Bab 44

Di bawah bayangan raksasa The Wall, benteng terakhir bagi mereka yang terbuang, pertempuran tengah berlangsung dalam kegentingan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Monster-mutasi, makhluk yang seharusnya tidak pernah ada di dunia ini, terus berdatangan dalam gelombang tanpa henti, seperti air bah yang tak dapat dibendung. Raungan mereka yang tidak manusiawi menggema di udara, bercampur dengan dentingan senjata, jeritan kematian, dan suara perintah yang diteriakkan dengan panik. Cahaya redup dari obor dan panah api menari-nari di antara bayangan malam, memperlihatkan kengerian yang sedang terjadi.

Di atas tembok raksasa The Wall yang telah berdiri selama berabad-abad, para outcast bertahan mati-matian, menggenggam senjata mereka dengan tangan yang telah dipenuhi luka dan darah, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang berniat mundur. Mereka tahu bahwa mundur bukanlah pilihan, bahwa di belakang mereka hanya ada kehampaan, dan jika The Wall jatuh, maka tidak akan ada tempat lain bagi mereka untuk berdiri.

Di garis depan, monster-monster yang bermutasi secara mengerikan mulai merobohkan pertahanan pertama. Bentuk mereka sama sekali tidak menyerupai makhluk yang seharusnya ada di dunia ini—beberapa memiliki tubuh seperti manusia tetapi dengan lengan yang lebih panjang dan mencakar, yang lain memiliki kepala ganda dengan rahang yang dapat membelah seperti ular, meneteskan cairan hijau beracun yang mampu melelehkan baja. Mata mereka menyala merah, penuh kebencian yang tidak dapat dijelaskan, seolah-olah satu-satunya tujuan keberadaan mereka adalah untuk menghancurkan semua yang ada di hadapan mereka.

"Tahan posisi! Jangan biarkan mereka menembus barisan kita!" teriak salah satu komandan di antara kerumunan pejuang yang semakin berkurang. Suaranya parau, bercampur dengan kelelahan dan keputusasaan, tetapi tetap penuh dengan ketegasan. Kata-kata itu cukup untuk membuat mereka yang masih hidup terus bertahan, meskipun setiap detik yang berlalu terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati.

Di atas tembok The Wall yang menjulang tinggi, Oldman berdiri, tubuhnya tetap tegak meskipun usia telah lama berusaha membebani punggungnya. Matanya yang tajam menyapu medan pertempuran di bawahnya, mengamati setiap pergerakan dengan ketelitian seorang veteran yang telah menyaksikan terlalu banyak perang. Dalam diam, ia menahan kekhawatiran yang semakin merayapi dadanya. Ini bukan sekadar serangan biasa. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kehancuran yang diinginkan makhluk-makhluk ini.

"Bidik sendi dan kepala mereka! Jangan buang panah kalian sembarangan!" perintahnya terdengar lantang, membawa wibawa yang tidak bisa diabaikan. Para pemanah yang berada di atas tembok The Wall segera menyesuaikan bidikan mereka, menarik busur dengan kekuatan penuh, lalu melepaskan anak panah yang melesat cepat ke udara, menghujani musuh-musuh mereka dengan ketepatan yang mematikan. Namun, meskipun banyak yang roboh, beberapa monster masih terus merangkak maju, tubuh mereka yang terpotong tetap berusaha menyerang dengan kegilaan yang tidak alami.

Salah satu dari makhluk yang paling mengerikan di antara mereka adalah seekor monster dengan tiga kepala menyerupai ular, tubuhnya ditutupi sisik keras yang tampak seperti baja. Setiap kepala mampu menyemburkan racun yang cukup kuat untuk melumat apa pun yang disentuhnya, sementara ekornya yang panjang dan kuat menghantam tanah dengan keras, menciptakan getaran yang cukup untuk merobohkan beberapa barisan outcast yang masih bertahan.

Oldman menggenggam tongkat kayunya lebih erat, wajahnya tetap tenang meskipun di dalam dadanya, kecemasan mulai menjalar. "Jika saja Alcard ada di sini…" gumamnya lirih, suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Harapannya untuk melihat sosok pemimpin itu kembali semakin besar, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadirannya.

Namun, tidak ada waktu untuk memikirkan itu lebih lama. Dengan cepat, ia kembali mengarahkan strategi. "Para pemula, mundur ke barisan belakang! Para senior, siapkan tombak dan perisai! Pemanah, siapkan panah api! Monster besar itu harus kita lumpuhkan sekarang juga!"

Gerakan serempak terjadi seketika, seperti mekanisme yang telah terlatih selama bertahun-tahun. Mereka yang kelelahan segera mundur, digantikan oleh pasukan baru yang masih memiliki tenaga untuk bertempur. Para pemanah menarik napas dalam, menyalakan ujung panah mereka dengan api, lalu bersiap untuk menembakkan hujan api ke arah monster yang mengamuk.

Saat panah api dilepaskan, kobaran merah-oranye langsung menyala di udara, menciptakan jalur cahaya yang menghantam tubuh makhluk itu dengan telak. Api menjilat kulit bersisiknya, menciptakan bau busuk dari daging yang terbakar, tetapi bukannya melemah, monster itu justru semakin mengamuk. Raungannya menggema, menusuk gendang telinga, dan dalam kemarahan yang tak terkendali, ia mulai menyerang dengan lebih brutal, melibas apa pun yang ada di jalurnya.

"Tetap di tempat kalian! Jangan mundur satu langkah pun!" Oldman kembali berteriak, matanya penuh dengan api perlawanan. Para outcast yang tersisa menggenggam senjata mereka lebih erat, meskipun tubuh mereka sudah mulai kehilangan tenaga. Mereka tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Mereka harus bertahan, atau mereka akan mati.

Di dalam hatinya, Oldman terus berharap. "Alcard… jika kau bisa mendengar kami, segeralah kembali. Kami sangat membutuhkanmu. Aku yakin kau tidak mati begitu saja oleh kelicikan Cevral." Ia tidak mengatakannya dengan lantang, tetapi harapan itu terasa berat di dalam dadanya, menyatu dengan keheningan yang hampir mustahil ada di tengah peperangan ini.

Ketidakhadiran Alcard di medan pertempuran terasa seperti kehilangan pijakan di tanah yang goyah. Bukan hanya karena kemampuannya dalam bertarung, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam dari itu. Alcard memiliki sesuatu yang tidak banyak dimiliki oleh para outcast lain—kemampuan untuk memimpin di medan perang dan menyalakan api semangat di hati orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia adalah sosok yang, tanpa perlu banyak bicara, bisa membuat mereka semua percaya bahwa mereka masih memiliki harapan untuk menang.

Dan sekarang, dengan musuh yang semakin kuat dan pertahanan yang semakin melemah, mereka semua hanya bisa bertanya-tanya—apakah harapan itu masih ada?

Di kejauhan, suara raungan monster semakin keras, dan pertempuran masih jauh dari kata berakhir.

****

 

Malam itu, setelah pertempuran yang nyaris menghabisi pertahanan mereka, Oldman tidak menyisakan satu detik pun untuk beristirahat. Meski tubuhnya telah menanggung beban usia dan kelelahan yang luar biasa, suaranya tetap tegas saat ia mengeluarkan perintah yang menggema di antara para outcast yang masih bertahan. "Segera bakar bangkai-bangkai makhluk ini! Jangan biarkan jejak mereka tertinggal lebih lama dari yang seharusnya! Kita tidak tahu makhluk macam apa yang bisa mencium baunya dan datang ke sini!" Seruannya bagaikan cambuk yang membuat para outcast segera bergerak, meski tubuh mereka telah letih dan luka mereka masih mengucurkan darah.

Dengan langkah berat dan wajah yang penuh kepedihan, para pejuang yang masih hidup menyeret mayat-mayat monster yang berserakan di depan The Wall. Makhluk-makhluk itu, yang tubuhnya telah dimutilasi dan tercabik dalam pertempuran sengit sebelumnya, kini membentuk tumpukan besar di medan yang basah oleh darah. Para outcast bekerja dalam diam, masing-masing menanggung kesedihan yang tidak terucapkan, kesadaran bahwa malam ini mereka telah kehilangan lebih dari sekadar tenaga dan senjata—mereka telah kehilangan saudara, rekan seperjuangan, dan bagian dari diri mereka sendiri.

Tak lama, kobaran api mulai menyala, menjilat tumpukan bangkai yang mulai menghitam dan menyebarkan asap tebal ke langit malam. Nyala api yang membara menjadi simbol dari pertahanan yang masih berdiri, meskipun dengan susah payah. Bau daging terbakar bercampur dengan aroma besi dari darah yang telah lama mengering di tanah, menciptakan atmosfer yang mencekam. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang berpaling. Mereka menyaksikan api itu dengan ekspresi kosong, seolah nyala tersebut juga membakar bagian dari jiwa mereka yang telah hilang dalam pertempuran.

Di sisi lain dari benteng yang masih berlumuran darah, sekelompok outcast yang lebih senior berkumpul di sekitar Oldman, wajah mereka menyiratkan kelelahan yang tak hanya berasal dari fisik, tetapi juga dari beban yang semakin hari semakin berat. Salah satu dari mereka, seorang veteran dengan bekas luka panjang di wajahnya, berbicara dengan suara rendah dan berat. "Kita kehilangan terlalu banyak orang malam ini, Oldman," katanya, matanya menatap lurus ke arah kobaran api. "Serangan ini tidak seperti yang pernah kita alami sebelumnya. Mereka datang lebih cepat, lebih kuat… para pemula bahkan tidak punya kesempatan untuk bertahan."

Kata-kata itu menggantung di udara, seolah menegaskan sesuatu yang tidak ingin diucapkan oleh siapa pun. Oldman tetap diam untuk beberapa saat, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak dari yang bisa ia katakan. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan itu benar. Para outcast sudah terbiasa menghadapi bahaya, tetapi apa yang terjadi malam ini lebih dari sekadar serangan biasa. Ini adalah serangan yang dirancang untuk menghancurkan mereka, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental.

Saat percakapan mereka masih berlangsung, seorang penjaga tiba-tiba berlari ke arah mereka, napasnya tersengal-sengal, wajahnya penuh dengan ketegangan yang langsung membuat semua orang siaga. "Oldman," katanya dengan suara tergesa, "kami sudah menghubungi semua pos terdekat di sepanjang The Wall… dan tidak ada serangan lain di sektor mana pun. Hanya markas pusat yang diserang."

Seolah-olah dunia di sekitar mereka membeku seketika. Semua orang yang mendengar laporan itu saling bertukar pandang, mencoba memahami arti sebenarnya dari informasi yang baru saja diberikan. Oldman menyipitkan mata, pikirannya berputar cepat, menyusun potongan-potongan puzzle yang selama ini terasa mengambang tanpa keterkaitan. Tetapi kini, kepingan itu mulai jatuh ke tempatnya, dan kesimpulan yang muncul di benaknya bukanlah sesuatu yang memberinya ketenangan.

Tangannya yang telah berkeriput mencengkeram tongkat kayunya dengan lebih erat. Suaranya hampir seperti gumaman, tetapi cukup jelas bagi mereka yang berada di sekitarnya. "Fragment ungu…" Bisikan itu membawa suasana yang lebih kelam ke dalam kelompoknya. Ia sudah lama mencurigainya, tetapi kini, dengan fakta yang ada, semuanya menjadi lebih nyata. Keberadaan fragment di markas pusat adalah rahasia besar, sesuatu yang hanya diketahui olehnya dan Alcard. Jika serangan ini bukan kebetulan, itu berarti ada seseorang—atau sesuatu—yang mengetahui lebih banyak daripada yang seharusnya.

Oldman mengangkat kepalanya, menatap api yang masih berkobar dengan ekspresi yang sulit diartikan. Di balik ketenangannya, ada badai yang mulai berkecamuk dalam dirinya. Ini bukan hanya pertempuran biasa. Ini adalah peringatan, sebuah pesan yang dikirimkan oleh musuh yang jauh lebih cerdas daripada sekadar gerombolan monster yang menyerang tanpa strategi.

Akhirnya, setelah beberapa saat keheningan yang terasa lebih berat dari sebelumnya, ia membuat keputusan. Suaranya kembali bergema dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Panggil semua regu yang masih ada di luar. Kita harus berkumpul kembali di markas pusat. Mulai sekarang, kita bertahan di sini, berapa pun harga yang harus kita bayar."

Para outcast yang berada di sekelilingnya saling bertukar pandang, beberapa dari mereka tampak ragu. Keputusan ini adalah langkah berani—atau mungkin nekat—tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki keberanian untuk menentang kata-kata Oldman. Akhirnya, mereka mengangguk satu per satu dan segera bergerak untuk menyebarkan perintah itu ke seluruh pos yang masih bisa dihubungi.

Sementara itu, Oldman tetap berdiri di tempatnya, matanya masih tertuju pada kobaran api yang perlahan mulai meredup. Ada banyak hal yang harus dipikirkan, strategi yang harus disusun, dan pertahanan yang harus diperkuat. Tetapi yang paling penting dari semuanya—ia harus memastikan bahwa fragment ungu tidak jatuh ke tangan siapa pun. Bahkan jika itu berarti harus mengorbankan segalanya.

Malam itu, di tengah kehancuran dan asap yang masih mengepul, ia berdiri tegak, menjadi satu-satunya dinding yang masih tak tergoyahkan, sementara dunia di sekelilingnya perlahan berubah menjadi tempat yang semakin berbahaya.

****

 

Dalam tujuh hari terakhir, The Wall berubah dari benteng sunyi yang berdiri megah di tepi peradaban menjadi pusat aktivitas yang tak pernah berhenti. Sejak perintah Oldman menyebar ke seluruh pos yang tersebar di sepanjang tembok raksasa ini, setiap sudutnya dipenuhi dengan suara langkah kaki yang terburu-buru, derap kuda yang berlari membawa pesan penting, dan suara teriakan perintah yang menggema di udara malam. Tidak ada lagi kedamaian yang biasanya menyelimuti benteng ini—hanya ada urgensi, rasa waspada, dan ketegangan yang menggantung di udara, seolah seluruh tembok ini tahu bahwa badai yang lebih besar sedang mendekat.

Para outcast dari berbagai penjuru datang dalam kelompok-kelompok kecil, membawa apa pun yang bisa mereka selamatkan sebelum meninggalkan pos mereka. Mereka tidak hanya membawa perbekalan, tetapi juga membawa harapan bahwa mereka masih bisa bertahan dalam kekacauan ini. Namun, di dalam markas pusat, kenyataan yang lebih mengerikan mulai terkuak. Mereka yang telah bertarung selama berhari-hari tanpa istirahat mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang tak tertahankan. Wajah mereka pucat, tubuh mereka penuh luka, dan beberapa bahkan sudah berada di ambang batas kemanusiaan mereka.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah efek dari Bloody Potion yang mulai menghancurkan mereka dari dalam. Ramuan itu, yang selama ini menjadi satu-satunya alasan mereka bisa terus berdiri, kini berubah menjadi racun yang menggerogoti tubuh mereka. Mata mereka bersinar merah dengan cahaya tak wajar, tangan mereka bergetar hebat, dan beberapa mulai muntah darah karena overdosis. Mereka yang tidak lagi mampu menahan efeknya segera ditarik mundur ke tenda medis, meninggalkan celah besar dalam garis pertahanan mereka.

Di tengah hiruk-pikuk itu, suara seorang komandan senior bergema di antara dentingan senjata dan raungan makhluk-makhluk yang masih berkeliaran di kejauhan. "Jangan biarkan mereka mendekati gerbang! Bertahanlah apa pun yang terjadi!" suaranya serak, mencerminkan kelelahan yang telah menumpuk selama berhari-hari tanpa henti. Meski demikian, tidak ada satu pun outcast yang bergerak mundur. Mereka tetap berdiri, meskipun kaki mereka hampir tak lagi mampu menopang tubuh yang semakin melemah.

Di atas menara pengawas, Oldman berdiri dengan punggung tegak, matanya yang tajam menyapu medan perang yang terbentang luas di bawahnya. Tidak ada gerakan yang terlewat dari pengamatannya. Dengan pengalaman seorang veteran yang telah bertempur lebih lama daripada siapa pun di tempat ini, ia membaca pola pertempuran, mencari celah dalam pertahanan mereka, dan mengamati bagaimana musuh mereka bergerak. Ketidakhadiran Alcard terasa di setiap aspek pertahanan mereka. Dia bukan hanya seorang petarung ulung, tetapi juga sosok yang mampu membakar semangat para outcast, memberikan mereka keberanian untuk berdiri tegak meskipun harapan telah pupus. Tanpa dia, benteng ini terasa lebih sunyi, lebih dingin, dan lebih rapuh.

Oldman menghela napas panjang, mengatupkan rahangnya dengan keras sebelum akhirnya mengambil keputusan yang selama ini ia hindari. Dengan suara berat yang menggema di seluruh benteng, ia memberikan perintah yang akan menentukan masa depan mereka. "Kirimkan pesan ke seluruh penjuru The Wall!" suaranya bergemuruh seperti guntur yang menggelegar di langit malam. "Batalkan semua misi, kosongkan setiap pos terluar! Kumpulkan semua orang yang bisa bertarung, ambil semua senjata dan persediaan yang tersisa. Mulai saat ini, kita bertahan di sini, atau mati bersama benteng ini!"

Perintah itu menyebar dengan cepat. Para komandan menerima arahan mereka, meskipun ketidakpastian terlihat jelas di wajah mereka. Beberapa dari mereka bergerak mendekati Oldman, ekspresi mereka penuh keraguan dan kegelisahan. Salah satu dari mereka, seorang outcast senior yang telah melalui banyak pertempuran, berbicara dengan nada penuh kehati-hatian. "Jika kita menarik semua pasukan dari markas timur dan barat, kita akan kehilangan kendali atas seluruh The Wall," ujarnya, suaranya mengandung nada kekhawatiran yang dalam.

Oldman menatap mereka dengan dingin, seolah menimbang berat kata-kata yang baru saja diucapkan. "Apa gunanya mempertahankan The Wall jika kita tidak memiliki kekuatan untuk bertahan di sini?" tanyanya dengan nada yang tak bisa dibantah. "Ini bukan lagi tentang wilayah atau strategi perang biasa. Ini adalah soal kelangsungan hidup. Jika kita jatuh di sini, maka tidak ada lagi yang tersisa untuk dipertahankan."

Tidak ada yang berani membantah kata-katanya. Mereka tahu bahwa pilihan ini adalah pilihan terakhir mereka, dan meskipun banyak dari mereka yang ragu, mereka tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintah tersebut. Dengan cepat, pasukan di berbagai pos mulai bergerak. Mereka meninggalkan tempat yang telah lama mereka jaga, membawa serta senjata, bahan makanan, dan semua yang bisa mereka bawa dalam perjalanan menuju markas pusat. Wajah mereka penuh kelelahan, tetapi di mata mereka, masih ada sisa tekad yang belum padam.

Di dalam benteng utama, api terus berkobar tinggi, membakar bangkai monster yang bertumpuk di depan gerbang. Asap hitam mengepul ke langit malam, menjadi pengumuman kepada siapa pun yang melihatnya bahwa para outcast masih berdiri teguh. Namun, di balik nyala api itu, ada kelelahan yang perlahan menggerogoti mereka, ada rasa kehilangan yang semakin sulit untuk diabaikan.

Ketika malam semakin larut, serangan akhirnya mereda. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, mereka mendapatkan sedikit ketenangan. Beberapa outcast berkumpul di sisi utara benteng, di mana mereka dengan hati-hati menguburkan rekan-rekan mereka yang telah gugur. Tidak ada upacara besar atau tangisan yang terdengar—hanya keheningan yang dipenuhi dengan duka yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tangan-tangan yang lelah menanam potongan senjata atau tanda sederhana di atas setiap kuburan, satu-satunya cara mereka memberikan penghormatan kepada mereka yang telah pergi.

Di tengah kesunyian itu, suara lirih mulai terdengar. Seseorang mulai membisikkan semboyan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, dan tanpa perlu dikomando, yang lain ikut mengucapkannya.

"Di dunia yang mengasingkan kami, kami berdiri di antara kegelapan.

Kami tidak memiliki tanah, tidak memiliki nama, hanya memiliki jalan ini.

Kami adalah bayangan di balik tembok ini.

Kami adalah para penjaga yang dilupakan dunia.

Kami adalah Outcast, dan kami akan bertahan, atau mati di jalan kami."

Di menara pengawas, Oldman mendengarkan bisikan itu dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya menghela napas panjang. Dalam keheningan malam yang membeku, dia merasa beban di pundaknya semakin berat dari sebelumnya. Dia tahu, fragment ungu yang tersembunyi di dalam benteng ini adalah alasan di balik semua yang terjadi. Musuh mereka, entah siapa pun mereka, telah menemukan kebenaran yang seharusnya tetap tersembunyi.

Namun, ia tidak akan menyerah. Bahkan jika seluruh dunia melupakan mereka, bahkan jika tembok ini menjadi kuburan terakhir mereka, ia akan bertahan. Dengan tekad yang semakin membara, Oldman melangkah kembali ke dalam ruang taktis, bersiap merancang strategi baru untuk pertempuran yang pasti akan datang.

****

 

Lima hari telah berlalu sejak perintah terakhir Oldman menggema di seluruh The Wall, menyeru para outcast untuk kembali ke markas pusat. Sepanjang waktu itu, perjalanan panjang para pejuang yang tersebar di berbagai penjuru benua akhirnya membawa mereka kembali ke tempat di mana segalanya dimulai. Mereka datang dalam kelompok-kelompok kecil, dengan langkah yang penuh kelelahan dan tubuh yang telah ditempa oleh pertempuran tanpa henti. Namun, di balik raut wajah yang lelah, ada keteguhan yang tak tergoyahkan—sebuah kesadaran bahwa pertempuran yang akan mereka hadapi bukanlah sekadar ujian biasa.

Ketika malam perlahan menelan langit, benteng yang dulunya sunyi kini menjadi sarang persiapan perang yang tak terhindarkan. Api unggun menyala di berbagai sudut, menerangi wajah-wajah para pejuang yang berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil, mengasah senjata, memperbaiki perisai, dan menyiapkan diri untuk sesuatu yang mereka semua tahu akan datang. Tidak ada tawa, tidak ada percakapan ringan—hanya kesunyian yang diisi dengan suara baja yang bertemu batu, rantai yang bergemerincing, dan napas berat yang terhembus dalam udara malam yang dingin.

Lonceng peringatan tiba-tiba menggema, memecah kesunyian dengan suara nyaring yang menusuk hingga ke sanubari. Para penjaga di atas menara meneriakkan peringatan, suara mereka dipenuhi ketegangan yang tak dapat disembunyikan. "Sepuluh giant mutasi mendekat!" salah satu dari mereka berteriak, suaranya hampir putus karena kecepatan napasnya. "Ogre mutasi puluhan jumlahnya! Mereka bukan seperti monster yang pernah kita hadapi sebelumnya!"

Kabar itu menyebar secepat api yang melahap kayu kering. Mereka yang tengah beristirahat setelah perjalanan panjang tersentak dari tidur mereka, langsung meraih senjata yang tergeletak di sisi mereka. Wajah-wajah penuh lelah kini berubah menjadi tegang, tubuh-tubuh yang hampir tak mampu bergerak kini dipaksa untuk berdiri. Ketakutan, meskipun mencoba menyelinap ke dalam hati mereka, segera ditekan oleh kesadaran bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain selain bertarung.

Di dalam ruang taktis markas pusat, Oldman berdiri membatu di hadapan meja besar yang dipenuhi dengan peta-peta tua dan laporan-laporan terbaru yang hanya membawa kabar buruk. Jemari tuanya mencengkeram tepi meja dengan erat, sementara tatapannya menelusuri lingkaran merah yang menandai lokasi ancaman yang kini semakin dekat. Napasnya terdengar berat saat ia akhirnya bergumam, suaranya nyaris tenggelam dalam suara hiruk-pikuk di luar ruangan. "Lebih cepat dari yang kuduga..." katanya pelan, tetapi penuh arti. "Kekuatan sesungguhnya dari Gunung Orcal... akhirnya mereka datang."

Namun, tidak ada waktu untuk merenung. Dengan langkah tegas, ia keluar dari ruang taktis dan menaiki tangga batu menuju balkon yang menghadap langsung ke lapangan utama benteng. Ribuan pasang mata langsung tertuju padanya saat ia berdiri di sana, menatap mereka yang telah mengorbankan begitu banyak hanya untuk tiba di titik ini. Wajah-wajah itu adalah wajah orang-orang yang telah kehilangan rumah, keluarga, dan bahkan identitas mereka. Kini, satu-satunya yang mereka miliki adalah benteng ini dan satu sama lain.

Oldman menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, suaranya menggema di seluruh benteng dengan ketegasan seorang pemimpin yang telah melihat lebih banyak kematian daripada yang ingin ia ingat. "Dengarkan aku, para penjaga terakhir!" serunya, memastikan bahwa setiap orang mendengar kata-katanya. "Kita mungkin belum pernah menghadapi monster sebesar ini! Kita mungkin belum siap menghadapi giant mutasi yang kekuatannya melampaui akal sehat! Tapi kita tidak punya pilihan! Kita adalah yang berdiri di ambang kehancuran dunia, dan malam ini, kita akan membuktikan bahwa kita tidak akan jatuh dengan mudah!"

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka, sebelum ia melanjutkan dengan suara yang semakin menggelegar. "Tidak ada mundur! Tidak ada penyesalan! Persiapkan diri kalian untuk mati dengan kehormatan!"

Seketika, suasana yang semula dipenuhi ketakutan berubah menjadi kobaran semangat yang membakar udara malam. Para outcast yang sebelumnya gemetar kini berdiri tegak, mengangkat senjata mereka ke udara. Dentingan logam bertemu logam, suara teriakan semangat mulai menggema di seluruh penjuru benteng. Mereka tahu bahwa pertempuran ini mungkin adalah akhir dari mereka, tetapi jika ini adalah akhir, maka mereka akan memastikan bahwa mereka berakhir sebagai pejuang, bukan sebagai korban.

Oldman menatap mereka semua dengan kebanggaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Namun, di balik keteguhan wajahnya, ada kesedihan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah hidup cukup lama untuk memahami harga dari setiap peperangan. Ia tahu bahwa banyak dari mereka yang berdiri di hadapannya mungkin tidak akan bertahan hingga fajar. Namun, tidak ada ruang untuk kelemahan malam ini.

"Lantunkan semboyan terakhir kita!" perintahnya, suaranya penuh dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Para outcast, dengan napas berat dan luka yang masih menganga, mengangkat suara mereka dalam kesatuan yang tidak bisa dihancurkan oleh rasa takut. Kata-kata yang telah mereka ucapkan dalam setiap pertempuran, di setiap perpisahan, dan di setiap kematian kini kembali mengisi udara.

"Di dunia yang mengasingkan kami, kami berdiri di antara kegelapan.

Kami tidak memiliki tanah, tidak memiliki nama, hanya memiliki jalan ini.

Kami adalah bayangan di balik tembok ini.

Kami adalah para penjaga yang dilupakan dunia.

Kami adalah Outcast, dan kami akan bertahan, atau mati di jalan kami."

Suaranya menggema dalam keheningan malam yang semakin mencekam, bergema di dinding-dinding batu The Wall yang telah menyaksikan terlalu banyak darah yang tertumpah. Oldman berdiri di atas balkon, menatap ke arah prajurit-prajuritnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, tetapi tubuhnya tetap tegak, sekuat pohon tua yang menantang badai.

Dalam hatinya, ia berbisik pelan, kata-kata yang hanya ia sendiri yang bisa mendengar. "Kita mungkin tidak akan bertahan... tapi kita tidak akan jatuh tanpa perlawanan."

Dan kemudian, suara gemuruh mulai terdengar. Suara langkah raksasa yang menghantam tanah dengan kekuatan yang mampu mengguncang bumi. Suara geraman makhluk-makhluk yang tak seharusnya ada di dunia ini. Bayangan raksasa mulai terlihat di balik kabut malam, sosok-sosok mereka terlalu besar, terlalu mengerikan untuk dicerna oleh pikiran manusia biasa.

Para outcast yang telah berjanji untuk bertahan atau mati kini berdiri di ambang ujian terbesar dalam sejarah mereka. Mata mereka menatap lurus ke depan, menunggu musuh yang kini semakin mendekat. Tidak ada yang bergerak mundur, tidak ada yang berlari.

Di kejauhan, di luar cakrawala yang gelap, Alcard masih berada dalam perjalanan, belum menyadari bahwa rumah yang telah ia perjuangkan tengah berada di ambang kehancuran.

****