-titik strategis dari serangan yang terjadi semalam. Cahaya dari lilin yang hampir habis menerangi wajahnya yang dipenuhi kerutan kelelahan, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh pertimbangan.

Tanpa banyak basa-basi, Alcard memulai laporan resminya.

"Misi selesai. Folwestian Bloom dan Rotrofila Root telah kami bawa kembali, meskipun jumlah Rotrofila Root tidak sepenuhnya memenuhi target." Suaranya datar, nyaris tanpa emosi, meskipun ada sedikit kegetiran di dalamnya. Ia sudah menyampaikan sebagian dari ini tadi malam, tetapi kini ia memberikan rincian lebih lengkap.

Oldman mengangguk perlahan, pandangannya tetap terpaku pada peta. "Aku sudah mendengar laporanmu. Kau kehilangan beberapa orang."

Alcard tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, lalu mulai menjelaskan perjalanannya secara rinci. Ia berbicara tentang bagaimana mereka melintasi hutan selatan yang penuh bahaya, bagaimana monster-monster mutasi semakin banyak dan semakin cerdas, dan bagaimana mereka dipaksa bertarung melawan orge berkepala dua yang akhirnya membawa kehancuran ke The Wall.

Saat mendengar bagian tentang orge mutasi yang mengejar mereka dari Pegunungan Orcal hingga ke tembok, ekspresi Oldman berubah serius. Dahinya berkerut dalam, matanya menyipit penuh pertimbangan.

"Makhluk sebesar itu tidak pernah meninggalkan wilayahnya sebelumnya," gumamnya dengan nada penuh kewaspadaan. "Bahkan di masa-masa paling genting, Pegunungan Orcal selalu menjadi batas mereka."

Alcard mengangguk, tetapi ekspresinya tetap gelap. "Itu bukan satu-satunya hal aneh." Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Kami menemukan orc lagi, oldman."

Oldman menegang seketika. Tatapannya beralih dari peta ke wajah Alcard, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

"Mereka masih hidup," lanjut Alcard, suaranya lebih rendah tetapi penuh kepastian. "Kami melihat mereka dengan mata kepala sendiri. Dunia luar mengira mereka sudah punah, tetapi mereka masih ada, bertahan entah bagaimana."

Oldman menghembuskan napas panjang, matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan—ada kegetiran di sana, mungkin juga kemarahan yang terpendam selama bertahun-tahun.

"Aku sudah mencoba memperingatkan dunia tentang mereka, Alcard… berkali-kali…" katanya, suaranya lebih pelan, tetapi tidak kalah tajam. "Aku bahkan mengirimkan kepala orc yang kita kalahkan ke tiga kerajaan manusia, para dwarf, dan elf."

Alcard menatapnya dengan mata dingin. "Apa tanggapan mereka?"

Oldman tertawa pendek, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam suaranya. "Mereka menuduh kita pembohong. Mengatakan bahwa kepala itu hanyalah hasil rekayasa. Beberapa bahkan berpikir kita sudah kehilangan kewarasan karena terlalu lama tinggal di The Wall."

Alcard mengepalkan tangannya, merasakan amarah yang serupa membakar dadanya.

"Itulah masalah mereka," lanjut Oldman dengan nada getir. "Dunia luar selalu melihat kita sebagai beban, bukan pelindung. Mereka lebih memilih menutup mata daripada menghadapi kenyataan bahwa dunia ini jauh lebih rapuh daripada yang mereka kira."

Alcard tetap diam, pikirannya mengembara ke upaya-upaya Oldman yang terus-menerus diabaikan oleh para pemimpin Middle Earth.

"Mereka terlalu sibuk dengan permainan politik mereka," Oldman melanjutkan, suaranya mengandung ironi yang tajam. "Kerajaan manusia terus bertikai, para dwarf hanya peduli pada tambang mereka, dan elf… mereka hanya peduli pada apa yang terjadi di bawah naungan pepohonan mereka."

Alcard mengepalkan rahangnya. "Bagi mereka, The Wall hanyalah tembok tua yang berdiri tanpa makna. Mereka tidak tahu bahwa kita adalah satu-satunya perisai yang melindungi mereka dari apa yang mengintai di selatan."

Oldman menatapnya dengan sorot mata yang mencerminkan beban puluhan tahun yang ia tanggung. "Itu sebabnya kita tidak bisa berhenti, Alcard. Tidak ada yang akan datang membantu kita. Tidak ada bala bantuan. Kita adalah satu-satunya tameng Middle Earth. Jangan lupakan itu."

Alcard mengangguk. Matanya yang merah menyala karena kelelahan, tetapi di dalamnya ada tekad yang tak tergoyahkan. "Selama aku di sini, tidak akan ada makhluk yang melewati tembok ini."

Oldman mengembuskan napas panjang, lalu kembali menatap peta dengan ekspresi penuh pikiran. Suaranya lebih lembut, tetapi tetap penuh ketegasan.

"Kau sudah melakukan banyak hal, Alcard. Lebih dari yang bisa kuharapkan. Pergilah. Istirahatlah. Tapi bersiaplah untuk apa pun yang akan datang."

Alcard tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia menatap peta sekali lagi, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya tetap tegas meskipun tubuhnya penuh luka dan kelelahan.

Di belakangnya, Oldman masih berdiri di depan peta, menatap garis-garis yang menandai perjalanan Alcard dan pertempuran mereka.

Di luar, dunia mungkin tidak peduli.

Di luar, tidak ada yang percaya pada ancaman yang mengintai.

Tapi selama mereka masih berdiri di sini, selama mereka masih bernapas, The Wall akan tetap berdiri.

Mereka akan tetap bertahan.

****

 

Di bengkel pandai besi markas pusat, suasana dipenuhi dentingan logam yang beradu, percikan api sesekali melesat dari bilah-bilah pedang yang diasah. Aroma besi panas bercampur dengan bau oli dan keringat memenuhi udara, menciptakan suasana khas yang hanya dimengerti oleh mereka yang hidup di The Wall. Alcard berdiri di salah satu sudut, tangannya mantap menggenggam batu asah, menggerakkannya dengan ritme teratur di sepanjang bilah pedangnya. Setiap goresan membawa ketajaman baru, menggantikan keausan akibat pertarungan brutal yang baru saja mereka lalui beberapa hari lalu.

Di sisi lain ruangan, para outcast pemula juga sibuk dengan pekerjaan mereka, meskipun gerakan mereka lebih lamban dan raut wajah mereka masih diliputi bayang-bayang trauma. Tidak ada satupun dari mereka yang mengikuti misi pengumpulan Folwestian Bloom dan Rotrofila Root yang selamat. Meskipun Alcard tidak menunjukkan ekspresinya, hatinya sebenarnya dipenuhi kesedihan yang mendalam. Namun, di The Wall, tidak ada ruang untuk meratapi kehilangan. Tidak ada waktu untuk menangisi mereka yang telah pergi, karena setiap hari, monster dari selatan selalu mengintai, menunggu celah untuk menerkam.

Suara derit roda kayu yang berat terdengar dari kejauhan, memecah ritme monoton bengkel pandai besi. Suara itu semakin dekat, diiringi derap kaki para tentara bersenjata lengkap yang bergerak dalam formasi teratur. Alcard perlahan menghentikan gerakannya, menatap ke arah gerbang markas pusat yang mulai terbuka perlahan untuk menyambut kedatangan mereka.

Lima kereta besar memasuki area markas, masing-masing penuh dengan tahanan yang dirantai di pergelangan tangan dan kaki mereka. Wajah-wajah mereka tampak kotor, lusuh, dan dipenuhi keletihan. Beberapa dari mereka bahkan memiliki luka terbuka, mungkin akibat penyiksaan atau perjalanan panjang yang brutal. Di sekitar kereta, para tentara Jovalian berdiri dengan tombak mereka terhunus, siap menusuk siapa saja yang mencoba melarikan diri. Wajah mereka dingin, tanpa belas kasihan, seolah tugas ini hanya rutinitas harian yang tidak layak dipikirkan lebih dalam.

Seorang outcast senior yang berdiri di dekat Alcard menyeringai sinis saat melihat pemandangan itu. Nada suaranya dipenuhi kegetiran saat ia berkomentar, "Kau lihat itu? Semua mulai terungkap."

Alcard masih mengamati kereta dan para tahanan sebelum menjawab dengan nada datar, "Perang sipil di Jovalian?"

Outcast itu mengangguk, ekspresinya berat. "Benar. Fraksi Pangeran Kedua dan Perdana Menteri akhirnya tidak bisa lagi menahan diri. Mereka mulai saling menghancurkan. Dan seperti biasa, yang menjadi korban bukanlah para penguasa, tapi orang-orang biasa seperti mereka," ujarnya sambil menunjuk para tahanan yang berdesakan di dalam kereta.

Mata Alcard menyipit saat ia mengamati lebih saksama wajah-wajah di balik jeruji kayu itu. Kebanyakan dari mereka bukanlah prajurit. Mereka lebih mirip rakyat biasa—lelaki tua, pemuda, bahkan beberapa wanita. Beberapa memiliki sorot mata kosong, sementara yang lain tampak marah, penuh kebencian yang tertahan. Dengan nada getir, ia berkomentar, "Musuh politik. Rakyat yang menolak tunduk pada penguasa baru. Mungkin juga keluarga yang tidak bersalah."

Outcast senior kembali mengangguk, suaranya merendah. "Mereka akan terus mengirim lebih banyak orang seperti ini ke sini. Itu hanya berarti satu hal—perdamaian di Jovalian sudah benar-benar runtuh."

Saat kereta-kereta berhenti, para tentara Jovalian segera bertindak. Mereka membuka pintu kayu dengan kasar, menarik para tahanan keluar satu per satu, tanpa peduli apakah mereka jatuh atau tersandung. Rantai yang mengikat pergelangan mereka bergemerincing nyaring, menciptakan suara yang menyerupai nyanyian kematian. Beberapa tahanan berusaha menjaga harga diri mereka, tetap berdiri tegak meskipun tubuh mereka penuh luka. Namun, yang lain terlalu lemah bahkan untuk berdiri tanpa bantuan.

Di depan barisan tahanan, Oldman turun dari atas tembok The Wall, langkahnya mantap dan wajahnya tanpa ekspresi saat menerima dokumen dari perwira Jovalian. Ia membaca laporan itu dalam diam, matanya menyapu para tahanan sebelum akhirnya mengangguk pelan. Dengan suara tegas, ia memberi perintah kepada beberapa outcast senior. "Bawa mereka ke ruang karantina sementara. Pastikan mereka diperiksa sebelum diputuskan apakah mereka bisa bergabung atau tidak."

Para outcast bergerak dengan disiplin, mengawal para tahanan ke arah bangunan sederhana yang memang disiapkan untuk pendatang baru. Beberapa tahanan masih berusaha melawan, tetapi kelaparan dan kelelahan dengan cepat membuat mereka tunduk.

Dari kejauhan, Alcard terus mengamati semuanya. Tatapannya mengikuti tentara Jovalian yang berbalik pergi, meninggalkan The Wall setelah tugas mereka selesai. Wajahnya tetap datar, tetapi saat ia berbicara kepada outcast senior di sampingnya, ada nada pahit yang sulit disembunyikan.

"Kekacauan mereka menjadi beban kita. Tidak peduli siapa yang menang di sana, The Wall akan tetap terlupakan."

Outcast senior menyeringai pahit, melirik para tahanan yang kini berdiri dalam barisan di bawah pengawasan ketat. "Dan mereka akan terus mengirim makhluk lemah seperti ini untuk kita urus."

Alcard menghela napas dalam, kembali memusatkan perhatiannya pada pedangnya. Ia melanjutkan pekerjaannya dengan tenang, tetapi pikirannya berputar tanpa henti. Perang sipil di Jovalian jelas bukan hanya masalah internal mereka. Gelombang dampaknya sudah sampai di The Wall, dan ia tahu bahwa ini mungkin hanya awal dari badai yang lebih besar. Intrik dari dunia luar akhirnya mencapai mereka, dan seperti biasa, mereka yang berada di The Wall harus menanggung beban yang tak diinginkan.

The Wall selalu menjadi tempat pembuangan, baik untuk monster dari selatan maupun bagi manusia yang tidak diinginkan oleh dunia luar. Tidak peduli siapa yang berkuasa di Jovalian, mereka tetap akan terus mengirim beban mereka ke sini.

Alcard tahu, cepat atau lambat, perang yang mereka hindari akan datang menghampiri mereka.

****

 

Sebulan setelah pertempuran besar yang mengguncang The Wall, gerbang markas pusat kembali terbuka dengan derit berat yang menggema di udara pagi yang dingin. Untuk kesekian kalinya, konvoi tahanan dari Kerajaan Jovalian tiba, tetapi kali ini jumlah mereka jauh lebih besar dari sebelumnya. Lima kereta kayu besar, masing-masing membawa tahanan yang dirantai, bergerak perlahan melintasi jalan berbatu yang mengarah ke markas. Wajah-wajah mereka penuh kelelahan, tubuh mereka kotor, beberapa bahkan masih berlumuran darah kering dari luka yang belum sempat sembuh. Di sekeliling mereka, sepuluh tentara Jovalian berdiri dengan sikap acuh tak acuh, mata mereka kosong seolah tugas ini hanyalah rutinitas yang tidak perlu dipikirkan lebih jauh.

Di depan gerbang, Oldman berdiri tegak, ditemani beberapa outcast senior yang mengawasi dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Alcard berdiri di belakang mereka, matanya dingin saat mengamati kedatangan yang sudah tidak asing ini. Salah satu perwira Jovalian turun dari kudanya dengan santai, menggenggam dokumen di tangannya, lalu menyerahkannya kepada Oldman tanpa ekspresi. Gerakannya menunjukkan sikap tak peduli, seolah-olah mengantarkan tiga puluh nyawa baru ke The Wall bukanlah sesuatu yang berarti.

Keheningan yang menekan menyelimuti tempat itu, tetapi suasana segera berubah ketika seorang outcast senior, seorang veteran yang telah bertugas di The Wall selama lima tahun, maju dengan langkah keras. Wajahnya dipenuhi kemarahan yang tertahan terlalu lama, suaranya lantang ketika ia akhirnya melepaskan amarah yang selama ini dipendam.

"Cukup sudah!" suaranya menggema di seluruh markas, membuat semua mata tertuju padanya. "Kami tidak bisa menerima lebih banyak tahanan lagi! Ini bukan rumah yatim piatu, bukan tempat sampah untuk kerajaan kalian!"

Beberapa outcast lainnya ikut bersuara, suara mereka memenuhi udara dengan protes dan kemarahan yang selama ini dipendam. Veteran itu kembali berbicara, kali ini dengan nada yang semakin berapi-api, "Kami yang harus memberi mereka makan! Kami yang harus memastikan mereka tidak melarikan diri! Dan kalian tahu artinya? Artinya kami harus masuk ke selatan lagi, menghadapi monster-monster itu untuk mengambil lebih banyak bahan bloody potion! Berapa banyak lagi yang harus mati untuk memikul beban yang bukan tanggung jawab kami?!"

Namun, tentara Jovalian di hadapan mereka tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu. Salah satu dari mereka, seorang pria berperawakan besar dengan senyum sinis di wajahnya, mengangkat bahu dengan acuh.

"Itu bukan urusan kami," katanya dengan nada mengejek. "Kami hanya menjalankan perintah kerajaan."

Suasana semakin panas. Oldman mengangkat tangannya, mencoba menenangkan kemarahan yang mulai meluap, tetapi para outcast yang sudah terlalu lama menahan amarah mereka tidak bisa dibendung lagi. Seorang outcast muda melangkah maju, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung.

"Kalian tidak tahu apa yang kami hadapi di sini! Kalian hidup nyaman di istana kalian, bermain politik, sementara kami yang harus menghadapi kematian setiap hari! Dan sekarang kalian seenaknya mengirim lebih banyak orang ke sini, seolah tempat ini adalah neraka buangan kalian!"

Tentara Jovalian yang tadi berbicara hanya tertawa kecil, nada suaranya semakin menyebalkan. "Bukankah itu memang tugas kalian?" katanya dengan santai. "Kalian hanya sekumpulan orang buangan. Jangan lupa tempat kalian di dunia ini."

Dan saat itu juga, batas kesabaran para outcast pecah.

Dalam sekejap, salah satu outcast senior mencabut belatinya dan tanpa ragu menusukkan senjatanya ke leher tentara yang bicara. Pria itu terbelalak, darah mengucur dari mulutnya sebelum tubuhnya ambruk ke tanah dengan bunyi gedebuk berat. Tidak ada waktu untuk berpikir, tidak ada waktu untuk menahan diri. Yang terjadi selanjutnya adalah kekacauan total.

Para outcast menyerang dengan amarah yang sudah terpendam bertahun-tahun. Tanpa aba-aba, mereka melampiaskan semua kemarahan yang telah lama ditahan. Dalam hitungan menit, sembilan tentara Jovalian tewas di tanah berbatu The Wall, darah mereka menggenang bersama debu dan kotoran. Hanya satu tentara yang tersisa, tubuhnya gemetar ketakutan saat dia berlutut di hadapan Oldman, wajahnya pucat seperti mayat hidup.

Oldman menatap pria itu dengan dingin, suaranya rendah namun berbahaya. "Katakan pada rajamu… The Wall bukan tempat untuk membuang musuh-musuh politik kalian. Jika mereka terus mengirim tahanan-tahanan lemah ke sini, kami akan mengirim mereka kembali—dengan cara yang tidak akan mereka sukai. Kami akan membayar kalian dengan tunai, beserta bunganya," ujar oldman sambil menjalankan jarinya pada leher si tentara yang bergetar hebat.

Tentara itu mengangguk cepat, wajahnya penuh ketakutan. Tanpa diberi kesempatan untuk berbicara, dia segera diusir keluar dari gerbang, dipaksa pergi sendirian tanpa kuda, tanpa senjata, hanya dengan pesan mengerikan yang harus ia sampaikan.

Saat ketegangan mulai mereda, Alcard mendekati Oldman yang masih berdiri di dekat mayat para tentara yang terbunuh. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan, tetapi nadanya sarat dengan pemahaman akan konsekuensi dari tindakan mereka.

"Kau tahu ini akan memicu sesuatu yang lebih besar, bukan?"

Oldman menoleh, menatapnya dengan mata yang penuh keteguhan. "Masalah ini sudah ada sejak lama, Alcard. Mereka pikir mereka bisa terus memperlakukan kita seperti anjing yang setia menerima perintah. Jika mereka menganggap kita akan terus tunduk, mereka salah besar." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Ini bukan tempat untuk permainan politik mereka. Ini The Wall."

Alcard tidak langsung menjawab, hanya mengangguk perlahan. Dalam hatinya, dia tahu Oldman benar. Tapi dia juga sadar, tindakan ini bukan akhir dari segalanya. Sebaliknya, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Kerajaan tidak akan tinggal diam. Dan cepat atau lambat, badai yang lebih besar akan menghantam mereka.

Saat para outcast mulai bergerak, menyeret tubuh para tentara Jovalian yang terbunuh ke tumpukan untuk dibakar bersama sisa-sisa mayat monster, Oldman berbalik dan berjalan menuju ruangannya tanpa berkata apa-apa lagi.

Alcard tetap berdiri di depan gerbang, menatap hutan selatan yang sunyi. Angin dingin bertiup pelan, membawa serta firasat buruk yang menggantung di udara.

Masa depan The Wall kini berubah. Dan tidak ada jalan untuk kembali.

****

 

Di tengah lapangan utama markas pusat, Oldman berdiri tegak, dikelilingi oleh ratusan tahanan yang telah dikirim dari Jovalian dalam sebulan terakhir. Mereka adalah korban dari kekacauan politik yang terjadi di kerajaan itu—orang-orang yang dijadikan tumbal dalam perebutan kekuasaan, dibuang ke tempat di mana tidak ada yang peduli apakah mereka hidup atau mati. Langit malam yang suram membentang di atas kepala mereka, hanya menyisakan sedikit cahaya rembulan yang nyaris tertutup awan gelap. Satu-satunya sumber penerangan adalah api unggun besar di tengah lapangan, cahayanya memantulkan siluet suram dari wajah-wajah putus asa yang berdiri di bawahnya.

Para tahanan itu masih terbelenggu rantai di tangan dan kaki mereka. Wajah mereka menunjukkan kelelahan yang amat dalam, tubuh mereka tampak lemah karena belum menerima bloody potion sejak tiba di The Wall. Hal ini bukan kebetulan—Oldman sengaja membiarkan mereka dalam kondisi ini. Baginya, hampir seluruh dari mereka tidak layak menjadi outcast, dan ia ingin memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar kuat yang akan bertahan.

Suasana tegang menyelimuti lapangan saat Oldman akhirnya mulai berbicara. Suaranya tegas dan dingin, menggema di antara dinding batu besar yang telah menyaksikan begitu banyak penderitaan dan kematian.

"Kalian mengira tempat ini adalah hukuman?" suaranya memecah keheningan. "Tidak. Ini adalah penghakiman."

Tatapannya menyapu seluruh tahanan, melihat ketakutan dan kebingungan di mata mereka. Keberanian kecil yang mungkin masih tersisa dalam diri mereka perlahan terkikis hanya dengan tatapan pria tua itu.

"The Wall bukan tempat bagi mereka yang mencari kenyamanan. Tidak ada belas kasihan di sini, tidak ada keluhan yang akan didengar. Di sini, setiap napas yang kalian hirup harus diperjuangkan. Hidup kalian tidak lagi milik kalian. Di tempat ini, hanya ada dua pilihan: bertahan atau mati."

Beberapa tahanan menelan ludah, sementara yang lain mencoba tetap berdiri tegak, meskipun kaki mereka lemas. Oldman melanjutkan, suaranya semakin menusuk.

"Tidak ada yang peduli pada kalian. Tidak raja kalian. Tidak keluarga kalian. Bahkan kami, para outcast, tidak peduli. Di sini, satu-satunya yang bisa menyelamatkan kalian adalah diri kalian sendiri."

Ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah selatan, ke hamparan kegelapan hutan yang menjulang tanpa batas.

"Di balik hutan itu, kalian akan menemukan nasib kalian—hidup atau mati. Mulai sekarang, kalian bukan lagi tahanan. Kalian adalah calon outcast."

Dari balik jubahnya yang usang, Oldman mengeluarkan selembar peta lusuh, lalu melemparkannya ke tanah di hadapan mereka.

"Tugas kalian sederhana," katanya dengan nada yang lebih dingin. "Pergi ke selatan, cari Folwestian Bloom, dan kumpulkan sepuluh kantong besar. Beberapa dari kami akan mengawasi kalian dari kejauhan, tetapi jangan harap ada yang akan membantu."

Bisikan panik mulai terdengar di antara para tahanan. Beberapa dari mereka saling berpandangan, mencoba mencari kepastian di wajah rekan-rekan mereka yang sama-sama ketakutan. Namun, Oldman tidak memberi mereka waktu untuk berpikir.

"Jika kalian mencoba melarikan diri," lanjutnya dengan nada mengancam, "percayalah, itu adalah pilihan yang lebih buruk daripada menghadapi hutan itu. Di selatan, hanya ada monster yang lebih kejam daripada mimpi buruk kalian. Jika kalian lari, kalian akan mati sendirian, jauh dari siapa pun yang bisa mengenali mayat kalian."

Ia mulai berjalan di antara para tahanan, langkahnya lambat tetapi penuh wibawa. Setiap orang yang dilewatinya merasakan ketegangan yang semakin menusuk, seolah keberadaan mereka sedang dihakimi di tempat.

"Tapi aku akan memberi kalian satu kesempatan," katanya, berhenti di tengah-tengah kerumunan. "Satu-satunya kesempatan yang kalian miliki untuk membuktikan bahwa hidup kalian masih memiliki nilai."

Ia menatap mereka satu per satu sebelum melanjutkan.

"Jika kalian berhasil kembali dengan sepuluh kantong penuh Folwestian Bloom, aku akan memberikan kebebasan kepada kalian. Kalian bebas pergi ke mana pun kalian mau. Tidak ada yang akan menahan kalian."

Tatapan bingung dan putus asa mulai berganti dengan sorot mata penuh ragu. Beberapa mulai berpikir, mencoba menimbang kemungkinan mereka bertahan.

"Tapi," lanjut Oldman dengan suara lebih keras, "jika kalian memilih kembali ke The Wall, kalian akan diterima sebagai saudara kami. Jika kalian ingin hidup sebagai outcast, maka kalian harus membuktikan bahwa kalian layak untuk itu."

Keheningan kembali menyelimuti lapangan. Tahanan-tahanan itu mulai memahami bahwa tidak ada pilihan yang mudah. Namun, di antara mereka, beberapa mulai menunjukkan tanda-tanda keberanian kecil—keberanian yang muncul dari keputusasaan.

"Besok pagi," Oldman mengumumkan, "kalian akan berangkat. Saat tiba di lokasi pencarian, rantai kalian akan dilepas. Tapi ingat ini! Jika kalian kembali tanpa membawa apa yang kuminta, atau jika kalian mencoba kabur… hidup kalian selesai di selatan."

Ia membiarkan kata-katanya menggantung di udara sebelum menyimpulkan dengan suara tegas yang menggema di seluruh lapangan.

"The Wall tidak butuh pengecut. Dunia luar telah membuang kalian, dan di mata mereka, kalian sudah mati. Di sini, kalian punya satu kesempatan terakhir untuk membuktikan bahwa kalian masih layak bernapas."

Setelah selesai berbicara, ia menoleh ke para pengawal yang berjaga di sekitar lapangan.

"Biarkan mereka berdiri di sini malam ini. Berikan mereka waktu untuk berpikir. Esok pagi, pastikan mereka siap berangkat."

Para pengawal mengangguk, tetap menjaga posisi mereka dengan ekspresi dingin. Sementara itu, para tahanan hanya bisa berdiri di bawah langit malam yang kelam, memikirkan nasib yang telah digariskan untuk mereka.

Di sudut lapangan, Alcard berdiri diam, mengamati dari kejauhan. Ia menyaksikan pidato Oldman tanpa ekspresi, tetapi dalam hatinya, ia tahu betul bahwa ini bukan sekadar ujian bagi para tahanan. Ini juga merupakan pesan bagi semua outcast yang masih bertahan di The Wall—bahwa di tempat ini, hanya ada satu hukum yang berlaku: bertahan atau mati.

Seiring dengan semakin larutnya malam, suhu udara semakin dingin, menambah ketegangan di antara para tahanan yang berdiri tanpa perlindungan. Di langit yang kelam, rembulan nyaris tak terlihat, sementara api unggun di tengah lapangan perlahan meredup. The Wall, seperti yang sudah terjadi selama bertahun-tahun, kembali menjadi saksi bisu dari perjuangan hidup dan pengorbanan mereka yang telah dilupakan oleh dunia luar.

****

 

Alcard berdiri di halaman markas utama The Wall, dikelilingi oleh beberapa outcast senior yang tetap waspada meskipun dalam sebulan terakhir tidak ada serangan besar dari monster selatan. Ketegangan yang selalu menyelimuti benteng pertahanan terakhir itu belum sepenuhnya hilang. Meskipun pertempuran besar telah berlalu, ancaman dari selatan tidak pernah benar-benar menghilang. Kali ini, tugas Alcard adalah berjaga, memastikan tidak ada ancaman mendadak, baik itu dari monster yang muncul tiba-tiba maupun kemungkinan serangan dari Kerajaan Jovalian yang kini semakin tidak bisa diprediksi.

Di sela waktu berjaga, para outcast senior berbincang dengan nada datar, membahas nasib para tahanan yang dikirim ke selatan beberapa hari lalu dalam misi yang telah ditentukan Oldman. Salah seorang dari mereka menoleh ke arah Alcard, menatapnya dengan tatapan penuh pemikiran sebelum bertanya dengan nada berat.

"Menurutmu, berapa dari mereka yang akan kembali hidup?"

Tanpa mengalihkan pandangannya dari gerbang, Alcard menjawab singkat, "Sedikit. Tapi itu sudah cukup untuk apa yang diinginkan Oldman."

Jawaban itu tidak mengejutkan siapapun. Semua yang berada di The Wall tahu bahwa hanya mereka yang benar-benar mampu bertahan yang akan kembali, sementara yang lain akan lenyap di kegelapan selatan, menjadi mangsa bagi sesuatu yang lebih kejam dari sekadar monster.

Saat sore mulai menjelang dan cahaya matahari yang redup mewarnai langit dengan semburat merah darah, gerbang besar The Wall akhirnya terbuka perlahan. Dari kejauhan, terlihat sekelompok kecil tahanan kembali bersama para outcast pengawas yang ditugaskan untuk mengamati mereka dari bayang-bayang. Dari ratusan tahanan yang dikirim, hanya segelintir yang berhasil kembali hidup. Tubuh mereka penuh luka—beberapa kehilangan anggota tubuh, yang lain berjalan terseok-seok dengan wajah penuh kelelahan dan trauma.

Salah seorang outcast pengawas maju, menyerahkan kantong besar berisi Folwestian Bloom kepada Oldman. Jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang diperintahkan. Dengan nada tenang namun dingin, pengawas itu melaporkan, "Ini semua yang berhasil kami dapatkan. Mereka gagal memenuhi sepuluh kantong seperti yang diperintahkan."

Oldman tidak segera menanggapi. Ia melangkah maju, menatap para tahanan yang tersisa dengan ekspresi yang sulit dibaca. Sorot matanya mengamati mereka satu per satu, menganalisis bukan hanya kondisi fisik mereka, tetapi juga ketahanan mental mereka setelah mengalami langsung apa yang ada di selatan.

"Kalian gagal," ucapnya akhirnya, suaranya tegas, tanpa emosi. "Itu berarti kebebasan yang kalian harapkan tidak akan kalian dapatkan."

Para tahanan yang tersisa tidak merespon. Sebagian besar hanya diam, beberapa menundukkan kepala, sadar bahwa mereka tidak memiliki hak untuk membantah keputusan ini. Mereka telah kembali dengan tangan kosong, dan di The Wall, kegagalan memiliki harga yang harus dibayar.

Oldman melanjutkan, "Kegagalan kalian berarti satu hal: kalian tetap menjadi bagian dari The Wall. Mulai hari ini, kalian bukan lagi tahanan. Kalian adalah outcast. Jika kalian mampu bertahan, kalian akan menemukan tujuan kalian di sini. Jika tidak, maka kalian hanya akan menjadi bagian dari sejarah yang terlupakan."

Ia berjalan perlahan di sepanjang barisan tahanan yang tersisa, memperhatikan mereka yang terluka terlalu parah untuk bertarung. Beberapa dari mereka masih berdiri dengan susah payah, sementara yang lain sudah hampir roboh karena kelelahan dan cedera yang mereka alami di perjalanan.

Tanpa ragu, Oldman memberi perintah kepada para pengawas dengan nada dingin yang tak terbantahkan, "Bawa mereka yang tidak lagi bisa bertarung ke lapangan eksekusi. Kita tidak bisa memikul beban yang tidak berguna."

Suasana mendadak tegang. Beberapa tahanan yang terlalu lemah untuk bertahan tersentak, mata mereka melebar dalam kepanikan. Beberapa berusaha berbicara, memohon belas kasihan, sementara yang lain menangis dalam diam, menerima nasib yang telah mereka duga namun tetap sulit untuk diterima.

Pengawas melaksanakan perintah tanpa ragu. Para tahanan yang terluka parah, yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk bertahan di The Wall, ditarik dari barisan, dibawa menuju lapangan eksekusi tanpa perlawanan. Jeritan dan permohonan mereka menggema di udara sore yang semakin gelap. Namun, tidak ada yang menjawab, tidak ada yang memberi belas kasihan.

Dari kejauhan, Alcard menyaksikan semuanya dengan tatapan yang sulit ditebak. Wajahnya tetap datar, tidak menunjukkan emosi, tetapi dalam hatinya, ia tahu keputusan ini bukanlah keputusan yang mudah. Ini adalah cara The Wall bertahan—kejam, dingin, dan tanpa ampun. Tidak ada tempat bagi kelemahan di sini, dan mereka yang tidak bisa bertarung tidak akan pernah bisa bertahan.

Setelah eksekusi selesai, Alcard melangkah mendekati salah satu pengawas yang bertugas mengawasi perjalanan para tahanan. Dengan suara tenang, ia bertanya, "Bagaimana misi mereka?"

Pengawas itu, yang masih memegang sisa laporan, menjawab dengan nada datar, "Misi ini bukan hanya soal mengumpulkan Folwestian Bloom. Oldman ingin melihat siapa di antara mereka yang pantas menjadi bagian dari kita. Mereka yang kembali, meski gagal, menunjukkan keberanian dan tekad. Itu sudah cukup."

Alcard mengangguk pelan, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai pertimbangan. Matanya tetap tertuju pada lapangan eksekusi yang kini kembali sepi, hanya menyisakan tanah yang basah oleh darah. Ia bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri, "The Wall memang tidak menerima orang lemah. Tapi cara ini… terasa terlalu dingin."

Pengawas di sampingnya menoleh sebentar sebelum menjawab, "Kita tidak punya pilihan lain. Dunia luar sudah membuang mereka, dan kita tidak punya cukup sumber daya untuk mereka yang tidak bisa bertarung."

Di tengah lapangan, Oldman kembali berdiri tegak di hadapan tahanan yang tersisa. Suaranya menggema di seluruh markas saat ia memberikan kata-kata terakhirnya kepada mereka yang kini telah diterima sebagai outcast.

"Mulai sekarang, kalian adalah bagian dari The Wall. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada belas kasihan. Bertahan, atau mati."

Tahanan-tahanan yang kini telah menjadi bagian dari pasukan The Wall hanya bisa menundukkan kepala. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain menerima nasib mereka.

Sementara itu, Alcard berbalik dan berjalan pergi meninggalkan lapangan. Langkahnya tetap kokoh, tetapi pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang tidak memiliki jawaban. Ia tahu bahwa setiap hari di The Wall bukan hanya pertarungan melawan monster dari selatan, tetapi juga pertarungan melawan kenyataan kejam yang terus menghantui mereka.

Di bawah langit malam yang semakin gelap, The Wall tetap berdiri tegak. Benteng terakhir Middle Earth itu kembali menjadi saksi bisu dari pengorbanan dan perjuangan mereka yang telah dilupakan oleh dunia luar.

****