Di luar benteng raksasa yang selama ini menjadi perisai terakhir mereka, medan pertempuran berubah menjadi neraka yang tak berujung. Serangan para giant mutasi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, setiap langkah kaki mereka yang besar menciptakan getaran yang mengguncang tanah seperti dentuman petir di langit yang murka. Bangunan-bangunan di sekitar The Wall telah runtuh, tanah diwarnai oleh darah dan puing-puing, sementara langit masih dipenuhi oleh asap hitam yang berputar seperti tangan-tangan kematian yang siap merenggut segalanya.
Para outcast yang tersisa berjuang mati-matian untuk bertahan, meskipun tubuh mereka sudah kehabisan tenaga dan darah yang mengalir dari luka-luka mereka semakin banyak. Mereka telah bertarung berjam-jam, menghalau gelombang demi gelombang serangan dari makhluk-makhluk yang semakin mengganas. Namun, meskipun mereka hampir tak lagi memiliki tenaga untuk mengangkat senjata, satu hal tetap tak berubah—mereka tidak akan menyerah.
Di tengah medan pertempuran yang penuh dengan kehancuran, Oldman berdiri tegak, meskipun tubuhnya sudah dipenuhi luka yang menganga. Tangan tuanya masih menggenggam pedangnya dengan erat, matanya yang penuh pengalaman membaca setiap pergerakan musuh. Ia tahu bahwa pertahanan mereka berada di ambang kehancuran, tetapi tidak ada pilihan selain bertarung hingga akhir.
"Lemparkan minyak ke kepala mereka! Jangan berhenti sebelum mereka jatuh!" suaranya menggelegar di tengah pertempuran, serak karena kelelahan namun tetap penuh dengan wibawa. "Bakar mereka hidup-hidup! Jangan biarkan mereka punya kesempatan untuk bangkit lagi!"
Tanpa ragu, para pemanah yang masih tersisa segera bergerak mengikuti perintahnya. Dengan tangan yang gemetar karena kelelahan, mereka mengangkat kantong-kantong minyak yang telah disiapkan, melemparkannya ke arah kepala para giant mutasi yang terus mendekat. Dalam hitungan detik, anak panah yang menyala dilepaskan ke udara, menembus malam yang penuh dengan kabut asap. Api segera menyambar tubuh raksasa para monster itu, mengubah sebagian dari mereka menjadi obor hidup yang mengamuk dalam kesakitan.
Raungan para giant mutasi yang terbakar bergema di seluruh medan perang, mengguncang udara dengan kekuatan yang mampu membuat tanah bergetar. Beberapa dari mereka tumbang, tubuh mereka terbakar habis oleh nyala api yang semakin membesar. Namun, kemenangan kecil itu hanya bertahan sesaat, karena dari balik kegelapan, monster-monster baru terus berdatangan, seakan-akan jumlah mereka tidak pernah habis.
"Jangan biarkan mereka memecah formasi kita!" seru Oldman lagi, suaranya masih penuh dengan determinasi meskipun ia tahu betapa gentingnya situasi ini. "Fokuskan serangan pada satu raksasa dalam satu waktu! Jangan terpancing! Jika ada yang lolos, saudara kita di dalam tembok akan menangani mereka!"
Perintahnya segera dijalankan. Para outcast yang tersisa mengerahkan sisa kekuatan mereka untuk bertahan, berusaha mempertahankan formasi mereka yang semakin menipis. Setiap pedang yang mereka ayunkan, setiap anak panah yang mereka lepaskan, setiap langkah yang mereka ambil, semuanya dilakukan dengan kesadaran bahwa ini mungkin adalah pertempuran terakhir mereka.
Namun, meskipun mereka bertahan dengan gigih, kekuatan musuh terlalu besar. Di tengah kekacauan, sebuah tangan raksasa melesat dengan kecepatan yang tak terduga. Tanpa sempat menghindar, tubuh Oldman terpental jauh, menghantam tanah dengan keras. Debu beterbangan di sekelilingnya, darah segar mengalir dari luka di dahinya. Sejenak, seluruh medan perang seakan berhenti. Para outcast yang melihatnya menahan napas, ketakutan akan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.
Namun, sebelum rasa panik semakin menyebar, Oldman dengan perlahan mulai bergerak. Dengan tubuh yang masih gemetar karena pukulan keras itu, ia kembali berdiri, wajahnya menahan rasa sakit yang luar biasa. Darah menetes dari pelipisnya, tetapi matanya tetap tajam, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan.
"Jangan biarkan mereka berpikir kita lemah!" serunya sekali lagi, suaranya menggema seperti lonceng perang. "Jika kita harus mati hari ini, maka kita akan mati sebagai pahlawan untuk diri kalian sendiri! Kita akan membuat mereka membayar setiap inci tanah yang mereka rebut dari kita!"
Teriakannya membangkitkan kembali semangat para outcast yang hampir padam. Dengan suara sorakan yang semakin keras, mereka kembali maju, melawan musuh-musuh mereka dengan kemarahan dan keberanian yang tak terbayangkan. Beberapa dari mereka telah mencapai batas tubuh mereka, tetapi Bloody Potion yang mereka minum terus mendorong mereka untuk bertarung, meskipun itu berarti mengorbankan nyawa mereka sendiri. Tubuh-tubuh mereka mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan akibat efek sampingnya—mata mereka bersinar merah terang, tangan mereka gemetar hebat, dan beberapa dari mereka mulai muntah darah. Namun, tidak ada yang mundur.
"Kita hanya butuh waktu!" Oldman kembali berseru, meskipun di dalam hatinya ia sadar bahwa waktu adalah hal yang semakin menipis bagi mereka. "Saudara kita di dalam tembok masih bertarung! Kita hanya perlu bertahan lebih lama!"
Perlahan, fajar mulai menyingsing di cakrawala, sinarnya yang lembut menyapu medan perang yang penuh dengan kehancuran. Namun, alih-alih membawa harapan, cahaya pagi justru mengungkap betapa parahnya kondisi mereka. Mayat-mayat berserakan di tanah, bangunan runtuh, dan para outcast yang masih hidup kini berdiri di antara sisa-sisa pertempuran yang brutal.
Oldman menatap langit yang mulai berubah warna, menghela napas panjang, lalu mengangkat pedangnya yang berlumuran darah tinggi-tinggi ke udara. Pandangannya menyapu para prajurit yang tersisa—mata mereka penuh dengan kelelahan yang mendalam, tetapi masih menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan.
"Fajar telah tiba!" serunya, suaranya menggema di udara yang dipenuhi bau darah dan asap. "Kita masih hidup, kita masih berjuang! Jangan berhenti sampai kita menang, atau mati sebagai penjaga yang terlupakan oleh dunia!"
Sorakan para outcast menggema, meskipun suara mereka lemah dan penuh kelelahan. Namun, di balik kelemahan itu, ada api yang masih membakar dalam diri mereka. Mereka mengangkat senjata mereka, siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang selanjutnya. Tidak peduli berapa banyak musuh yang tersisa, tidak peduli berapa lama mereka harus bertarung, mereka tidak akan menyerah.
Di hadapan mereka, gelombang monster baru mulai muncul di cakrawala, tubuh mereka yang masif bergerak perlahan seperti bayangan kematian yang mendekat. Namun, kali ini, para outcast tidak lagi merasa takut. Mereka telah bertahan sejauh ini, dan mereka akan terus bertarung sampai akhir.
Di garis depan, Oldman berdiri tegak, meskipun tubuhnya hampir tak lagi mampu menopang dirinya sendiri. Ia tahu bahwa pertempuran ini mungkin akan menjadi yang terakhir bagi mereka, tetapi jika mereka harus jatuh, mereka akan jatuh dengan terhormat—sebagai penjaga terakhir The Wall.
****
Saat Alcard dan para outcast yang tersisa dari dalam markas pusat akhirnya tiba di medan pertempuran di luar tembok, pemandangan yang menyambut mereka jauh lebih mengerikan dari yang pernah mereka bayangkan. Tubuh-tubuh tak bernyawa berserakan di tanah, membentuk hamparan darah yang menyatu dengan debu dan puing-puing. Mayat para outcast bercampur dengan bangkai monster raksasa yang telah mereka tumbangkan dalam pertempuran sengit. Bau kematian memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang begitu berat hingga terasa seperti menghimpit dada setiap prajurit yang masih berdiri.
Namun, horor itu belum berakhir. Jauh di depan, delapan giant mutasi masih berdiri kokoh, tubuh raksasa mereka menjulang di atas sisa medan perang yang hampir rata dengan tanah. Mereka bergerak perlahan, namun setiap langkah kaki mereka menciptakan gempa kecil yang mengguncang bumi, menandakan betapa besar dan kuatnya makhluk-makhluk itu. Tidak hanya itu, empat orge berkepala dua dan satu orge berkepala satu yang masih tersisa terus memberikan tekanan brutal kepada barisan pertahanan para outcast. Para prajurit yang masih bertahan tampak nyaris kehabisan tenaga, napas mereka tersengal-sengal, tubuh mereka dipenuhi luka yang menganga, tetapi mereka tetap menggenggam senjata mereka dengan erat.
Di tengah lautan kehancuran itu, suara Oldman masih menggema meskipun kini lebih lemah dari sebelumnya. "Tetap fokus! Jangan biarkan mereka menembus pertahanan kita! Kita berdiri di sini, atau kita mati di sini!" serunya dengan suara serak yang masih membawa wibawa seorang pemimpin. Meski tubuhnya hampir tak lagi mampu berdiri tegak, matanya tetap tajam, penuh dengan tekad untuk bertahan.
Alcard menghela napas dalam-dalam, dadanya sedikit terasa lebih ringan saat melihat bahwa Oldman masih berdiri, meskipun tubuh tuanya tampak nyaris runtuh. "Dia masih bertahan..." gumamnya pelan, tetapi tidak ada waktu untuk merasa lega. Tatapannya kembali menyapu medan perang, menyadari bahwa situasi di garis depan sudah berada di ambang kehancuran. Barisan pertahanan para outcast hampir sepenuhnya runtuh, prajurit yang tersisa tampak kehilangan tenaga, dan jika tidak segera bertindak, maka benteng terakhir mereka akan jatuh malam ini juga.
Tanpa ragu, Alcard melompat turun dari kudanya, tanah di bawahnya bergetar pelan saat kakinya menapak. Ia bergegas menuju para outcast yang masih bertahan di garis depan, suaranya lantang dan penuh otoritas saat ia berteriak, "Kita tidak punya waktu untuk ragu! Fokus pada yang lemah dulu, hancurkan mereka satu per satu! Jangan bertindak gegabah!" Kata-katanya seketika membangkitkan kembali api dalam dada mereka yang hampir padam, membuat para outcast yang masih bisa berdiri segera merespons dengan semangat baru.
Tanpa membuang waktu, Alcard mengatur ulang regu yang tersisa, menyusun mereka dalam formasi baru yang lebih terorganisir. "Bentuk barisan pertahanan yang lebih rapat! Aku akan membuka jalan, kalian ikuti dari belakang!" instruksinya tegas, dan mereka langsung mematuhinya tanpa keraguan. Dengan kekuatan Bloody Potion yang masih mengalir liar dalam tubuhnya, Alcard bergegas menerjang orge berkepala satu yang tersisa. Pedangnya berkelebat dalam cahaya samar fajar yang mulai merayap di langit, menebas tanpa henti, mengoyak daging tebal monster itu dengan ketajaman yang mengerikan.
Regu yang mengikuti Alcard segera melancarkan serangan terkoordinasi. Teriakan perang mereka menggema di udara saat mereka menghujani orge dengan serangan bertubi-tubi. Serangan kombinasi ini akhirnya membuahkan hasil—orge berkepala satu yang tersisa akhirnya jatuh dengan dentuman mengerikan, tubuhnya yang besar menciptakan gelombang debu saat menghantam tanah. Para outcast yang melihatnya bersorak, tetapi Alcard tidak membiarkan mereka lengah.
"Jangan berhenti sekarang! Kita masih harus menghadapi yang lebih besar dan lebih mematikan terlebih dahulu!" suaranya menggema, membuat mereka kembali siaga. Ia menatap tajam ke arah orge berkepala dua yang masih mengamuk di tengah medan perang, sementara para outcast mulai menemukan kembali keberanian mereka yang sempat terkikis.
Oldman, yang menyaksikan dari kejauhan, mengangguk pelan. Senyum tipis terukir di wajahnya yang penuh keriput dan darah kering. "Akhirnya kau datang..." gumamnya dengan suara pelan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Meski tubuhnya mulai melemah, keberadaan Alcard di medan perang memberinya harapan. Ia tahu bahwa perang ini belum berakhir, tetapi dengan Alcard di sisi mereka, peluang bertahan menjadi lebih besar.
Sementara itu, langit di atas mereka mulai berubah warna. Cahaya fajar yang perlahan menyingsing menyapu medan perang, tetapi ketenangan masih jauh dari mereka. Teriakan dan raungan para monster masih memenuhi udara, dan dengan delapan giant mutasi yang masih berdiri, pertempuran ini masih jauh dari kata selesai.
Dengan tekad yang semakin membara, para outcast kembali mengangkat senjata mereka. Mereka tahu bahwa malam ini mungkin akan menjadi malam terakhir mereka, tetapi dengan Alcard di garis depan, mereka memiliki satu alasan lagi untuk tetap bertahan. Dengan langkah mantap dan hati yang sudah siap menghadapi apapun, mereka bersiap untuk pertempuran berikutnya—pertempuran yang akan menentukan nasib The Wall dan semua yang mereka perjuangkan.
Dan di tengah medan perang yang masih berkobar, Alcard berdiri di garis terdepan, pedangnya berkilat dalam cahaya pagi, siap menghadapi monster-monster yang masih mengancam mereka. Tidak peduli seberapa besar musuh yang mereka hadapi, tidak peduli seberapa kecil peluang mereka untuk menang—selama mereka masih bernapas, mereka akan terus bertarung.
****
Pertempuran panjang yang tak kunjung usai mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Setelah pertarungan yang menguras tenaga dan menuntut pengorbanan yang tak terhitung jumlahnya, akhirnya seluruh orge mutasi berhasil ditumbangkan. Yang tersisa kini hanyalah ancaman terbesar mereka—para giant mutasi, monster-monster raksasa yang masih berdiri kokoh di tengah medan yang kini tak lagi bisa dikenali. Tanah yang dulunya kering dan berdebu kini berubah menjadi lautan darah, bercampur dengan puing-puing kehancuran dan sisa tubuh yang berserakan. Meski hampir semua pejuang yang tersisa mengalami luka dan tubuh mereka nyaris tak mampu lagi berdiri, semangat mereka tetap menyala. Mata mereka yang sebelumnya redup kini kembali menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu, ini adalah saat penentuan.
Di tengah hiruk-pikuk pertempuran yang seolah tak mengenal akhir, satu titik harapan muncul di antara mereka. Setelah upaya yang tak terhitung jumlahnya dan serangan terkoordinasi yang dilakukan dengan sisa tenaga terakhir, akhirnya satu giant mutasi berhasil dijatuhkan. Tubuh raksasa itu roboh dengan suara menggelegar, menghantam tanah dengan kekuatan yang mengguncang bumi. Gelombang debu dan tanah beterbangan ke udara, menciptakan pemandangan yang seakan membekukan waktu sejenak. Para outcast yang masih bertahan tidak bisa menahan sorak-sorai kemenangan meskipun suara mereka serak dan hampir tak terdengar. Mereka tersenyum di tengah kelelahan, tangan mereka berlumuran darah, dan kaki mereka hampir tak sanggup menopang tubuh. Namun, jatuhnya satu monster raksasa ini memberi mereka secercah harapan—sebuah bukti bahwa meskipun mustahil, mereka masih memiliki peluang untuk menang.
Di antara asap dan kehancuran, mata Oldman menangkap sosok yang telah lama ia nantikan. Alcard akhirnya tiba, tubuhnya dipenuhi luka pertempuran, tetapi sorot matanya tetap tajam dan penuh determinasi. Perasaan lega bercampur kebanggaan terlukis di wajahnya. Perlahan, ia berjalan mendekati Alcard, meski langkahnya sedikit tertatih. Dengan tangan yang gemetar akibat kelelahan, ia menepuk bahu pemuda itu dengan gerakan penuh makna.
"Akhirnya kau sampai di sini..." suaranya serak, tetapi masih mengandung kepercayaan yang tak tergoyahkan. "Sekarang giliranmu, alcard. Ambil alih dan buat kami bertahan."
Alcard menatap pria tua itu dengan penuh penghormatan. Ia bisa melihat betapa lelahnya Oldman, betapa tubuhnya sudah terlalu banyak menanggung beban peperangan ini. Tanpa ragu, ia mengangguk tegas. "Oldman, kau telah melakukan lebih dari cukup. Mundurlah, atur ulang lini belakang, dan bantu mereka yang terluka. Aku akan menyelesaikan ini," ujarnya dengan suara yang mantap, membawa otoritas yang segera disambut dengan kepercayaan penuh dari para outcast yang masih berdiri di sekitarnya.
Tanpa membuang waktu, Alcard melangkah ke garis depan. Dengan gerakan tegas, ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan berteriak lantang, suaranya menggema di seluruh medan perang, menembus kabut asap dan kelelahan yang menyelimuti para pejuang.
"Dengar aku! Kita tidak bisa menyerang mereka sekaligus! Fokus pada satu target, buat mereka tetap terpecah!"
Perintah itu langsung disambut dengan pergerakan cepat para outcast. Regu utama, yang terdiri dari para veteran yang masih memiliki kekuatan tersisa, segera mengepung satu giant mutasi. Mereka bergerak dengan presisi yang luar biasa, menargetkan titik-titik lemah monster raksasa itu. Mereka membidik kaki raksasa tersebut, mengincar sendi-sendinya dengan serangan yang dilakukan serentak.
Sementara itu, para outcast yang lebih muda dan masih memiliki sedikit tenaga dialokasikan untuk mengalihkan perhatian para giant lainnya. Mereka menyerang dari berbagai arah, berusaha memecah konsentrasi lawan dan memberi waktu bagi regu utama untuk menumbangkan satu per satu. Setiap tebasan, setiap tembakan panah, meski tampaknya kecil dibandingkan dengan ukuran lawan mereka, sedikit demi sedikit mulai menunjukkan hasil.
Alcard tidak tinggal diam. Dengan mata yang penuh fokus, ia bergerak cepat mendekati salah satu giant mutasi yang sedang menjadi sasaran utama mereka. Dengan kecepatan yang hampir mustahil untuk seseorang dalam kondisi fisik seperti dirinya, ia melompat ke tubuh monster itu, mencengkeram pedangnya erat-erat, lalu menargetkan bagian vital di lehernya.
"Serang sekarang! Lumpuhkan kaki kirinya!" teriaknya dengan lantang.
Dalam satu kesatuan gerakan, para outcast yang tersisa mengayunkan senjata mereka serempak. Suara retakan keras terdengar, diikuti dengan raungan kesakitan dari monster raksasa itu. Keseimbangannya terganggu, dan dalam hitungan detik, makhluk itu jatuh berlutut sebelum akhirnya ambruk sepenuhnya, menghantam tanah dengan kekuatan yang mengguncang seluruh medan perang.
Keberhasilan ini menjadi pemantik semangat baru bagi para outcast. Nafas mereka masih berat, tubuh mereka masih penuh luka, tetapi mereka kini memiliki keyakinan yang lebih kuat daripada sebelumnya. Mereka telah membuktikan bahwa monster itu bisa ditaklukkan. Bahwa mereka masih bisa bertahan.
Namun, Alcard tak membiarkan momentum itu berlalu. Ia berbalik menatap rekan-rekannya yang masih berdiri, mengangkat pedangnya yang berkilauan di bawah cahaya matahari yang perlahan mulai menembus asap dan debu pertempuran.
"Kita tidak boleh berhenti di sini!" serunya lantang. "Target berikutnya ada di depan kita! Kita akhiri ini bersama!"
Sorakan keras terdengar dari para outcast yang tersisa. Mereka yang nyaris kehilangan harapan kini kembali maju dengan semangat yang diperbarui. Meski kelelahan telah menyiksa tubuh mereka, meski rasa sakit nyaris membuat mereka runtuh, mereka tetap melangkah.
Mereka tahu, pertarungan ini belum berakhir. Masih ada giant mutasi lain yang harus mereka hadapi. Tapi kali ini, mereka tak lagi berjuang dalam keputusasaan. Kali ini, mereka berjuang dengan keyakinan bahwa kemenangan ada dalam jangkauan mereka.
Dan di garis terdepan, Alcard memimpin mereka dengan mata yang penuh determinasi, siap mengakhiri pertempuran yang telah memakan begitu banyak nyawa dan darah. Kini, bagi mereka, satu-satunya pilihan yang tersisa adalah bertarung hingga akhir.
****
Raungan memilukan dari giant mutasi terakhir menggema di seluruh medan pertempuran, menembus sisa-sisa kekacauan yang masih menyelimuti markas pusat The Wall. Suara itu bukan sekadar jeritan kematian, tetapi sebuah tanda bahwa pertarungan yang telah menguras segala daya dan nyawa akhirnya mencapai akhir. Tubuh raksasa itu, yang selama ini menjadi simbol kehancuran, ambruk dengan suara dentuman yang mengguncang tanah di bawahnya. Getaran yang diciptakannya terasa hingga ke sumsum tulang para outcast yang masih bertahan, seolah menjadi peringatan bahwa mereka telah melewati batas yang seharusnya tidak dapat dilalui oleh manusia biasa.
Namun, alih-alih sorak kemenangan atau pekikan euforia, yang menyelimuti medan perang hanyalah keheningan yang mencekam. Tidak ada perayaan, tidak ada pekik kegembiraan. Hanya ada suara napas yang tersengal, tubuh-tubuh yang jatuh ke tanah karena kelelahan, dan isak tangis yang tertahan dari mereka yang menyadari bahwa mereka masih hidup. Beberapa dari mereka berlutut di tanah yang telah diwarnai darah, menatap kosong ke depan, tak sepenuhnya percaya bahwa mereka telah bertahan melewati neraka yang seolah tak berujung ini. Yang lainnya hanya berdiri dengan tubuh bergetar, tidak yakin apakah mereka masih memiliki kekuatan untuk tetap berdiri setelah semua yang telah mereka lalui.
Medan perang yang tadinya penuh dengan pertempuran kini menjadi saksi bisu dari kehancuran yang terjadi semalaman. Tubuh-tubuh para outcast yang telah gugur berserakan di antara bangkai monster yang mereka kalahkan dengan susah payah. Darah merembes ke tanah yang kini hancur, bercampur dengan abu dan sisa-sisa minyak yang mereka gunakan sebagai senjata terakhir. Bau logam menyengat, bercampur dengan aroma daging terbakar, membuat udara semakin berat untuk dihirup. Mereka yang masih hidup, banyak yang tersungkur, tubuh mereka penuh luka dan memar, sebagian besar nyaris hancur akibat dampak Bloody Potion yang mereka paksa konsumsi agar tetap bertahan. Mata mereka, yang sebelumnya menyala dengan tekad dan keganasan, kini tampak kosong, seperti lilin yang hampir padam diterpa angin kencang.
Di tengah pemandangan yang begitu memilukan, Alcard berdiri diam, pedangnya yang masih berlumuran darah tergenggam erat di tangannya. Napasnya memburu, keringat bercampur darah mengalir di wajahnya, tetapi matanya tetap menatap ke depan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dari ratusan yang bertarung bersamanya semalam, kini hanya seperempat yang masih bertahan. Mereka masih berdiri, tapi hanya dengan sisa-sisa kekuatan yang hampir habis.
Di sisi lain, langkah pelan tapi pasti membawa Oldman ke tengah medan perang yang kini hening. Wajahnya, yang selama ini menjadi lambang keteguhan bagi para outcast, kini tampak lebih tua dari sebelumnya. Garis-garis kelelahan begitu jelas mengukir wajahnya, tubuhnya tampak goyah, namun di balik itu semua, matanya masih memancarkan keteguhan yang tak tergoyahkan. Ia menatap ke arah mereka yang masih hidup, lalu dengan suara serak yang dipenuhi beban dan kesedihan, ia berkata parau, "Kita telah bertahan..." suaranya berat, seolah menanggung seluruh kesedihan yang menggantung di udara. "Tapi ini belum berakhir. Kita harus mengubur saudara-saudara kita... dan menyusun kembali kekuatan kita."
Sebuah suara gemetar muncul dari salah satu outcast yang tersisa. "Kita berhasil... Kita bertahan…" seru seorang pemuda dengan suara lemah, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka benar-benar telah melewati malam yang seharusnya membinasakan mereka. Namun, seruan itu tidak disambut dengan sorakan kemenangan, tidak ada yang meneriakkan kebanggaan. Yang tersisa hanyalah keheningan yang terasa semakin menekan. Mereka semua menyadari bahwa ini bukan kemenangan yang bisa dirayakan—ini hanyalah sebuah perjuangan untuk tetap hidup. Mereka masih berdiri, tetapi harga yang harus mereka bayar terlalu besar untuk sekadar diringkas dalam kata-kata.
Alcard melangkah perlahan menuju Oldman, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena beban yang ia pikul di pundaknya. Dengan suara yang rendah, nyaris seperti bisikan, ia berkata, "Kita harus segera memikirkan langkah selanjutnya. Serangan ini... ini bukan akhir. Ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar."
Matanya menatap jauh ke horizon selatan, menembus kegelapan yang masih menyelimuti dunia di luar sana. Firasatnya mengatakan bahwa ancaman yang lebih besar sedang menanti mereka, dan pertempuran yang baru saja mereka menangkan hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih mengerikan.
Oldman menatapnya sejenak, sorot matanya yang lelah menunjukkan bahwa ia pun memiliki pemikiran yang sama. Namun, ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Kau benar, alcard," katanya, suaranya nyaris bergetar karena emosi yang tertahan. "Tapi untuk sekarang... izinkan kita untuk menangis sejenak. Izinkan kita mengubur saudara-saudara kita dengan kehormatan."
Keduanya berdiri dalam keheningan yang menyelimuti seluruh The Wall, hanya ditemani oleh hembusan angin pagi yang perlahan membawa pergi sisa-sisa aroma kematian. Matahari mulai merayap naik di cakrawala, tetapi cahayanya tampak lebih suram dari biasanya, seolah ikut meratapi kehancuran yang terjadi di bawahnya. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tidak ada yang tahu apa yang menanti mereka di luar sana. Tapi satu hal pasti—mereka yang masih hidup harus bersiap.
Mereka harus siap menghadapi apapun yang akan datang.
****
Di bawah langit kelabu yang seolah ikut meratapi nasib mereka, para outcast yang tersisa berkumpul di lapangan latihan markas pusat. Tubuh mereka penuh luka, darah yang mengering menempel di pakaian mereka, dan kelelahan membebani setiap gerakan. Beberapa dari mereka nyaris tak mampu berdiri, terpaksa menggunakan senjata mereka sebagai penopang, sementara yang lain hanya bisa duduk dengan kepala tertunduk, mengatur napas yang tersengal setelah pertempuran panjang yang hampir menghabisi mereka semua. Keheningan yang menyesakkan menggantung di udara, hanya dipecah oleh suara langkah kaki yang berat dan helaan napas mereka yang masih tersisa.
Dari delapan ratusan pasukan yang mengangkat senjata saat pertempuran dimulai, kini kurang dari dua ratus orang yang masih berdiri. Sisanya telah gugur atau terlalu terluka untuk melanjutkan perjuangan. Mereka telah bertahan melewati gelombang monster mutasi yang tak terhitung jumlahnya, tetapi kini mereka berdiri di ambang keputusasaan, bertanya-tanya apakah pengorbanan mereka benar-benar membawa arti.
Tiba-tiba, suara derap kuda yang mendekat dengan cepat memecah keheningan yang menggantung. Semua kepala serentak menoleh, mata mereka yang kelelahan segera dipenuhi kewaspadaan. Dengan jumlah penjaga yang hampir tak tersisa setelah pertempuran, tak seorang pun yang tahu siapa yang datang. Beberapa outcast senior, meskipun hampir kehabisan tenaga, tetap menggenggam senjata mereka erat-erat, bersiap menghadapi ancaman baru.
Ketegangan semakin terasa saat seorang kesatria muncul di ujung lapangan, menunggangi kuda yang gagah dengan langkah mantap. Baju besinya yang berkilauan memantulkan cahaya suram dari matahari pagi, dan di tangannya berkibar sebuah bendera putih—tanda bahwa ia datang sebagai utusan, bukan sebagai musuh. Namun, tak satu pun dari para outcast menurunkan kewaspadaan mereka. Mata mereka yang penuh amarah dan luka mengunci tatapan pada sosok yang kini mendekat, menunggu untuk mendengar apa yang akan ia sampaikan.
Oldman, yang berdiri di tengah lapangan dengan tongkat kayunya, melangkah maju. Meski tubuhnya tampak lebih renta dari sebelumnya, meski garis kelelahan semakin dalam terukir di wajahnya, suaranya tetap setegas baja yang ditempa di api peperangan. "Bicara, utusan," katanya dengan nada tajam yang tak mengizinkan celah untuk basa-basi. "Apa yang tuanmu inginkan?"
Kesatria itu menarik napas dalam sebelum turun dari kudanya dengan gerakan yang terukur, seolah menikmati ketegangan yang ia ciptakan. Dengan suara berat yang menggema di seluruh lapangan, ia berbicara, "Aku datang membawa pesan dari aliansi para lord Middle Earth. Mereka menuntut The Wall untuk menyerahkan fragment ungu yang kalian sembunyikan." Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap ke dalam hati setiap outcast yang mendengarkan, sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih menusuk, "Jika kalian menolak, mereka akan datang dengan kekuatan penuh dan menghancurkan The Wall beserta semua yang ada di dalamnya."
Kemarahan meledak seketika di antara para outcast yang tersisa. Mereka yang sebelumnya bahkan tak mampu berdiri kini menggenggam senjata mereka lebih erat, mata mereka menyala dengan kemarahan yang membara. Beberapa dari mereka berseru dengan suara penuh kebencian.
"Mereka berani datang setelah apa yang telah kita hadapi? Mereka hanyalah serigala yang menunggu saat kita lemah untuk menerkam!" seru seorang outcast senior dengan kepalan tangan gemetar.
"Para lord itu pengecut!" teriak yang lain dengan suara bergetar oleh emosi. "Mereka tidak pernah berperang melawan monster selatan, tapi sekarang mereka datang untuk merampas sesuatu yang bahkan bukan milik mereka?"
Sebelum kekacauan semakin berkembang, Oldman kembali mengangkat tangannya, dan keheningan pun turun seketika. Dengan tatapan tajam yang seolah bisa menusuk ke dalam hati siapa pun yang menantangnya, ia menatap sang kesatria. Suaranya terdengar dingin, penuh kewibawaan dan ancaman tersirat. "Katakan kepada tuan-tuanmu," ucapnya perlahan, setiap kata mengandung ketegasan yang tak tergoyahkan, "bahwa kami tidak memiliki fragment yang mereka cari. Tapi jika mereka berani datang untuk menyerang, mereka akan berhadapan dengan kami, para outcast—mereka yang telah bertahan dari neraka yang bahkan mereka tak berani hadapi."
Kesatria itu tersenyum tipis, ejekan tersirat dalam sorot matanya. "Cih! Aku hanya seorang utusan," katanya santai, seolah tidak terpengaruh oleh ancaman yang baru saja dilontarkan padanya. "Tapi aku akan menyampaikan pesanmu. Meski begitu, kau harus tahu satu hal—tuan-tuan kami tidak bodoh. Mereka tahu fragment itu ada di sini. Dan percayalah, mereka akan datang untuk mengambilnya."
Di menara pengawas yang nyaris runtuh akibat pertempuran, Alcard berjuang menaiki tangga meski rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Napasnya berat, tetapi ia memaksa dirinya mencapai puncak menara untuk melihat apa yang terjadi di kejauhan. Saat matanya akhirnya menangkap apa yang tersembunyi di balik horizon, darahnya berdesir.
Garis panjang pasukan terbentang sejauh mata memandang. Ratusan ribu prajurit dari aliansi para lord Middle Earth telah berbaris dengan rapi, baju besi mereka berkilauan di bawah cahaya suram matahari pagi. Panji-panji berkibar tinggi, menandakan identitas para penguasa yang kini mengarahkan pandangan mereka ke The Wall. Barisan kavaleri berdiri tegak, diikuti oleh infanteri yang siap bergerak maju kapan saja. Alcard bisa merasakan hawa pertempuran yang mendekat, sesuatu yang bahkan lebih menakutkan dari serangan monster yang baru saja mereka hadapi.
Ia menggertakkan giginya, cengkeramannya pada pagar kayu menara semakin erat. "Mereka benar-benar datang…" bisiknya, suaranya dipenuhi keputusasaan yang jarang ia tunjukkan. Matanya bergerak dari satu barisan ke barisan lain, mencoba mencari celah, sesuatu yang bisa menjadi keuntungan mereka. Namun, yang ia lihat hanyalah kekuatan yang jauh melampaui apa yang bisa mereka hadapi dalam kondisi saat ini.
Keheningan kembali menyelimuti markas pusat yang masih berduka. Mereka yang tersisa mulai bergerak dengan cepat, bersiap menghadapi pertempuran yang kini tak lagi bisa dihindari. Luka dan kelelahan mereka kini menjadi beban yang harus mereka abaikan. Mereka tahu, ancaman yang lebih besar telah tiba.
Dan kali ini, bukan monster yang datang untuk membunuh mereka—tetapi sesama manusia.
****