Bab 13

Langit malam membentang luas di atas mereka, dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip seperti serpihan cahaya di tengah kegelapan. Angin sepoi-sepoi menghembuskan udara dingin yang membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai mengering. Di pinggiran hutan, di sebuah area terbuka yang cukup luas untuk beristirahat dengan aman, Alcard menyalakan api unggun kecil, nyalanya menari-nari dalam gelap, memberikan sedikit kehangatan di antara udara dingin yang semakin menusuk.

Arwen duduk di atas mantel tebal, membiarkan selimut membungkus bahunya dengan erat. Tatapannya terfokus pada bara api yang perlahan meredup, seolah pikirannya tenggelam dalam pusaran kenangan dan pemikiran yang sulit diurai. Suara jangkrik dan desiran angin yang menyapu dedaunan menjadi latar belakang yang menenangkan, tetapi keheningan yang melingkupi mereka terasa lebih berat dari sebelumnya.

Setelah beberapa saat yang terasa panjang, Arwen akhirnya memecah keheningan dengan suara pelan yang terdengar bagaikan bisikan dalam malam yang hening.

"Alcard," panggilnya, matanya tetap terpaku pada api unggun. "Pernahkah kau mendengar nama Cevral Hamilton?"

Alcard, yang sejak tadi duduk di seberang api sambil mengasah pedangnya dengan gerakan teliti, menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia mengangkat wajahnya, sorot matanya tetap tajam meskipun ekspresinya tetap datar. Ia tampak mempertimbangkan pertanyaan itu sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang dalam dan dingin.

"Cevral Hamilton… Perdana Menteri Edenvila," katanya tanpa keraguan. "Sulit untuk tidak mengenal pria itu, terutama jika kau pernah berurusan dengan urusan politik besar di Middle Earth."

Arwen menarik napas dalam-dalam, seolah membiarkan udara memenuhi dadanya sebelum melanjutkan dengan nada yang mengandung emosi yang sulit ia sembunyikan. "Dia… pria itu memiliki kendali lebih besar atas Edenvila dibandingkan siapa pun. Bahkan raja pun tunduk padanya. Ayahku dulu selalu mengatakan bahwa keluarga Hamilton telah memerintah di balik layar selama lebih dari tiga generasi. Raja hanya boneka di tangan mereka, dan semua orang mengetahuinya. Tapi tidak ada yang berani melawan mereka."

Alcard tidak segera menanggapi. Ia hanya diam, membiarkan Arwen melanjutkan. Tangan kasarnya kembali bergerak, mengusap bilah pedangnya dengan kain, tetapi ekspresinya kini lebih serius daripada sebelumnya.

Arwen menatap nyala api dengan tatapan yang lebih gelap. "Aku ingin perubahan, Alcard," bisiknya, seolah kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri. "Aku ingin Edenvila bebas dari cengkeraman keluarga Hamilton. Tapi… kekuatan mereka terlalu besar. Mereka memiliki mata dan telinga di setiap sudut kerajaan. Kadang aku merasa seperti aku sendiri tak memiliki daya untuk melakukan apa pun."

Alcard menyarungkan pedangnya perlahan, matanya tak lepas dari api unggun yang terus berkedip di hadapannya. Suaranya rendah tetapi mengandung nada getir yang sulit disembunyikan. "Cevral Hamilton… pria tua itu bukan sekadar seorang politisi. Dia adalah ahli dalam seni manipulasi. Dia tidak hanya mengendalikan Edenvila, tetapi juga siapa pun yang cukup bodoh untuk percaya bahwa mereka bisa mendekatinya tanpa konsekuensi."

Arwen menoleh cepat, terkejut oleh nada bicara Alcard yang terasa sangat pribadi. "Kau pernah bertemu dengannya?" tanyanya, kali ini dengan nada lebih tajam.

Alcard mengangguk pelan, matanya masih tak lepas dari api. "Ya. Dulu, ketika aku masih menjadi komandan tertinggi di Jovalian. Salah satu tugasku yang terakhir sebelum kejatuhanku adalah… berurusan dengan pria itu."

Sejenak, keheningan kembali menyelimuti mereka. Alcard tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, seolah kembali ke masa di mana ia berhadapan dengan Cevral Hamilton. Ia teringat ruangan besar dengan meja panjang di Edenvila, di mana pria tua itu duduk di ujung meja dengan senyum yang terlalu halus untuk dianggap ramah. Kata-katanya licin, selalu memiliki makna tersembunyi di balik setiap kalimatnya. Ia bukan hanya politisi biasa—dia adalah orang yang bisa membuat seseorang merasa menang dalam satu perundingan, hanya untuk menyadari di kemudian hari bahwa mereka telah kalah jauh sebelum perundingan itu dimulai.

Alcard akhirnya berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia adalah salah satu alasan mengapa diplomasi antara Jovalian dan Edenvila gagal… dan secara tidak langsung, ia berkontribusi pada kejatuhanku."

Arwen mengamati Alcard dengan tatapan yang penuh perhatian. Ia bisa melihat bahwa ada luka lama yang tersembunyi di balik wajah dingin pria itu. Luka yang mungkin tidak pernah benar-benar sembuh. "Kalau begitu… kau tahu betapa liciknya pria itu," ujarnya pelan.

Alcard menoleh, tatapannya dingin tetapi mengandung sesuatu yang lain—tekad yang kuat. "Lebih dari yang kau bayangkan," katanya. "Tapi aku juga tahu satu hal, Arwen. Tidak ada kekuatan yang benar-benar tak tergoyahkan. Bahkan pria seperti Cevral Hamilton pasti memiliki celah."

Mata Arwen membesar, tatapannya berubah penuh harapan. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya hampir tidak sabar. "Celah apa yang bisa menghancurkannya?"

Alcard tersenyum tipis, tetapi itu bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum seseorang yang telah melihat terlalu banyak tipu daya di dunia ini. "Setiap kekuatan besar selalu bergantung pada sesuatu. Tidak ada yang benar-benar berdiri sendiri. Jika kau bisa menemukan di mana titik lemah itu, kau bisa meruntuhkan seluruh bangunan kekuasaannya dengan satu pukulan yang tepat. Tapi menemukan titik itu… butuh waktu. Butuh kesabaran. Dan lebih dari itu, butuh keberanian untuk melawan sesuatu yang tampaknya tidak bisa dikalahkan."

Arwen terdiam, membiarkan kata-kata Alcard mengendap dalam pikirannya. Ia menunduk, seolah mencoba menyusun rencana di dalam benaknya, menghubungkan titik-titik yang selama ini terpisah.

Malam semakin larut, suhu udara semakin dingin. Alcard bangkit perlahan, mengambil beberapa ranting lagi untuk memastikan api unggun tidak padam terlalu cepat. Tanpa menatap Arwen, ia berbicara dengan suara rendah yang terdengar seperti peringatan. "Beristirahatlah, Arwen. Perjalanan kita masih panjang, dan kau akan membutuhkan semua energimu untuk menghadapi apa yang ada di depan."

Arwen mengangguk pelan, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan mereka. Ia membaringkan dirinya di atas mantel tebal, membiarkan selimut membungkus tubuhnya. Namun, meskipun matanya terpejam, pikirannya terus berputar, merangkai kemungkinan dan skenario di kepalanya.

Sementara itu, Alcard tetap duduk di dekat api unggun, matanya menatap jauh ke dalam kegelapan hutan yang membentang di sekitar mereka. Ia berjaga dalam diam, pikirannya dipenuhi dengan kenangan dari masa lalu yang telah ia tinggalkan, serta ketidakpastian dari masa depan yang semakin mendekat. Ia tahu, perjalanan ini bukan sekadar mengawal seorang bangsawan kembali ke Edenvila. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang mungkin akan mengubah takdir mereka berdua selamanya.

****

 

Malam masih sunyi, hanya desiran angin yang menyapu dedaunan dan suara alam yang menjadi latar belakang keheningan. Langit yang gelap membentang luas di atas hutan, bintang-bintang tersebar seperti butiran perak yang nyaris tenggelam dalam kelam. Api unggun yang sebelumnya menyala kini hanya menyisakan bara merah yang sesekali berpendar redup, seperti napas terakhir dari kehangatan yang telah hilang.

Di antara kesunyian itu, Alcard tiba-tiba membuka matanya. Ia tidak terbangun karena mimpi buruk atau ketidaknyamanan, melainkan karena sesuatu yang jauh lebih berbahaya—naluri bertahan hidupnya. Tanpa menggerakkan tubuhnya secara mencolok, ia tetap berbaring, tetapi matanya mulai memindai sekeliling. Tangan kanannya perlahan bergerak ke arah gagang pedang yang selalu berada di sisinya.

Ada sesuatu yang bergerak di dalam kegelapan.

Suara langkah kaki yang hampir tak terdengar, begitu halus dan ringan, tetapi cukup jelas bagi telinganya yang terlatih. Gerakan samar di antara pepohonan, hampir tidak terlihat, namun cukup untuk memberinya peringatan bahwa mereka sedang diawasi. Alcard tetap diam, napasnya teratur, membiarkan musuh berpikir bahwa mereka masih memiliki keuntungan.

Namun, ia sudah tahu mereka ada di sana.

Tanpa mengubah posisinya, ia berbisik nyaris tak terdengar, hanya cukup bagi seseorang yang berada di dekatnya untuk menangkap suaranya.

"Arwen," katanya pelan, "tetap diam. Jangan bergerak."

Arwen, yang masih terlelap, mulai menggeliat sedikit. Namun, suara dingin Alcard yang dipenuhi ketegangan membuatnya langsung sadar. Ia tetap diam, tubuhnya menegang, meskipun belum sepenuhnya memahami situasi.

Alcard bangkit perlahan, memastikan gerakannya tidak menimbulkan suara berlebihan. Ia berdiri di antara Arwen dan kegelapan, tubuhnya kokoh seperti perisai yang siap menghadang bahaya apa pun yang datang.

Dari dalam kegelapan, tiga sosok muncul dari balik pepohonan. Gerakan mereka senyap, tetapi penuh keyakinan. Wajah mereka tertutup kain hitam, hanya menyisakan mata yang dingin dan tak beremosi. Mereka tidak berbicara, tidak berusaha memberi peringatan. Mereka hanya bergerak—dan itu lebih berbahaya daripada kata-kata.

Seperti bayangan yang memotong udara malam, mereka langsung menyerbu ke arah Arwen.

Namun, sebelum mereka bisa mendekat, pedang Alcard sudah melesat dalam kilatan tajam, memaksa salah satu dari mereka untuk mundur dengan gerakan cepat. Langkah mereka terhenti sejenak, ragu menghadapi respons yang lebih cepat dari yang mereka perkirakan.

"Bangun, Arwen!" suara Alcard bergema di malam yang sunyi, penuh dengan nada komando yang tak terbantahkan. "Berdiri di belakangku sekarang!"

Arwen terperanjat, tetapi ketakutannya segera tergantikan oleh kesadaran bahwa mereka sedang dalam bahaya. Dengan cepat, ia bergerak ke belakang Alcard, tubuhnya sedikit gemetar, tetapi kakinya tetap kokoh menapak tanah.

Mata Alcard menyipit, menatap tiga musuh yang kini mengepung mereka.

"Kalian memilih target yang salah," ucapnya dingin, suara rendahnya menembus keheningan malam.

Tanpa peringatan, pertarungan dimulai.

Salah satu dari mereka menyerang lebih dulu, pisaunya bergerak seperti kilatan bayangan, mencoba menebas sisi kiri Alcard. Namun, dalam satu gerakan cepat, Alcard menghindar, lalu membalas dengan ayunan pedangnya. Lawannya terpaksa melompat mundur, menghindari luka yang bisa berakibat fatal.

Dua pembunuh lainnya tidak tinggal diam. Mereka menyerang bersamaan, menciptakan tekanan yang memaksa Alcard bergerak mundur beberapa langkah, tetapi tetap menjaga posisinya di depan Arwen.

"Jangan bergerak dari belakangku," katanya tegas, tanpa menoleh. Ia tahu bahwa satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal, dan tugas utamanya bukan hanya bertarung—tetapi melindungi Arwen dari segala kemungkinan.

Alcard mulai membaca pola serangan mereka. Tidak seperti bandit atau pembunuh bayaran biasa, gerakan mereka terlalu disiplin, terlalu terorganisir. Setiap serangan mereka tampak seperti bagian dari strategi yang telah direncanakan dengan baik, bukan sekadar perkelahian liar yang mengandalkan kekuatan semata.

Salah satu dari mereka mencoba menusuk dengan pisau pendek, tetapi Alcard dengan cekatan menangkisnya menggunakan pedangnya. Benturan logam terdengar nyaring di antara desiran angin malam. Dalam sepersekian detik, Alcard menangkap sesuatu—pola kecil pada pakaian mereka, hampir tersembunyi di bawah kain gelap, tetapi cukup jelas bagi matanya yang tajam.

Ia mengenali pola itu.

"Siapa kalian?" tanyanya dengan suara rendah, tetapi mengandung ketegangan yang jelas.

Namun, para pembunuh tetap diam. Mereka tidak memberikan jawaban, seolah keheningan adalah bagian dari tugas mereka.

Alcard menendang salah satu dari mereka, membuatnya terjatuh ke tanah, tetapi dua lainnya tetap bertahan, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah atau takut.

Ini bukan sekadar upaya perampokan. Ini bukan serangan acak.

Mereka datang untuk satu alasan.

Mereka datang untuk Arwen.

Pertarungan masih berlangsung sengit, dengan Alcard terus menangkis, menyerang, dan menghindar dengan perhitungan matang. Namun, meskipun ia lebih unggul dalam teknik dan pengalaman, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa bertarung tanpa batas. Mereka harus menemukan cara untuk mengakhiri ini secepat mungkin.

Arwen, yang berdiri di belakangnya, menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak. Ia mulai memahami bahwa serangan ini bukan kebetulan. Seseorang menginginkannya mati atau ditangkap—dan mereka cukup serius untuk mengirim orang-orang yang terlatih untuk melakukannya.

Siapa yang mengirim mereka? Dan seberapa jauh orang itu bersedia pergi untuk mencapai tujuannya?

Dalam benaknya, Alcard tahu satu hal: ini baru permulaan. Serangan ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Namun, untuk saat ini, hanya satu hal yang benar-benar penting—Mereka berdua harus bertahan hidup. Dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh Arwen selama ia masih berdiri.

****

 

Di bawah langit malam yang sunyi, pertempuran yang baru saja pecah kini berangsur mereda, digantikan oleh ketegangan yang lebih tajam daripada kilatan pedang. Alcard berdiri tegak, dadanya naik turun akibat napas berat setelah pertarungan yang menguras tenaga. Pedangnya masih terhunus, cahayanya memantulkan rembulan yang samar-samar menembus celah awan kelabu. Namun, kali ini ia tidak menyerang—ia menunggu.

Di depannya, tiga pembunuh berselubung hitam masih berjaga, tangan mereka tetap menggenggam senjata, tetapi gerakan mereka tidak seagresif sebelumnya. Seakan ada ketidakyakinan yang perlahan merayapi tubuh mereka. Mata mereka tetap tertuju pada Alcard, tetapi sorotnya kini tidak hanya dipenuhi niat membunuh, melainkan keraguan yang tumbuh setelah melihat sesuatu yang tak mereka duga.

Alcard menyipitkan mata, memperhatikan lebih seksama. Dan di bawah cahaya temaram, ia melihatnya dengan jelas—sepasang mata merah bersinar samar di balik kain hitam yang menutupi wajah salah satu pembunuh. Mata itu bukan sekadar refleksi cahaya atau ilusi—itu adalah warna khas milik para Outcast yang telah meneguk Bloody Potion.

Seketika, kesadaran menghantamnya. Ini bukan serangan dari kelompok bayaran biasa. Mereka bukan sekadar pembunuh yang dikirim untuk menyelesaikan tugas tanpa identitas. Mereka adalah Outcast.

Kedua tangannya menggenggam pedang lebih erat, tetapi bukan karena ia bersiap menyerang—melainkan karena pikirannya berputar cepat, mencerna apa yang baru saja ia sadari. Jika mereka adalah Outcast, berarti ada satu hal yang jelas: mereka masih terikat pada The Wall. Dan jika demikian, bagaimana mungkin mereka bisa menerima perintah untuk menyerang sesama Outcast?

Ketegangan di udara semakin menebal. Tidak ada yang bergerak, seolah waktu terhenti di antara mereka. Lalu, Alcard akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh ketegasan yang tak terbantahkan.

"Berhenti."

Kata itu menggema di udara, tidak seperti perintah kosong, tetapi seperti hukum yang tak bisa diganggu gugat. Ketiga pembunuh itu tetap diam, tetapi ada jeda dalam langkah mereka, ada keraguan dalam genggaman senjata mereka.

Dengan perlahan, Alcard menurunkan sedikit pedangnya, tetapi tetap mempertahankan postur siaga. Ia memiringkan bilahnya ke samping, membiarkan cahaya bulan memantul langsung ke wajahnya—menyorot mata merah yang begitu jelas bersinar dalam gelap. Sebuah tanda yang tidak mungkin disalahartikan.

"Aku juga seorang Outcast," ucapnya dengan nada yang lebih dalam dan tegas.

Reaksi mereka seketika berubah. Salah satu dari mereka tampak menegang, tubuhnya sedikit bergerak gelisah, sementara yang lain secara refleks menurunkan senjatanya, meskipun belum sepenuhnya bersikap damai. Alcard melihat bagaimana mereka bertukar pandangan satu sama lain—sebuah pertanda bahwa mereka mulai menyadari bahwa ini bukanlah misi biasa.

"Apakah kalian melupakan sumpah kita?" lanjut Alcard, suaranya lebih tajam, menekan mereka dengan fakta yang tak bisa mereka abaikan.

Para Outcast tidak membunuh sesama Outcast. Itu adalah aturan tak tertulis yang selama ini dijaga dengan ketat. Karena mereka adalah saudara yang sama-sama diasingkan, dipaksa bertahan di bawah kondisi paling brutal, dan bergantung satu sama lain untuk bertahan hidup.

Namun, ketiga pembunuh itu tetap diam. Mereka jelas berada dalam dilema. Tangan mereka yang sebelumnya mencengkeram senjata dengan kokoh, kini mulai mengendur.

Alcard melihat peluang itu, dan ia tidak berhenti.

"Kalian tahu bahwa tidak ada yang bisa memerintah kita selain The Wall," katanya, menegaskan kembali aturan yang mereka semua pahami. "Jadi katakan padaku—siapa yang memberi kalian perintah ini?"

Salah satu dari mereka, sosok yang tampaknya menjadi pemimpin kelompok, akhirnya berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya rendah, nyaris terdengar seperti gumaman, tetapi jelas mengandung beban.

"Kami hanya menjalankan perintah."

Alcard menyipitkan mata. Itu bukan jawaban yang ia inginkan. Ia butuh kepastian.

"Perintah dari siapa?" tanyanya lebih keras, kali ini nada suaranya lebih menekan.

Namun, jawaban yang ia harapkan tak kunjung datang. Ketiga Outcast itu hanya berdiri di tempat mereka, seakan mempertimbangkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pertarungan ini. Mereka masih dalam posisi bertahan, tetapi bukan karena niat membunuh—lebih kepada ketidakpastian akan situasi yang semakin membingungkan bagi mereka.

Alcard menarik napas panjang. Jika mereka tetap diam, maka hanya ada satu kemungkinan: mereka telah diperintahkan untuk tidak mengungkapkan apa pun.

Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berkata, lebih tenang tetapi penuh dengan tekanan yang tidak bisa mereka abaikan.

"Melanggar sumpah kita bukan hanya sekadar pengkhianatan," ucapnya pelan tetapi tajam. "Kalian tahu betul apa hukumannya bagi Outcast yang berkhianat."

Kata-katanya seakan menyelinap ke dalam kesadaran mereka. Para pembunuh itu bertukar pandangan, kali ini lebih lama, lebih penuh pertimbangan. Mereka tahu apa yang dikatakan Alcard benar. Jika mereka terus maju dengan misi ini, mereka tidak hanya akan mengkhianati sumpah mereka, tetapi juga menandatangani kematian mereka sendiri.

Setelah beberapa saat, pemimpin mereka akhirnya mengangguk kecil pada dua rekannya. Itu bukan perintah untuk menyerang, melainkan sebuah isyarat untuk menahan diri.

Namun, mereka tetap tidak mundur. Mereka tetap berdiri di tempat, menunggu. Mereka berdiskusi dengan bahasa tubuh yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah bertarung bersama dalam waktu lama.

Alcard menyadari bahwa pertarungan ini belum sepenuhnya berakhir. Tapi, untuk saat ini, ia memiliki sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan.

Ia menoleh sekilas ke belakang, memastikan Arwen masih dalam kondisi baik. Mata wanita itu masih dipenuhi ketegangan, napasnya sedikit tidak teratur, tetapi ia tidak panik. Namun, jelas dari tatapannya bahwa ia memahami situasi ini jauh lebih dalam dari yang ia perlihatkan.

Sementara ketiga Outcast itu masih berunding dalam diam, Alcard kembali memusatkan perhatiannya pada mereka, menunggu keputusan apa yang akan mereka ambil. Ia tahu satu hal—apapun yang terjadi malam ini, dampaknya akan jauh lebih besar dari sekadar sebuah pertempuran kecil di tengah hutan.

Mereka semua telah melangkah ke dalam sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya. Dan Alcard hanya bisa bersiap menghadapi apa pun yang akan datang selanjutnya.

****

 

Langkah Alcard mantap saat ia maju dengan penuh kehati-hatian, memastikan setiap gerakan tidak menunjukkan niat bermusuhan. Ia menurunkan pedangnya sedikit, bukan karena lengah, tetapi untuk memberi sinyal bahwa kekerasan bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan situasi ini. Udara malam yang dingin masih dipenuhi ketegangan, dan hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan yang menemani mereka.

"Turunkan senjata kalian," ucap Alcard dengan nada dalam, tegas namun tidak mengintimidasi. "Kita tidak perlu menyelesaikan ini dengan pertumpahan darah yang sia-sia. Kita sesama Outcast—rasionalitas lebih bernilai daripada darah yang terbuang percuma."

Ketiga Outcast itu tidak langsung bereaksi. Mereka saling melirik, seolah menimbang-nimbang apakah mereka harus percaya pada kata-kata Alcard atau tetap melanjutkan perintah yang mereka emban. Keraguan terlihat jelas dari cara mereka sedikit bergeser, pertanda bahwa mereka mulai mempertimbangkan situasi dengan lebih hati-hati.

Akhirnya, pemimpin kelompok itu—pria berjubah gelap dengan bahu yang sedikit robek—menurunkan senjatanya terlebih dahulu. Dua rekannya, meskipun masih tampak waspada, mengikuti jejaknya, menurunkan senjata mereka perlahan namun tetap siap siaga.

Melihat itu, Alcard menghela napas kecil. Ia lalu dengan gerakan perlahan menyarungkan kembali pedangnya, sebagai bentuk itikad baik. "Aku Alcard," katanya sambil menatap mereka dengan saksama. "Dari markas pusat."

Nama itu tampaknya membawa efek yang tidak ia duga. Ketiga Outcast itu tampak terkejut, bahkan si wanita bertubuh kecil dengan rambut cokelat kusut tampak membuka mulutnya sedikit sebelum akhirnya berbicara. "Kami dari markas timur," katanya dengan suara pelan namun tetap terdengar jelas. "Kami baru beberapa bulan bergabung sebagai Outcast."

Alcard mengangguk, memahami sekarang mengapa mereka tampak tidak mengenalinya. Markas pusat dan markas timur memang sering kali beroperasi secara independen, dengan tugas yang berbeda meskipun sama-sama berada di bawah kendali The Wall.

Pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya menyela dengan suara serak, "Markas pusat? Apa itu benar-benar berbeda dari tempat kami di timur?"

Alcard menatapnya sesaat, lalu menjelaskan dengan nada netral, tidak berniat membesar-besarkan. "Markas pusat adalah inti dari The Wall. Oldman sendiri memimpin dari sana, mengawasi segala hal, mulai dari distribusi Bloody Potion hingga perencanaan misi besar. Tempat itu adalah pusat dari pertahanan kita. Aku tahu, di luar markas pusat, kondisi sering kali lebih sulit. Setiap wilayah memiliki tantangan masing-masing."

Pria besar itu mengangguk kecil, lalu berkata dengan sedikit nada getir, "Di timur, misi kami lebih sering melibatkan misi manusia daripada monster."

Alcard terdiam sejenak, memahami maksud ucapan itu. Ia telah mendengar bagaimana outpost timur sering kali berurusan dengan para lord Middle Earth yang mencoba menggunakan Outcast untuk kepentingan mereka. The Wall seharusnya menjadi garis pertahanan terakhir umat manusia, tetapi politik di luar tembok telah merusak tujuan itu.

Setelah beberapa saat, ia akhirnya bertanya langsung, "Apa tujuan kalian malam ini?"

Pemimpin kelompok itu tampak ragu, tetapi akhirnya menjawab, "Kami diperintahkan untuk membunuh seorang wanita bangsawan bernama Arwen. Kami telah menunggu di jalur ini selama beberapa hari."

Mata Alcard menyipit. Ucapan itu langsung membangkitkan kewaspadaannya. "Siapa yang memberi kalian perintah itu?" tanyanya dengan nada yang lebih berat.

Wanita bertubuh kecil itu menunduk sedikit sebelum akhirnya menjawab, "Lord Tanivar."

Mendengar nama itu, Alcard menghela napas panjang. "Tanivar..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa pria itu adalah salah satu dari 68 lord di Middle Earth—seorang manipulator ulung yang percaya bahwa segala sesuatu bisa dibeli dengan emas, termasuk nyawa manusia.

Pikiran Alcard langsung berputar cepat, mencoba memahami bagaimana Tanivar bisa mengetahui perjalanan Arwen. Apakah Lord Edmun Wolven yang membocorkan informasi ini? Namun, semakin ia merenung, semakin jelas satu sosok yang lebih masuk akal berada di balik ini semua—Cevral Hamilton. Pria tua itu memiliki terlalu banyak pengaruh di Middle Earth dan selalu punya rencana di balik setiap pergerakannya.

Alcard menatap ketiga Outcast itu dengan lebih serius. "Markas pusat tidak pernah menerima misi seperti ini," katanya, kali ini dengan nada lebih tegas. "Tetapi aku tahu bahwa markas timur dan barat terkadang mendapat tekanan dari para lord yang ingin memanfaatkan situasi."

Ketiga Outcast itu tetap diam, tetapi dari sorot mata mereka, Alcard bisa melihat bahwa mereka memahami maksudnya. Ia melanjutkan dengan nada peringatan, "Kalian harus berhati-hati dengan politik para lord. Mereka akan menggunakan kita sebagai alat, tetapi begitu kita tidak lagi berguna, mereka akan membuang kita tanpa ragu."

Setelah hening sesaat, Alcard akhirnya mengungkapkan misinya sendiri. "Aku saat ini sedang menjalankan tugas mengawal seorang bangsawan bernama Arwen ke Edenvila."

Ketiga Outcast itu langsung terkejut. Pria besar yang memiliki bekas luka di wajahnya tampak lebih waspada. "Jadi, kau target kami? Kau membawa seorang bangsawan ke wilayah ini? Itu berbahaya!" katanya dengan nada khawatir.

"Ya," jawab Alcard dengan singkat. "Namanya Arwen Delareu. Misi ini adalah perintah langsung dari Oldman. Aku tidak tahu alasan pastinya, tetapi ini bukan sesuatu yang bisa aku abaikan."

Pemimpin kelompok itu tampak berpikir dalam diam, lalu akhirnya berkata dengan lebih hati-hati, "Jika itu perintah dari Oldman sendiri, maka kami tidak akan mengganggu. Misi kami hanya berkaitan dengan misi bangsawan."

Alcard mengangguk, tetapi tetap menatap mereka dengan penuh ketegasan. "Pastikan tidak ada kesalahpahaman," katanya. "Kita semua tahu, The Wall bukan tempat untuk bermain politik. Tugas kita adalah menjaga perbatasan ini, bukan menjadi pion bagi para penguasa Middle Earth."

Kini, ketiga Outcast itu tampak lebih tenang. Mereka saling bertukar pandangan sebelum akhirnya mengangguk dengan rasa hormat. Mereka mungkin tidak langsung tunduk pada Alcard, tetapi mereka memahami bahwa ia bukan seseorang yang bisa mereka abaikan begitu saja.

Sebelum beranjak, Alcard menatap mereka sekali lagi. "Kalian masih baru," katanya, suaranya lebih tenang tetapi tetap tajam. "Jangan biarkan para lord memperalat kalian. Kita adalah penjaga The Wall, bukan boneka mereka. Kita hanya tunduk pada kode etik, sumpah setia, dan perintah oldman."

Ketiga Outcast itu mengangguk, kali ini dengan lebih mantap. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Alcard berbalik dan berjalan kembali ke arah Arwen, yang selama ini mengamati dari kejauhan. Wajah wanita itu menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam, tetapi ia tetap diam, membiarkan Alcard menyelesaikan urusannya terlebih dahulu.

Sambil berjalan kembali ke Arwen, Alcard menggumam pelan, hampir seperti sebuah janji yang ia buat untuk dirinya sendiri. "Tanivar... kau sudah melangkah terlalu jauh. Kau akan menyesalinya."

Di kejauhan, bayangan pepohonan bergoyang ditiup angin malam, seakan menjadi saksi bisu dari permainan politik yang mulai melibatkan mereka lebih dalam dari yang mereka sadari.

****

 

Alcard berjalan perlahan mendekati Arwen, memastikan bahwa tidak ada luka atau dampak serius yang dialaminya setelah insiden tadi. Meskipun ekspresi wajahnya tetap tenang, ada kilatan samar dalam matanya yang menunjukkan sedikit keprihatinan.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, nadanya penuh perhatian meskipun tetap terkendali.

Arwen, yang masih duduk di atas batu besar, terlihat mencoba menenangkan dirinya. Wajahnya sedikit pucat, tapi tidak ada ketakutan berlebih yang terlihat. Ia menarik napas dalam sebelum mengangguk. "Aku... aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut," ujarnya, suaranya terdengar masih sedikit bergetar, namun tetap stabil.

Alcard memperhatikannya sejenak, menilai bagaimana gadis itu menghadapi situasi yang baru saja terjadi. Kebanyakan orang, terutama dari kalangan bangsawan, akan kehilangan kendali setelah mengalami serangan mendadak seperti itu. Beberapa mungkin akan menangis, histeris, atau bahkan pingsan. Namun, Arwen berbeda. Meskipun jelas terkejut, ia tetap bisa mengendalikan dirinya dengan luar biasa.

"Kau lebih kuat dari yang kukira," gumam Alcard lirih, nyaris seperti berbicara dengan dirinya sendiri sebelum akhirnya ia mengalihkan perhatiannya dari Arwen dan berbalik menghadapi ketiga Outcast yang masih berdiri tidak jauh dari mereka. Wajah mereka menampilkan campuran antara kebingungan, keraguan, dan sedikit rasa bersalah.

Ia melangkah mendekati mereka, posturnya tetap tegak dan penuh kewibawaan. "Kalian masih di sini?" suaranya memecah kebisuan malam dengan ketegasan yang membuat ketiga Outcast itu sedikit terhenyak.

Wanita muda dengan rambut kusut, yang sebelumnya tampak paling ragu, akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Kami... tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Sejak awal, misi ini terasa salah," katanya dengan suara rendah, hampir seperti pengakuan dosa.

Alcard menghela napas panjang. Ia memahami situasi mereka—terjebak dalam permainan politik para lord tanpa benar-benar mengetahui tujuan sebenarnya. Ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah surat dengan segel khas markas pusat yang tertera jelas di atasnya. Di bawah cahaya rembulan yang samar, simbol itu berkilauan samar, menegaskan keasliannya.

"Ambil ini," katanya sambil menyerahkan surat itu kepada pemimpin kelompok mereka. "Ini adalah surat resmi dari Oldman untuk misiku kali ini. Tidak ada hubungannya dengan Lord Tanivar ataupun politik kotor yang dimainkan di Middle Earth."

Pemimpin kelompok itu menerima surat itu dengan sedikit keraguan sebelum membuka dan membacanya bersama dua rekannya. Ekspresi mereka perlahan berubah—dari kebingungan menjadi pemahaman, lalu sedikit rasa malu.

"Apa yang harus kami lakukan dengan ini?" tanya salah satu dari mereka dengan nada penuh pertimbangan.

Alcard menatap mereka tajam sebelum menjawab, "Bawa surat ini ke tetua kalian di markas timur. Katakan padanya bahwa kalian diberikan misi untuk membunuh seorang Outcast dari markas pusat. Ketika ia membaca isi surat ini, dia akan tahu bahwa kalian telah dijebak oleh Tanivar."

Pemimpin kelompok itu tampak semakin ragu, matanya berkedip gelisah sebelum akhirnya bertanya, "Dan bagaimana dengan Tanivar? Bukankah dia akan membalas dendam jika mengetahui ini?"

Alcard menyeringai tipis, ekspresi wajahnya dingin, tanpa sedikit pun ketakutan. "Tidak akan. Tanivar adalah urusan lain. Aku dan Oldman yang akan mengurusnya setelah misiku selesai. Kalian tidak perlu khawatir tentang itu."

Ketiga Outcast itu saling bertukar pandang, dan perlahan ketegangan dalam postur mereka mulai mencair. Pemimpin mereka mengangguk kecil, seolah mengakui otoritas yang dimiliki Alcard. "Baiklah," katanya, suaranya lebih mantap kali ini. "Kami akan melakukan seperti yang kau katakan. Terima kasih, Alcard."

Alcard hanya mengangguk singkat. "Kalian hanya menjalankan tugas. Meskipun kalian hampir melanggar kode etik kita, aku tahu itu bukan sepenuhnya kesalahan kalian. Kita tidak boleh bermusuhan satu sama lain. Kita punya musuh yang lebih besar dari ini."

Tanpa membuang lebih banyak waktu, ketiga Outcast itu berbalik dan mulai bergerak pergi. Langkah mereka pelan, seolah masih mencerna segala yang telah terjadi. Sebelum benar-benar menghilang ke dalam kegelapan hutan, salah satu dari mereka menoleh dan berkata dengan suara rendah, "Semoga misimu berhasil."

Alcard hanya memberikan anggukan kecil, matanya tetap mengawasi mereka hingga bayangan mereka benar-benar lenyap di antara pepohonan. Setelah yakin mereka telah pergi, ia berbalik dan kembali ke tempat Arwen masih duduk. Gadis itu belum beranjak dari posisinya sejak tadi, meskipun ekspresinya kini lebih tenang dibanding sebelumnya.

"Benarkah kau tidak merasa takut tadi?" tanya Alcard, kali ini dengan nada yang lebih lembut, nyaris seperti rasa ingin tahu yang jujur.

Arwen mengangkat bahunya ringan, lalu tersenyum tipis. "Tentu saja aku takut," jawabnya, nada suaranya sedikit lebih santai. "Tapi aku tahu kau akan melindungiku. Kau terlihat seperti seseorang yang selalu tahu apa yang harus dilakukan, apa pun situasinya."

Alcard menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil—nyaris tak terlihat. Ia melirik ke arah langit malam yang masih dihiasi bintang-bintang. "Mungkin kau terlalu percaya padaku," gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Arwen tertawa kecil, meskipun ada ketulusan di balik tawanya. "Aku percaya karena aku tidak punya pilihan lain," katanya dengan nada ringan. "Tapi sejauh ini, kepercayaanku tidak salah, kan?"

Alcard tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk pelan, mengakui ucapannya tanpa perlu kata-kata lebih lanjut. Setelah itu, ia berdiri dan memeriksa area sekitar sekali lagi, memastikan bahwa tempat mereka cukup aman untuk bermalam.

"Kita harus beristirahat," katanya akhirnya. "Perjalanan masih panjang, dan kita tidak tahu apa yang akan menunggu kita di depan."

Arwen mengangguk, lalu bangkit berdiri dan membersihkan debu dari gaunnya. "Aku akan mencoba tidur," katanya dengan nada tenang. "Selamat malam, Alcard."

"Selamat malam, Arwen," balas Alcard singkat, sebelum kembali ke tugasnya—memastikan bahwa tempat itu benar-benar aman sebelum ia mengizinkan dirinya sendiri untuk beristirahat sejenak di bawah langit malam yang dingin. Malam ini mungkin telah berakhir dengan damai, tetapi ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

****