Bab 43

Suasana di dalam ruangan semakin dipenuhi ketegangan, seolah udara di sekitarnya menjadi lebih berat dengan setiap kata yang diucapkan. Alcard, yang sejak awal berusaha mempertahankan ketenangannya, kini merasakan tekanan yang semakin besar. Dengan napas yang sedikit tertahan, ia menyadari bahwa topik yang akan ia ungkapkan berikutnya jauh lebih berbahaya dibandingkan sebelumnya.

Ia menatap sekeliling, melihat bagaimana setiap Pilar menunjukkan ekspresi yang berbeda. Arathion, yang sejak awal tampak enggan untuk mendengar lebih banyak, kini duduk lebih tegak, menunjukkan minat yang lebih besar dari sebelumnya. Aeryn tetap menatapnya dengan penuh perhatian, ekspresi wajahnya menggambarkan seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang kompleks. Sementara itu, Lythara hanya mengangguk kecil, menandakan bahwa ia siap untuk mendengarkan apa pun yang akan diungkapkan oleh Alcard.

Alcard menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Ada satu hal lagi yang perlu kalian ketahui," katanya dengan suara yang tetap tenang, meskipun ia tahu bahwa apa yang akan ia sampaikan akan mengguncang mereka lebih dalam. Matanya menyapu ruangan, menelusuri wajah-wajah mereka, memastikan bahwa mereka benar-benar menyimak.

"Fragment ungu..." Ia berhenti sejenak, memberikan jeda untuk membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan. "Aku menemukan asal-muasalnya di salah satu benteng milik kerajaan Jovalian, dekat perbatasan barat antara Middle Earth. Namun, saat aku menemukannya, fragment itu sudah berpindah tangan lebih dari sekali. Pemilik terakhir yang berhasil menguasainya adalah seorang lord Middle Earth bernama Avros."

Saat nama itu diucapkan, atmosfer ruangan berubah. Tatapan Arathion semakin tajam, seolah-olah ia baru saja mendengar sesuatu yang sangat tidak ia inginkan. Lythara mengangkat alisnya sedikit, tetapi tetap diam, sementara Aeryn hanya mengamati dengan ekspresi penuh perhatian.

"Aku memiliki alasan kuat untuk percaya bahwa Avros memiliki hubungan erat dengan The Veil," lanjut Alcard, suaranya kini lebih rendah, tetapi jelas membawa beban yang berat. "Gerak-geriknya, orang-orang di sekitarnya, dan cara mereka melindungi fragment itu… semuanya menunjukkan pola yang terlalu mencurigakan untuk diabaikan. Aku tidak bisa melihatnya sebagai kebetulan."

Keheningan menyelimuti ruangan, membuat atmosfer semakin tegang. Arathion menatap Alcard dengan sorot mata yang penuh kecurigaan dan ketegangan. Rahangnya mengeras, dan dengan nada yang hampir menyerupai desisan marah, ia bertanya, "Kau yakin dengan tuduhan itu?"

Alcard mengangguk tanpa ragu. "Ya," jawabnya dengan mantap. "Aku tidak bisa mengabaikan semua tanda yang mengarah pada keterlibatan The Veil. Dan aku lebih dari sekadar menduga—aku cukup yakin bahwa Avros bukan hanya sekadar pion, tetapi bagian dari Council of Shadow, inti utama dari organisasi mereka."

Lythara, yang sejak tadi tetap diam, akhirnya berbicara dengan nada yang datar namun tajam, "Dan apa yang kau lakukan setelah menyadari hal itu?"

Alcard menghela napas sebelum menjawab. "Aku mengambil keputusan yang penuh risiko tinggi… Aku mencuri fragment itu dari benteng mereka."

Ketiga Pilar yang duduk di ruangan itu saling berpandangan. Ekspresi mereka mencerminkan berbagai emosi—kejutan, skeptisisme, dan ketegangan yang meningkat. Arathion yang biasanya mampu menyembunyikan emosinya dengan baik kini menunjukkan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan.

Lythara, yang sejak tadi lebih banyak mendengarkan, akhirnya bertanya dengan nada datar, tetapi kali ini dengan ketertarikan yang lebih jelas. "Dan kau berhasil?"

Alcard mengangguk lagi. "Aku berhasil, tetapi tindakanku menyebabkan kekacauan yang lebih besar dari yang kuperkirakan. Para lord di Middle Earth mulai berspekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi, mereka saling mencurigai, meningkatkan pengamanan, dan memperketat wilayah mereka. Namun yang lebih mengkhawatirkan... The Veil kini kehilangan jejak dua fragment yang mereka buru. Aku yakin mereka sedang merencanakan sesuatu untuk membalas keadaan ini."

Aeryn tersenyum tipis, meskipun sorot matanya masih memancarkan kekhawatiran yang jelas. "Itu tindakan yang sangat berani, Alcard," katanya dengan suara lembut, tetapi tetap penuh penghormatan. "Kau memahami betapa berbahayanya jika fragment itu jatuh ke tangan yang salah, dan kau memilih untuk mengambil risiko itu demi mencegah sesuatu yang lebih buruk terjadi."

Alcard menghela napas panjang, merasakan beratnya setiap langkah yang telah ia ambil hingga saat ini. Ia mengusap dahinya yang terasa sedikit berkeringat sebelum melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih rendah, namun tetap jelas. "Tapi membawa fragment ungu bukan tanpa konsekuensi."

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara sebelum melanjutkan, "Seperti yang aku jelaskan tadi, setiap malam aku dihantui oleh mimpi buruk yang terasa lebih nyata dari apa pun yang pernah kualami. Bukan sekadar mimpi biasa, tetapi siksaan yang perlahan-lahan menggerogoti pikiranku. Ada saat-saat di mana aku hampir menyerah... hampir mengakhiri semuanya, hanya untuk menghentikan penderitaan itu. Dan aku sadari, jika itu adalah efek samping dari fragment ungu."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Aeryn tampak khawatir, sementara Lythara mulai terlihat lebih merenung. Arathion, yang sebelumnya penuh amarah, kini menatap Alcard dengan ekspresi yang lebih sulit ditebak.

Lythara akhirnya membuka suara, nada suaranya lebih tenang tetapi tetap tajam. "Sekarang, katakan padaku… di mana fragment itu berada sekarang?"

Alcard menegakkan tubuhnya dan menatap langsung ke arah Lythara. "Aku menyembunyikannya di markas pusat The Wall," ucapnya tanpa ragu.

Dalam sekejap, Arathion langsung berdiri, gerakannya begitu cepat dan kasar hingga kursinya hampir terjatuh. Ekspresi wajahnya dipenuhi kemarahan yang tak tertahan. "Kau bodoh, Alcard!" serunya dengan suara yang penuh kemarahan. "Kau membawa sesuatu yang begitu berbahaya ke tempat yang paling tidak stabil di dunia? The Wall adalah benteng terakhir bagi para outcast, tempat yang penuh dengan kehancuran dan keputusasaan! Dan kau menaruh fragment di sana seolah-olah itu adalah tempat teraman yang bisa kau temukan?"

Alcard tetap tenang, meskipun di dalam hatinya ia memahami alasan kemarahan Arathion. "Aku tidak punya pilihan lain," katanya dengan suara yang tetap tegas. "Jika aku membiarkannya tetap berada di Middle Earth, mereka akan menemukannya dalam waktu singkat. The Wall adalah tempat yang cukup terisolasi, dan tidak ada yang mengira aku akan membawa fragment ke sana."

Arathion masih tampak tidak terima, tetapi sebelum ia bisa melanjutkan kemarahannya, Aeryn berbicara dengan nada menenangkan. "Sérel, Arathion," katanya sambil menatap Alcard dengan penuh empati. "I naeth sina naa man lye polë tyarë sina, úan man tulë i nurtalë."

(Tenanglah, Arathion. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita mengatasi situasi ini, bukan mencari siapa yang bersalah.)

Arathion mendengus kasar, tetapi akhirnya kembali duduk dengan tangan terlipat di dadanya, meskipun jelas bahwa ketidaksukaannya terhadap keputusan Alcard masih belum hilang. Lythara menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Alcard dengan pandangan yang lebih tajam, tetapi kali ini dengan pemahaman yang lebih dalam.

Alcard mengangguk dalam diam, menyadari betapa beratnya konsekuensi dari semua yang telah ia lakukan. Perjalanan ini masih jauh dari selesai, dan apa yang akan datang di hadapannya kemungkinan jauh lebih berbahaya dari apa yang telah ia hadapi.

****

 

Ruangan yang awalnya dipenuhi dengan ketegangan akibat perdebatan sengit kini berubah menjadi hening yang mencekam, seakan udara di sekeliling mereka membeku. Alcard masih berdiri tegap di tengah ruangan, menatap para Pilar Elf dengan sorot mata yang tak lagi menyembunyikan ketidakpuasan dan amarah yang bergolak di dalam dirinya. Ia telah berusaha mengajukan permohonan dengan cara yang paling diplomatis, namun jawaban yang ia terima tidak hanya mengecewakan, tetapi juga menunjukkan betapa kerasnya tembok yang harus ia hadapi.

Dalam benaknya, suara Arwen terus berulang, sebuah pesan yang semakin terasa mendesak, "Jika keadaan mendesak, mintalah bantuan teman lama." Kalimat itu seakan berulang-ulang di kepalanya, memaksanya untuk memikirkan segala kemungkinan. Baginya, tidak ada teman lama yang lebih bisa ia andalkan selain Kaelion. Di dunia yang penuh dengan pengkhianatan, Kaelion adalah satu-satunya yang selalu berdiri di sisinya. Dengan pikiran itu, Alcard menguatkan hatinya dan memutuskan untuk tetap berpegang pada keyakinannya.

"Tujuanku sebenarnya adalah aku ingin bantuan kalian."

Tatapan Alcard tertuju pada ketiga pilar yang terlihat masih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Namun, ia tak peduli, dan melanjutkan.

"Aku tidak hanya datang ke sini untuk meminta bantuan biasa," ujar Alcard, suaranya dalam dan penuh ketegasan. "Aku meminta kalian untuk turut serta dalam melindungi fragment ungu yang tersembunyi di The Wall. Jika fragment itu jatuh ke tangan yang salah, konsekuensi yang kita hadapi akan jauh lebih buruk daripada yang bisa kita bayangkan."

Kata-kata Alcard menggema di dalam ruangan, menciptakan jeda panjang di antara mereka. Tidak ada yang langsung menjawab, masing-masing Pilar tampak mencerna makna dari pernyataannya. Keheningan yang berat itu berlangsung beberapa detik sebelum akhirnya Lythara membuka suara. Suaranya tetap sedingin es, penuh otoritas yang tidak bisa diganggu gugat.

"Kami akan mengambil keputusan ini melalui pemungutan suara," katanya dengan nada yang tidak mengizinkan adanya bantahan. "Kami harus memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah demi kepentingan kaum Elf dan keseimbangan dunia."

Tanpa menunggu lebih lama, Aeryn segera mengangkat tangannya sebagai bentuk persetujuan. "Aku mendukung permintaan Alcard," ucapnya dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan. "Ancaman fragment ungu bukan sesuatu yang bisa kita abaikan begitu saja. Jika The Veil atau makhluk lain menemukannya, bukan hanya manusia yang akan menderita, tetapi seluruh dunia akan terkena dampaknya."

Namun, sebelum Alcard bisa merasa sedikit lega, Arathion langsung menunjukkan ketidaksetujuannya. Dengan ekspresi keras dan suara yang menggema di seluruh ruangan, ia menggelengkan kepalanya tegas. "Aku menolak," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Elf harus tetap berfokus pada perlindungan wilayah mereka sendiri. Edenvila sudah menunjukkan tanda-tanda permusuhan yang nyata terhadap kita, dan kita tidak bisa mengalihkan kekuatan kita untuk masalah yang bahkan tidak kita timbulkan sendiri."

Mata Alcard menyipit tajam, dan ia menoleh ke arah Lythara, Pilar yang belum memberikan suaranya. Di sinilah titik penentuan berada. Hanya butuh satu suara lagi untuk membalikkan keadaan.

Lythara akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap Alcard lurus-lurus. Tatapan yang ia berikan bukanlah tatapan yang penuh dengan kebencian, tetapi lebih ke arah seorang pemimpin yang harus memilih antara logika dan hati nurani. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengangguk pelan.

"Aku sependapat dengan Arathion," katanya, suaranya tenang tetapi tidak memberikan ruang untuk perdebatan lebih lanjut. "Elf tidak bisa terlibat dalam konflik manusia atau para outcast. Kami telah cukup menjaga keseimbangan di wilayah kami, dan fragment ungu adalah tanggung jawabmu, Alcard, bukan tanggung jawab kami."

Kata-kata itu menghantam Alcard seperti palu yang menghancurkan harapannya. Rahangnya mengeras, dan kedua tangannya mengepal erat di sisinya. Ia berusaha menahan emosi yang mendidih dalam dirinya, tetapi sulit untuk tidak merasakan kekecewaan yang luar biasa. Matanya bersinar dengan kemarahan yang sulit ia sembunyikan.

"Ini bukan hanya tentang kalian atau kami," suaranya kini sedikit meninggi, mencerminkan frustrasinya. "Kalian pikir bisa duduk diam dan membiarkan dunia runtuh di sekeliling kalian? Kalian berpikir bahwa dengan tetap berada di dalam batasan wilayah kalian, kalian bisa menghindari dampak dari semua ini? Pada akhirnya, kalian juga akan terkena imbasnya!"

Namun, keputusan telah dibuat. Arathion menatapnya dengan tatapan penuh ketegasan, sementara Lythara menutup matanya sejenak sebelum mengembalikan tatapannya pada Alcard, memberi isyarat bahwa diskusi ini sudah berakhir. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Tidak ada lagi yang bisa dinegosiasikan.

Alcard menelan amarahnya, tetapi ia tahu bahwa memaksa mereka tidak akan menghasilkan apa-apa. Ia mengatur napasnya, berusaha menenangkan dirinya sebelum berbicara lagi. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut untuk memberikan argumen terakhirnya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan keras, menciptakan suara yang menggema di seluruh aula pertemuan.

Kaelion muncul dari balik pintu, napasnya tersengal, dan wajahnya dipenuhi kecemasan yang jelas terpancar. Matanya langsung mencari Lythara, menunjukkan bahwa apa yang akan ia katakan tidak bisa menunggu.

Semua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahnya, bahkan Arathion yang biasanya tidak mudah terkejut tampak sedikit waspada melihat ekspresi serius yang tergambar di wajah Kaelion.

"Maafkan aku menyela," kata Kaelion, suaranya masih terdengar terengah-engah, tetapi ketegasannya tidak tergoyahkan. "Tapi aku membawa kabar penting yang tak bisa menunggu."

Ketegangan di ruangan meningkat, dan Alcard menahan napas, menunggu dengan penuh waspada untuk mendengar apa yang akan dikatakan Kaelion.

Kaelion menarik napas dalam sebelum akhirnya mengungkapkan berita yang ia bawa. Matanya menatap langsung ke arah Lythara, memastikan bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya dipahami dengan jelas.

"Life-Seer kita, Nona Elyndra, telah menerima penglihatan mendesak," katanya dengan suara yang sedikit bergetar, menunjukkan betapa seriusnya situasi ini. "Dia melihat The Wall... sedang diserang."

Ruangan itu seketika berubah menjadi sunyi. Kaelion menelan ludah sebelum melanjutkan.

"Monster-monster mutasi sedang menyerang The Wall," lanjutnya, suaranya lebih pelan tetapi penuh dengan tekanan. "Makhluk-makhluk itu... sepertinya tertarik pada energi fragment ungu yang kalian sembunyikan di sana."

Tidak ada satu pun yang berbicara. Udara terasa lebih berat dari sebelumnya. Lythara, Aeryn, dan Arathion saling bertukar pandang, ekspresi mereka yang sebelumnya penuh keyakinan kini dipenuhi dengan keterkejutan dan kekhawatiran yang tidak bisa mereka sembunyikan.

Alcard merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, pikirannya langsung tertuju kepada The Wall—kepada para outcast yang mungkin saat ini tengah berjuang mati-matian melawan serangan yang tidak mereka duga. Apa yang ia khawatirkan akhirnya terjadi, dan jika mereka tidak bertindak cepat, semuanya bisa berakhir dalam kehancuran.

Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat, tetapi suasana ruangan sudah cukup untuk mengatakan bahwa mereka semua kini menyadari satu hal—situasi ini jauh lebih serius daripada yang mereka perkirakan.

****

 

Alcard tidak mengendurkan laju kudanya, membiarkan hewan setianya berlari sekencang yang bisa ia tempuh melewati medan yang semakin sulit. Hutan-hutan lebat yang gelap seperti bayangan raksasa menjulang di sekelilingnya, dahan-dahan pohon bergerak pelan ditiup angin malam, menciptakan suara samar yang menyerupai bisikan. Di antara celah dedaunan yang bergoyang, cahaya bintang tampak berkelip, memberikan penerangan yang nyaris tak cukup untuk membedakan jalan berbatu dari tanah berlumpur.

Dataran luas yang terbentang di depannya seperti lautan tanpa ujung, seolah memaksanya untuk terus berlari tanpa tahu di mana garis akhirnya berada. Angin dingin berhembus tajam, menelusup hingga ke tulangnya, menggigit kulitnya dengan kejam. Namun, ia tidak menghiraukannya. Setiap tarikan napas yang ia ambil membawa rasa gelisah yang semakin menekan, menciptakan ketakutan yang selama ini jarang ia rasakan. Jarak antara dirinya dan The Wall semakin menyusut, tetapi bersamaan dengan itu, kecemasannya semakin menguat, membebaninya dengan rasa takut yang bahkan tak ingin ia akui.

Derap kuda yang tak kenal lelah membentuk ritme cepat, berpacu dengan detak jantungnya yang semakin meningkat. Irama langkah itu mengiringi pikirannya yang terus bergerak, memutar kembali kata-kata lama yang pernah diucapkan Arwen kepadanya.

"Kau telah berubah, Alcard. Kau bukan lagi monster pembunuh tanpa belas kasih."

Suara itu menggema di dalam benaknya, seakan berusaha menembus lapisan pertahanan yang selama ini ia bangun. Ia tidak pernah berpikir bahwa dirinya bisa berubah, bahwa ia bisa menjadi lebih dari sekadar seorang petarung yang hanya tahu bagaimana caranya bertahan hidup di dunia yang tidak pernah memberinya kesempatan kedua.

Bayangan masa lalu kembali menyeruak, membanjiri pikirannya dengan kenangan yang tak bisa ia hindari. Ia mengingat dirinya yang dulu—seorang prajurit yang hidup hanya untuk mengayunkan pedang, merobek musuh tanpa ampun, dan mengabaikan segala bentuk belas kasihan. Dulu, ia percaya bahwa dunia hanya memiliki dua sisi: mereka yang bertahan dan mereka yang mati. Ia telah kehilangan segalanya—keluarganya, tempatnya di kerajaan, bahkan harga dirinya—dan ia mengira bahwa itu semua adalah akhir dari segalanya. Namun, tanpa ia sadari, kehidupan di The Wall telah mengubahnya.

Pertemuannya dengan Anna, Arwen, Kaelion, dan Oldman membawa warna baru dalam hidupnya yang sebelumnya hanya dipenuhi dengan kegelapan. Mereka adalah alasan mengapa ia tetap bertahan, alasan mengapa ia mulai melihat dunia dari sudut yang berbeda. Celah kecil di dalam dirinya, yang dulu tertutup oleh kebencian dan kesepian, kini perlahan mulai terbuka, membiarkan secercah cahaya masuk. Namun, apakah cahaya itu cukup untuk mengubah dirinya? Apakah ia benar-benar bisa meninggalkan sosoknya yang lama?

Di dalam hatinya, muncul sesuatu yang selama ini ia coba kubur—keinginan untuk menemukan tujuan yang lebih besar dari sekadar bertahan hidup. Ia ingin sesuatu yang lebih dari pertempuran, lebih dari sekadar berjuang tanpa arah. "Aku ingin menata hatiku lagi… aku ingin menemukan sesuatu yang lebih," gumamnya dalam hati. Tetapi ia segera menepis pikiran itu. Tidak sekarang. Bukan saatnya ia memikirkan dirinya sendiri. Masih ada tanggung jawab yang lebih besar yang harus ia pikul, dan tidak ada tempat bagi kelemahan di dalamnya.

Dengan tekad yang semakin kuat, Alcard menggenggam kendali kudanya lebih erat, memfokuskan pandangannya ke depan. "Fokus," bisiknya pada dirinya sendiri, berusaha mengusir bayangan-bayangan yang terus menghantuinya. "Aku harus sampai di sana tepat waktu. The Wall membutuhkan aku." Kata-kata itu bukan sekadar kalimat penguat, melainkan perintah yang ia berikan pada dirinya sendiri, seperti perintah militer yang pernah begitu akrab di telinganya. Ia harus kembali ke dirinya yang dulu—seseorang yang tidak mengenal keraguan, seseorang yang hanya bergerak maju tanpa peduli pada luka yang ia bawa.

Kuda hitamnya meringkik, napasnya semakin berat, namun Alcard tidak memperlambat laju. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, bahwa setiap detik yang ia lewati adalah perbedaan antara hidup dan mati bagi mereka yang kini berjuang mempertahankan The Wall. Tanpa ampun, ia memacu kudanya lebih kencang, seolah berusaha melompati waktu agar bisa tiba lebih cepat.

Di kejauhan, di balik perbukitan yang membentuk garis hitam di bawah cahaya bulan yang redup, akhirnya ia bisa melihatnya—The Wall, berdiri kokoh seperti benteng terakhir yang melindungi dunia dari kegelapan. Dinding batu raksasa itu menjulang tinggi, menyembunyikan semua yang ada di dalamnya, tetapi bagi Alcard, ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Entah itu hanya firasat atau insting bertahan hidupnya yang telah diasah oleh perang, tetapi ada sesuatu di dalam sana… sesuatu yang menunggunya.

Untuk sesaat, harapan kecil muncul di dalam hatinya. Namun, bersamaan dengan itu, kecemasan yang membara semakin besar, seolah mengingatkannya bahwa malam ini belum selesai.

Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Alcard terus melaju, menuju benteng terakhir yang kini menjadi tempat bergantungnya nasib mereka semua.

****