Bab 11

Saat fajar perlahan menyapu kegelapan malam, suara derap roda kayu menggema di kejauhan, semakin mendekati gerbang besar The Wall. Kabut pagi yang masih menggantung di udara tak mampu menyembunyikan iring-iringan besar yang tiba di hadapan benteng pertahanan terakhir ini. Lima kereta besar, masing-masing ditarik oleh kuda-kuda yang tampak kelelahan, berhenti tepat di depan gerbang.

Rombongan kali ini berbeda dari biasanya. Kereta-kereta itu membawa lebih dari sekadar tahanan. Di dalamnya, terdapat para prajurit berpengalaman yang dirantai, beberapa peti koin emas sebagai kompensasi, dua kereta penuh bahan pangan yang masih segar, dan satu kereta khusus yang berisi perlengkapan perang serta senjata.

Para penjaga The Wall yang telah terbiasa menerima kiriman semacam ini segera melaporkan kedatangan mereka kepada Oldman. Dari atas tembok raksasa The Wall, Oldman mengamati iring-iringan tersebut dengan sorot mata tajam, memperhatikan setiap detail dengan penuh kewaspadaan. Setelah memastikan situasinya tidak mengandung ancaman tersembunyi, ia mengangkat tangannya dan memberi perintah tegas.

"Buka gerbang."

Derit besi tua bercampur dengan suara kayu besar yang bergeser menggema saat gerbang perlahan terbuka. Begitu celah terbentuk, atmosfer yang awalnya hanya diisi kesunyian mendadak dipenuhi ketegangan. Para tentara Jovalian yang mengawal kiriman ini tampak gelisah, mata mereka melirik ke segala arah dengan waspada. Mereka tahu betul siapa yang berdiri di hadapan mereka—outcast, para manusia yang telah diasingkan, namun kini menjadi pertahanan terakhir Middle Earth.

Di antara mereka, beberapa tentara tampak gemetar saat melihat para outcast senior yang berdiri tegap, bersenjata, dengan sorot mata dingin yang tidak menyiratkan belas kasihan. Mereka tidak lupa insiden terakhir yang terjadi di tempat ini, di mana kesombongan beberapa tentara Jovalian berujung pada kematian mereka. Kali ini, tidak ada yang ingin mengulangi kesalahan yang sama.

Oldman melangkah maju dengan tenang, auranya yang penuh wibawa membuat suasana semakin menekan. Ia tidak perlu mengeluarkan kata-kata kasar untuk menciptakan intimidasi. Hanya dengan kehadirannya, ia sudah cukup membuat rombongan Jovalian merasa tidak nyaman.

"Selamat datang di The Wall," katanya datar, suaranya tak meninggikan nada, tetapi tetap terdengar jelas. "Aku dengar kalian membawa banyak hadiah untuk kami."

Seorang komandan Jovalian, tampak lebih muda dari yang biasanya dikirim ke tempat ini, maju dengan ragu-ragu. Tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan sebuah surat resmi kepada Oldman. Dengan ekspresi datar, Oldman menerimanya dan mulai membacanya di tempat, dikelilingi oleh keheningan yang semakin menekan.

Saat membaca isi surat, sudut bibirnya sedikit terangkat, membentuk senyum tipis yang penuh arti—sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya.

"Kami menerima tawaran kalian," ucapnya akhirnya, suaranya tetap dingin seperti sebelumnya. "Tapi, peringatanku sederhana: jangan coba-coba bermain-main dengan kami. Jika itu terjadi, The Wall tidak akan memberikan pengampunan."

Komandan Jovalian hanya mengangguk patuh. Tidak ada perlawanan, tidak ada keberanian untuk membalas kata-kata itu. Mereka tahu bahwa posisi mereka di tempat ini tidak lebih dari sekadar penyampai pesan. Mereka bukan prajurit yang bisa menantang The Wall dan kembali dalam keadaan hidup.

Proses serah terima pun selesai. Para tahanan segera dibawa masuk, sementara isi kereta diturunkan dengan cepat dan efisien oleh para outcast. Bahan pangan dikirim ke gudang penyimpanan, koin emas diperiksa, dan senjata serta perlengkapan perang dibawa ke bengkel untuk diperiksa kelayakannya.

Di tengah kesibukan itu, Alcard mendekati Oldman yang masih menggenggam surat dari kerajaan Jovalian. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketertarikan di matanya.

"Apa yang mereka tulis?" tanyanya, nada suaranya tidak menunjukkan emosi, tetapi ada sedikit ketertarikan dalam pertanyaannya.

Ia juga tahu bahwa keputusan Oldman untuk menolak tahanan sebelumnya bukan hanya dilakukan di markas pusat. Beberapa outcast yang kembali dari outpost paling timur The Wall membawa kabar bahwa tindakan serupa juga dilakukan di sana. Informasi itu beredar di antara mereka yang bertugas di perbatasan kekuasaan markas pusat dan markas timur. Alcard hanya berpikir, memang pantas Oldman sangat marah—kerajaan Jovalian ingin membuang seluruh masalah mereka ke The Wall, tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.

Oldman menatap surat itu sejenak sebelum menjawab, "Dua faksi di Jovalian akhirnya sepakat untuk menjauhkan The Wall dari konflik mereka. Mereka tahu, menjadikan kita musuh adalah kesalahan fatal. Kompensasi ini adalah cara mereka memastikan kita tetap netral."

Alcard tersenyum kecil, nada sarkastis terdengar dalam suaranya. "Setidaknya mereka cukup pintar untuk menyadari hal itu. Tapi, kenapa masih ada tahanan? Bukankah mereka tetap memanfaatkan kita?"

Oldman mengangkat bahu tanpa ekspresi. "Tahanan kali ini berbeda. Mereka lebih terlatih dan siap bertempur. Ini bukan sekadar pembuangan. Mereka tahu kita membutuhkan orang yang mampu bertahan di sini."

Di lapangan utama, para tahanan baru telah dibariskan dengan ketat. Outcast senior berjaga di sekitar mereka, senjata siap digunakan jika terjadi masalah. Tidak ada celah bagi para tahanan untuk mencoba melawan atau melarikan diri.

Oldman berjalan mendekati mereka dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan merah gelap—Bloody Potion. Cairan itu adalah bagian dari kehidupan di The Wall, sesuatu yang menentukan apakah seseorang benar-benar bisa bertahan atau tidak.

"Minum," perintahnya singkat.

Sebagian tahanan ragu. Wajah mereka menunjukkan kebimbangan, bahkan ketakutan. Mereka tidak tahu efek pasti dari cairan itu, hanya mendengar rumor yang beredar tentang bagaimana Bloody Potion mengubah seseorang.

Namun, ketakutan mereka terhadap The Wall lebih besar daripada keraguan mereka terhadap cairan itu. Setelah melihat tatapan dingin para penjaga, mereka akhirnya meminum potion tersebut. Efeknya mulai terasa dalam hitungan detik—beberapa dari mereka mengerang pelan, tubuh mereka memanas, otot-otot mereka menegang, dan dalam beberapa kasus, ada yang jatuh berlutut, berusaha menahan efek yang mengalir dalam tubuh mereka.

Oldman mengawasi mereka dengan tatapan tanpa emosi. "Mulai saat ini, kalian adalah bagian dari The Wall. Hidup kalian bukan lagi milik kalian. Jika kalian mencoba kabur atau berkhianat, kalian tahu apa yang akan terjadi."

Setelah proses selesai, Oldman kembali ke samping Alcard dan berbicara dengan suara lebih rendah. "Ini bukan hanya soal mereka takut pada kita. Mereka tahu, jika The Wall runtuh, Middle Earth akan menjadi ladang pembantaian bagi semua pihak."

Alcard menatap gerbang yang kini telah kembali tertutup. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, "Berapa lama lagi mereka akan tetap bersikap masuk akal seperti ini?"

The Wall mungkin telah mendapatkan keuntungan dari kesepakatan ini, tetapi ketegangan tetap ada. Konflik di luar masih belum selesai, dan mereka yang berada di dalam benteng ini tahu bahwa cepat atau lambat, mereka akan kembali menghadapi pilihan sulit.

The Wall tetap berdiri, sunyi, tapi penuh ancaman yang mengintai dari segala arah.

****

 

Saat matahari mulai tenggelam di balik cakrawala, memancarkan sinar keemasan yang membias di dinding kokoh The Wall, Alcard melangkah menuju ruangan Oldman. Suara langkah kakinya bergema di sepanjang koridor batu yang dingin, hingga akhirnya ia tiba di depan pintu kayu berat yang sudah terlalu sering menjadi saksi bisu percakapan penting di benteng ini. Dengan ketukan singkat dan tegas, ia mendorong pintu terbuka, memasuki ruangan yang diterangi cahaya temaram dari lilin yang hampir habis.

Di balik meja besar yang dipenuhi peta dan dokumen, Oldman duduk dengan ekspresi serius. Di tangannya, sebuah surat bersegel kerajaan Edenvila terbuka, isinya masih segar dalam benaknya. Tanpa basa-basi, ia mengangkat kepalanya dan langsung berbicara, "Aku punya tugas baru untukmu, Alcard. Pengawalan."

Alcard menatapnya dengan raut skeptis, dahinya mengernyit dalam ketidakpercayaan. "Pengawalan? Apa ini semacam lelucon, Oldman?" Nada suaranya terdengar dingin, mencerminkan ketidaksukaannya pada tugas-tugas yang tidak berhubungan dengan perburuan monster.

Oldman menaruh surat itu di atas meja, matanya menatap tajam ke arah Alcard. "Ini bukan lelucon. Permintaan ini datang secara spesifik untukmu. Kau harus mengawal seseorang kembali ke Edenvila."

Alcard menyilangkan tangannya di dada, masih belum menerima kenyataan aneh ini. "Sendirian? Aku ini pemburu monster, bukan pengawal bangsawan. Kenapa aku? Dan kenapa mereka sampai meminta bantuan The Wall untuk sesuatu seperti ini?"

Oldman menghela napas berat, seolah pertanyaan ini juga menghantuinya sejak ia membaca surat itu pertama kali. "Percayalah, aku pun bertanya-tanya hal yang sama. Tapi bayarannya sangat besar, Alcard. Cukup untuk menopang kebutuhan kita selama berbulan-bulan tanpa harus mengkhawatirkan logistik atau persenjataan."

Meskipun masih penuh keraguan, Alcard tidak bisa mengabaikan fakta bahwa suplai mereka selalu menjadi masalah. Namun, ia tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Siapa yang meminta ini?" tanyanya dengan nada lebih tajam.

Oldman mengambil kembali surat itu, membacanya dengan suara datar. "Lady Arwen Delareu dari Kerajaan Edenvila."

Nama itu membuat Alcard terdiam sejenak. Edenvila bukanlah sekadar kerajaan biasa, melainkan salah satu kerajaan manusia yang paling tertutup dan penuh dengan intrik bangsawan. Permintaan dari seorang bangsawan, itu bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja.

"Lady Arwen?" Alcard mengulang nama itu, seolah mencoba mencari makna di baliknya. "Seorang bangsawan dari Edenvila meminta bantuan kita, para outcast, untuk tugas pengawalan? Itu tidak masuk akal. Kenapa mereka tidak menggunakan pasukan mereka sendiri?"

Oldman mengangkat bahunya, menunjukkan bahwa ia pun sama bingungnya. "Aku juga tidak tahu. Surat ini tidak memberikan alasan apa pun. Hanya ada satu instruksi: kawal Lady Arwen kembali ke Edenvila dengan selamat. Tidak lebih, tidak kurang."

Alcard menyipitkan matanya, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Karena dia tahu, berurusan dengan kerajaan Edenvila bukanlah suatu hal yang sangat bagus. Bahkan, itu bisa menjadi hal yang terburuk, seburuk menghadapi monster mutasi dari hutan selatan.

"Boreas dan Edda tidak pernah kembali dari Edenvila, Oldman," Alcard berkata dengan suara rendah, tetapi penuh ketegasan. "Aku tidak percaya mereka mati karena reruntuhan. Bangsawan Edenvila bisa saja membunuh mereka atau menumbalkan mereka dalam penjelajahan itu."

Oldman tidak mengelak. Ia hanya menatap Alcard dengan mata yang menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tidak bisa dikatakannya secara langsung. "Kabar terakhir yang kita terima menyebutkan bahwa misi itu gagal total. Tidak ada yang kembali dari dalam reruntuhan, kecuali dua pelayan bangsawan yang ditugaskan menjaga persediaan di dekat pintu masuk." Suaranya datar, namun ada sesuatu di baliknya yang membuat Alcard semakin curiga.

Alcard mendecakkan lidah, ekspresinya berubah semakin gelap. "Dan sekarang, mereka mengirim permintaan agar aku yang mengawal salah satu bangsawan mereka?" Ia menatap Oldman dengan tatapan tajam. "Aku tidak suka ini. Jika ini jebakan, aku tidak akan membiarkanmu menyalahkanku nanti."

Oldman tersenyum tipis, tetapi bukan senyum yang menunjukkan kepuasan—melainkan senyum yang mencerminkan pemahaman akan kekhawatiran Alcard. "Aku tahu kau tidak menyukai pekerjaan semacam ini, Alcard. Tapi ingat ini, jika mereka berani mengkhianati kita, mereka harus siap menghadapi kemarahan para outcast. Edenvila cukup cerdas untuk tidak bermain-main dengan kita."

Alcard menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan kemungkinan buruk. Ia tahu, menolak misi ini bukanlah pilihan. Jika ia tidak pergi, orang lain akan dikirim, dan siapa pun yang dikirim mungkin tidak akan kembali hidup-hidup.

"Baiklah," katanya akhirnya, meskipun nada suaranya masih sarat dengan ketidakpercayaan. "Aku akan mengawal bangsawan ini. Tapi aku memperingatkanmu, Oldman—jika aku menemukan sesuatu yang mencurigakan, aku tidak akan ragu untuk mengambil tindakan."

Oldman menatapnya sebentar, lalu menyerahkan surat itu kepada Alcard. "Aku tidak mengharapkan yang lain darimu," katanya sambil menepuk bahu Alcard dengan ringan. "Berhati-hatilah. Dunia bangsawan sering kali lebih berbahaya daripada monster di selatan."

Alcard hanya mendengus kecil sebelum mengambil surat itu dan berbalik meninggalkan ruangan. Pikirannya penuh dengan tanda tanya yang tak terjawab.

Siapa sebenarnya Lady Arwen, dan kenapa ia membutuhkan bantuan seorang outcast?

Saat ia melangkah keluar, langit di atas The Wall mulai berubah warna, menggambarkan semburat jingga senja yang berangsur pudar ke kegelapan malam. Di kejauhan, angin membawa bisikan dingin, seolah mengingatkan Alcard bahwa perjalanan ini tidak akan sesederhana yang tertulis di atas kertas.

****

 

Saat fajar mulai beranjak tinggi, Alcard menunggangi kudanya dengan ketenangan yang hanya bisa didapat dari seseorang yang telah terbiasa menghadapi bahaya. Namun, meski tampak tenang di luar, pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Jalan berbatu yang kasar membentang di hadapannya, mengarahkannya menuju Benteng Wolven, sebuah benteng tua milik Lord Edmun Wolven, salah satu penguasa kecil yang wilayahnya berbatasan langsung dengan The Wall.

Udara dingin sore hari menusuk kulitnya, membawa hembusan angin yang membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Hutan lebat di kedua sisi jalan menambah suasana suram yang seolah mencerminkan pikirannya yang dipenuhi keraguan. Bayangan pepohonan yang menjulang tinggi menciptakan ilusi seakan ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Sesekali, burung-burung hutan berkicau lirih di kejauhan, namun suara mereka nyaris tenggelam oleh gesekan angin yang menerpa dahan-dahan tua.

Sambil menatap lurus ke depan, Alcard bergumam pelan, nyaris hanya untuk dirinya sendiri. "Kenapa seorang bangsawan dari Edenvila membutuhkan jasa seorang outcast untuk pengawalan? Bukankah itu tugas pasukan kerajaan? Dan kenapa mereka memilih benteng ini sebagai titik pertemuan?"

Kuda yang ditungganginya meringkik pelan, seolah ikut merasakan kegelisahan tuannya. Alcard tetap fokus, matanya terus menyapu jalanan berbatu di hadapannya. Ia tak pernah merasa nyaman di tempat yang asing, terlebih saat dirinya dikirim untuk tugas yang terasa janggal sejak awal.

Saat matahari mulai tenggelam, sinarnya yang keemasan menyapu dinding-dinding batu Benteng Wolven yang sudah mulai terlihat dari kejauhan. Bangunan itu berdiri kokoh, meskipun tampak jelas bahwa usia telah menggerogoti beberapa bagian temboknya. Lumut tumbuh di sela-sela batu, dan beberapa menara pengawas terlihat mulai rapuh, namun benteng ini masih tetap berdiri sebagai pertahanan yang kuat.

Mendekati gerbang utama, Alcard melihat dua penjaga bersenjata tombak berdiri tegap di depan pintu kayu besar yang tebal. Begitu kudanya berhenti beberapa meter dari mereka, salah satu penjaga melangkah maju, mengacungkan tombaknya ke arah Alcard dengan sikap waspada.

"Berhenti!" serunya dengan suara tegas. "Siapa kau, dan apa keperluanmu di sini?"

Alcard menatap mereka dengan ekspresi datar, tidak sedikit pun terganggu oleh sikap kasar mereka. "Aku Alcard. Seorang outcast. Aku datang atas permintaan Lady Arwen Delareu dari Edenvila."

Kedua penjaga itu saling bertukar pandang sebelum salah satunya tertawa kecil, lalu diikuti oleh rekannya yang ikut terkekeh dengan nada mengejek.

"Outcast?" salah satu dari mereka berkata dengan sinis. "Kau pikir siapa dirimu datang ke sini dengan percaya diri seperti itu? Sampah seperti kalian tidak punya tempat di sini."

Penjaga lainnya menimpali dengan tawa kasar. "Apa yang membuatmu berpikir seorang bangsawan seperti Lady Arwen membutuhkan seseorang sepertimu? Kau hanyalah pecundang yang bersembunyi di balik tembok."

Alcard tidak bereaksi. Ia hanya merogoh kantongnya dengan tenang dan mengeluarkan sebuah gulungan surat bersegel resmi dari Edenvila, lalu menyerahkannya kepada salah satu penjaga. "Bacalah ini," katanya dengan nada dingin. "Ini adalah perintah langsung dari Lady Arwen. Kalian tidak punya hak untuk menolaknya."

Salah satu penjaga, masih dengan ekspresi enggan, meraih surat itu dan membukanya. Saat ia membaca isi surat tersebut, wajahnya yang sebelumnya dipenuhi kesombongan perlahan berubah menjadi ragu. Ia melirik rekannya, lalu mendesah berat.

"Sepertinya ini benar. Kita tidak bisa menolak perintah ini," gumamnya dengan enggan.

Rekannya mendengus kesal, lalu memberi isyarat kepada para penjaga di atas gerbang. "Baiklah, kau boleh masuk. Tapi jangan berpikir kau diterima di sini, outcast."

Gerbang kayu besar itu berderit keras saat perlahan terbuka, memperlihatkan halaman benteng yang cukup luas meski sederhana. Beberapa prajurit terlihat berlatih di lapangan kecil, mengayunkan pedang dan menangkis serangan latihan dari sesama mereka. Di sudut lain, para pelayan sibuk mengangkut peti dan barang ke dalam bangunan utama. Matahari yang mulai tenggelam menciptakan bayangan panjang dari menara-menara batu, menambahkan kesan muram pada tempat ini.

Saat Alcard memasuki halaman dengan kudanya, suasana di sekelilingnya langsung berubah. Bisikan-bisikan mulai terdengar dari para prajurit dan pelayan yang berhenti sejenak untuk menatapnya.

"Outcast? Apa yang dia lakukan di sini?" salah seorang warga berbisik dengan nada penuh curiga.

"Orang-orang itu hanya pembunuh bayaran. Kenapa benteng ini harus menerima mereka?" gumam seorang warga Perempuan dengan suara lebih rendah, meskipun cukup terdengar di telinga Alcard.

Namun, Alcard tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya terus mengarahkan kudanya perlahan menuju aula utama, di mana ia akan bertemu dengan Lady Arwen. Tatapan tajamnya tidak berhenti mengamati sekeliling, mempelajari situasi dan membaca ekspresi orang-orang di sekitarnya. Ia sudah terlalu terbiasa dengan tatapan merendahkan dan bisikan penuh kebencian seperti ini.

"Ini hanya pekerjaan," pikirnya dalam hati. "Tidak lebih."

Namun, meski ia mencoba merasionalisasi tugas ini sebagai bagian dari misinya, jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tidak hanya dari cara orang-orang di benteng ini memperlakukannya, tetapi juga dari permintaan aneh bangsawan Edenvila yang lebih memilih seorang outcast untuk tugas pengawalan daripada mempercayakan misinya kepada prajurit mereka sendiri.

Saat ia mendekati pintu besar aula utama, hatinya mulai dipenuhi firasat buruk. Ia tahu bahwa di dunia bangsawan, segala sesuatu memiliki agenda tersembunyi. Tidak ada yang dilakukan tanpa alasan. Jika Lady Arwen memilihnya, maka pasti ada sesuatu yang tidak ia ketahui.

Dan ia berniat untuk mencari tahu.

****

 

Ketika Alcard melangkah melewati jalanan Benteng Wolven, suasana riuh yang awalnya memenuhi tempat itu perlahan meredup. Pasar kecil yang terletak di dalam benteng dipenuhi oleh para pedagang yang berteriak menawarkan barang dagangan mereka, sementara prajurit berlalu-lalang dengan tatapan waspada. Anak-anak kecil berlarian di antara keramaian, tawa mereka menggema di udara. Namun, seiring langkah Alcard yang semakin mendekat, suara-suara itu mulai mereda, tergantikan oleh bisikan-bisikan pelan yang dipenuhi rasa curiga dan ketidakpercayaan.

Seorang pedagang tua yang tengah merapikan barang dagangannya melirik Alcard dengan sorot mata penuh kewaspadaan, lalu berbisik pada rekannya, "Lihat itu, seorang Outcast. Apa dia datang membawa masalah?"

Seorang pria muda yang sedang menata buah-buahannya ikut menimpali dengan nada meremehkan, "Kenapa seseorang seperti dia bisa diizinkan masuk ke sini? Bukankah mereka hanya pembunuh yang diasingkan dari peradaban?"

Bisikan-bisikan lainnya mulai terdengar di antara orang-orang yang berkumpul di pasar. Seorang wanita yang tengah membawa keranjang penuh kain menggenggam tangan anaknya lebih erat saat bocah itu mencoba mendekati Alcard. Wajahnya penuh ketakutan saat ia berbisik pada orang di sebelahnya, "Matanya… merah seperti darah. Aku pernah dengar, hanya orang-orang gila yang berani bicara dengan Outcast."

Alcard mendengar semuanya. Setiap ejekan, setiap tatapan ketakutan yang dilemparkan padanya, tetapi ia tidak menunjukkan reaksi. Wajahnya tetap datar, langkahnya tetap tegap. Di dalam hatinya, ia hanya bisa menggeleng dalam diam. "Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka mencemooh kami, tetapi tanpa kami, mereka tidak akan bisa menikmati hidup tenang di balik tembok-tembok ini. Mereka menghormati The Wall, tapi membenci kami yang menjaganya tetap berdiri."

Tatapan curiga juga datang dari para prajurit yang berjaga di sekitar benteng. Beberapa dari mereka menggenggam gagang pedang lebih erat saat Alcard melintas, seolah ia adalah ancaman yang bisa menyerang kapan saja. Ia bahkan melihat seorang prajurit muda yang menelan ludah dengan gugup, meskipun berusaha menyembunyikannya di balik ekspresi keras.

Alcard terus berjalan, melewati gang kecil yang menghubungkan pasar dengan lapangan latihan benteng. Di sana, suara dentingan pedang yang beradu dan perintah keras dari instruktur tempur mendominasi udara. Para prajurit muda tengah berlatih, mengayunkan pedang mereka dengan penuh semangat. Namun, begitu beberapa dari mereka menyadari kehadiran Alcard, gerakan mereka melambat, dan mereka mulai melirik ke arahnya dengan ekspresi campuran antara rasa ingin tahu dan ketidakpercayaan.

Ia tidak peduli. Tanpa menoleh ke arah mereka, ia melanjutkan perjalanannya menuju kastil utama Benteng Wolven.

Bangunan megah itu berdiri kokoh di tengah halaman utama, dinding-dinding batu abu-abu gelapnya memancarkan kesan tua dan berwibawa. Menara-menara tinggi menjulang, seolah mengawasi setiap sudut benteng. Meski tidak semegah istana para bangsawan besar, kastil ini jelas dibangun untuk ketahanan, bukan keindahan.

Ketika ia tiba di depan pintu masuk utama, dua penjaga berbadan besar berdiri dengan tombak yang bersilang, menghalangi jalannya. Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh kekar dengan wajah kasar, melangkah maju dan berbicara dengan suara berat.

"Berhenti. Tidak ada akses untuk orang sepertimu di sini."

Alcard tetap tenang. Ia sudah menduga akan menerima sambutan seperti ini. Dengan gerakan santai, ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan surat bersegel resmi dari Edenvila. Tanpa berbicara banyak, ia menyerahkannya kepada penjaga itu.

"Aku di sini atas perintah Lady Arwen Delareu dari Edenvila. Surat ini adalah perintah resmi yang ditujukan kepada Lord Edmun. Aku ditugaskan untuk mengawal Lady Arwen kembali ke Edenvila," ucapnya dengan nada rendah namun penuh ketegasan.

Penjaga itu meraih surat tersebut dengan kasar, membuka gulungan perkamen dan membaca isinya. Ekspresinya yang semula angkuh mulai berubah, namun tidak sepenuhnya menghilangkan kesan merendahkan.

"Surat ini mungkin asli," gumamnya dengan suara berat, "tapi perintah kami juga jelas. Tidak ada Outcast yang diizinkan masuk ke kastil."

Penjaga lainnya, seorang pria lebih muda dengan wajah sinis, tertawa kecil sebelum menambahkan, "Kau bisa tunggu di luar. Mungkin ada orang cukup bodoh yang mau menemui monster sepertimu."

Alcard menahan diri untuk tidak bereaksi terhadap provokasi itu. Matanya yang merah hanya menatap dingin ke arah mereka sebelum akhirnya berbicara dengan nada rendah, namun penuh ancaman terselubung.

"Lady Arwen tidak akan senang jika mendengar bahwa aku dihalangi masuk. Aku ditugaskan untuk memastikan keselamatannya. Jika kalian menghalangi perintah ini, aku jamin, bukan aku yang akan bertanggung jawab atas akibatnya, tetapi kalian."

Kedua penjaga itu saling bertukar pandang. Ada keraguan di mata mereka, namun mereka masih enggan tunduk. Setelah beberapa saat hening, penjaga yang lebih tua akhirnya mendesah berat dan melambaikan tangannya dengan gerutuan.

"Baiklah, tunggu di sini. Aku akan memanggil seseorang yang berwenang."

Sambil mengangguk malas, ia masuk ke dalam kastil, meninggalkan Alcard berdiri di depan pintu masuk. Alcard bersandar pada dinding batu di dekatnya, melipat kedua tangannya di dada. Ia tahu harus menunggu, meskipun ia membenci membuang waktu untuk hal yang terasa seperti penghinaan ini.

Sementara itu, bisikan-bisikan baru kembali terdengar di sekitarnya. Para pelayan yang berjalan melewati halaman kastil meliriknya dengan takut-takut. Beberapa prajurit yang berpatroli menatapnya dengan ketidakpercayaan yang jelas terpampang di wajah mereka.

"Apa yang dia lakukan di sini?" bisik salah satu pelayan kepada rekannya.

"Bisakah dia dipercaya? Aku dengar Outcast suka membunuh tanpa alasan," timpal yang lain dengan nada waspada.

Alcard tetap diam. Tidak ada gunanya menjelaskan atau membela diri. Ia sudah terlalu lama hidup dengan kebencian semacam ini.

"Semakin lama aku di sini, semakin jelas kebencian mereka. Dunia ini memang sudah lama rusak," pikirnya. "Mereka hanya melihat kami sebagai bayangan gelap, tanpa menyadari bahwa bayangan itulah yang melindungi mereka dari kegelapan yang lebih besar."

Matanya beralih ke arah pintu kastil yang masih tertutup. Ia menunggu dengan sabar, namun pikirannya tetap awas. Jika ada yang mencoba sesuatu yang mencurigakan, ia siap bertindak.

Karena meskipun mereka memandangnya sebagai monster, ia lebih tahu daripada siapa pun bahwa monster sejati sering kali bukan berasal dari kegelapan, tetapi dari manusia itu sendiri.

****

 

Di bawah sinar matahari yang semakin meredup, Alcard tetap berdiri tegak di depan gerbang kastil, menunggu dalam diam. Udara di sekelilingnya dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan, sementara para penjaga tetap menjaga jarak darinya, seolah kehadirannya adalah gangguan yang tidak diinginkan. Setiap detik berlalu terasa panjang, namun Alcard tidak menunjukkan tanda-tanda ketidaksabaran. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini—tatapan curiga, kebencian yang disamarkan dengan formalitas, dan ketidakpercayaan yang merayap di balik kata-kata yang terdengar sopan.

Akhirnya, suara langkah kaki terdengar mendekat, diikuti oleh derit pintu kastil yang terbuka. Seorang penjaga muncul kembali, kali ini ditemani oleh seorang pria tua yang mengenakan jubah sederhana. Rambutnya yang memutih dan wajahnya yang dipenuhi kerutan menunjukkan usianya, namun sorot matanya masih tajam, seperti seseorang yang telah menghabiskan hidupnya mengamati dunia dengan penuh kehati-hatian.

Pria itu menatap Alcard dari ujung kepala hingga kaki, matanya mengamati setiap detail dengan seksama, seolah mencoba memahami sosok yang berdiri di hadapannya. Akhirnya, ia berbicara dengan nada datar yang penuh perhitungan.

"Kau diizinkan masuk," katanya singkat. Namun, sebelum Alcard sempat melangkah, pria itu menambahkan dengan nada lebih tegas, "Tapi ingat, outcast sepertimu tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di dalam kastil utama. Kehadiranmu di sini saja sudah merupakan penghinaan bagi Lord Edmun. Kau hanya akan dibawa ke taman belakang, di mana Lady Arwen menunggumu."

Alcard tidak bereaksi terhadap nada merendahkan itu. Ia hanya mengangguk kecil, menerima peraturan yang jelas dibuat untuk memastikan dirinya tidak terlihat oleh para bangsawan dan prajurit yang berada di dalam kastil. Ia tidak terkejut—bagi mereka, ia hanyalah bagian dari dunia yang ingin mereka lupakan, sosok yang lebih baik tetap tersembunyi di balik tembok.

Tanpa sepatah kata pun, ia mengikuti pria tua itu yang mulai melangkah dengan langkah mantap. Lorong yang mereka lalui panjang dan sepi, jauh dari aula utama kastil yang biasanya dipenuhi dengan tamu-tamu penting dan perjamuan mewah. Seolah-olah jalur ini memang disiapkan untuk tamu yang tak diinginkan.

Sambil berjalan, pria tua itu berbicara tanpa menoleh. "Lord Edmun tidak ingin melihatmu. Kau sebaiknya tidak berharap ada penyambutan hangat di sini." Suaranya penuh ketegasan, seolah ingin memastikan bahwa Alcard memahami posisinya. "Tapi Lady Arwen… entah apa yang ada di pikirannya. Dia bersikeras memilihmu untuk misi ini. Seorang outcast. Itu sungguh tidak masuk akal."

Alcard tetap diam, membiarkan kata-kata itu berlalu begitu saja. Ia sudah terbiasa dengan sikap seperti ini—penuh prasangka, penuh penghinaan yang terselubung dalam kata-kata formal. Namun, jauh di dalam benaknya, ia bertanya-tanya, "Kenapa Lady Arwen memilihku? Seorang outcast, seseorang yang bahkan tidak diizinkan memasuki kastil? Apa yang dia tahu?"

Mereka terus berjalan melewati sudut-sudut kastil yang sepi, hingga suara dari aula utama mulai terdengar samar di kejauhan. Gelak tawa, dentingan gelas yang bersulang, dan alunan musik yang dimainkan oleh musisi istana memenuhi udara. Suara itu seakan berasal dari dunia lain—dunia yang penuh kemewahan dan pesta, jauh berbeda dari realitas yang setiap hari ia hadapi di The Wall.

Alcard melirik ke arah sumber suara itu, meskipun ia tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalamnya. Baginya, perjamuan semacam itu hanyalah simbol dari kebutaan para bangsawan terhadap dunia di luar istana mereka. Mereka berpesta sementara orang lain bertarung dan mati untuk melindungi tanah mereka.

Akhirnya, mereka tiba di sebuah gerbang kecil yang mengarah ke taman belakang kastil. Pria tua itu berhenti sejenak sebelum menggeser pintu kayu itu perlahan, memperlihatkan taman yang terawat dengan indah di baliknya. Pepohonan hijau berdiri kokoh di sepanjang jalur setapak yang melengkung dengan anggun, sementara bunga-bunga dalam berbagai warna bermekaran di bawah cahaya matahari senja. Suara gemericik air dari air mancur kecil menambah ketenangan suasana.

Di tengah taman, terdapat sebuah gazebo putih dengan ukiran elegan. Di dalamnya, duduk seorang wanita muda dengan rambut pirang panjang yang tergerai lembut. Gaunnya sederhana, namun keanggunannya memancarkan aura bangsawan sejati. Di tangannya, sebuah buku terbuka, dan ia tampak tenggelam dalam bacaannya, seolah dunia di sekitarnya tidak ada.

Cahaya matahari yang mulai meredup menyorot wajahnya, memberikan efek keemasan yang membuatnya terlihat seperti lukisan hidup.

Pria tua itu menunjuk ke arah gazebo dengan gerakan tangan yang gemetar ringan. "Di sana. Lady Arwen menunggumu. Dan ingat," katanya dengan nada penuh peringatan, "jangan buat masalah."

Alcard hanya mengangguk singkat sebelum melangkah maju dengan tenang. Ia memastikan langkahnya tidak mengeluarkan suara, tetapi entah bagaimana, Lady Arwen tampaknya sudah menyadari kehadirannya bahkan sebelum ia sampai.

Tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya, ia berbicara dengan suara lembut, tetapi penuh otoritas. "Kau pasti pengawal yang dikirim oleh The Wall, bukan?"

Alcard berhenti beberapa langkah dari gazebo, memberi hormat dengan sedikit membungkuk. "Benar, Lady Arwen. Aku Alcard, seorang outcast dari The Wall. Aku ditugaskan untuk mengawalmu kembali ke Edenvila."

Barulah saat itu Lady Arwen menutup bukunya dengan gerakan anggun, mengangkat wajahnya untuk menatap Alcard. Mata birunya yang tajam mengamati sosoknya dengan seksama, menilai setiap detail armor yang dipenuhi goresan dan bekas pertempuran.

Senyum tipis muncul di bibirnya. "Luar biasa," katanya, suaranya lembut tetapi penuh arti. "Seorang outcast yang melayani The Wall. Aku selalu penasaran… bagaimana rasanya hidup sebagai pelindung dari sesuatu yang dunia telah lupakan?"

Alcard tetap diam, ekspresinya tak berubah. Namun, di dalam pikirannya, ia bertanya-tanya, "Dia tidak seperti bangsawan lainnya. Kata-katanya menunjukkan bahwa dia memahami sesuatu yang lebih besar. Tapi sejauh mana dia benar-benar tahu?"

Suasana hening sejenak sebelum Lady Arwen berdiri perlahan, menggenggam bukunya dengan tangan yang mantap. Ia melangkah mendekat, lalu berkata dengan nada yang penuh keyakinan, "Baiklah, Tuan Alcard. Sepertinya perjalanan ini akan menjadi panjang dan penuh kejutan. Mari kita bahas lebih banyak di perjalanan."

Alcard mengangguk, mengambil satu langkah mundur untuk memberi jalan. "Seperti yang Anda kehendaki, Lady Arwen."

Saat Lady Arwen mulai berjalan, Alcard mengikuti di belakangnya. Meskipun tugas ini tampaknya sederhana, nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar tersembunyi di baliknya.

Saat langit semakin gelap dan udara malam mulai berhembus, Alcard menyadari satu hal—perjalanan ini bukan sekadar perjalanan pengawalan biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.

****