Bab 35

Setelah hanya memiliki waktu yang begitu singkat untuk beristirahat sepanjang perjalanan panjangnya dari ibukota elf, Alcard kembali menggerakkan kudanya dengan kecepatan penuh, seakan tubuhnya telah melampaui batas manusiawi dan kudanya pun tak lagi mengenal lelah. Deru napasnya berpadu dengan ritme langkah kuda yang menghantam tanah berbatu, menciptakan simfoni perjalanan yang dipacu oleh kegelisahan dan ketegangan yang semakin menumpuk di dadanya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban berat yang semakin menghimpit, mendorongnya untuk terus maju, semakin cepat, semakin jauh, seolah-olah waktu yang tersisa baginya untuk bertindak semakin menipis.

Di kejauhan, di antara bayang-bayang malam yang pekat, matanya yang tajam menangkap kepulan asap hitam yang menjulang tinggi ke langit dari arah markas pusat The Wall. Alcard menghela napas dalam, matanya menyipit saat ia menilai situasi dari jarak yang masih cukup jauh. Bibirnya sedikit terangkat, membentuk senyum tipis yang hanya bertahan sesaat. "Mereka masih bertahan," gumamnya lirih, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa saudara-saudaranya belum menyerah. Asap itu bukan sekadar tanda kehancuran, melainkan bukti bahwa perlawanan masih berlangsung, bahwa mereka belum sepenuhnya jatuh.

Namun, ketenangan kecil itu dengan cepat menghilang. Seiring dengan semakin dekatnya jarak antara dirinya dan The Wall, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan. Asap yang awalnya tampak hanya berasal dari satu titik kini tersebar luas, membumbung dari berbagai penjuru markas, menyatu dengan kegelapan malam seperti awan hitam yang menandakan bencana yang lebih besar. Kepulan itu menjalar seperti luka yang terus membesar, menelan langit dalam kabut yang menyesakkan dada. Mata Alcard menajam, sorotnya dipenuhi dengan kekhawatiran yang semakin menguat. "Ini bukan sekadar serangan biasa," pikirnya dalam hati, firasat buruk merayapi benaknya dengan cepat. "Serangan ini terencana... musuh tahu apa yang mereka lakukan. Ayo, Gratten!"

Kuda hitamnya terus melaju, semakin cepat, nyaris melampaui batas kekuatan yang mampu ia berikan. Hamparan tanah tandus yang membentang menuju The Wall terasa seperti tak berujung, namun ia tidak memperdulikannya. Angin malam menerpa wajahnya dengan kasar, menyapu rambut dan pakaiannya yang telah dipenuhi debu perjalanan. Namun, rasa dingin yang menusuk itu bukanlah sesuatu yang bisa menghentikannya. Satu-satunya hal yang kini memenuhi pikirannya adalah tiba di sana sebelum semuanya terlambat.

Ketika menara tinggi The Wall akhirnya terlihat samar di cakrawala, pandangannya langsung tertuju pada pemandangan yang membuat darahnya berdesir kencang. Di kejauhan, ia bisa melihat sosok-sosok raksasa yang mengamuk di medan perang. Tiga ogre mutasi yang menjulang tinggi, tubuh mereka dipenuhi dengan duri-duri tajam kehitaman yang tampak berdenyut seolah memiliki kehidupan sendiri. Mereka telah berhasil menembus jauh melewati garis pertahanan, menginjak-injak tanah yang telah berlumuran darah, menghancurkan apapun yang ada di jalur mereka dengan kekuatan yang tak tertahankan.

Di antara mereka, Alcard melihat sekumpulan outcast yang masih bertahan, meskipun jumlah mereka semakin sedikit dan barisan mereka mulai goyah. Para pejuang itu membentuk pertahanan terakhir mereka, mencoba menahan makhluk-makhluk itu dengan segala yang mereka miliki. Pedang mereka berkila di bawah cahaya bulan, menebas tubuh para monster dengan harapan bisa menghentikan mereka. Namun, kulit keras para ogre mutasi itu seakan tak bisa ditembus, hanya meninggalkan goresan-goresan dangkal yang tak cukup untuk menjatuhkan mereka. Monster-monster itu terus bergerak maju, mengabaikan luka-luka kecil yang mereka derita, mengayunkan tangan raksasa mereka yang penuh dengan cakar tajam, menghancurkan bangunan, merobohkan benteng, dan menumbangkan tubuh-tubuh yang menghalangi jalan mereka.

Jantung Alcard berdebar semakin kencang. Ia bisa melihat dengan jelas bahwa pertahanan markas pusat telah mengalami kehancuran yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Jika para ogre sudah sejauh ini, berarti keadaan di dalam markas pastilah jauh lebih buruk. "Berapa banyak yang masih hidup?" pikirnya, rahangnya mengeras. "Seberapa banyak yang telah jatuh?" Ia mengamati medan perang dengan tatapan tajam, mencari wajah-wajah yang ia kenal, mencari sosok-sosok yang masih berdiri, mencari harapan di tengah kehancuran.

Tanpa membuang waktu, Alcard menarik tali kekang kudanya dengan lebih erat, mempersiapkan dirinya untuk pertempuran yang tak terhindarkan. Jemarinya perlahan bergerak ke gagang pedang yang tersarung di punggungnya, merasakan dinginnya baja yang telah menjadi bagian dari dirinya selama bertahun-tahun. Pedang itu telah menemaninya melalui berbagai pertempuran, telah menebas musuh-musuh yang tak terhitung jumlahnya, dan kini, ia akan kembali menggunakannya untuk melindungi satu-satunya tempat yang masih bisa ia sebut sebagai rumah.

Matanya tetap terfokus pada bayangan-bayangan besar yang bergerak liar di kejauhan. Suara raungan monster bercampur dengan jeritan manusia yang bertahan dengan sisa-sisa tenaga terakhir mereka. Kegelapan malam terasa semakin pekat, tetapi di dalam dirinya, api perlawanan masih menyala terang. Ia tidak akan membiarkan saudara-saudaranya menghadapi ini sendirian.

"Aku harus sampai di sana," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya penuh dengan tekad yang membara. "Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan mereka mati tanpa perlawanan."

Dengan kekuatan terakhir yang ia miliki, Alcard kembali memacu kudanya, menembus gelapnya malam yang kini dipenuhi dengan kehancuran dan harapan yang nyaris padam. Ia tahu, pertempuran ini akan menjadi yang terberat yang pernah ia hadapi. Dan mungkin, ini adalah pertempuran terakhirnya.

****

 

Ketika jarak antara dirinya dan medan pertempuran semakin menipis, Alcard tak lagi ragu untuk bertindak. Ia menarik tali kekang kudanya dengan kasar, menghentikan laju tunggangannya yang telah berlari tanpa henti sepanjang perjalanan. Tanpa menunggu lebih lama, ia melompat turun dengan gerakan yang tajam dan penuh ketegasan. Kakinya menghantam tanah berdebu, namun tubuhnya tetap seimbang, seakan insting bertarungnya telah mengantisipasi setiap gerakan sebelum ia lakukan.

Tanpa membuang waktu, tangannya langsung merogoh kantong kecil di pinggangnya, jari-jarinya dengan cekatan menemukan botol kaca mungil yang berisi cairan merah pekat berkilauan. Bloody Potion. Sumber kekuatan yang telah membantunya bertahan dalam begitu banyak pertempuran, namun juga kutukan yang perlahan-lahan menggerogoti jiwanya. Alcard menatap cairan di dalamnya sejenak, mengingat kembali rasa sakit dan mimpi buruk yang selalu menghantuinya setiap kali ia menenggaknya. Tapi sekarang bukan saatnya untuk ragu.

Dengan satu gerakan cepat, ia membuka tutup botol dan meneguk seluruh isinya dalam sekali minum. Sensasi panas yang begitu menyengat segera meledak dalam tubuhnya, menjalar dari tenggorokannya hingga ke setiap sudut otot dan sarafnya. Rasanya seperti kobaran api yang membakar tubuhnya dari dalam, memaksanya untuk menerima kekuatan yang jauh melampaui batas manusia biasa. Nadi di leher dan pergelangan tangannya berdenyut cepat, seakan darahnya telah berubah menjadi cairan beracun yang mendidih. Matanya, yang sebelumnya hanya sekadar tajam, kini menyala merah menyala seperti bara api yang siap melahap apapun di jalannya. Napasnya menjadi lebih berat, lebih dalam, lebih berbahaya.

Sebuah bisikan nyaris tak terdengar lolos dari bibirnya. "Saudara-saudaraku, aku datang." Suaranya sarat dengan tekad yang tak tergoyahkan, mencerminkan niatnya untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Tanpa ragu lagi, ia mulai berlari menuju medan perang, tubuhnya melesat dengan kecepatan yang mustahil bagi manusia biasa. Setiap langkahnya mengaduk debu dan asap yang menggantung di udara, membelah kekacauan dengan kehadirannya yang bagaikan bayangan maut yang bergerak di antara kegelapan.

Di hadapannya, tiga ogre mutasi berkepala satu masih mengamuk dengan brutal. Tubuh raksasa mereka, yang dilapisi kulit tebal penuh tonjolan dan duri, menghancurkan para outcast yang mencoba menghadang mereka. Setiap langkah monster-monster itu mengguncang tanah seperti gempa kecil, menciptakan lubang-lubang besar di tanah yang berlumuran darah dan puing-puing bangunan yang runtuh.

Tanpa mengurangi kecepatannya, Alcard mengangkat pedang besarnya, bersiap melancarkan serangan pertama. Mata merahnya membidik salah satu ogre yang sedang mengayunkan tangan raksasanya ke arah sekelompok outcast yang tersisa. Dengan satu dorongan kuat dari kakinya, ia melesat ke depan, memanfaatkan momentum untuk menghantam bagian kaki monster itu dengan tebasan cepat dan penuh tenaga.

Logam tajam pedangnya menembus kulit keras ogre seperti pisau menembus daging, meninggalkan luka menganga yang langsung menyemburkan darah hitam pekat. Raungan mengerikan menggema di udara saat monster itu kehilangan keseimbangannya, tubuhnya yang raksasa terhuyung ke belakang sebelum akhirnya menghantam tanah dengan suara dentuman yang memekakkan telinga. Namun, meskipun terluka parah, makhluk itu masih belum mati. Ia meronta dalam kesakitan, mencoba bangkit meski salah satu kakinya hampir terputus.

Alcard tidak berhenti. Ia tahu luka itu belum cukup untuk menghabisi monster sekuat ini. Dengan satu gerakan cepat, ia berlari ke arah kepala ogre yang tengah meraung marah, melompat tinggi ke udara dengan pedang yang terangkat tinggi. Dalam satu tebasan yang begitu cepat hingga hampir tak terlihat, ia menebas leher makhluk itu, memisahkan kepalanya dari tubuhnya dalam satu serangan yang sempurna. Darah hitam menyembur deras ke langit malam, menyisakan tubuh raksasa yang ambruk tanpa daya.

Namun, pertempuran belum selesai. Di sekelilingnya, para outcast terus berjuang dengan sisa tenaga mereka. Wajah mereka berlumuran darah dan keringat, tangan mereka yang gemetar masih erat menggenggam senjata meski tubuh mereka sudah hampir mencapai batasnya. Beberapa dari mereka sudah tidak mampu bertahan lebih lama, jatuh satu per satu, tubuh mereka hancur oleh hantaman brutal para monster yang tak mengenal ampun.

Alcard melihat semua itu, dan untuk sesaat, ia merasakan duka yang begitu mendalam. Namun, ia menekan emosinya dalam-dalam. Tidak ada waktu untuk berduka, tidak saat ini. Yang bisa ia lakukan hanyalah memastikan bahwa tidak ada lagi nyawa yang terbuang sia-sia malam ini.

Dengan kecepatan yang semakin meningkat karena pengaruh Bloody Potion, ia kembali bergerak tanpa henti. Pedangnya menebas, menusuk, dan menghantam dengan presisi yang mematikan. Setiap serangannya membawa kehancuran, membuat para monster mulai tumbang satu demi satu. Tidak ada jeda, tidak ada waktu untuk berhenti. Ia adalah badai yang berputar di tengah medan perang, menghancurkan segalanya di jalannya.

Puncak pertempuran terjadi ketika akhirnya ia berhadapan dengan ogre terakhir dari kelompok berkepala satu. Dengan tatapan yang dipenuhi kebencian, monster itu mengayunkan lengannya yang sebesar batang pohon, mencoba menghancurkan Alcard dengan satu serangan mematikan. Namun, Alcard hanya tersenyum tipis, lalu melesat ke depan dengan kecepatan yang bahkan tak bisa diikuti oleh mata manusia biasa. Dalam satu gerakan yang nyaris tak terlihat, ia menghindari serangan itu, lalu mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh.

Mata pedangnya meluncur dengan presisi, membelah udara sebelum akhirnya menghantam leher monster itu. Kepala makhluk itu terlempar ke udara, sementara tubuhnya yang raksasa ambruk ke tanah dengan suara yang mengguncang bumi. Debu beterbangan, menutupi medan perang dalam kabut yang tebal.

Namun, sebelum Alcard sempat merasakan sedikit kelegaan, matanya menangkap sesuatu yang membuat darahnya seakan membeku. Dari kejauhan, di dalam markas pusat The Wall, muncul pemandangan yang jauh lebih mengerikan.

Tiga ogre mutasi berkepala dua, jauh lebih besar dan lebih ganas daripada yang baru saja ia hadapi, sedang mengamuk di dalam benteng. Mereka menghancurkan bangunan tanpa kesulitan, meremukkan tubuh-tubuh outcast yang mencoba menghalangi mereka. Tidak hanya itu, lima ogre mutasi berkepala satu lainnya masih terus menerobos, membuat pertahanan yang tersisa semakin terkikis.

Alcard mengepalkan tangannya dengan erat, merasakan amarah dan kepanikan yang bercampur menjadi satu. "Ini lebih buruk dari yang kuduga," pikirnya, wajahnya mengeras. Ia menyadari bahwa jika ia tidak segera bertindak, maka seluruh markas pusat akan lenyap dalam hitungan jam.

Dengan tekad yang semakin membara, ia mengencangkan genggamannya pada pedangnya, lalu berlari menuju markas pusat tanpa ragu. Langkahnya berat, tetapi penuh keyakinan. Ia tahu bahwa ini adalah pertempuran sesungguhnya—pertarungan yang akan menentukan apakah The Wall akan bertahan atau jatuh malam ini.

****

 

Pertempuran di dalam markas pusat The Wall semakin ganas, suara dentuman dan raungan para ogre mutasi terus menggema di udara. Teriakan para outcast bercampur dengan suara senjata yang beradu dan kayu yang pecah berkeping-keping. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya di tengah kekacauan ini. Alcard, yang masih merasakan dampak dari Bloody Potion yang mengalir deras di nadinya, tidak membuang waktu. Ia langsung menerjang ke arah salah satu ogre mutasi kepala satu yang sedang merobohkan barikade kayu terakhir di sisi selatan, tempat pertahanan mereka hampir runtuh.

"Habisi ogre kepala satu terlebih dahulu! Jangan biarkan mereka menghancurkan lebih banyak lagi!" suara seorang outcast senior terdengar lantang di tengah hiruk-pikuk pertempuran, seolah menyuarakan strategi yang sudah mereka pahami bersama.

Tanpa ragu, Alcard segera melesat maju, matanya tajam mengincar pergerakan musuh. Dengan ayunan pedangnya yang kuat, ia menebas lengan raksasa ogre itu, membuat darah hitam pekat menyembur ke segala arah. Ogre itu meraung kesakitan, namun luka tersebut tidak cukup untuk menghentikan amukan brutalnya. Dengan gerakan cepat, monster itu mengayunkan tinjunya yang besar ke arah Alcard, memaksanya melompat mundur beberapa langkah untuk menghindari serangan yang bisa menghancurkan tubuhnya seketika.

Namun, Alcard tidak menyerah. Memanfaatkan momentum dari langkah mundurnya, ia kembali menyerang dengan serangan yang terarah dan presisi tinggi. Ia membidik lutut ogre, mengayunkan pedangnya dengan penuh tenaga hingga terdengar suara retakan yang keras, disusul dengan gemuruh saat monster itu tumbang dengan raungan yang mengguncang malam. Alcard berdiri dengan napas berat, mengamati monster yang kini tidak bergerak. "Satu selesai," gumamnya, meskipun ia sadar bahwa ini hanyalah permulaan.

Di dalam benteng, keadaan semakin genting. Para ogre kepala dua, yang jauh lebih besar dan ganas, terus mengobrak-abrik pertahanan. Para outcast muda yang belum berpengalaman mulai menunjukkan tanda-tanda keputusasaan, sementara yang lebih berpengalaman bertahan mati-matian, mencoba memberi mereka harapan. Meski mereka tahu, pertahanan mereka semakin tipis.

"Alcard!" panggilan nyaring dari kejauhan membuatnya menoleh. Salah satu outcast senior menunjuk ke arah pertempuran sengit di sisi barat, di mana sekelompok outcast berjuang menahan serangan brutal dari ogre mutasi kepala satu lainnya. Tanpa berpikir panjang, Alcard segera berlari ke arah mereka, bergabung dalam barisan pertahanan yang hampir runtuh.

"Kita harus menghabisi mereka satu per satu," kata seorang outcast senior dengan napas yang tersengal. Wajahnya menunjukkan kelelahan yang luar biasa, tetapi tekadnya tetap tak tergoyahkan. "Lupakan kepala dua untuk sementara. Jika kita tidak membersihkan ogre kepala satu ini lebih dulu, kita semua akan habis sebelum sempat bertarung!"

Alcard mengangguk setuju, kesadaran taktisnya mengambil alih. "Kita harus bergerak cepat dan efisien," jawabnya sambil mempererat pegangan pada pedangnya. Dengan gerakan yang terlatih, mereka menyerang secara bersamaan, menciptakan pola serangan yang mampu melemahkan lawan sedikit demi sedikit.

Setelah pertempuran sengit yang berlangsung dalam hitungan menit yang terasa seperti berjam-jam, mereka akhirnya berhasil menumbangkan ogre kepala satu terakhir. Tubuh raksasa itu tumbang, menggetarkan tanah di bawah kaki mereka. Tapi tidak ada waktu untuk merayakan kemenangan kecil ini. Semua mata kini tertuju pada tiga ogre mutasi kepala dua yang masih berdiri kokoh di tengah reruntuhan, mengancam untuk menghancurkan sisa pertahanan yang tersisa.

"Kita tidak bisa menghadapi mereka dalam kondisi seperti ini!" seru salah satu outcast senior, suaranya penuh kekhawatiran.

Alcard menatap mereka dengan sorot mata penuh tekad. "Tidak ada waktu untuk istirahat," ujarnya tegas. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih botol Bloody Potion dari sabuknya dan meneguknya tanpa ragu. Sensasi panas kembali menjalar, membakar tubuhnya dari dalam, memberikan kekuatan yang ia butuhkan untuk terus bertarung. Para outcast di sekitarnya saling berpandangan, dan tanpa ragu mereka mengikuti jejak Alcard, meneguk Bloody Potion meskipun mereka tahu konsekuensi yang harus mereka tanggung.

Setelah menghabiskan potion mereka, para outcast kembali mempersiapkan diri. Meskipun tubuh mereka lelah dan nyaris kehabisan tenaga, semangat mereka kembali membara. Mereka bertukar pandang satu sama lain, saling memberi anggukan penuh tekad. Tidak ada jalan lain, mereka harus maju.

"Untuk The Wall!" Alcard mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, seruan perang yang menggema di antara mereka. Dengan keberanian yang tersisa, mereka menyerbu ke arah ogre mutasi kepala dua, memulai babak baru dalam pertempuran yang bisa menentukan nasib mereka semua.

****

 

Pertempuran melawan ogre mutasi kepala dua semakin menjadi ujian ketahanan yang mengerikan. Darah dan keringat bercampur di tanah, membentuk jejak perlawanan yang tiada henti. Tubuh para outcast yang sudah penuh dengan luka mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang tak terhindarkan. Efek dari Bloody Potion yang mereka andalkan selama ini mulai menuntut bayaran mahal, dengan napas mereka yang tersengal dan gerakan yang semakin melambat. Namun, tak satu pun dari mereka berpikir untuk mundur. Di medan ini, menyerah berarti mati, dan mati tanpa perlawanan bukanlah pilihan.

Alcard berdiri di barisan depan, bahunya yang berlumuran darah tidak mengurangi ketegasan tatapannya. Bersama dengan para outcast senior, ia terus memusatkan serangan mereka pada satu ogre kepala dua. Setiap ayunan pedang, setiap tusukan tombak, mereka lakukan dengan kekuatan yang tersisa. Namun, menghadapi monster sebesar itu bagaikan mencoba menumbangkan pohon raksasa hanya dengan pisau kecil. Ogre itu bertahan seperti gunung yang tak tergoyahkan, serangannya brutal dan tak kenal ampun. Setiap pukulannya mampu meremukkan perisai, dan setiap raungannya mengguncang keberanian para pejuang.

Seorang outcast senior yang berdiri di samping Alcard berteriak, suaranya serak namun penuh semangat, "Jangan berhenti! Kita hampir menjatuhkannya!"

Alcard menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang membakar tubuhnya. Dengan satu gerakan terakhir, ia mengayunkan pedangnya ke titik lemah di kaki ogre, sementara para outcast lainnya menyerang serempak. Pedangnya menancap dalam, dan akhirnya, dengan suara gemuruh yang mengguncang tanah, ogre kepala dua itu jatuh ke tanah, menciptakan gelombang debu yang menyelimuti area pertempuran. Namun, kemenangan kecil itu tak memberi mereka waktu untuk bernapas.

Dari kejauhan, suara teriakan panik meledak di udara. "Mereka masuk lagi! Monster baru telah menembus barikade luar!"

Alcard menoleh dengan cepat, dan pandangannya langsung membeku. Melalui kepulan debu, ia dapat melihat beberapa ogre kepala satu yang baru, diiringi oleh satu ogre kepala dua lainnya, telah menerobos pertahanan luar dan kini mengarah ke inti markas. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan rasa frustrasi yang meluap di dadanya. "Ini seperti neraka yang tak berujung," gumamnya, tetapi sebelum ia bisa bergerak maju, seorang outcast senior mencengkeram lengannya dengan ekspresi muram.

"Alcard," suara pria itu berat dan penuh ketegangan. "Kau pikir ini buruk? Kau belum tahu apa yang terjadi di luar sana."

Alcard menatapnya dengan curiga, matanya menyipit tajam. "Apa maksudmu?"

Outcast senior itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah selatan tembok. "Di luar sana... para giant mutasi telah muncul. Mereka lebih buruk dari apa pun yang kita hadapi di sini."

Mendengar itu, tubuh Alcard menegang. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun yang ia terima di pertempuran ini. "Giant mutasi," gumamnya dengan suara bergetar halus, sesuatu yang jarang terjadi pada dirinya. Pikiran tentang monster raksasa yang tidak hanya lebih besar, tetapi juga lebih kuat dan lebih cerdas dibanding yang pernah mereka hadapi sebelumnya, menggetarkan hati siapa pun. Tidak seperti giant biasa, para giant mutasi ini telah kehilangan kesamaan bentuk dengan manusia—mereka kini lebih mirip orc mutasi berukuran raksasa, dengan kekuatan yang melonjak drastis, siap untuk menghancurkan apa pun di jalur mereka.

Dalam pikirannya, skenario terburuk mulai terbentuk: The Wall yang gagah runtuh di bawah pukulan monster-monster raksasa itu, tubuh para outcast berserakan tak bernyawa, dan fragment ungu jatuh ke tangan musuh yang tak terbayangkan.

Rasa takut merayap masuk ke dalam pikirannya, menggoda untuk mengakui bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Namun, Alcard menggelengkan kepalanya keras, menepis bayangan itu. "Tidak," katanya pada dirinya sendiri, napasnya berat tetapi tekadnya semakin kuat. "Aku tidak bisa membiarkan pikiran seperti itu menghancurkanku."

Ia memandang sekeliling, melihat rekan-rekannya yang masih berdiri dengan luka dan darah, tetapi tetap berjuang. Mereka tidak menyerah. Mereka masih berpegang teguh pada sumpah mereka. Jika mereka bisa bertahan, maka ia juga harus.

Dengan satu tarikan napas terakhir, Alcard berteriak kepada pasukannya, "Bersiaplah! Kita akan menghentikan mereka di sini dan sekarang!" Suaranya menggema di seluruh medan perang, menyulut kembali semangat yang hampir padam. Ia tahu, meskipun peluangnya tipis, selama mereka masih bisa bertarung, harapan itu masih ada.

****

 

Di dalam benteng yang hampir runtuh oleh gempuran tanpa henti, pertempuran masih berkecamuk dengan intensitas yang begitu brutal. Para outcast yang tersisa telah berhasil menahan gelombang serangan para ogre mutasi berkepala satu, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa jam terakhir, mereka memiliki sedikit waktu untuk menarik napas. Namun, kemenangan kecil ini masih jauh dari akhir. Ancaman yang jauh lebih besar masih berdiri kokoh di depan mereka—tiga ogre berkepala dua yang terus mengamuk, menghancurkan bangunan, meremukkan tubuh-tubuh yang berani menghadang, dan menciptakan kehancuran tanpa henti.

Alcard berdiri di tengah medan pertempuran yang dipenuhi darah dan puing-puing, napasnya berat, dan tubuhnya penuh luka. Efek Bloody Potion yang telah ia konsumsi beberapa kali dalam pertempuran ini mulai terasa seperti pedang bermata dua. Jantungnya berdetak dengan kecepatan yang tidak wajar, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang berbahaya, dan pikirannya berusaha tetap fokus meskipun penglihatannya mulai sedikit berbayang. Namun, ia tetap berdiri. Ia tidak bisa membiarkan dirinya tumbang sekarang, bukan ketika masih ada banyak nyawa yang bergantung padanya.

Di sekelilingnya, para outcast yang tersisa juga berada di ambang batas kekuatan mereka. Wajah-wajah mereka penuh dengan luka, keringat, dan darah, tetapi yang paling terlihat jelas di mata mereka adalah rasa kelelahan yang luar biasa. Namun, meskipun tubuh mereka nyaris hancur, semangat mereka belum mati.

"Kita tidak boleh menyerah sekarang!" suara serak seorang outcast senior terdengar di antara suara pertempuran yang mulai mereda. "Jika kita jatuh, seluruh The Wall akan ikut jatuh bersama kita!"

Ucapan itu menggema di hati mereka yang masih bertahan, membakar semangat yang hampir padam. Alcard menatap mereka satu per satu, melihat kelelahan yang membebani mereka, tetapi juga melihat tekad yang masih menyala di mata mereka. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, suara beratnya menggema di antara reruntuhan yang tersisa.

"Kita hanya punya satu kesempatan!" teriaknya. "Fokus pada satu target! Jangan biarkan mereka menyerang kita dari berbagai arah! Kita harus menjatuhkan mereka satu per satu!"

Dengan aba-aba itu, para outcast yang tersisa segera membentuk barisan pertahanan yang lebih solid, memperkuat posisi mereka di sekitar Alcard. Mereka menunggu perintahnya, siap untuk melancarkan serangan terakhir mereka. Alcard sendiri mengatur napasnya, menyiapkan tubuhnya yang sudah lelah untuk kembali bertarung.

Dengan kecepatan yang hanya bisa didapatkan dari pengalaman bertahun-tahun di medan perang, Alcard menerjang ke arah salah satu ogre berkepala dua. Ia tahu bahwa tidak mungkin melawan mereka secara langsung, jadi ia menargetkan titik lemah yang selama ini ia perhatikan—persendian kaki mereka yang menopang tubuh raksasa itu. Dengan ayunan yang bertenaga, pedangnya membelah udara dan menghantam tepat di lutut salah satu monster itu.

Raungan menyayat mengguncang udara saat ogre tersebut kehilangan keseimbangannya. Para outcast yang melihat kesempatan itu segera menyerbu, mengerahkan segala sisa tenaga mereka untuk menyerang bagian yang sama. Dengan serangan yang terus-menerus menghujani kaki monster itu, akhirnya tubuhnya yang besar roboh ke tanah, menciptakan dentuman yang mengguncang bumi.

Namun, kemenangan ini tidak datang tanpa pengorbanan. Beberapa outcast harus membayar harga yang mahal, tubuh mereka terinjak atau tersambar oleh gerakan liar ogre yang sekarat. Meskipun satu musuh telah tumbang, masih ada dua ogre berkepala dua lainnya yang mengamuk tanpa henti, dan para outcast masih harus bertahan.

"Jangan berhenti sekarang!" Alcard berteriak lagi, meskipun tubuhnya mulai kehilangan keseimbangannya. "Masih ada dua lagi!"

Dengan sisa kekuatan yang mereka miliki, mereka terus bertempur, serangan mereka semakin tajam dan pertahanan mereka semakin terkoordinasi. Butuh waktu yang terasa seperti keabadian, tetapi akhirnya, setelah usaha yang hampir menghabiskan seluruh kekuatan mereka, dua ogre berkepala dua terakhir pun jatuh ke tanah, tubuh mereka yang masif menghancurkan lebih banyak puing yang telah berserakan di dalam benteng.

Saat tubuh terakhir ogre mutasi itu ambruk, medan pertempuran berubah menjadi sunyi yang hampir tidak nyata. Tak ada lagi raungan monster, tak ada lagi suara pertempuran yang menggema di udara, hanya tersisa suara napas tersengal para outcast yang masih berdiri. Mereka saling berpandangan dengan tatapan penuh keterkejutan dan kelelahan.

"Kita berhasil," gumam seorang outcast dengan suara nyaris tak terdengar, tubuhnya hampir ambruk karena kehilangan tenaga. Yang lain hanya mampu mengangguk pelan, beberapa dari mereka tersenyum tipis meski wajah mereka masih dipenuhi rasa sakit dan kelelahan.

Namun, Alcard tidak ikut merayakan kemenangan ini. Ia masih berdiri tegak, tatapannya tajam ke arah gerbang selatan yang terbuka lebar. Dari sana, suara benturan logam dan raungan yang jauh lebih besar masih terdengar. Ia tahu bahwa pertempuran ini belum selesai.

Di luar The Wall, di balik kabut malam yang dipenuhi asap dan darah, ancaman yang lebih besar masih menanti. Giant mutasi, makhluk yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya dibandingkan para ogre yang baru saja mereka kalahkan, masih berkeliaran. Para outcast yang ditugaskan menjaga bagian luar The Wall masih bertarung mati-matian, dan mereka tidak akan bertahan lebih lama tanpa bantuan.

Alcard merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena efek Bloody Potion, tetapi karena ia menyadari bahwa tugasnya belum selesai.

"Ini belum selesai," ucapnya dengan suara rendah, tetapi penuh dengan tekad yang membara. Tangannya yang penuh darah menggenggam gagang pedangnya lebih erat, lalu ia menatap rekan-rekannya yang masih mampu berdiri. "Saudara-saudara kita di luar sana masih bertarung. Kita tidak akan membiarkan mereka mati sendirian."

Para outcast yang tersisa saling berpandangan, lalu tanpa ragu, mereka semua mengangguk. Meskipun tubuh mereka sudah hancur karena pertempuran yang hampir tak berujung, mereka masih memiliki satu hal yang tidak bisa dihancurkan—kesetiaan mereka satu sama lain.

Tanpa membuang waktu lagi, mereka bergerak menuju gerbang, meninggalkan puing-puing medan perang yang baru saja mereka menangkan. Langkah mereka berat, tetapi hati mereka dipenuhi tekad yang tidak akan tergoyahkan.

Saat mereka semakin mendekati garis depan, suara benturan dan raungan para giant mutasi semakin terdengar jelas. Bayangan mereka yang masif mulai terlihat di antara kepulan asap dan nyala api yang masih menyala di sekitar The Wall.

Alcard menghela napas dalam, lalu tanpa menoleh ke belakang, ia mempercepat langkahnya. Ia tahu bahwa pertempuran sesungguhnya baru akan dimulai. Ia tahu bahwa malam ini, mereka tidak bisa berhenti. Dan yang terpenting, ia tahu bahwa selama masih ada napas dalam tubuhnya, ia tidak akan membiarkan The Wall jatuh.

****