Matahari sore menggantung rendah di langit, menyelimuti dunia dengan cahaya keemasan yang lembut. Alcard duduk di atas batu besar di tepi jalan setapak, tatapannya tertuju pada desa di kejauhan yang kini hanya terlihat sebagai bayangan samar di ufuk barat. Udara hangat mengalir pelan, membelai kulitnya, tetapi pikirannya terperangkap dalam labirin kebingungan yang tak kunjung usai.
Desa itu tampak begitu berbeda sekarang—tidak lagi terasa sunyi dan penuh misteri seperti saat pertama kali ia dan Arwen menginjakkan kaki di sana. Rumah-rumah yang sebelumnya tampak kosong dan terbengkalai kini dihuni kembali, dengan suara aktivitas penduduk yang terdengar samar dari kejauhan. Orang-orang bergerak dengan ritme kehidupan normal, seolah desa itu tidak pernah mengalami keheningan yang menyeramkan hanya beberapa waktu yang lalu.
Alcard menyipitkan matanya, mencoba menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan semua ini. "Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di antara desir angin.
Pikirannya kembali ke saat ketika Reinhard menyentuh keningnya. Begitu sentuhan itu terjadi, semuanya berubah dalam sekejap. Desa yang semula sunyi dan dipenuhi atmosfer yang tidak wajar tiba-tiba berubah menjadi nyata, penuh dengan kehidupan seperti desa-desa lain yang pernah ia lalui. Itu bukan sekadar ilusi—ia yakin telah mengalami sesuatu yang melampaui batas pemahamannya sebagai seorang manusia biasa. Rasanya seolah ia telah melangkah ke dalam dunia yang berbeda, lalu ditarik kembali tanpa penjelasan.
"Jotun..." Alcard membisikkan kata itu, seolah baru benar-benar memahami artinya. Jika Reinhard benar-benar salah satu dari mereka, maka masuk akal bahwa ia memiliki kekuatan yang melampaui pemahaman manusia. Kekuatan yang cukup besar untuk mengubah realitas hanya dengan sebuah sentuhan.
Alcard menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari logika dalam semua ini. "Jika dia benar-benar seorang Jotun, maka perubahan mendadak seperti itu hanyalah sebagian kecil dari apa yang bisa dia lakukan," pikirnya. Namun, meskipun ia mencoba menerimanya sebagai fakta, pikirannya tetap dihantui oleh pertanyaan yang tak terjawab.
Mengapa Arwen harus menemui Reinhard?
Apa arti sebenarnya dari mimpi-mimpi yang mengarahkannya ke sana?
Mengapa dia, Alcard, yang dipilih untuk menemani Arwen dalam perjalanan ini?
Bagaimana semua ini berhubungan dengan dunia yang selama ini ia kenal?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, seperti ombak yang terus menerpa pantai tanpa henti. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mengusir kebingungan yang semakin dalam. Ia telah melalui banyak hal dalam hidupnya, bertempur di medan perang, bertahan di antara monster di The Wall, dikhianati dan dibuang. Namun, tidak ada yang bisa dibandingkan dengan perasaan terasing yang ia rasakan saat ini—seolah-olah ia tiba-tiba dilempar ke dalam permainan yang aturan dan tujuannya masih tersembunyi dari pandangannya.
Satu hal kini semakin jelas baginya: ini bukan hanya tentang dirinya. Apa yang baru saja terjadi jauh lebih besar dari apa pun yang pernah ia alami. Bahkan lebih besar dari The Wall, lebih luas dari konflik di Middle Earth. Ada sesuatu yang bergerak di balik layar, sesuatu yang melibatkan kekuatan yang bahkan para raja dan penguasa dunia tidak pernah ketahui.
Jika ini memang kehendak dewa, jika ini memang takdir yang telah ditetapkan untuknya, maka ia tak punya pilihan selain berjalan di jalan yang telah terbuka di depannya. Namun, meskipun ia berusaha menerima kenyataan itu, ketidakpastian masih membayanginya, seperti kabut yang menyelimuti medan perang sebelum pertempuran dimulai.
Akhirnya, Alcard berdiri, membiarkan pikirannya mereda sejenak. Ia mengambil tali kekang kuda hitamnya yang setia menunggu di samping, menepuk lehernya perlahan sebelum memastikan pelana dan perlengkapannya sudah terikat dengan baik. Dengan gerakan yang sudah menjadi kebiasaannya selama bertahun-tahun, ia naik ke atas punggung kudanya, lalu menarik tali kekang dengan mantap.
"Yang pasti sekarang adalah aku harus kembali ke The Wall," gumamnya pelan, tatapannya mengarah ke langit yang mulai berubah warna menjadi jingga tua. "Tapi pada waktunya... aku akan mencari jawaban atas semua ini."
Langkah kuda perlahan membawa Alcard menjauh dari desa itu, meninggalkan segala misterinya di belakang. Namun, meski tubuhnya bergerak maju, pikirannya tetap tertinggal di tempat di mana ia pertama kali menyadari bahwa dunia ini jauh lebih besar dan lebih penuh rahasia daripada yang pernah ia bayangkan. Satu hal yang ia tahu pasti—perjalanannya belum benar-benar berakhir. Justru, ini mungkin baru saja dimulai.
****
Di atas punggung kuda hitam yang setia, Alcard melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan setapak yang sepi, meninggalkan desa yang menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Langit senja perlahan menutup tirainya, berganti dengan kelamnya malam yang hanya diterangi sinar bulan pucat. Suara langkah kuda berirama lembut di antara keheningan, menjadi satu-satunya suara yang menemani pikirannya yang terus berputar.
Angin malam berembus pelan, membawa hawa dingin yang seharusnya menyegarkan pikirannya, tetapi tidak mampu menghapus gejolak yang masih bersarang di dalam dadanya. Sejak perpisahannya dengan Arwen, ia mencoba memahami segala hal yang telah terjadi, mencoba menemukan logika di balik teka-teki yang baru saja dihadapinya. Namun, semakin ia menggali, semakin dalam ia terperangkap dalam labirin kebingungan.
"Seorang Life-Seer," gumamnya lirih, mengulang kata-kata yang pernah diucapkan Arwen. "Seorang penunjuk jalan yang dipilih oleh dewa."
Meskipun sulit untuk mempercayainya, ia tidak bisa menyangkal semua hal aneh yang telah terjadi. Reinhard, seorang Jotun, benar-benar ada. Desa yang awalnya sunyi mendadak kembali hidup. Arwen sendiri, dengan ketenangan yang tak tergoyahkan, seolah sudah mengetahui semua ini sejak awal.
Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya kembali ke saat-saat mereka melakukan perjalanan bersama. Ia mengingat bagaimana Arwen tidak pernah kehilangan kendali, bahkan saat mereka dikepung para pembunuh. Tidak pernah sekalipun ia menunjukkan kepanikan atau ketakutan yang nyata, seolah ia tahu bahwa semua ini adalah bagian dari takdir yang harus ia jalani.
"Jadi... Arwen… dia tahu semuanya sejak awal?" pikirnya, rasa pahit merayap di hatinya.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengusik dirinya—rasa tertipu yang tak bisa ia abaikan. Selama ini, ia mengira dirinya adalah pelindung Arwen, satu-satunya orang yang berdiri di antara gadis itu dan bahaya yang mengintai mereka. Namun, jika benar bahwa Arwen sudah mengetahui ke mana perjalanan ini akan berujung, maka apakah ia hanya bidak kecil dalam rencana yang lebih besar?
"Apakah aku hanya alat?" desisnya pelan, jemarinya menggenggam tali kekang lebih erat. "Apakah aku hanya diperalat untuk memastikan dia sampai ke tujuannya?"
Kemarahan perlahan mulai mendidih di dalam dadanya. Bayangan pertarungan mereka, semua pengorbanan yang ia lakukan, rasa sakit dan luka yang ia terima demi melindunginya—apakah semua itu hanya bagian dari sesuatu yang telah direncanakan sebelumnya? Apakah ia tidak lebih dari sekadar penjaga yang digunakan sampai ia tidak lagi dibutuhkan?
Namun, saat pikirannya hampir tenggelam dalam amarah, ia tiba-tiba mengingat ekspresi Arwen saat mereka berpisah. Tatapannya bukanlah tatapan seseorang yang merasa lebih unggul atau memanfaatkan orang lain. Ada ketulusan dalam cara gadis itu berbicara kepadanya, ada rasa syukur yang tidak bisa dipalsukan.
Alcard mengembuskan napas panjang, mencoba meredakan emosinya. Mungkin ia terlalu cepat menyimpulkan. Mungkin, Arwen juga tidak memiliki pilihan lain. Jika dia benar-benar seorang Life-Seer, maka takdirnya mungkin sudah ditentukan bahkan sebelum ia sendiri menyadarinya.
"Kalau begitu... mungkin dia juga terjebak dalam semua ini," pikirnya, matanya mulai menatap langit yang dipenuhi bintang. "Mungkin, dia juga hanya mengikuti jalan yang telah digariskan untuknya, sama seperti aku."
Namun, meskipun ia mencoba untuk memahami, ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan kecurigaan yang mengganjal di hatinya. Arwen mungkin tidak berbohong kepadanya, tetapi ia jelas menyembunyikan sesuatu. Dan jika mereka bertemu lagi, ia akan memastikan untuk mendapatkan jawaban.
"Dalam perjalanan ini, aku terlalu banyak berjalan dalam kegelapan," gumamnya pelan. "Jika aku bertemu dengannya lagi, aku tidak akan membiarkan diriku tetap buta dan tak mengetahui apapun lagi."
Tekad itu perlahan menguat di dalam dirinya. Meskipun banyak hal masih belum ia pahami, ia tahu satu hal: ia tidak akan berhenti mencari kebenaran. Apa pun yang telah terjadi, apa pun yang masih tersembunyi, ia akan menemukannya dengan caranya sendiri.
Dengan keyakinan yang mulai tumbuh di hatinya, Alcard menarik tali kekang, memacu kudanya lebih cepat. Langkah kuda hitamnya menggema di antara keheningan malam, membawanya kembali ke The Wall—tempat di mana semua ini bermula, dan mungkin, tempat di mana ia bisa menemukan jawaban yang selama ini ia cari.
****
Di tengah pekatnya malam, Alcard terus menunggangi kudanya dengan langkah stabil, membiarkan angin dingin menusuk wajahnya saat ia melaju melewati jalan setapak yang remang-remang. Aroma tanah basah dan dedaunan lembap dari hutan di sekitarnya terbawa oleh angin malam, menyatu dengan suara derap kaki kuda yang menggema di udara. Meski tubuhnya bergerak maju, pikirannya masih tertinggal di belakang, berputar-putar di sekitar pertemuan anehnya dengan Reinhard—sosok yang hingga saat ini hanya ia kenal lewat kisah-kisah lama.
"Jotun," bisiknya, suaranya hampir tenggelam dalam suara angin yang berdesir di antara pepohonan. "Makhluk yang konon diciptakan oleh para dewa, penjaga keseimbangan dunia..."
Ia mencoba mengingat kembali potongan-potongan cerita yang pernah ia dengar semasa kecil, legenda yang diceritakan oleh orang-orang tua di malam yang sunyi, seolah-olah kisah itu hanyalah dongeng yang tak lebih dari hiburan sebelum tidur. Namun kini, setelah melihat dengan matanya sendiri, setelah mendengar langsung dari mulut seorang Jotun, ia tidak bisa lagi mengabaikan kemungkinan bahwa legenda itu bukan sekadar mitos.
"Para Jotun dan naga... dua entitas yang menjaga dunia ini sejak awal," pikirnya dalam diam. "Mereka dikatakan bekerja bersama, memelihara keseimbangan antara dunia fana dan kekuatan yang lebih besar. Tapi seperti semua hal dalam sejarah, keseimbangan itu akhirnya runtuh."
Ia mengingat fragment cerita yang selalu berulang di berbagai budaya—tentang perang besar yang mengguncang dunia di masa lalu. "Konflik antar Jotun," gumamnya, mengulang kata-kata itu dalam benaknya. "Tak ada yang benar-benar tahu apa penyebabnya, hanya bahwa perang itu membawa kehancuran lebih besar dari yang bisa dibayangkan."
Dua nama besar muncul dalam pikirannya. Reinhard, yang dikenal sebagai pelindung dunia, dan Bahamud, penghancur yang meninggalkan jejak kehancuran di mana pun ia melangkah.
"Reinhard..." Alcard mengucapkan nama itu dengan nada penuh pertimbangan. "Dikatakan bahwa ia menyelamatkan dunia tidak hanya sekali, tetapi dua kali."
Ia mencoba membayangkan bagaimana peristiwa itu terjadi dalam sejarah. Di era pertama, Reinhard dikisahkan memimpin tiga ras utama—manusia, elf, dan dwarf—dalam menghadapi pengkhianatan Bahamud, yang berusaha mengacaukan keseimbangan dunia. Setelah kemenangan yang nyaris mustahil itu, Reinhard membangun Tower of Jotun, sebuah menara besar yang dikatakan sebagai simbol persatuan ketiga ras, tempat di mana perdamaian dan kebijaksanaan dijaga.
Namun, Alcard mendengus pelan, hampir seperti mencemooh pikirannya sendiri. "Menara itu... kini hanya dianggap mitos. Tak ada yang pernah menemukannya."
Pikirannya melompat ke era kedua, di mana Reinhard kembali muncul, kali ini menghadapi ancaman yang lebih besar ketika Bahamud bangkit dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Sekali lagi, tiga ras bersatu di bawah kepemimpinannya untuk melawan musuh yang seharusnya tidak bisa dikalahkan. Kisah itu berakhir dengan kemenangan lain yang dicapai dengan harga yang mahal. Setelah pertempuran besar itu, Reinhard membangun sesuatu yang lebih nyata, sesuatu yang masih berdiri hingga hari ini—The Wall.
Tembok raksasa yang memisahkan Middle Earth dari wilayah selatan, menahan kegelapan yang tersisa di baliknya.
Alcard menghela napas, matanya menatap ke depan tetapi pikirannya masih sibuk dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. "The Wall... aku telah menghabiskan hidupku di sana, bertarung, bertahan, melihat dunia dari balik tembok itu. Jika The Wall memang nyata, maka mungkin... Tower of Jotun juga nyata."
Namun, meskipun perlahan menerima bahwa legenda ini mungkin lebih dari sekadar cerita, ada sesuatu yang mengusik dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
"Jika Reinhard memang ada... jika dia benar-benar pelindung dunia seperti yang dikatakan dalam cerita, lalu mengapa dunia dibiarkan terpecah seperti ini? Mengapa dia bersembunyi, membiarkan Middle Earth terperosok dalam kekacauan? Para Lord saling berperang, rakyat menderita, dan tidak ada yang bergerak untuk menghentikannya."
Kemarahan yang perlahan tumbuh dalam dirinya membuatnya menggenggam tali kekang kudanya lebih erat. "Apa yang dia tunggu? Jika dia memiliki kekuatan untuk melindungi dunia, mengapa dia membiarkan dunia ini jatuh ke dalam kehancuran perlahan-lahan?"
Ia mengertakkan giginya, merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam semua ini. Seperti ada bagian dari cerita yang hilang, sesuatu yang tidak ingin diungkapkan oleh Reinhard atau Arwen. "Apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini?" pikirnya keras.
Malam semakin larut, dan meskipun pikirannya terus berputar, ia tahu bahwa jawaban tidak akan datang dengan mudah. Namun, satu hal yang kini ia yakini: pertemuannya dengan Reinhard telah mengubah cara pandangnya tentang dunia. Tidak lagi hanya tentang Middle Earth, tentang para Lord dan politik kotor mereka. Ini adalah sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, sesuatu yang melibatkan keseimbangan dunia itu sendiri.
"Mungkin suatu hari nanti, aku akan menemukan jawabannya," gumamnya pelan, matanya menatap bulan yang menggantung sendirian di langit gelap. "Dan jika saat itu tiba... aku akan memastikan aku tahu di pihak mana aku berdiri."
Dengan tekad yang perlahan tumbuh dalam dirinya, Alcard menarik tali kekang kudanya, mempercepat langkahnya menuju The Wall. Perjalanannya hampir sampai ke titik akhir, tetapi pencariannya—untuk jawaban, untuk kebenaran, dan mungkin untuk nasibnya sendiri—baru saja dimulai.
****
Langit malam semakin pekat, tetapi Alcard tetap melanjutkan perjalanannya, membiarkan kuda hitamnya melangkah dengan ritme yang stabil di sepanjang jalan berbatu yang sepi. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma hutan dan tanah basah, membungkusnya dalam kesunyian yang hanya ditemani oleh suara langkah kuda. Namun, dalam pikirannya, kebisingan tak kunjung reda. Kenangan, pertanyaan, dan perasaan yang selama ini ia tekan mulai menguar, mengisi setiap celah dalam kesendiriannya.
Pikirannya melayang ke cerita-cerita lama yang pernah ia dengar tentang Life-Seer—makhluk langka yang dikatakan mampu mendengar bisikan dunia, penunjuk jalan yang dipilih oleh kekuatan yang lebih besar dari manusia. Ia mengulang nama itu dalam benaknya, mencoba memahami apa yang sebenarnya telah ia hadapi selama ini. Arwen adalah seorang Life-Seer. Fakta itu masih terasa aneh baginya, seolah ia masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang terjadi bukan sekadar ilusi.
"Life-Seer..." gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam hembusan angin. "Makhluk yang katanya dapat mendengar panggilan dunia dan menuntun takdir ke jalur yang seharusnya."
Ia mencoba mengingat kembali kisah-kisah tentang mereka, kisah-kisah yang samar, hampir terkubur oleh waktu. Tidak banyak yang membicarakan mereka. Bahkan dalam catatan sejarah, informasi tentang mereka jarang ditemukan. Seolah-olah dunia dengan sengaja menghapus keberadaan mereka.
"Mungkin kita, manusia, telah memilih untuk melupakan," pikirnya. "Dibandingkan dengan elf dan dwarf, hidup kita terlalu singkat. Kita lebih sering menghancurkan sesuatu daripada melestarikannya. Jika Life-Seer benar-benar ada di masa lalu, maka keberadaan mereka mungkin sudah lama dianggap mitos."
Namun, kini ia telah bertemu dengan satu dari mereka. Arwen bukan sekadar gadis bangsawan yang melarikan diri dari istana. Ia membawa sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang dunia sendiri tampaknya berusaha sembunyikan.
"Jika aku tahu lebih awal..." pikirnya, membiarkan pikirannya mengembara pada kemungkinan yang tak pernah terjadi. "Jika aku bertemu dengannya sebelum semua ini, sebelum hidupku hancur... mungkin semuanya akan berbeda."
Kenangan lama menyeruak dari sudut-sudut pikirannya yang gelap. Bayangan masa lalunya kembali menghantui—masa ketika ia bukan seorang outcast, tetapi seorang komandan, seorang suami, seorang ayah.
Wajah istrinya muncul dalam ingatannya, seorang wanita dengan senyum lembut yang selalu bisa menenangkannya, bahkan di saat-saat paling sulit. Kemudian, ia melihat putrinya yang masih kecil, dengan mata cerah yang penuh rasa ingin tahu dan tawa riangnya yang dulu mengisi rumah mereka dengan kebahagiaan sederhana. Mereka adalah dunianya, satu-satunya alasan ia berjuang dalam medan perang yang brutal.
Namun, kebahagiaan itu telah lama sirna, hancur dalam hitungan detik oleh kebohongan dan pengkhianatan.
Bayangan istrinya dan putrinya berubah menjadi mimpi buruk yang selalu kembali menghantuinya. Ia melihat mereka berdiri di bawah tali gantungan, dituduh sebagai pengkhianat kerajaan yang telah ia layani dengan seluruh hidupnya. Ia mengingat dengan jelas bagaimana mereka memanggil namanya, suara putrinya yang kecil dan penuh ketakutan, suara istrinya yang tetap mencoba berbicara dengan penuh martabat meskipun tahu bahwa tidak ada yang akan mendengarkan kebenaran mereka.
Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia, yang pernah menjadi prajurit terkuat di kerajaannya, berdiri tak berdaya di tengah kerumunan, dipaksa menyaksikan orang-orang yang paling ia cintai direnggut darinya.
Tangannya yang memegang tali kekang kuda semakin erat, jari-jarinya menggenggamnya seolah berusaha menahan rasa sakit yang kembali menyeruak. Dada Alcard terasa sesak, seperti ada beban yang menekan dan menolak untuk pergi. Rasa sakit itu tidak pernah benar-benar hilang. Meskipun bertahun-tahun telah berlalu, luka itu tetap terbuka, seakan baru saja terjadi kemarin.
"Ini hanya pikiran bodoh," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba mengusir bayangan-bayangan itu. Namun, ia tahu betul bahwa luka semacam ini tidak bisa dihapus begitu saja. Kehilangan itu telah merenggut segalanya darinya—keluarga, kehormatan, dan kehidupan yang pernah ia banggakan.
Ia mengertakkan gigi, menahan napas untuk meredakan gejolak emosinya. "Kenapa rasa sakit ini masih terasa seperti baru saja terjadi?" tanyanya dalam hati, lelah dengan bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.
Namun, ia tahu ia tidak bisa terus terjebak dalam masa lalu. Mereka telah tiada. Tidak ada yang bisa mengubah itu. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah memastikan bahwa tidak ada orang lain yang harus mengalami apa yang telah ia lalui.
"Aku tidak bisa menyelamatkan mereka," gumamnya pelan, matanya menatap jauh ke depan, melihat horizon gelap yang seolah menelannya. "Tapi aku bisa memastikan aku tak akan terjebak dalam kenangan itu selamanya."
Dengan tekad yang mulai tumbuh kembali dalam hatinya, Alcard menarik napas dalam-dalam, memaksa dirinya untuk kembali fokus pada tujuan yang ada di depannya. The Wall. Tempat di mana ia telah mengabdikan hidupnya sejak dunia membuangnya. Tempat yang tidak pernah menghakiminya, tetapi juga tidak pernah benar-benar memberinya kedamaian.
Tangannya perlahan mengendur, melepaskan ketegangan yang selama ini ia tahan. Ia tahu bahwa jawaban atas pertanyaannya mungkin tidak akan datang dengan cepat. Namun, jika ada satu hal yang ia yakini, itu adalah bahwa perjalanannya masih jauh dari selesai.
Dengan satu tarikan lembut pada tali kekang, Alcard memacu kudanya lebih cepat, membiarkan angin malam membelai wajahnya. Masa lalunya mungkin masih mengejarnya, tapi ia menolak untuk membiarkannya mengikatnya selamanya. Ia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, tetapi ia bisa memastikan bahwa masa depan tidak akan berakhir dengan tragedi yang sama.
Di atas langit, bulan masih menggantung diam, menjadi satu-satunya saksi perjalanan seorang pria yang mencoba berdamai dengan dirinya sendiri—seorang pria yang telah kehilangan segalanya, tetapi masih bertahan, karena ia tahu bahwa perjalanannya belum berakhir.
****