Malam telah sepenuhnya menyelimuti The Wall ketika Alcard akhirnya tiba di markas pusat. Angin dingin berembus kencang, membawa aroma logam, tanah basah, dan api unggun yang mulai redup. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, tubuhnya seakan memberontak, meminta istirahat. Namun, bukan hanya kelelahan fisik yang membebani langkahnya, melainkan juga gejolak di dalam pikirannya yang tak kunjung mereda.
Saat ia turun dari kudanya, para penjaga yang bertugas hanya melirik sekilas sebelum kembali pada tugas mereka. Tanpa sepatah kata, Alcard menyerahkan tali kekang kudanya kepada seorang penjaga muda, yang menerimanya dengan penuh hormat. Ia bisa merasakan tatapan penasaran dari beberapa outcast lain yang berdiri di sekitar area masuk markas. Alcard hampir selalu kembali dengan misi yang terselesaikan sempurna. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam auranya—sebuah ketidakpastian yang tidak biasa.
Dengan langkah tegap namun berat, ia berjalan melewati lorong panjang menuju ruangan Oldman. Sepanjang jalan, ia bisa merasakan bagaimana beberapa outcast lain menatapnya dengan diam-diam, seolah mencoba membaca ekspresinya. Namun, ia tidak peduli. Ada hal yang lebih mendesak yang harus ia selesaikan.
Saat ia membuka pintu ruangan Oldman, pemimpin para outcast itu sedang duduk di balik meja kayu besar yang dipenuhi gulungan laporan dan peta lusuh. Cahaya redup dari lentera yang tergantung di sudut ruangan menerangi wajahnya yang penuh keriput, memperlihatkan sorot mata yang kelelahan. Oldman tidak langsung berbicara, tetapi begitu melihat Alcard memasuki ruangan, ia mendongak, matanya meneliti dengan tajam, seolah bisa membaca ketegangan yang dibawa oleh Alcard.
Tanpa membuang waktu, ia langsung bertanya dengan nada dalam dan penuh kewibawaan, "Bagaimana hasil misinya? Apakah sudah selesai?"
Alcard tetap berdiri tegak di hadapannya, ekspresinya tak berubah. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda dari biasanya—sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. "Tidak," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar berat. "Misi ini gagal."
Oldman mengangkat alisnya, ekspresi terkejut sekilas melintas di wajahnya. Ia bukan orang yang mudah terguncang, tetapi Alcard adalah orang yang jarang kembali dengan tangan kosong. "Apa yang terjadi?" tanyanya, nada suaranya lebih rendah, lebih serius.
Alcard menghela napas panjang sebelum menjawab, "Arwen... dia dibawa pergi oleh seseorang. Bukan manusia. Seorang Jotun."
Ruangan seketika menjadi lebih sunyi, seakan udara berhenti bergerak. Oldman, yang biasanya selalu memiliki ekspresi tenang, kini tampak sedikit terkejut. "Jotun?" ulangnya, seolah memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
"Ya," Alcard mengangguk. "Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku melihatnya sendiri, dia mengeluarkanku dari suatu dimensi lain. Dan ada satu hal lain yang lebih penting... Arwen bukan hanya seorang bangsawan biasa. Dia seorang Life-Seer."
Oldman membisu. Namun, keheningan itu bukan karena kebingungan, melainkan karena pemahaman yang mendalam. Ia mengusap janggutnya dengan gerakan lambat, matanya menyipit seolah sedang menghubungkan potongan-potongan teka-teki yang selama ini tersembunyi.
Setelah beberapa saat, suaranya kembali terdengar, kali ini lebih tenang, tetapi dengan nada yang sarat dengan makna tersembunyi. "Sekarang semuanya masuk akal."
Alcard menatapnya tajam, merasa ada sesuatu yang Oldman ketahui tetapi belum ia ungkapkan. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada mendesak.
Oldman menghela napas panjang, lalu menatap Alcard lurus, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—campuran antara kebijaksanaan dan sesuatu yang menyerupai kepasrahan. "Life-Seer bukanlah orang biasa, Alcard. Mereka lebih dari sekadar peramal atau penunjuk jalan. Mereka adalah kompas dunia ini, entitas yang dituntun oleh kekuatan yang jauh lebih besar dari manusia."
Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Jika seorang Jotun benar-benar muncul untuknya, itu hanya berarti satu hal: Arwen memiliki peran dalam sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kita pahami. Sesuatu yang berhubungan dengan keseimbangan dunia."
Alcard mengepalkan tangannya. Ada rasa tidak nyaman yang menjalar di dadanya, sebuah perasaan yang semakin sulit ia abaikan. "Jadi selama ini, aku hanya diperalat? Dia tahu apa yang akan terjadi dan menggunakan aku untuk melindunginya sampai dia mencapai tujuan itu?"
Oldman tidak langsung menjawab. Ia menatap Alcard dengan pandangan bijak, seperti seorang guru yang melihat muridnya mulai memahami pelajaran yang sulit. "Mungkin," jawabnya akhirnya. "Atau mungkin juga dia hanya mengikuti nalurinya tanpa benar-benar mengetahui apa yang menunggunya. Kadang, bahkan seorang Life-Seer tidak sepenuhnya memahami jalannya sendiri."
Ia melipat tangannya di atas meja, lalu berkata dengan nada lebih lembut, "Tapi jika kau merasa dimanfaatkan, ingatlah ini, Alcard: kau mungkin telah memainkan peran yang jauh lebih besar daripada yang kau sadari. Mungkin tugasmu bukan sekadar mengawalnya ke tujuan, melainkan memastikan bahwa dia tiba dengan selamat di saat dunia membutuhkannya."
Alcard tetap diam. Ia merasa seperti sebuah bidak kecil dalam permainan yang belum sepenuhnya ia pahami. Ia tidak suka perasaan ini, perasaan bahwa ia telah menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar tanpa diberi pilihan untuk menolaknya. Namun, ia juga tahu bahwa menyesali sesuatu yang sudah terjadi tidak akan mengubah apa pun.
Setelah beberapa saat, ia mengangkat wajahnya dan bertanya dengan nada yang lebih rendah, tetapi penuh tekad, "Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Oldman menatapnya dengan senyum tipis, meskipun matanya tetap dipenuhi kelelahan. "Kembali ke tugas kita, Alcard. Menjaga The Wall, seperti yang selalu kita lakukan. Itu adalah tugas kita—dan mungkin, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan untuk memastikan dunia ini tetap bertahan."
Alcard mengangguk pelan. Meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh pertanyaan yang tak terjawab, ia tahu bahwa tugasnya di The Wall adalah sesuatu yang pasti—satu-satunya hal yang bisa ia kendalikan di dunia yang penuh ketidakpastian ini.
Tanpa banyak bicara lagi, ia berbalik dan hendak meninggalkan ruangan itu. Langkahnya kini lebih mantap, meskipun di dalam dirinya, perasaan kosong masih menggelayut. Ia telah kembali ke tempat yang paling ia kenal, tetapi dunia di luar sana telah berubah. Dan cepat atau lambat, ia tahu bahwa perubahan itu akan kembali mengetuk pintu kehidupannya.
****
Saat Alcard hendak melangkah keluar dari ruangan Oldman, sebuah perasaan tak nyaman muncul di benaknya, seperti ada sesuatu yang belum terselesaikan. Langkahnya terhenti di ambang pintu, matanya menatap lurus ke depan sebelum ia menghela napas panjang. Ia berbalik, lalu berjalan kembali ke meja Oldman dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya.
"Ada sesuatu lagi yang perlu kita bicarakan," katanya dengan nada tegas, menunjukkan bahwa ini bukan sekadar keluhan biasa.
Oldman, yang semula sibuk dengan dokumen-dokumen di hadapannya, mengangkat kepalanya dan menatap Alcard dengan sorot mata yang penuh minat. Ia tahu bahwa Alcard bukan tipe orang yang berbicara tanpa alasan kuat. "Apa yang terjadi?" tanyanya, nada suaranya tetap tenang, tetapi ada kewaspadaan di dalamnya.
Alcard menarik napas, menahan sejenak sebelum berbicara. "Lord Tanivar," ucapnya dengan nada yang lebih berat. "Dia telah melewati batas yang seharusnya tidak disentuhnya."
Oldman menyipitkan mata, menunjukkan bahwa ia sudah menduga sesuatu semacam ini akan muncul, tetapi belum memiliki bukti konkret. "Jelaskan lebih lanjut," perintahnya singkat.
Tanpa ragu, Alcard mulai menceritakan apa yang ia alami selama perjalanannya. Ia menjelaskan bagaimana ia bertemu tiga outcast dari markas timur—orang-orang yang seharusnya menjadi saudara seperjuangan mereka—tetapi malah terpaksa mengangkat senjata satu sama lain karena perintah yang diberikan oleh Tanivar. Ia menggambarkan bagaimana mereka hampir saling membunuh, hingga akhirnya ia berhasil menghentikan pertempuran dengan memperlihatkan surat resmi dari markas pusat.
"Tanivar memanfaatkan kita," lanjut Alcard dengan nada yang semakin tajam. "Dia tidak hanya memperlakukan outcast seperti tentara bayaran murah, tapi juga hampir menyebabkan kita saling menghabisi satu sama lain. Jika kita membiarkan ini terus terjadi, bukan hanya kita yang akan rugi, tetapi juga prinsip yang telah kita pegang sejak awal."
Oldman mendengarkan dengan penuh perhatian, jarinya perlahan mengusap janggutnya, sebuah kebiasaan yang sering ia lakukan ketika sedang berpikir dalam-dalam. "Aku pernah mendengar rumor serupa," katanya setelah beberapa saat, suaranya terdengar berat, "tapi sejauh ini, tidak ada bukti kuat yang bisa kita gunakan untuk bertindak."
Alcard mengepalkan tangannya, merasa frustrasi dengan jawaban itu. "Aku sudah memberikan surat yang aku bawa kepada mereka dan memintanya untuk diserahkan ke markas timur. Itu cukup untuk membuktikan bahwa Tanivar telah mencampuri urusan kita dengan cara yang berbahaya."
Oldman menatapnya dalam diam, lalu bersandar ke kursinya. Matanya yang tajam seakan mencari sesuatu di wajah Alcard, mencoba memahami seberapa jauh tekad yang ia bawa dalam kata-katanya. "Apa yang kau usulkan?" tanyanya akhirnya, nada suaranya kini lebih dalam.
Tanpa ragu, Alcard menjawab, "Singkirkan dia. Tanivar adalah ancaman. Jika kita tidak bertindak sekarang, dia akan merusak lebih banyak hal. Dia adalah tipe orang yang hanya akan berhenti ketika seseorang memaksanya berhenti."
Sejenak, Oldman tidak menanggapi. Ia hanya menatap Alcard dengan ekspresi yang sulit diartikan. Kemudian, ia menghela napas perlahan sebelum berbicara, "Kau tahu bahwa Tanivar memiliki kekuatan besar di Middle Earth, bukan? Dia bukan hanya seorang Lord biasa. Dia memiliki kontrol atas jalur perdagangan yang menghubungkan beberapa wilayah penting, dan lebih dari itu, dia memiliki sekutu di antara para bangsawan lain. Jika kita bertindak terlalu gegabah, kita bisa memicu perang dengan mereka."
Alcard menegang. Ia sudah memikirkan hal itu, tetapi baginya, risiko membiarkan Tanivar tetap berkuasa jauh lebih besar daripada risiko menghadapi sekutunya. "Jadi, apa yang kau sarankan?" tanyanya, nada suaranya menahan emosi. "Membiarkan dia terus menginjak-injak kita, menunggu sampai kita hancur sepenuhnya?"
Oldman menggelengkan kepala dengan ekspresi yang tetap tenang, tetapi ada sesuatu di balik tatapannya yang menunjukkan bahwa ia memahami kegelisahan Alcard. "Tidak," katanya dengan tegas. "Tapi jika kita ingin bertindak, kita harus melakukannya dengan cara yang cerdas. Kita membutuhkan alasan yang tidak bisa dibantah—sesuatu yang bahkan sekutunya pun sulit untuk membela."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan, "Jika kita bergerak sekarang tanpa bukti kuat yang bisa membuat Middle Earth menentangnya, kita akan berada di pihak yang salah. Dan kita tidak bisa menghadapi konsekuensi itu dalam kondisi kita yang sekarang."
Alcard terdiam, dadanya naik turun menahan kemarahan yang mulai muncul. Setiap kata yang diucapkan Oldman masuk akal, tetapi itu tidak menghilangkan fakta bahwa semakin lama mereka menunggu, semakin banyak kerusakan yang bisa ditimbulkan Tanivar. "Jadi kita hanya akan diam?" desaknya.
Oldman menatapnya dengan tajam, sorot matanya penuh perhitungan. "Tentu saja tidak," katanya, suaranya lebih dingin. "Aku akan mengawasi Tanivar dengan lebih dekat. Jika dia melakukan satu kesalahan besar yang tidak bisa diabaikan, kita akan bertindak, dan saat itu, kita tidak akan memberi kesempatan kedua."
Ada keheningan panjang setelah kata-kata itu. Alcard tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Oldman telah mengambil keputusannya, dan meskipun ia tidak sepenuhnya setuju, ia juga tahu bahwa pria tua itu bukan orang yang akan membiarkan sesuatu berlalu tanpa rencana matang.
Menghela napas panjang, ia akhirnya berkata, "Baiklah." Namun, nada suaranya menunjukkan ketidaksabaran yang masih tersisa. "Tapi jangan terlalu lama. Setiap hari yang kita buang hanya memberi dia lebih banyak waktu untuk memperkuat posisinya."
Oldman mengangguk kecil, lalu kembali menatap dokumen-dokumen di hadapannya. "Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, Alcard," katanya tanpa melihat ke arahnya. "Sekarang, kembali ke posisimu. Tetap awasi keadaan. Kita tidak bisa kehilangan fokus dari ancaman yang lebih besar."
Alcard mengangguk sekali, lalu berbalik dan melangkah keluar dari ruangan. Kali ini, ia tidak lagi berhenti di ambang pintu. Langkahnya mantap, tetapi beban di pikirannya semakin bertambah. Ancaman dari Tanivar, misteri yang mengelilingi Arwen, pertemuannya dengan Reinhard—semuanya terasa seperti benang kusut yang belum bisa ia uraikan.
Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu. Dan ia benci menunggu.
****
Keesokan paginya, setelah semalaman berusaha menenangkan pikirannya, Alcard kembali mendatangi ruangan Oldman. Ia melangkah dengan tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang menunjukkan bahwa pikirannya masih dibebani banyak pertanyaan yang belum terjawab. Ada kegelisahan yang bercampur dengan rasa ingin tahu yang tak bisa ia abaikan.
Begitu sampai di depan meja Oldman, Alcard berhenti sejenak sebelum akhirnya membuka suara. "Aku masih punya satu pertanyaan yang terus mengganggu pikiranku," ucapnya, suaranya mantap meskipun ada sedikit ketegangan di dalamnya.
Oldman, yang tengah sibuk mencatat laporan di atas meja kayunya yang usang, perlahan meletakkan penanya dan mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Alcard. Tatapannya penuh perhatian, seolah bisa membaca bahwa ini bukan pertanyaan sepele. "Apa itu? Katakan saja," jawabnya dengan nada sabar.
Alcard menarik napas dalam sebelum melanjutkan. "Bagaimana Tanivar bisa mengetahui rute perjalanan kami?" tanyanya, matanya menajam. "Seingatku, hanya ada tiga orang yang tahu tentang rencana itu—kau, aku, dan Arwen. Tapi para outcast dari markas timur sudah ada di sana, seolah-olah mereka memang menunggu kami. Aku mencurigai ini ulah Cevral. Jika dia tahu bahwa Arwen kabur, maka dia pasti mencari cara untuk menangkapnya kembali. Dan siapa yang lebih mudah untuk dimanipulasi selain seorang Lord yang rakus akan kekuasaan seperti Tanivar?"
Oldman menyandarkan punggungnya ke kursi, kedua alisnya bertaut dalam ekspresi berpikir. Sorot matanya yang biasanya tenang kini menyiratkan kecemasan yang samar. "Itu juga pertanyaan besar bagiku," jawabnya pelan, seakan mencoba merangkai setiap potongan informasi di benaknya. "Aku tidak pernah memberikan informasi itu pada siapa pun. Jika Arwen, aku rasa tidak mungkin dia akan membocorkan sesuatu yang menyangkut keselamatannya sendiri. Tapi jika benar ini ulah Cevral yang menggunakan Tanivar sebagai alatnya, skenario itu masuk akal."
Mendengar hal itu, Alcard semakin mendesak. "Jadi kau setuju dengan dugaanku?" tanyanya, nadanya semakin tajam.
Oldman tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang sebelum kembali menatap Alcard dengan penuh ketegasan. "Aku tidak bisa yakin sepenuhnya," katanya akhirnya. "Cevral memang orang yang licik, tapi ada kemungkinan lain yang juga harus kita pertimbangkan. Bisa saja ada mata-mata di antara kita, atau mungkin seseorang dari luar memanfaatkan situasi ini untuk melemahkan kita. Tanpa bukti konkret, kita tidak bisa gegabah menarik kesimpulan."
Alcard mengangguk pelan, meskipun pikirannya tetap dipenuhi pertanyaan. Ia tahu bahwa Oldman benar—tanpa bukti yang kuat, tuduhan hanya akan membuat mereka semakin lemah. Namun, nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dimainkan di balik layar. Sebelum mereka sempat mendiskusikan lebih jauh, suara dentang lonceng tiba-tiba menggema di seluruh markas, memecah keheningan di ruangan itu.
Dentingan itu bukan sembarang suara. Itu adalah tanda bahaya—pertanda bahwa sesuatu telah muncul dari arah selatan.
Oldman langsung berdiri, ekspresi wajahnya berubah menjadi waspada. "Monster lagi," gumamnya, suaranya lebih kepada dirinya sendiri. Namun, dalam nada suaranya, ada kelelahan yang samar, seolah ia sudah terlalu sering menghadapi situasi seperti ini.
Alcard tidak menunggu lebih lama. Ia segera melangkah ke pintu, suaranya mantap ketika ia berkata, "Aku akan memimpin pertahanan."
Oldman menatapnya sebentar sebelum mengangguk. "Pastikan semua outcast siap siaga," katanya, suaranya terdengar lebih tegas. "Kita tidak tahu seberapa besar ancaman kali ini."
Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, Alcard bergegas keluar menuju halaman utama. Begitu tiba, ia langsung berseru kepada para outcast yang ada di sana, memastikan semua orang mengambil posisi mereka. Para pemula tampak cemas dan gelisah, beberapa bahkan gemetar saat mereka mengambil senjata mereka. Namun, para veteran, mereka yang telah lama berdiri di atas The Wall dan menghadapi gelombang monster berkali-kali, bergerak dengan ketenangan seorang prajurit sejati. Mereka naik ke atas tembok The Wall dengan busur dan senjata mereka, bersiap menghadapi apapun yang datang dari kegelapan di selatan.
Dari kejauhan, suara gemuruh mulai terdengar. Bunyi itu datang dari dalam hutan yang gelap, semakin mendekat setiap detiknya. Alcard berdiri di depan gerbang utama bersama beberapa outcast senior lainnya. Ia mencabut pedangnya, cahaya bulan samar-samar memantulkan kilatan dingin dari bilahnya.
"Kali ini, tidak ada yang akan lolos," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada orang lain.
Suasana semakin tegang seiring dengan semakin dekatnya suara gemuruh. Di balik kegelapan hutan, sesuatu sedang bergerak, sesuatu yang lebih besar dari biasanya. Alcard bisa merasakan udara di sekelilingnya menjadi lebih berat, seakan ada sesuatu yang membawa hawa kematian datang bersama malam.
Para outcast di atas The Wall mulai menarik tali busur mereka, mata mereka menatap lurus ke depan, menunggu tanda pertama dari musuh. Para prajurit di bawah bersiap dengan tombak dan pedang mereka, langkah mereka mantap meskipun ketegangan terlihat di wajah mereka.
Lalu, dari kegelapan, muncul sepasang mata merah yang bersinar—kemudian disusul oleh lebih banyak lagi.
Gelombang monster telah tiba.
Dan mereka tidak akan pergi tanpa perlawanan.
****
Di bawah langit yang mulai beranjak senja, Alcard duduk bersandar di tembok luar markas, bersama beberapa outcast senior yang tengah menikmati momen ketenangan setelah pertempuran kemarin siang. Meski suasana tampak lebih tenang, mereka tetap berjaga, menyadari bahwa ancaman dari selatan tidak akan pernah benar-benar hilang. Beberapa dari mereka terlihat menggenggam senjata, sementara yang lain sibuk mengasah pisau atau membersihkan perlengkapan tempur mereka.
Dari kejauhan, garis debu tipis mulai terlihat di cakrawala, menandakan adanya rombongan yang mendekat. Tak lama kemudian, siluet sebuah kereta besar mulai terlihat, diikuti oleh tiga kereta tambahan yang tampak sarat muatan. Bendera kerajaan Wastadian berkibar di atasnya, warna biru dan putihnya mencolok di tengah cahaya senja.
Salah seorang outcast yang duduk di dekat Alcard mengangkat alisnya, memperhatikan rombongan yang semakin mendekat. "Lagi-lagi dari Wastadian," gumamnya sambil menyipitkan mata. "Belakangan ini mereka sering datang, ya?"
Rekannya yang duduk di sebelahnya menanggapi dengan anggukan kecil. "Iya, dan mereka tidak datang dengan tangan kosong. Selalu dengan muatan penuh logistik. Tidak seperti kerajaan lain yang hampir tak pernah mengirim apa pun selain tahanan."
Percakapan itu menarik perhatian yang lain. Salah seorang outcast yang baru bergabung dari Jovalian, seorang pria berperawakan tinggi dengan bekas luka di lehernya, ikut menimpali dengan nada curiga. "Itu yang membuatku penasaran. Kenapa mereka repot-repot mengirim bahan pangan ke sini? Mereka tidak punya kewajiban untuk itu. Kebanyakan kerajaan manusia lainnya bahkan hanya memberikan suplai seadanya, dan itupun lebih sering sebagai formalitas."
Alcard, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, akhirnya berbicara. Wajahnya tetap tenang, tetapi suaranya terdengar tegas, menarik perhatian semua orang di sekitarnya. "Bukan karena mereka peduli pada kita," katanya singkat.
Semua mata kini tertuju padanya, menunggu penjelasan lebih lanjut. Alcard menatap lurus ke arah kereta yang semakin dekat sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih mantap. "Wastadian adalah kerajaan maritim, berdiri sendiri di seberang lautan, jauh dari intrik politik Middle Earth. Mereka tidak punya kepentingan dalam perebutan kekuasaan di benua ini. Tapi mereka punya sesuatu yang lebih penting—pandangan yang lebih luas."
Salah satu outcast senior yang duduk di dekatnya mengangkat bahu. "Pandangan lebih luas? Maksudmu apa?" tanyanya dengan raut wajah skeptis.
Alcard menarik napas dalam sebelum menjelaskan. "Ekonomi Wastadian bergantung pada Middle Earth. Mereka tidak memiliki tanah yang luas untuk bertani atau sumber daya alam yang berlimpah. Sebagai gantinya, mereka mengandalkan perdagangan, terutama hasil laut dan barang impor yang mereka jual kembali ke para lord dan kerajaan di benua ini. Jika Middle Earth runtuh dalam kekacauan atau perang berkepanjangan, mereka akan kehilangan pasar utama mereka. Itu sebabnya mereka memastikan The Wall tetap berdiri, karena tanpa kita, stabilitas Middle Earth akan terguncang."
Seorang outcast dari Edenvila, seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka di lengannya, menyela dengan nada ragu. "Tapi bukankah kerajaan lain juga membutuhkan Middle Earth untuk bertahan? Lantas kenapa hanya Wastadian yang melakukan ini?"
Alcard tersenyum tipis, tetapi ada sedikit nada sinis dalam suaranya. "Memang benar bahwa kedua kerajaan manusia lainnya—Edenvila dan Jovalian—bergantung pada Middle Earth untuk berbagai hal. Tapi ada satu perbedaan besar antara mereka dan Wastadian: stabilitas internal. Dari semua kerajaan manusia, hanya Wastadian yang tidak terpecah oleh perang saudara atau intrik internal yang menghancurkan. Mereka memiliki pemimpin yang kuat dan pemerintahan yang solid. Itu memungkinkan mereka untuk berpikir jauh ke depan. Sementara kerajaan lain terjebak dalam konflik, Wastadian sudah merancang masa depan mereka."
Salah satu outcast muda, yang tampak masih baru dalam kehidupan di The Wall, bergumam dengan nada skeptis, "Jadi pada dasarnya mereka hanya memanfaatkan kita untuk menjaga Middle Earth tetap stabil?"
Alcard mengangkat bahu, ekspresinya tidak menunjukkan banyak emosi. "Mungkin. Tapi itu tidak masalah bagi kita. Kita tidak butuh pujian atau penghargaan dari mereka. Yang kita butuhkan adalah suplai yang cukup untuk bertahan. Selama mereka terus mengirim bahan pangan, senjata, dan perlengkapan yang kita butuhkan, kita diuntungkan. Mereka bisa menyebut ini investasi, politik, atau kepentingan ekonomi, tetapi bagi kita, ini adalah cara untuk bertahan hidup."
Pada saat itu, kereta Wastadian akhirnya memasuki halaman markas. Beberapa tentara dengan seragam khas mereka turun dari kereta, segera mengatur proses pembongkaran muatan. Karung-karung gandum, peti buah kering, dan tong air bersih mulai diturunkan dengan rapi oleh para pekerja yang menyertainya.
Alcard berdiri, bersiap untuk kembali menjalankan tugasnya. Namun sebelum melangkah pergi, ia menoleh ke arah rekan-rekannya dan menambahkan dengan suara yang lebih pelan tetapi penuh makna. "Tidak semua kerajaan adalah musuh. Beberapa dari mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda. Wastadian mungkin tidak bertarung bersama kita di The Wall, tapi mereka mendukung kita dengan cara yang lebih halus. Mereka melihat sesuatu yang banyak orang di Middle Earth abaikan—bahwa perang hanya menghancurkan, dan stabilitas adalah investasi yang paling berharga."
Para outcast di sekitarnya terdiam, mencerna kata-kata itu dengan ekspresi berpikir. Bagi mereka yang telah lama hidup di The Wall, pemikiran seperti itu jarang sekali menjadi bahan diskusi. Mereka terbiasa melihat dunia dalam dua warna—teman atau musuh, sekutu atau ancaman. Namun, kata-kata Alcard membuat mereka mempertimbangkan bahwa mungkin, ada lebih dari sekadar pertempuran dalam dunia yang mereka jaga.
Sementara itu, kesibukan di halaman markas semakin meningkat. Para outcast mulai mengatur distribusi bahan pangan, memastikan semua yang diterima akan cukup untuk bertahan beberapa minggu ke depan. Kehadiran Wastadian di The Wall memang masih menimbulkan pertanyaan, tetapi bagi mereka yang ada di sini, selama bantuan itu terus mengalir, mereka tak akan mengeluh.
Alcard melangkah pergi, meninggalkan diskusi di antara para outcast lainnya. Ia tahu bahwa dunia ini tidak sesederhana yang banyak orang pikirkan. Dan mungkin, di balik semua ini, ada permainan yang lebih besar yang sedang terjadi—sebuah permainan yang bahkan para penjaga The Wall pun tidak bisa sepenuhnya pahami.
****