Langit di atas mereka diselimuti awan kelabu yang bergerak lambat, menciptakan suasana suram yang seolah mencerminkan kesunyian di antara mereka. Angin sepoi-sepoi berembus, membawa aroma tanah yang masih basah setelah hujan semalam. Langkah kuda mereka terdengar pelan, berpadu dengan suara gemerisik dedaunan yang bergoyang diterpa angin.
Sejak meninggalkan tempat peristirahatan terakhir mereka, Arwen tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sesekali, matanya melirik ke arah Alcard yang terus memandang lurus ke depan dengan ekspresi tak terbaca. Akhirnya, ia memecah keheningan dengan suara lembut namun penuh rasa ingin tahu.
"Alcard," panggilnya, suaranya tidak lebih keras dari hembusan angin. "Aku ingin tahu... apa yang sebenarnya terjadi jika seorang Outcast gagal menjalankan misinya?"
Alcard tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap lurus ke depan, seolah sedang mempertimbangkan jawaban yang tepat. Beberapa saat kemudian, ia akhirnya berbicara dengan nada datar dan tenang. "Jika itu misi melawan monster atau apapun yang terjadi di selatan, maka kegagalan biasanya berarti kematian."
Arwen mengernyit, ekspresinya menunjukkan kebingungan sekaligus keterkejutan. "Kematian? Maksudmu mereka pasti mati karena dibunuh monster?"
"Ya," jawab Alcard singkat. "Setiap misi yang melibatkan pertempuran melawan monster selalu memiliki risiko yang tinggi. Jika seorang Outcast gagal, itu hanya berarti mereka tidak cukup kuat untuk bertahan. Kelemahan di tempat kami tidak memberikan kesempatan kedua."
Arwen diam sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam pikirannya. Ia selalu membayangkan bahwa kehidupan para Outcast penuh dengan bahaya, tetapi mendengar langsung dari Alcard tentang betapa tak kenalnya dunia mereka terhadap belas kasihan membuatnya semakin menyadari kerasnya kehidupan di luar benteng kerajaan.
"Lalu bagaimana dengan misi lain?" tanyanya lagi, mencoba memahami lebih dalam. "Misi yang tidak melibatkan monster, seperti menangkap bandit atau tugas politik?"
Alcard mengangguk sedikit, tanda bahwa pertanyaan itu masuk akal. "Misi seperti itu memiliki konsekuensi yang berbeda. Jika gagal, mereka tidak akan langsung dihukum mati. Tapi biasanya mereka akan dihukum dengan tidak diberikan Bloody Potion untuk beberapa waktu. Dalam kasus tertentu, mereka juga bisa dikurung."
Arwen menatapnya dengan ekspresi lebih serius. "Tidak diberikan Bloody Potion... apa itu tidak berbahaya?"
Alcard tetap menatap jalanan di depan mereka, tetapi ada perubahan kecil dalam sorot matanya. Ia seperti mengingat sesuatu dari masa lalu yang tidak ingin diingat, sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hukuman. "Itu lebih berbahaya daripada yang bisa kau bayangkan," jawabnya dengan suara yang lebih pelan. "Ketika seseorang mulai bergantung pada Bloody Potion, tubuh mereka tidak bisa lagi berfungsi normal tanpa itu. Jika dihentikan tiba-tiba, mereka akan mengalami rasa sakit luar biasa. Tubuh mereka melemah, kejang, dan dalam beberapa kasus... mereka kehilangan kewarasan."
Arwen merasa bulu kuduknya berdiri. "Itu... mengerikan," gumamnya. "Dan kalian tetap harus menjalaninya?"
Alcard mengangguk. "Kami tidak punya pilihan lain."
Arwen menelan ludah, tetapi ia masih memiliki pertanyaan yang belum terjawab. "Tapi kalau seseorang sudah kehilangan akal sehatnya karena tidak mendapatkan Bloody Potion, kenapa kalian tidak membiarkan mereka mati saja?"
Untuk pertama kalinya sejak percakapan dimulai, Alcard tersenyum kecil—senyum yang terasa getir, lebih seperti cerminan dari sesuatu yang ia simpan dalam-dalam. "Karena meskipun dunia telah membuang kami, kami tidak membuang sesama Outcast," katanya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. "Kami mungkin bukan lagi bagian dari Middle Earth, tetapi kami adalah keluarga bagi satu sama lain. Bahkan mereka yang gagal tetap bagian dari kami."
Arwen terdiam. Ia tidak menyangka mendengar kata 'keluarga' dari seorang Outcast, terutama setelah semua yang ia dengar tentang kehidupan mereka yang keras dan penuh perjuangan. Namun, di balik setiap kata yang diucapkan Alcard, ia bisa merasakan ketulusan yang sulit dijelaskan. Para Outcast hidup dalam penderitaan, tetapi mereka tidak benar-benar sendiri.
"Tapi bagaimana mereka bisa bertahan?" tanyanya akhirnya. "Hidup seperti itu... pasti sangat berat."
Alcard menarik napas panjang, membiarkan keheningan mengisi jeda sebelum ia menjawab. "Kami bertahan karena kami harus," ucapnya dengan nada datar, tetapi mengandung makna yang lebih dalam. "Menjadi Outcast bukanlah pilihan. Itu adalah hukuman. Namun, daripada membiarkan hukuman itu menghancurkan kami, kami memilih untuk bertahan bersama. Karena pada akhirnya, tidak ada yang akan peduli pada kami selain diri kami sendiri."
Arwen menatapnya lama, merenungkan kata-kata itu. Hidup para Outcast mungkin penuh dengan penderitaan, tetapi mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan bangsawan—kesetiaan yang tidak bisa dibeli, persaudaraan yang dibangun bukan atas dasar keuntungan, melainkan kebutuhan untuk bertahan.
Perjalanan mereka berlanjut dalam keheningan. Awan di langit tetap menggantung rendah, membuat hari tampak lebih gelap dari seharusnya. Langkah kuda mereka berirama pelan di atas jalan berbatu, seolah menjadi satu-satunya saksi dari percakapan yang baru saja terjadi.
Mungkin perjalanan mereka masih panjang, dan mungkin jawaban yang mereka cari belum terlihat. Namun, setiap percakapan yang mereka lalui membawa mereka semakin dekat pada pemahaman satu sama lain—dan mungkin, juga pada kebenaran yang lebih besar tentang dunia yang mereka jalani.
****
Langit kelabu menggantung rendah di atas kepala mereka, menciptakan suasana muram yang seolah memperberat perjalanan mereka. Angin dingin bertiup perlahan, membawa aroma lembap tanah yang masih basah setelah hujan semalam. Langkah kuda mereka terdengar ritmis di sepanjang jalan setapak yang sempit dan berbatu, mengiringi perjalanan yang semakin dipenuhi dengan ketegangan.
Arwen, yang sejak tadi mengikuti di belakang Alcard, akhirnya mengutarakan pertanyaan yang telah mengusiknya. "Alcard," panggilnya dengan nada penuh rasa ingin tahu, "kenapa kita harus mengambil jalan memutar lagi? Bukankah akan lebih cepat jika kita melewati jalur yang sebelumnya?"
Tanpa mengurangi kecepatan kudanya, Alcard menjawab dengan nada datar, "Jalan itu melewati wilayah bandit." Ia tetap fokus ke depan, matanya terus mengawasi setiap sudut jalan. "Kalau aku sendirian, itu bukan masalah. Tapi sekarang aku bertanggung jawab atas keselamatanmu. Jalan ini lebih panjang, tapi lebih aman."
Arwen terdiam sejenak, memperhatikan ekspresinya yang tetap tak terbaca. Lalu, dengan sedikit senyum, ia berkomentar, "Kau selalu terlihat dingin dan tak peduli, tapi sebenarnya perhatian juga, ya."
Alcard tidak menanggapi. Ia tetap diam, membiarkan perjalanannya berbicara lebih dari kata-kata. Beberapa jam berlalu tanpa percakapan lebih lanjut, hingga akhirnya persediaan makanan mereka mulai menipis. Dengan mengandalkan peta kecil yang ia simpan di kantongnya, Alcard mencoba mencari desa terdekat yang bisa mereka singgahi untuk mengisi kembali perbekalan.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka tiba di sebuah desa kecil yang tampak usang dan tidak terurus. Rumah-rumah kayu berdiri dalam kondisi lusuh, sebagian besar pintunya terbuka lebar seolah telah lama ditinggalkan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada suara ayam berkokok atau kambing mengembik, bahkan desiran angin yang menggoyangkan tirai pun terasa nyaris tak ada.
Arwen menoleh ke sekeliling dengan raut wajah penuh kebingungan. "Aneh," gumamnya pelan, "Seharusnya ada aktivitas, suara orang, atau binatang. Tapi tempat ini... terlalu hening."
Alcard mengamati keadaan sekitar dengan tajam. Matanya menyapu setiap sudut desa, memastikan tidak ada ancaman tersembunyi. Ia lalu menghentikan kudanya dan turun lebih dulu sebelum membantu Arwen turun dari kuda putihnya.
"Ini tidak biasa," katanya singkat, suaranya penuh kewaspadaan.
Mereka mulai berjalan perlahan, menyusuri jalan utama desa yang tampak sepi. Langkah kaki mereka terdengar jelas, menggema di antara bangunan-bangunan yang tampak terbengkalai. Semakin mereka melangkah ke dalam desa, semakin terasa atmosfer yang janggal—seolah tempat ini telah lama ditinggalkan, tetapi dalam keadaan yang masih utuh. Tidak ada tanda-tanda kerusakan akibat serangan, tidak ada puing-puing yang menandakan pertempuran. Hanya keheningan yang terasa tidak wajar.
Saat mereka mencapai bagian terdalam desa, tiba-tiba, sebuah sosok berjubah putih muncul dari balik salah satu rumah. Tanpa suara, ia berdiri menghadang jalan mereka, tudungnya yang dalam menutupi hampir seluruh wajahnya. Keberadaannya begitu tiba-tiba, seolah-olah ia telah ada di sana sejak lama tanpa mereka sadari.
Alcard segera bereaksi, melangkah maju untuk berdiri di antara Arwen dan sosok itu. Dengan gerakan perlahan, ia mencabut pedangnya, ujungnya sedikit diturunkan namun tetap dalam posisi siap bertarung.
"Siapa kau?" tanyanya tegas, suaranya tenang namun penuh ancaman.
Sosok berjubah itu tetap diam, tidak bergerak sedikit pun. Arwen, yang berdiri di belakang Alcard, mencengkeram lengan bajunya dengan erat. Suaranya berbisik, nyaris tak terdengar. "Siapa dia? Bandit? Atau sesuatu yang lain?"
"Aku tidak tahu," jawab Alcard tanpa mengalihkan pandangan dari sosok itu. "Tapi jelas dia bukan orang biasa."
Sosok itu perlahan mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan bahwa ia tidak membawa senjata. Namun, sikapnya yang diam dan misterius justru semakin menambah ketegangan di udara.
"Jika kau tidak berniat buruk, katakan siapa dirimu," ujar Alcard lagi, suaranya lebih dalam, lebih menekan.
Akhirnya, setelah beberapa detik hening yang terasa seperti selamanya, sosok itu berbicara. Suaranya lembut, tetapi ada sesuatu yang dingin dan berwibawa dalam nadanya. "Aku adalah penjaga."
Dahi Alcard berkerut. Kata-kata itu hanya menimbulkan lebih banyak pertanyaan. "Penjaga?" ulangnya, matanya menyipit. "Menjaga apa? Kami hanya mencari perbekalan, tidak lebih."
Sosok itu tetap diam sejenak, lalu memiringkan kepalanya sedikit, seolah sedang menilai mereka. Setelah jeda yang cukup lama, ia akhirnya berbicara lagi. "Jika itu tujuan kalian, aku bisa membantu. Tapi kalian harus meninggalkan desa ini sebelum malam tiba."
Alcard dan Arwen saling berpandangan. Keduanya merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan desa ini, dan keberadaan sosok berjubah putih ini hanya memperkuat firasat buruk mereka. Meski demikian, Alcard memutuskan untuk tidak langsung menantangnya. Ia memahami bahwa kadang lebih baik memilih jalan yang tidak melibatkan konfrontasi.
"Baik," katanya akhirnya. "Kami hanya akan mengambil apa yang kami perlukan, lalu pergi sebelum malam tiba."
Sosok berjubah itu mengangguk pelan, lalu perlahan berbalik dan mulai berjalan. Ia tidak memberi perintah dengan kata-kata, tetapi gerakannya cukup jelas mengisyaratkan bahwa mereka harus mengikutinya.
Alcard tetap waspada. Dengan satu tangan tetap di gagang pedangnya, ia melangkah perlahan mengikuti sosok itu, sementara Arwen berjalan di belakangnya dengan penuh kehati-hatian. Meskipun ia tidak mengatakan apa pun, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan. Siapa sosok ini? Mengapa ia ingin mereka pergi sebelum malam? Dan yang lebih penting, apa yang sebenarnya terjadi di desa ini?
Saat mereka berjalan melewati rumah-rumah kosong, bayangan-bayangan panjang yang diciptakan oleh sinar matahari yang mulai meredup tampak seperti sosok-sosok yang mengintai dari kejauhan. Perasaan tidak nyaman semakin menguat, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik keheningan desa ini. Setiap langkah mereka terasa membawa mereka lebih dalam ke dalam misteri yang belum terungkap, seolah ada kegelapan yang menunggu saat yang tepat untuk menyergap mereka.
Arwen menatap punggung Alcard, lalu kembali menatap sosok berjubah putih yang berjalan di depan mereka. Suasana yang begitu sunyi dan aneh ini mulai membuatnya gelisah. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya—karena ia tahu, cepat atau lambat, jawabannya akan muncul dengan sendirinya. Pertanyaannya adalah, apakah mereka siap menghadapi apa pun yang akan mereka temukan?
****
Langit masih tertutup awan kelabu ketika sosok berjubah putih itu memimpin mereka melewati desa yang sepi menuju sebuah rumah kecil di sudut perkampungan. Tidak seperti bangunan lain yang terlihat kumuh dan nyaris ditelan waktu, rumah ini tampak lebih terawat. Pintu kayunya masih kokoh, tidak seperti pintu-pintu lain yang terbuka dan dibiarkan terguncang angin. Dindingnya berdiri tegak, tidak menunjukkan tanda-tanda pembusukan.
Dengan gerakan ringan namun penuh kewibawaan, sosok itu mendorong pintu hingga terbuka, memperlihatkan bagian dalam rumah yang mengejutkan. Berbeda dari perkiraan mereka, ruangan di dalamnya tidak dipenuhi debu atau ditinggalkan dalam keadaan berantakan. Justru, rak-rak kayu di sepanjang dinding tertata rapi, dipenuhi dengan makanan kering, buah-buahan segar yang tampaknya baru dipanen, dan gentong-gentong besar berisi air bersih yang berjajar di sudut. Aroma kayu dan rempah samar-samar tercium di udara, memberikan kesan tempat ini memang masih digunakan.
"Ambillah yang kalian butuhkan. Aku tidak keberatan," suara sosok itu terdengar tenang, nadanya datar seolah ia tidak sedang menawarkan bantuan yang berarti.
Alcard tidak langsung bergerak. Tatapannya menyapu seluruh ruangan dengan penuh kehati-hatian, matanya menyipit curiga. Dalam hidupnya, ia jarang menemukan kebaikan yang datang tanpa alasan. Instingnya menolak untuk menerima sesuatu yang begitu mudah tanpa mengungkap tujuan di baliknya. Dengan suara rendah, namun penuh ketajaman, ia bertanya, "Kenapa kau membantu kami? Apa kepentinganmu?"
Sosok berjubah putih itu tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Ia hanya menatap Alcard dengan ekspresi tenang, seolah sudah menduga pertanyaan semacam itu akan muncul. "Aku hanya menjalankan tugasku," jawabnya singkat, sebelum melanjutkan, "Tetapi aku rasa, pertemuan ini bukan sekadar kebetulan. Karena secara kebetulan pula, aku adalah orang yang sedang dicari oleh wanita di sampingmu."
Kata-kata itu membuat Alcard tersentak. Ia segera menoleh ke arah Arwen, yang kini membeku di tempatnya. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak pucat pasi. Matanya membesar, dipenuhi keterkejutan dan ketegangan yang sulit ia sembunyikan. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi tak mampu mengeluarkan suara.
"Apa maksudmu?" suara Alcard terdengar lebih dalam dan tegas. Pandangannya kembali ke sosok berjubah itu, kini lebih tajam, lebih penuh kewaspadaan. Ketegangan di ruangan itu semakin tebal.
Sosok itu akhirnya mengangkat tangannya, menarik perlahan tudungnya ke belakang. Begitu kain itu jatuh, wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya redup yang menyusup dari celah atap. Kulitnya tampak pucat, nyaris seperti porselen, namun ada sesuatu yang bersinar lembut di permukaannya, hampir seperti cahaya yang memancar dari dalam. Rambutnya panjang dan perak, berkilauan di bawah sinar yang samar, membuatnya tampak seperti makhluk yang bukan berasal dari dunia ini.
Arwen menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya sedikit gemetar. "Apakah... apakah kau...?" suaranya terdengar lirih, nyaris tak terdengar.
Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri sebelum melanjutkan, "Apakah kau... seorang Jotun?"
Ruangan terasa semakin sunyi setelah pertanyaan itu menggema. Alcard menoleh cepat, ekspresi skeptis tergambar jelas di wajahnya. Ia menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Jotun?" ulangnya dengan nada tidak yakin. "Itu hanya legenda..."
Sosok itu tidak terganggu oleh skeptisisme Alcard. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, bukan senyum penuh kebanggaan, tetapi lebih seperti seseorang yang sudah terbiasa mendengar ketidakpercayaan dari orang-orang yang ditemuinya. Tatapannya tertuju pada Arwen, memancarkan ketenangan yang sulit dijelaskan. "Jika kau mencariku, aku di sini," katanya dengan nada lembut namun penuh otoritas. "Tapi kau harus siap menerima kebenaran atas pertanyaan yang selama ini kau pendam."
Arwen masih berdiri di tempatnya, matanya berkaca-kaca. Seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokannya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya sebelum akhirnya berbicara dengan suara gemetar. "Aku... aku mencarimu... Tapi aku tidak pernah berpikir akan benar-benar menemukanmu."
Sementara itu, Alcard tetap berdiri tegak, ekspresinya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Matanya beralih dari Arwen ke sosok berjubah itu, seolah ingin mencari celah dalam kebohongan atau tipuan. Akhirnya, ia bersuara, suaranya penuh skeptisisme. "Jika kau benar-benar seorang Jotun," tantangnya, "buktikan. Aku tidak akan percaya hanya dengan kata-kata."
Sosok itu tetap tenang, seolah sudah mengantisipasi permintaan tersebut. Ia mengangguk perlahan, lalu mengangkat tangannya ke depan. Dalam sekejap, dari ujung jarinya, cahaya biru kehijauan mulai memancar. Cahaya itu tidak menyilaukan, tetapi terasa sangat nyata, seolah mengandung energi yang jauh lebih besar daripada yang bisa dipahami manusia biasa. Udara di sekitar mereka berubah, menjadi lebih berat, seakan ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat.
Arwen menatap cahaya itu dengan mata terbelalak, bibirnya bergetar saat ia berbisik, "Ini... ini kekuatan para Jotun..." Suaranya penuh dengan kekaguman bercampur ketakutan, seolah ia baru saja menyaksikan sesuatu yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita-cerita lama.
Alcard tetap di tempatnya, tidak bergerak, meskipun jari-jarinya sedikit mengencang di gagang pedangnya. Rahangnya mengeras, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang semakin sulit ia abaikan. "Apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini?" gumamnya dalam hati. Ia tidak percaya pada dongeng, tetapi apa yang baru saja ia lihat bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika sederhana.
Sosok itu perlahan menarik tangannya kembali, membiarkan cahaya biru kehijauan itu meredup dan akhirnya menghilang sepenuhnya. Ia kemudian menatap Arwen dengan sorot mata yang dalam, seolah menembus ke dalam jiwanya. "Sekarang," katanya dengan nada lembut namun penuh otoritas, "apa yang ingin kau tanyakan, Arwen Delareu?"
Arwen mengangguk pelan, masih berusaha mengendalikan emosinya yang bercampur aduk. Ia tahu bahwa pertemuan ini akan membawa jawaban, tetapi apakah ia siap mendengar kebenaran yang selama ini ia cari?
Di sisi lain, Alcard tetap berdiri di tempatnya, kedua matanya masih menatap sosok itu dengan penuh ketajaman. Ia tahu bahwa momen ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa ia telah melangkah ke dalam sesuatu yang berada di luar jangkauan pemahamannya.
****
Di dalam ruangan yang sempit namun terasa sesak oleh beban percakapan yang akan terjadi, Arwen akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Meski sorot matanya penuh kebimbangan, ada tekad yang terpancar di balik tatapannya. Ia menatap sosok di hadapannya, seolah-olah mencoba memastikan bahwa apa yang ia rasakan selama ini bukan sekadar ilusi.
"Selama bertahun-tahun," suaranya terdengar lirih namun mantap, "aku terus dihantui oleh mimpi yang sama. Mimpi yang selalu terasa begitu nyata, seolah seseorang berbisik kepadaku, menuntunku untuk mengambil langkah-langkah tertentu yang akhirnya membawaku ke sini. Aku tidak tahu apakah itu sekadar kebetulan atau... apakah itu semacam pesan dari para dewa?"
Ruangan itu terasa semakin sunyi setelah pertanyaan itu keluar dari bibirnya. Sosok berjubah putih yang berdiri di hadapan mereka tetap diam sejenak, matanya mengamati Arwen dengan sorot yang dalam, seolah sedang menilai sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Lalu, dengan anggukan pelan, ia akhirnya berbicara.
"Mimpi-mimpi itu bukan kebetulan," katanya dengan suara tenang yang mengandung kehangatan yang sulit dijelaskan. "Mereka adalah panggilan, sebuah isyarat yang hanya bisa diterima oleh mereka yang terpilih. Kau, Arwen, memiliki peran yang lebih besar daripada yang mungkin bisa dipahami oleh kerajaan mana pun. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar."
Mendengar kata-kata itu, Arwen terdiam, seolah terbebani oleh kenyataan yang baru saja diungkapkan. Tangannya perlahan terangkat, menutupi mulutnya saat matanya mulai berkaca-kaca. Air mata mengalir pelan di pipinya, membawa semua emosi yang selama ini ia tekan dalam diam.
"Aku selalu merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku," bisiknya, suaranya bergetar. "Tapi ibuku selalu memintaku untuk merahasiakannya. Dia berkata bahwa dunia tidak akan mengerti, bahwa jika mereka tahu... mereka akan memburuku, menjadikanku alat atau mungkin membunuhku."
Di sudut ruangan, Alcard yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya tidak bisa lagi menahan diri. Wajahnya menyiratkan kebingungan yang jarang terlihat dalam ekspresinya yang biasanya dingin. Ia melangkah maju, suaranya penuh ketegasan yang mencerminkan ketidaksabaran.
"Tunggu sebentar," potongnya. "Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini. Siapa kau sebenarnya? Dan apa hubungannya semua ini dengan Arwen?"
Sosok berjubah itu akhirnya mengalihkan pandangannya kepada Alcard. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, seolah pertanyaan itu sudah ia antisipasi sejak awal. Dengan suara yang tetap tenang dan penuh keyakinan, ia menjawab.
"Namaku adalah Reinhard."
Begitu nama itu terucap, ruangan terasa seolah membeku sesaat. Bahkan Alcard, yang biasanya tidak mudah terpengaruh oleh kejutan apa pun, tampak mengernyitkan dahi, seolah mencoba mengingat sesuatu yang jauh di dalam ingatannya.
"Reinhard?" gumamnya. "Aku merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya..."
Namun sebelum Alcard sempat menggali lebih jauh, Arwen sudah lebih dulu menyela. Matanya masih berkaca-kaca, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam ekspresinya—sebuah campuran antara rasa kagum dan ketakutan.
"Reinhard bukanlah manusia biasa," katanya, suaranya terdengar lebih mantap dari sebelumnya. "Dia adalah salah satu Jotun—sosok yang dalam sejarah kuno disebut sebagai penjaga dunia ini, bahkan sebelum manusia membangun peradaban mereka."
Alcard menatapnya dengan skeptis. Ia menggeleng perlahan, seolah mencoba menolak gagasan itu. "Jotun?" ulangnya dengan nada yang penuh ketidakpercayaan. "Itu hanya dongeng belaka. Tidak ada yang bisa membuktikan bahwa mereka benar-benar ada."
Arwen menggeleng, kali ini dengan keyakinan yang lebih kuat. "Bukan dongeng, Alcard. Aku tahu itu karena aku sendiri adalah seorang Life-Seer."
Ruangan itu kembali dipenuhi keheningan yang berat. Alcard menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran antara keterkejutan dan keengganan untuk mempercayai sesuatu yang terdengar begitu mustahil.
"Life-Seer?" ulangnya, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kau bercanda, kan? Itu hanya mitos. Sama seperti Jotun."
Arwen menarik napas dalam sebelum menjawab. "Tidak, itu bukan mitos. Sejak kecil, aku bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain. Aku bisa merasakan sesuatu yang lebih besar, seolah ada suara yang menuntunku, membimbingku menuju jalan ini. Tapi ibuku tahu bahwa jika kemampuan ini diketahui oleh dunia luar, aku akan dijadikan alat politik atau lebih buruk lagi—mereka akan membunuhku untuk mencegah apa yang mungkin terjadi."
Alcard masih berdiri dengan tatapan yang sulit dibaca. Ia bukan orang yang mudah percaya pada hal-hal yang tidak bisa ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, tetapi kejujuran dalam suara Arwen membuatnya ragu akan keyakinannya sendiri.
Di sisi lain, Reinhard mengangguk pelan, ekspresinya tetap tenang. "Apa yang dia katakan benar," katanya dengan suara yang seakan mengandung bobot waktu yang sangat panjang. "Kehadirannya lebih penting dari yang ia sadari. Dunia ini berada di ambang kehancuran, dan seorang Life-Seer seperti Arwen adalah satu-satunya yang bisa melihat jalan yang harus diambil untuk menyelamatkannya."
Alcard menghela napas panjang, mengusap wajahnya seolah mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar. "Baik," katanya akhirnya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya. "Jika semua ini benar... mengapa aku tidak pernah mendengarnya sebelumnya? Mengapa dunia seakan melupakan keberadaan Jotun dan Life-Seer?"
Tatapan Reinhard menjadi lebih tajam. "Karena dunia ini lebih memilih melupakan kebenaran daripada menghadapi ketakutan yang dibawanya," jawabnya. "Keberadaan kami adalah pengingat akan kekuatan yang jauh lebih besar daripada manusia, sesuatu yang banyak orang lebih suka abaikan karena mereka takut kehilangan kendali atas dunia yang mereka bangun."
Arwen menatap Alcard, sorot matanya penuh keyakinan. "Sekarang kau mengerti, Alcard. Inilah alasanku mencarimu. Inilah alasan aku mencari Reinhard. Ini bukan hanya perjalanan biasa—ini adalah takdir yang sudah menantiku sejak lama, meskipun itu berarti aku harus meninggalkan semua yang pernah aku kenal."
Alcard menatap Reinhard lama, lalu kembali pada Arwen. Ia bisa merasakan bahwa dirinya telah terjebak dalam sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Perjalanan yang awalnya hanyalah tugas mengawal seorang bangsawan kini berubah menjadi sebuah persimpangan yang akan menentukan nasib dunia.
Dengan suara rendah, tetapi penuh dengan ketegasan yang mencerminkan sifatnya sebagai prajurit, ia akhirnya bertanya, "Jika semua ini benar, lalu apa selanjutnya? Apa yang kalian rencanakan? Dan bagaimana aku terlibat dalam semua ini?"
Reinhard tersenyum tipis, tetapi senyumnya mengandung sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kepastian. "Semua akan terungkap pada waktunya, Alcard," jawabnya dengan nada yang misterius, seolah jawaban yang sebenarnya masih terlalu dini untuk diungkapkan.
Alcard tetap berdiri di tempatnya, pikirannya berputar mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tahu satu hal dengan pasti—perjalanan ini tidak akan berakhir seperti yang ia bayangkan. Dan di dalam hatinya, ia menyadari bahwa apapun yang terjadi selanjutnya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
****
Reinhard tetap berdiri dengan tenang, matanya yang tajam menelusuri ekspresi kebingungan yang jelas tergambar di wajah Alcard. Seolah memahami apa yang berkecamuk dalam pikirannya, Reinhard berbicara dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan yang tak terbantahkan.
"Misi pengawalanmu telah selesai, Alcard," ujarnya, tatapannya tak bergeming. "Tujuan Arwen adalah mencariku, dan kini dia telah berhasil mencapainya."
Alcard mengerutkan kening, hatinya semakin dipenuhi dengan tanda tanya yang sulit ia abaikan. Matanya menyipit, mencoba mencari celah dalam kata-kata Reinhard yang terasa terlalu sederhana untuk menjelaskan semua yang telah terjadi. "Jadi... itu saja?" tanyanya dengan skeptis. "Semua ini, perjalanan berbahaya yang kita lalui, pertarungan yang kita hadapi, hanya untuk membawanya kepadamu? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?"
Reinhard tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia hanya memberikan senyum samar—senyum yang tidak memberi jawaban, tetapi justru menyiratkan bahwa ada hal yang lebih besar di balik semua ini. "Apa yang terjadi di sini bukan sesuatu yang perlu kau ketahui saat ini," katanya akhirnya, nada suaranya tetap tenang, seakan ia sedang menjelaskan sesuatu yang tak bisa diperdebatkan. "Yang perlu kau pahami hanyalah bahwa tugasmu sudah selesai. Ambillah persediaan makanan dan air di sini, itu cukup untuk perjalananmu kembali ke The Wall."
Alcard hampir membuka mulutnya untuk membantah, tetapi sebelum ia sempat berbicara, Arwen sudah lebih dulu melangkah maju. Wajahnya tampak lebih lembut daripada sebelumnya, penuh dengan rasa syukur yang tulus. Suaranya pelan, tetapi setiap kata yang diucapkannya sarat dengan makna.
"Terima kasih, Alcard," katanya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau telah melindungiku sepanjang perjalanan ini, dan aku tidak akan melupakan keberanian serta kebaikanmu. Tapi sekarang, waktunya kita berpisah. Aku yakin... suatu hari nanti, takdir akan mempertemukan kita kembali."
Kata-kata Arwen membuat Alcard terdiam. Ada sesuatu dalam dirinya yang menolak menerima kenyataan bahwa perjalanan mereka berakhir begitu saja. Setelah semua yang mereka lalui, rasanya terlalu tiba-tiba. Namun, sebelum ia bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas ucapan Arwen, Reinhard kembali berbicara.
"Jangan khawatir, Alcard," kata Reinhard sambil melangkah lebih dekat. "Kau telah melakukan lebih dari cukup. Tetapi sekarang, kau harus kembali ke tempatmu. Percayalah, ini adalah langkah yang terbaik."
Sebelum Alcard sempat bereaksi, Reinhard mengangkat tangannya dan menyentuhkan ujung jarinya ke kening Alcard dengan gerakan yang nyaris tak terasa. Seketika, tubuh Alcard terasa ringan, seolah beban gravitasi yang selama ini menahannya tiba-tiba lenyap. Dunianya mulai berubah—cahaya dan bayangan bercampur menjadi satu, membuat sosok Reinhard dan Arwen perlahan menghilang seperti kabut yang diterpa angin.
Desa yang tadi begitu nyata kini memudar, menyatu dengan kegelapan yang mendadak menyelimuti kesadarannya. Semua suara lenyap, kecuali denyut jantungnya sendiri yang bergema di dalam kepala.
Lalu, dengan tiba-tiba, semuanya kembali.
Saat Alcard membuka matanya, ia mendapati dirinya berdiri di sebuah kandang kuda yang ramai dengan aktivitas desa. Suara riuh para penduduk yang berlalu-lalang memenuhi udara, aroma jerami dan tanah basah menyentuh indra penciumannya. Di dekatnya, kuda hitamnya berdiri dengan tenang, meringkik pelan seolah tidak menyadari hal aneh yang baru saja terjadi. Namun, satu hal yang pasti—sosok Arwen dan Reinhard tidak ada di sana. Kuda putih yang sebelumnya ditunggangi Arwen juga telah lenyap tanpa jejak.
Alcard mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tangannya secara refleks menyentuh keningnya, di tempat di mana Reinhard menyentuhnya beberapa saat yang lalu—atau mungkin itu hanyalah ilusi lain? Dia menarik napas dalam, dadanya naik turun saat pikirannya berputar mencari jawaban.
Pandangan matanya menyapu sekeliling. Para penduduk desa tampak sibuk dengan urusan mereka, sama sekali tidak menyadari atau peduli dengan apa yang baru saja ia alami. Seolah-olah kejadian luar biasa itu hanyalah sesuatu yang terjadi di luar realitas mereka.
Alcard mengembuskan napas panjang, lalu melangkah perlahan ke arah kudanya. Tangannya meraih tali kekang dengan gerakan yang sudah terlalu biasa baginya, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sebuah perasaan yang tidak ia mengerti sepenuhnya.
Saat ia mulai berjalan keluar dari desa, pikirannya masih dipenuhi dengan pertanyaan yang belum terjawab. Reinhard... Arwen... Apa sebenarnya tujuan dari semua ini? Apakah ia benar-benar telah menyelesaikan tugasnya, atau apakah ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar?
Satu hal yang ia tahu pasti—perjalanannya belum benar-benar selesai. Jika ada yang bisa ia yakini dari pengalaman ini, itu adalah bahwa dunia ini menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang pernah ia bayangkan. Dan cepat atau lambat, ia akan menemukan jawabannya.
****