Bab 12

Alcard berdiri di pelataran luar kastil, memegang tali kendali seekor kuda putih yang tampak anggun dan terawat dengan baik. Cahaya matahari sore yang hangat memantul di bulu kuda itu, menciptakan kilauan samar yang kontras dengan suasana hatinya yang penuh pertanyaan. Ia menatap kastil yang menjulang tinggi di hadapannya, sebuah simbol kekuasaan dan kemewahan yang terasa begitu jauh dari dunia yang ia kenal di The Wall. Pikirannya berkecamuk, dipenuhi teka-teki yang tak kunjung menemukan jawaban.

"Mengapa Lady Arwen, seorang bangsawan dengan segala fasilitas dan pasukan yang dimilikinya, memilih melakukan perjalanan ini hanya dengan seorang outcast sepertiku?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. "Di mana pengawalnya? Apa yang sebenarnya ia rencanakan?"

Kuda putih itu meringkik pelan, menarik Alcard kembali ke kenyataan. Ia menepuk leher kuda itu dengan lembut, merasakan detak jantung tenangnya. "Kau tampaknya lebih cocok di tempat ini dibanding aku," katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada hewan itu. Meski tampak tidak masuk akal, ia merasakan seolah kuda itu memahami kegelisahannya.

Tak lama kemudian, suara derit engsel yang berat terdengar, menandakan gerbang kastil mulai terbuka. Dari dalam, Lady Arwen melangkah keluar dengan anggun, gaunnya yang elegan berkibar lembut tertiup angin sore. Setiap gerakannya memancarkan kepercayaan diri yang khas, seolah dunia di sekitarnya tunduk pada kehadirannya. Namun, di belakangnya, berdiri Lord Edmun Wolven dengan ekspresi yang tidak bisa disembunyikan—sebuah senyuman yang tampak lebih seperti formalitas daripada ketulusan.

"Semoga perjalananmu menyenangkan, Lady Arwen," kata Lord Edmun dengan nada penuh basa-basi. "Kau selalu diterima kapan saja di benteng ini." Kata-katanya terdengar manis, tetapi ketika tatapannya beralih ke Alcard, sikapnya berubah dingin. Sorot matanya penuh penghinaan, seolah kehadiran Alcard di tempat ini adalah noda bagi kebanggaannya sebagai tuan tanah.

Alcard tidak menanggapi. Ia sudah terlalu terbiasa dengan tatapan seperti itu. Dalam hatinya, ia mencatat sikap Lord Edmun. "Jadi ini alasannya. Dia ingin menjauhkan dirinya dari urusan ini, menyerahkan tanggung jawab kepada seorang outcast dan berpura-pura tidak terlibat. Klasik," pikirnya. Ia tidak perlu bertanya lebih jauh; jelas Lord Edmun ingin menjaga jarak dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan seorang bangsawan muda.

Sementara itu, Lady Arwen berjalan mendekati kuda putih yang dituntun oleh Alcard. Dengan gerakan anggun yang terlihat alami, ia naik ke atas pelana tanpa kesulitan. Setelah duduk dengan nyaman, ia menoleh ke arah Alcard dan memberikan senyum kecil yang sulit diartikan.

"Aku jarang berkuda," katanya dengan nada lembut, matanya menatap kuda yang ia tunggangi. "Tapi kuda ini… dia istimewa. Hadiah dari ayahku yang telah tiada. Dia telah menemaniku sejak aku masih kecil."

Alcard mengangguk kecil, mengingat kata-kata itu. "Seorang bangsawan muda dengan warisan sebesar ini, memilih untuk melakukan perjalanan tanpa pengawalan penuh. Apakah ini bentuk pelarian? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang ia sembunyikan?" pikirnya.

Tanpa membuang waktu lebih lama, Alcard mulai menuntun kuda putih itu menuju gerbang kastil. Langkahnya mantap, tetapi matanya terus menyapu lingkungan sekitarnya dengan waspada. Saat mereka melewati halaman benteng, tatapan penuh rasa ingin tahu bercampur dengan kebencian mengikuti mereka. Bisik-bisik terdengar dari para penduduk dan prajurit yang berjaga, komentar sinis mengiringi perjalanan mereka.

"Itu outcast," bisik seorang wanita tua dengan nada jijik. "Apa yang dilakukan makhluk seperti dia di sini?"

"Kenapa dia yang mengawal Lady Arwen? Bukankah ada orang lain yang lebih layak?" sahut seorang prajurit dengan nada penuh curiga.

Alcard tidak terpengaruh. Ia sudah lama kebal terhadap tatapan sinis dan kata-kata penuh penghinaan seperti itu. Namun, di dalam hatinya, ada sedikit kepahitan. "Mereka tidak tahu apa-apa," pikirnya. "Jika tidak ada kami, para outcast yang menjaga The Wall, mereka tidak akan memiliki kedamaian yang mereka anggap biasa ini."

Sementara itu, Lady Arwen tetap tenang, seolah tidak terganggu dengan reaksi orang-orang di sekitarnya. Tatapannya tetap lurus ke depan, dan ia tidak sedikit pun menunjukkan tanda bahwa ia merasa terancam atau tidak nyaman.

Ketika mereka akhirnya keluar dari benteng, Alcard melihat kudanya sendiri sudah menunggu. Seekor kuda hitam yang gagah, berdiri tegap seakan mencerminkan sosok tuannya sendiri. Kuda itu meringkik pelan saat melihatnya, menggerakkan kepalanya seolah ingin menyapanya.

Lady Arwen turun dari kudanya sebentar, meregangkan tubuhnya sebelum menatap Alcard dengan lebih serius. Kali ini, senyum anggunnya berganti dengan ekspresi yang lebih tajam.

"Perjalanan ini akan panjang, bukan?" tanyanya dengan nada yang hampir seperti pernyataan. "Aku harap aku tidak akan menjadi beban bagimu, Tuan Alcard."

Alcard menatapnya sejenak sebelum menggeleng perlahan. "Tugasku adalah memastikan Anda sampai dengan selamat, Lady Arwen," jawabnya dengan nada datar, tetapi tegas.

Senyum tipis kembali muncul di bibir Lady Arwen, kali ini dengan kehangatan yang lebih nyata. "Tak perlu terlalu formal. Panggil saja aku Arwen," katanya dengan nada santai.

Alcard terdiam sesaat, agak terkejut dengan sikap santainya. Namun, ia tidak menunjukkan ekspresinya dan hanya mengangguk. "Baik, Arwen."

Setelah itu, Arwen kembali menaiki kuda putihnya, sementara Alcard melompat ke pelana kudanya sendiri. Mereka mulai bergerak perlahan meninggalkan benteng Wolven, melewati jalan berbatu yang terbentang menuju horizon. Matahari mulai tenggelam di balik cakrawala, menciptakan semburat jingga keemasan di langit—tanda bahwa malam akan segera tiba.

Saat mereka semakin menjauh dari benteng, Alcard menoleh sekilas ke belakang, melihat bangunan besar itu semakin kecil di kejauhan. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan.

"Perjalanan ini akan penuh tanda tanya," pikirnya. "Tapi satu hal yang pasti… Arwen bukan bangsawan biasa. Dan aku harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi."

Di bawah langit senja yang mulai gelap, dua sosok berkuda itu melaju ke arah yang tak menentu, menuju takdir yang belum terungkap.

****

 

Langit perlahan berubah warna, dari jingga keemasan yang hangat menjadi ungu tua yang semakin pekat, pertanda bahwa malam segera menyelimuti daratan. Sinar matahari yang tersisa masih membiaskan cahaya samar di sepanjang jalan berbatu yang mereka tempuh, menciptakan bayangan panjang yang mengikuti langkah kuda mereka. Udara yang sebelumnya hangat kini mulai terasa dingin, angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah dan dedaunan kering yang bertebaran di jalan setapak.

Alcard menoleh ke samping, memperhatikan Arwen yang tetap tegap di atas kuda putihnya. Ia mengamati bagaimana gaun wanita itu, meski sederhana, masih mencerminkan kemewahan seorang bangsawan. Kilauan lembut dari kainnya memantulkan cahaya senja, seolah menegaskan kontras antara dirinya dan dunia yang sekarang ia masuki. Namun, yang lebih menarik bagi Alcard bukanlah penampilannya, melainkan ketenangan yang ia pancarkan. Tak ada rasa khawatir, tak ada kelelahan yang tergambar di wajahnya, meskipun perjalanan ini jauh dari kata aman.

"Arwen," panggil Alcard, suaranya dalam dan tanpa emosi. "Malam akan segera tiba. Sekitar beberapa mil dari sini, ada sebuah desa kecil. Kita bisa bermalam di sana sebelum melanjutkan perjalanan besok pagi."

Arwen menoleh perlahan, seulas senyum samar menghiasi wajahnya. Senyum yang bukan sekadar basa-basi, melainkan menyimpan makna yang sulit diterjemahkan. Ia menggelengkan kepalanya, gerakannya lembut tetapi penuh keyakinan.

"Terima kasih atas perhatianmu, Alcard," jawabnya dengan suara yang tenang, nyaris seperti bisikan lembut. "Tapi aku tidak keberatan bermalam di tengah hutan atau di tepi jalan. Aku yakin, selama kau ada di sini, aku tidak perlu mengkhawatirkan keselamatanku."

Alcard menatapnya sejenak, mencoba membaca maksud di balik kata-katanya. Mata Arwen tetap teduh, tanpa sedikit pun tanda ketakutan atau keraguan. Bagi seseorang yang berasal dari istana, dia tampak terlalu percaya diri berada di tempat seperti ini. Seolah dunia luar bukan sesuatu yang asing baginya.

"Baiklah," akhirnya Alcard mengalah. "Kita lanjutkan perjalanan."

Langit semakin gelap, menyelimuti dunia dengan bayangan malam yang pekat. Keheningan mendominasi perjalanan mereka, hanya suara derap kaki kuda yang terdengar teratur di jalan berbatu. Sesekali, suara burung malam bersahutan dari kejauhan, menambah suasana misterius yang mengiringi perjalanan mereka. Pepohonan di sepanjang jalan bergoyang tertiup angin, menciptakan suara gemerisik yang samar-samar terdengar di tengah kesunyian.

Setelah beberapa lama, Alcard yang biasanya tak banyak bicara akhirnya membuka suara. Dengan nada rendah, nyaris seperti gumaman, ia bertanya, "Apa yang sebenarnya kau lakukan di Middle Earth seorang diri, Arwen?"

Arwen tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap langit yang mulai dipenuhi bintang-bintang kecil yang berkelap-kelip. Sejenak, ia tampak seperti seseorang yang sedang menikmati kebebasan setelah lama terkungkung.

"Kau terdengar seperti para pelayanku di Edenvila," katanya akhirnya, nada suaranya ringan dengan sedikit nada menggoda. "Mereka selalu mempertanyakan keputusanku, seolah aku tak bisa menentukan jalanku sendiri."

Alcard tidak menanggapi. Ia tahu wanita itu sedang mencoba mengulur waktu atau mungkin mengalihkan pembicaraan. Namun, ia tetap sabar menunggu, karena ia tahu, cepat atau lambat, Arwen akan menjawab pertanyaannya dengan lebih serius.

Setelah beberapa detik keheningan, Arwen akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai, seolah sedang berbicara kepada seorang teman lama. "Aku sedang… berlibur, Alcard. Kadang, kehidupan di Edenvila terasa terlalu menyesakkan."

"Berlibur?" Alcard mengulang kata itu dengan nada skeptis. Ia tidak bermaksud terdengar kasar, tetapi jelas ada ketidakpercayaan dalam suaranya. "Di tempat seperti ini? Middle Earth bukan tempat untuk wisata."

Arwen tertawa kecil, suara tawanya ringan tetapi mengandung ironi. "Kau benar. Ini bukan tempat yang nyaman untuk perjalanan santai. Tapi di sini, aku bisa merasakan kebebasan. Jauh dari istana, jauh dari para bangsawan yang hanya tahu menjatuhkan satu sama lain."

Alcard memperhatikannya dari sudut matanya, mencari tanda-tanda kebohongan dalam kata-katanya. Namun, Arwen tampak benar-benar menikmati suasana ini, meskipun bagi kebanyakan bangsawan, perjalanan seperti ini pasti dianggap konyol.

Setelah beberapa saat, Arwen kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih serius. "Kau tahu, Alcard, politik bukan hanya permainan para pria. Wanita, bahkan anak-anak, terlibat dalam intrik yang sama. Mereka menggunakan segala yang mereka miliki—kecantikan, kecerdasan, bahkan kekejaman—untuk mencapai apa yang mereka inginkan."

Alcard tetap diam, tetapi ia mendengarkan dengan saksama. Kata-kata Arwen mengandung kebenaran yang tidak bisa disangkal. Politik selalu kejam, tidak peduli siapa yang terlibat di dalamnya.

"Di Edenvila," lanjutnya, "setiap langkah, setiap keputusan, selalu penuh dengan intrik. Tidak banyak yang benar-benar peduli pada rakyat. Kebanyakan hanya mencari kekuasaan untuk diri mereka sendiri."

Alcard akhirnya angkat bicara, suaranya tetap datar tetapi penuh perhatian. "Dan kau? Apakah kau berbeda dari mereka?"

Arwen tersenyum kecil, tetapi ada kepahitan dalam senyumnya. "Aku mencoba, Alcard. Tapi terkadang aku bertanya-tanya, apakah aku benar-benar berbeda? Atau aku hanya memainkan peran yang sama dengan mereka, tanpa kusadari?"

Keheningan kembali menyelimuti perjalanan mereka. Suara angin yang berdesir di antara pepohonan dan derap kaki kuda menjadi satu-satunya yang terdengar. Alcard tidak ingin menekan Arwen lebih jauh. Ia tahu ada banyak hal yang wanita itu sembunyikan, tetapi ia juga memahami bahwa beberapa hal tidak bisa diungkapkan begitu saja.

Setelah beberapa lama, suara lembut Arwen kembali terdengar, kali ini hampir seperti bisikan. "Alcard, meskipun kita baru bertemu, aku merasa bisa mempercayaimu. Kau berbeda dari para bangsawan yang pernah kutemui. Mungkin karena kau tidak peduli dengan pandangan dunia terhadapmu."

Alcard mengangkat bahu sedikit, menatap ke depan dengan ekspresi tak terbaca. "Kepercayaan adalah sesuatu yang rapuh di tempat seperti Middle Earth. Tapi tugasku hanya memastikan kau selamat, Arwen. Itu saja."

Arwen mengangguk pelan, menerima jawabannya tanpa protes. Senyum kecil kembali muncul di wajahnya, meskipun Alcard tidak melihatnya.

Langit malam kini gelap sepenuhnya, hanya diterangi oleh sinar bulan yang pucat dan bintang-bintang kecil yang bertaburan. Alcard menuntun kudanya ke jalan setapak yang masuk ke dalam hutan, mencari tempat yang aman untuk bermalam. Mereka harus menemukan tempat yang cukup tersembunyi, jauh dari bahaya monster ataupun bandit.

Dalam hatinya, Alcard bertanya-tanya, "Apa sebenarnya tujuan Arwen? Mengapa ia memilih perjalanan yang penuh risiko ini?" Namun, ia tahu bahwa menanyakan terlalu banyak tidak akan membawanya pada jawaban yang ia cari. Tugasnya adalah mengawal, bukan menyelidiki rahasia seorang bangsawan.

Dengan langkah yang mantap, mereka terus melaju di bawah langit malam yang sunyi, menuju sesuatu yang belum mereka ketahui.

****

 

Matahari perlahan merangkak naik di ufuk timur, menyebarkan cahaya keemasan yang lembut ke seluruh penjuru hutan. Sinar mentari menembus celah-celah dedaunan, menciptakan bayangan bergerak yang menari di atas tanah berlapis embun. Udara pagi terasa segar, membawa aroma tanah basah dan sisa asap dari api unggun yang mulai padam. Keheningan yang menyelimuti sekitar hanya dipecahkan oleh kicauan burung dari kejauhan dan suara ranting-ranting kecil yang patah di bawah kaki kuda yang sesekali bergeser.

Alcard berdiri di samping kudanya, tangannya terampil memeriksa tali kekang dan memastikan perlengkapannya terikat dengan benar. Gerakannya metodis dan tanpa tergesa-gesa, seolah sudah menjadi kebiasaan yang tertanam dalam dirinya selama bertahun-tahun. Sementara itu, tidak jauh darinya, Lady Arwen duduk santai di dekat bara api unggun yang masih menyala samar. Ia bersandar dengan sikap tenang, jemarinya saling bertaut di pangkuannya, matanya menatap bara yang perlahan meredup, seolah membiarkan pikirannya mengembara sejenak sebelum perjalanan kembali dimulai.

Suara angin yang berembus lembut membelai wajahnya saat ia akhirnya memecah keheningan dengan suara yang terdengar lembut tetapi tetap mengandung ketegasan seorang bangsawan.

"Pagi ini terasa begitu damai," katanya sambil menoleh ke arah Alcard, nada suaranya nyaris seperti gumaman.

Alcard, yang masih sibuk dengan kudanya, hanya memberikan anggukan singkat sebagai jawaban. Ia tidak merasa perlu menanggapi lebih dari itu. Perjalanan di Middle Earth jarang sekali memberikan ketenangan yang bertahan lama, dan baginya, pagi ini hanyalah jeda sebelum tantangan berikutnya datang menghadang.

Arwen mengamati Alcard beberapa saat, seolah menimbang sesuatu dalam pikirannya. Setelah beberapa saat, ia berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih hati-hati, penuh pertimbangan.

"Alcard, bolehkah aku bertanya sesuatu yang lebih... pribadi?" suaranya terdengar ragu-ragu tetapi tetap penuh rasa ingin tahu. "Tentang siapa dirimu sebelum menjadi seorang outcast?"

Gerakan tangan Alcard terhenti sejenak. Ia menoleh perlahan, matanya menatap Arwen dengan sorot tajam, meskipun ekspresi wajahnya tetap tanpa emosi. Ada kilatan samar dalam matanya—bukan kemarahan, tetapi lebih kepada ketidaksukaan yang berusaha ia sembunyikan.

"Masa lalu seorang outcast bukan sesuatu yang menarik untuk didengar," jawabnya dengan nada datar, tegas namun tidak sepenuhnya menutup kemungkinan percakapan itu berlanjut.

Namun, Arwen tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Tatapannya tetap lembut tetapi penuh keyakinan. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya lebih pelan, nyaris seperti bisikan.

"Aku tetap ingin tahu. Aku yakin kau bukan orang biasa. Ada sesuatu dalam dirimu yang berbeda."

Beberapa detik hening berlalu di antara mereka, seakan angin pagi pun ikut menunggu jawaban Alcard. Akhirnya, ia menghela napas pelan sebelum berbicara, suaranya tetap rendah dan terkendali.

"Dulu aku adalah komandan tertinggi di Jovalian," katanya singkat. "Aku melayani raja terakhirnya hingga hari kematiannya."

Kata-kata itu membuat Arwen terdiam, matanya sedikit membesar karena terkejut. Ia mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar.

"Komandan tertinggi..." gumamnya pelan. "Itu berarti kau memiliki segalanya. Kehormatan, kekuatan... mungkin juga keluarga."

Alcard tidak memberikan konfirmasi ataupun bantahan. Ia hanya kembali menunduk, melanjutkan pekerjaannya dengan pelana kudanya, seolah pembicaraan tadi tidak pernah terjadi. Namun, Arwen tidak melepaskan topik itu begitu saja.

"Kau korban politik, bukan?" katanya, kali ini dengan nada penuh keyakinan. "Aku sudah cukup lama hidup di antara para bangsawan untuk mengenali seseorang yang dijatuhkan karena permainan kotor mereka."

Alcard kembali terdiam. Kali ini, senyum kecil—hampir sinis—tersungging di sudut bibirnya. Senyum yang tidak benar-benar menunjukkan kegembiraan, tetapi lebih kepada pengakuan bahwa apa yang dikatakan Arwen tidak sepenuhnya keliru.

"Percayalah, Arwen," katanya akhirnya dengan suara pelan, "ceritaku bukanlah kisah yang menarik untuk didengar."

Arwen membuka mulutnya, seolah ingin bertanya lebih jauh, tetapi sebelum ia sempat berbicara, Alcard sudah mengambil alih percakapan dengan nada yang lebih dingin dan mantap.

"Dunia bangsawan dan rakyat jelata itu seperti dua dunia yang berbeda," katanya. "Bangsawan memiliki permainan mereka sendiri, penuh tipu daya dan pengkhianatan. Sementara rakyat biasa... mereka hanya berusaha bertahan hidup. Dan kadang, dua dunia itu bahkan tidak pernah benar-benar peduli satu sama lain."

Arwen menatapnya dengan sorot mata penuh pemikiran, sebelum akhirnya tersenyum tipis. Namun, ada sesuatu dalam senyumnya yang terasa berbeda kali ini—bukan senyum yang penuh keanggunan seperti yang biasa ia tunjukkan, melainkan senyum yang menyimpan sedikit kesedihan.

"Kau benar," katanya dengan suara pelan. "Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang menganggap dirinya lebih tinggi hanya karena status sosial, sementara mereka yang mereka anggap rendah justru lebih memahami arti kehidupan."

Alcard tidak menjawab. Ia menyelesaikan pemeriksaannya terhadap kudanya, memastikan segalanya siap sebelum perjalanan mereka berlanjut. Setelah yakin semua dalam kondisi baik, ia menoleh ke arah Arwen dan dengan gerakan sederhana, memberi isyarat bahwa sudah waktunya untuk bergerak.

Arwen memahami maksudnya. Ia berdiri, menepuk lembut gaunnya untuk membersihkan sisa debu sebelum melangkah menuju kudanya. Dengan bantuan Alcard, ia naik ke pelana dengan gerakan anggun yang terlihat begitu alami, meskipun ia sebelumnya mengaku tidak terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan kuda.

Sebelum mereka mulai bergerak, ia menatap Alcard dengan ekspresi yang lebih lembut dari sebelumnya.

"Kita lanjutkan perjalanan?" tanyanya dengan senyum kecil yang terasa lebih tulus.

Alcard mengangguk singkat. "Tentu," jawabnya tanpa basa-basi. Ia menarik kendali kudanya, dan bersama-sama mereka mulai melangkah keluar dari tempat peristirahatan itu.

Di bawah langit pagi yang semakin cerah, suara langkah kuda mereka bergema lembut di jalanan tanah yang masih basah oleh embun. Meski percakapan mereka telah selesai, jejak maknanya masih terasa di antara mereka, menyisakan kesan yang sulit dijelaskan.

Mereka melanjutkan perjalanan ke utara, melangkah dalam keheningan yang tidak lagi terasa canggung, melainkan dipenuhi dengan pemahaman yang perlahan mulai tumbuh di antara mereka—pemahaman bahwa meskipun berasal dari dunia yang berbeda, mereka berbagi satu hal yang sama: hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang sering kali lebih kejam dari pedang yang mereka bawa.

****

 

Langit yang suram menggantung rendah di atas mereka, seolah-olah menyelimuti dunia dalam keheningan yang berat. Udara lembap memenuhi hutan, menyusup melalui celah dedaunan yang basah oleh sisa hujan malam sebelumnya. Langkah kuda mereka terdengar teratur di atas jalan tanah yang lembek, berpadu dengan suara samar dedaunan yang terinjak dan ranting-ranting kecil yang patah di bawah tapal besi. Angin berembus pelan, menggoyangkan cabang-cabang pohon yang menjulang tinggi di kedua sisi jalan setapak yang mereka lalui.

Arwen, yang duduk tegak di atas kuda putihnya, mengalihkan pandangannya ke depan, memperhatikan sosok Alcard yang menunggangi kuda hitam dengan postur yang tak tergoyahkan. Punggungnya tegap, penuh kewaspadaan, seolah tak pernah mengenal kelelahan. Kesunyian yang menyertai perjalanan mereka begitu pekat, hingga hanya suara derap kuda dan desiran angin yang menemani. Tak ingin terus larut dalam keheningan, Arwen akhirnya membuka suara, nadanya lembut namun jelas terdengar.

"Alcard," panggilnya, sedikit ragu sebelum melanjutkan. "Aku sering mendengar berbagai cerita tentang The Wall dan para Outcast. Banyak rumor beredar… salah satunya mengatakan bahwa kalian membunuh monster dan meminum darah mereka. Itulah alasan mengapa mata kalian menjadi merah. Apa itu benar?"

Alcard memperlambat laju kudanya, menoleh sedikit ke belakang untuk menatap Arwen. Wajahnya tetap tenang, tetapi di balik sorot matanya yang tajam, ada kilatan emosi yang sulit diartikan. Setelah beberapa saat, sudut bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang samar—bukan tawa yang tulus, melainkan sesuatu yang lebih menyerupai ekspresi dingin antara sarkasme dan ketidakpedulian.

"Rumor memang selalu lebih menarik daripada kenyataan," jawabnya dengan suara rendah, hampir seperti gumaman. Ia kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke jalan di depan mereka, memacu kudanya sedikit lebih cepat. Namun, ketika menyadari bahwa Arwen masih menunggu jawaban yang lebih jelas, ia menghela napas pelan sebelum akhirnya memberikan penjelasan.

"Tidak, mata kami tidak menjadi merah karena darah monster," katanya, kali ini dengan nada lebih serius. "Itu akibat Bloody Potion, ramuan yang harus kami minum untuk bertahan di The Wall."

Arwen mengerutkan kening, jelas tertarik dengan penjelasan itu. "Bloody Potion?" ulangnya, seolah menguji kata-kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar-benar berasal dari darah? Apakah ada semacam ritual di baliknya?"

Alcard meliriknya sekilas sebelum mengalihkan pandangan kembali ke jalan setapak yang mulai menanjak. "Kau tidak sepenuhnya salah," katanya. "Ramuan itu memang berhubungan dengan darah, tetapi tidak seperti yang dibayangkan orang-orang. Sebagian besar bahannya berasal dari tumbuhan dan mineral langka yang hanya bisa ditemukan di wilayah selatan. Tanpa Bloody Potion, kami tidak akan mampu bertarung melawan monster yang mengintai di luar sana."

Arwen menggigit bibir bawahnya pelan, mencerna informasi itu dengan hati-hati. Ia tahu bahwa dunia memiliki banyak rahasia yang belum ia pahami, tetapi mendengar langsung dari seorang Outcast memberinya perspektif baru. Ia kemudian bertanya lagi, suaranya lebih pelan namun penuh rasa ingin tahu.

"Jadi, ramuan itu adalah sumber kekuatan kalian… tapi kau menyebutnya sebagai kutukan. Mengapa?"

Alcard terdiam sejenak, seakan mempertimbangkan jawabannya. Saat ia akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya. "Karena itu mengubah kami," ucapnya. "Mata merah kami adalah tanda yang tidak bisa dihapus. Kami terlihat berbeda, dianggap sebagai makhluk yang tidak sepenuhnya manusia oleh dunia luar. Tidak peduli berapa banyak yang telah kami korbankan, kami tetap dilihat sebagai ancaman."

Arwen menundukkan kepalanya sedikit, merasakan beban dalam kata-kata Alcard. Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang prasangka, terus-menerus dihakimi oleh mereka yang bahkan tidak pernah melihat langsung apa yang terjadi di luar tembok.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan sebelum Arwen kembali berbicara. "Kau bilang para Outcast menjaga The Wall… tapi bagaimana caranya? The Wall begitu panjang dan tinggi. Bagaimana kalian bisa mengawasi semuanya?"

Alcard tersenyum kecil, kali ini lebih getir dari sebelumnya. Ia menggelengkan kepala, lalu menjawab, "Itu hanya cerita yang dibuat-buat, Arwen. Kenyataannya jauh lebih pahit. Kami tidak memiliki cukup orang untuk menjaga seluruh The Wall. Banyak bagian yang telah runtuh, pos-pos yang kosong dan tak lagi dihuni. Kami hanya bisa bertahan di beberapa titik yang masih memungkinkan untuk dijaga."

Arwen menatapnya dengan kaget. "Tapi bukankah itu berbahaya? Kalau ada celah yang terbuka, bukankah monster selatan bisa saja menyerbu Middle Earth?"

Alcard tetap tenang, tidak menunjukkan kekhawatiran yang sama. "Tentu saja itu mungkin terjadi," katanya, suaranya tetap datar. "Tapi tanyakan pada dirimu sendiri… jika monster benar-benar sudah melewati celah itu, apakah Middle Earth akan setenang ini?"

Arwen menggigit bibirnya, berpikir dalam-dalam. Jawaban Alcard masuk akal, tetapi tetap menyisakan ketakutan dalam dirinya. Ia menghela napas pelan, lalu berkata, "Jadi... celah itu tetap menjadi ancaman, meskipun belum digunakan?"

"Ancaman selalu ada," balas Alcard. "Tapi tugas kami adalah memastikan ancaman itu tetap berada di selatan. Dengan segala keterbatasan, kami terus berdiri di antara Middle Earth dan kegelapan."

Keheningan kembali menguasai perjalanan mereka. Hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan dan langkah kuda yang terdengar di jalan setapak yang mulai gelap. Arwen menatap Alcard dengan sudut pandang yang berbeda. Ia kini melihatnya bukan sekadar seorang Outcast, tetapi sebagai seorang prajurit tanpa tanda jasa yang terus mempertahankan sesuatu yang tidak pernah benar-benar dihargai oleh mereka yang tinggal jauh dari The Wall.

Di balik sikap dinginnya, Alcard membawa banyak cerita dan luka yang tidak ia tunjukkan. Mata merahnya yang begitu khas menatap jauh ke depan, seolah melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat. Perjalanan ini tidak hanya tentang mengawal seorang bangsawan, tetapi juga tentang memahami kenyataan pahit yang dihadapi mereka yang hidup di bayangan kekuasaan.

Arwen tahu, masih banyak pertanyaan yang harus ia tahan. Akan ada waktu yang tepat untuk bertanya lebih jauh. Untuk saat ini, ia hanya bisa diam dan melanjutkan perjalanan, menyadari bahwa dunia yang ia kenal selama ini mungkin hanya sebagian kecil dari kebenaran yang sebenarnya.

Langit mulai gelap sepenuhnya, membawa serta hawa dingin yang merayap perlahan. Alcard tetap memimpin di depan, kuda hitamnya melangkah mantap di jalan berbatu, sementara Arwen mengikutinya dengan tenang, membawa serta pikirannya yang kini dipenuhi dengan pemahaman baru tentang dunia yang tersembunyi di balik tembok besar itu.

****

 

Di sepanjang jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan tinggi, langkah kuda mereka terdengar berirama, satu-satunya suara yang memecah keheningan yang menggantung di udara. Tanah yang lembap akibat hujan malam sebelumnya masih menyisakan aroma basah, bercampur dengan wangi dedaunan yang mulai mengering di bawah sinar matahari yang tertutup awan tipis. Angin sesekali bertiup lembut, menggoyangkan cabang-cabang pohon dan membawa suara gemerisik halus yang nyaris menyerupai bisikan.

Arwen duduk tegak di atas kudanya, matanya tak lepas dari punggung Alcard yang berada di depannya. Sejak percakapan mereka sebelumnya, pikirannya terus dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Ia akhirnya memutuskan untuk berbicara, suaranya lembut tetapi cukup jelas untuk didengar di antara hembusan angin.

"Alcard," panggilnya dengan nada hati-hati, "Kau tadi mengatakan bahwa Bloody Potion adalah berkah sekaligus kutukan bagi kalian. Apa maksudmu? Apakah ada efek samping dari ramuan itu?"

Alcard memperlambat laju kudanya sedikit, memberikan jeda sebelum akhirnya menoleh sekilas ke arah Arwen. Tatapannya tetap tenang, tetapi ada sorot mata yang sulit diartikan—seakan ia mempertimbangkan seberapa banyak yang harus ia katakan. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya menjawab.

"Bloody Potion memang memberi kami kekuatan, memungkinkan kami untuk bertarung melawan monster dari selatan. Tanpa itu, kami tidak akan bertahan. Namun, seperti halnya segala sesuatu yang tampak terlalu baik, ramuan ini memiliki harga yang harus dibayar," katanya, suaranya sedikit lebih dalam dari biasanya.

Arwen mengernyit, merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik kata-kata itu. "Harga? Maksudmu, ada sesuatu yang harus dikorbankan?" tanyanya dengan nada ingin tahu.

Alcard mengarahkan pandangannya kembali ke jalan setapak di depan mereka. Ia tetap menjaga posturnya yang waspada, tetapi suaranya menjadi lebih berat saat menjelaskan. "Jika dikonsumsi terlalu sering atau dalam jumlah yang salah, Bloody Potion mulai merusak tubuh penggunanya dari dalam. Ramuan ini memiliki efek samping yang tidak bisa diremehkan. Darah bisa membeku di dalam pembuluh, menciptakan rasa sakit yang luar biasa—seolah jantungmu sedang meledak perlahan. Banyak yang kehilangan kendali atas tubuh mereka, mengalami halusinasi dan rasa sakit luar biasa, bahkan ada yang menjadi liar sebelum akhirnya menemui kematian yang menyakitkan."

Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya. Arwen menatapnya dengan sorot mata penuh keprihatinan. "Itu… mengerikan," katanya hampir berbisik. "Dan kalian harus meminumnya secara rutin?"

Alcard menggeleng pelan, menarik kudanya sedikit ke sisi jalan yang lebih rata. "Tidak sesering itu," jelasnya. "Kami hanya meminumnya beberapa bulan sekali, cukup untuk menjaga tubuh kami tetap kuat. Tapi pilihan itu bukan sepenuhnya ada di tangan kami. Tanpa Bloody Potion, tubuh kami akan melemah dengan cepat. Jadi bisa kau bayangkan, ramuan ini seperti rantai yang mengikat kami. Itu yang membuatnya menjadi kutukan."

Arwen menghela napas perlahan, mencoba memahami beban berat yang harus dipikul oleh para Outcast. Sejak kecil, ia diajarkan bahwa The Wall adalah penghalang terakhir antara Middle Earth dan kegelapan dari selatan. Namun, tak pernah ada yang benar-benar menjelaskan pengorbanan seperti apa yang harus dilakukan oleh mereka yang berdiri di garis depan.

Setelah beberapa saat, ia mengajukan pertanyaan lain. "Siapa yang membuat Bloody Potion itu? Apakah semua Outcast tahu cara meraciknya?"

Alcard tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak membawa kehangatan. "Tidak semua orang tahu. Hanya sedikit orang di The Wall yang memiliki pengetahuan tentang cara meramunya. Oldman adalah salah satu dari mereka," jawabnya. "Bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana cara membuatnya. Yang kutahu hanyalah bahan-bahannya sangat sulit didapatkan, dan bahan-bahan utamanya hanya bisa ditemukan di selatan. Itulah sebabnya misi ke sana selalu menjadi prioritas. Dan itu juga alasan mengapa banyak dari kami yang tidak pernah kembali."

Arwen mengangguk pelan, berusaha menyusun semua informasi yang baru saja didengarnya. Kehidupan di The Wall ternyata jauh lebih suram dari yang pernah ia bayangkan. Para Outcast tidak hanya harus bertahan melawan monster, tetapi juga harus menghadapi efek dari Bloody Potion yang mereka gunakan untuk bertarung.

Suasana mulai terasa terlalu serius, dan Arwen mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kalau begitu, bagaimana dengan kehidupan sosial di The Wall?" tanyanya, mencoba sedikit lebih santai. "Apakah ada politik di antara kalian? Intrik dan perebutan kekuasaan, seperti yang biasa terjadi di kerajaan?"

Alcard tertawa kecil, meskipun lebih terdengar seperti embusan napas berat. "Politik?" ulangnya dengan nada sedikit mengejek. "Tidak ada politik di The Wall, Arwen. Kami terlalu sibuk bertahan hidup daripada untuk memikirkan siapa yang memegang kendali."

Arwen sedikit terkejut dengan jawaban itu. "Tidak ada sama sekali?" tanyanya, tidak bisa menyembunyikan rasa herannya.

Alcard menggeleng, tetap fokus pada jalan di depan mereka. "Setiap hari di The Wall adalah perjuangan. Setiap malam adalah pertempuran. Tidak ada ruang untuk ambisi pribadi atau perebutan kekuasaan. Kami semua adalah keluarga yang dipersatukan oleh nasib buruk yang sama."

Arwen terdiam, mencerna kata-kata itu. Dunia yang ia kenal penuh dengan intrik dan permainan politik, tetapi di The Wall, segalanya tampak begitu sederhana dan brutal. "Jadi... hidup kalian hanya tentang bertahan?" tanyanya akhirnya.

Alcard menoleh sedikit ke arahnya, kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam. "Bertahan dan melindungi," katanya dengan nada tegas. "Dunia mungkin tidak peduli pada kami, tetapi itu tidak menghentikan kami dari menjalankan tugas kami. Kami adalah tembok terakhir antara Middle Earth dan kehancuran."

Kata-kata itu menggema dalam pikiran Arwen, meninggalkan kesan yang mendalam. Ia menatap Alcard dengan rasa hormat yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Di balik ketenangannya yang dingin, pria itu adalah seseorang yang telah mengorbankan segalanya demi dunia yang bahkan tidak mengakui keberadaannya.

Langit mulai berubah warna, jingga tua menyelimuti cakrawala, menandakan bahwa senja sudah dekat. Alcard tetap memandang lurus ke depan, fokus pada perjalanan yang masih panjang. Sementara itu, Arwen masih terlarut dalam pikirannya sendiri. Ia menyadari bahwa The Wall bukan sekadar benteng pertahanan terakhir, tetapi juga simbol dari pengorbanan yang tidak pernah diketahui oleh orang-orang di luar sana.

Perjalanan mereka berlanjut dalam keheningan yang kini terasa lebih dalam. Sementara malam perlahan mengambil alih langit, Arwen menyadari bahwa ia tidak hanya sedang mengarungi perjalanan menuju Edenvila, tetapi juga sedang menggali pemahaman yang lebih luas tentang dunia yang selama ini ia abaikan.

****