Langkah mereka kembali menyusuri jalan setapak di hutan elf, diselimuti keheningan yang kini terasa lebih nyaman dibanding sebelumnya. Kaelion, yang telah kembali ke sifat hangatnya, mulai berbicara dengan nada ringan namun penuh makna. Ia memandangi hutan yang menjulang di sisi mereka, lalu berkata, "Kau tahu, Alcard, beberapa langkah lagi dari tempatmu memetik bunga tadi, ada wilayah yang mungkin tidak pernah kau duga sebagai salah satu tempat paling berbahaya di seluruh benua timur."
Alcard melirik Kaelion dengan alis yang sedikit terangkat. "Wilayah berbahaya? Di tengah hutan elf?" tanyanya dengan nada penasaran.
Kaelion mengangguk sambil menatap jauh ke arah pepohonan yang tampak lebih gelap dan rapat. "Ya, tempat itu adalah medan ujian terakhir bagi para prajurit elf seperti aku. Kami menyebutnya sebagai 'Lorendil', tempat pelatihan hidup dan mati. Hanya yang terkuat yang mampu keluar dari sana hidup-hidup," ucapnya, nada suaranya sedikit lebih serius.
Alcard menyipitkan mata, mencoba memahami maksud dari kata-kata Kaelion. "Pelatihan hidup dan mati? Apa yang sebenarnya terjadi di sana?"
Kaelion tersenyum tipis, seakan mengingat kenangan lama yang penuh tantangan. "Lorendil adalah rumah bagi makhluk-makhluk hutan yang tidak seperti yang pernah kau temui sebelumnya. Mereka adalah entitas yang telah hidup selama ribuan tahun, dipenuhi oleh energi hutan yang membuat mereka sangat berbahaya. Makhluk-makhluk ini tidak hanya besar dan kuat, tetapi mereka juga cerdas, mampu menggunakan akar, cabang, dan bahkan bayangan hutan untuk memburu siapa pun yang masuk ke wilayah mereka. Setiap langkah di Lorendil bisa berarti hidup atau mati."
Alcard menatap hutan itu dengan rasa hormat yang baru ditemukan. "Jika tempat itu sangat berbahaya, mengapa kalian tidak memusnahkan mereka? Bukankah itu lebih aman bagi kalian?"
Kaelion menoleh dengan tatapan tajam yang membuat Alcard merasa seperti baru saja mengajukan pertanyaan yang naif. "Alcard," katanya dengan nada tegas, "keseimbangan adalah inti dari kehidupan kami, tidak seperti manusia yang berpikir menghancurkan adalah solusi dari segalanya. Para makhluk di sana adalah ujian dan guru kami. Mereka membuat kami lebih kuat, lebih cepat, dan lebih bijaksana. Tanpa mereka, prajurit seperti aku tidak akan pernah mencapai puncak kemampuan kami."
Alcard terdiam, mencerna filosofi elf yang terasa begitu berbeda dari apa yang selama ini ia pelajari di dunia manusia. Ia menatap Kaelion dengan sedikit rasa kagum. "Jadi kalian sengaja membiarkan monster-monster itu tetap ada sebagai semacam ujian ketahanan?" tanyanya, mencoba memahami lebih jauh.
Kaelion mengangguk, senyum tipis di bibirnya. "Tepat sekali. Kami tidak memusnahkan mereka karena kami memahami bahwa kekuatan sejati hanya bisa ditempa dalam pertempuran yang nyata. Kami percaya bahwa ketakutan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi harus dihadapi dengan keberanian. Dan hutan ini, dengan segala misterinya, adalah ujian terbesar kami."
Alcard menghela napas, menyadari betapa besar bahaya yang ia hampiri tanpa sadar saat memetik bunga untuk Kaelion. "Aku bahkan tak menyadari bahwa aku hampir masuk ke wilayah itu," ujarnya dengan nada rendah, merasa sedikit malu.
Kaelion tertawa kecil, menepuk bahu Alcard dengan lembut. "Itu karena kau terlalu sibuk mencarikan sesuatu untukku," ujarnya sambil tersenyum menggoda. "Tapi jujur, kau beruntung tidak melangkah lebih jauh, atau mungkin kita akan menghadapi sesuatu yang bahkan aku tak yakin bisa kita hadapi dengan mudah."
Alcard tersenyum kecil, meskipun masih ada sedikit rasa malu di dalam dirinya. "Baiklah, pelajaran berharga untukku. Aku harus lebih waspada di wilayah elf mulai sekarang," katanya, berusaha meredakan rasa canggung.
Kaelion mengangguk puas. "Bagus. Aku tidak ingin kehilangan seseorang yang baru saja kutemukan kembali," katanya dengan nada yang lebih lembut, matanya berbinar di bawah sinar matahari pagi yang mulai merambat di sela-sela dedaunan.
Keduanya melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih hati-hati dan penuh kesadaran. Alcard kini menyadari bahwa dunia elf menyimpan bahaya yang jauh lebih kompleks dari yang pernah ia bayangkan, tetapi juga keindahan yang tak ternilai dalam setiap detiknya.
****
Malam semakin larut, namun kehangatan yang tercipta di bawah selimut mereka seolah menghalau dinginnya udara hutan elf. Alcard berbaring diam, merasakan kehadiran Kaelion yang bersandar di dadanya. Heningnya malam hanya diiringi oleh suara dedaunan yang bergesekan lembut di tiupan angin. Kaelion akhirnya memecah keheningan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.
"Alcard," ucapnya, jemarinya dengan lembut menggenggam kain selimut. "Besok, kau harus benar-benar berhati-hati dengan setiap kata yang kau ucapkan."
Alcard sedikit mengernyit, matanya yang sejak tadi menatap langit kini beralih pada wajah Kaelion yang serius. "Kenapa? Apa yang membuatmu khawatir?" tanyanya, nada suaranya dipenuhi rasa penasaran.
Kaelion menghela napas pelan, jari-jarinya dengan lembut menggambar pola tak beraturan di dada Alcard. "Besok, kau akan bertemu dengan mereka—Council of Three Pillars," jelasnya. "Aku ingin kau mengerti, Lythara mungkin telah memberikan kita jalan, tapi dua Pilar lainnya... mereka tidak akan semudah itu menerimamu."
Alcard menatap Kaelion dalam-dalam, memahami kekhawatiran yang tersirat dalam nada suaranya. "Siapa di antara mereka yang harus paling kuhindari?" tanyanya dengan nada santai, berusaha meredakan ketegangan yang ia rasakan di tubuh Kaelion.
"Pilar Perang, Arathion Quenlith," jawab Kaelion tanpa ragu, suaranya sedikit lebih rendah, seolah takut nama itu sendiri bisa mendatangkan bahaya. "Pria itu keras kepala, penuh kebencian terhadap manusia, dan sangat mudah terpancing. Baginya, seorang outcast sepertimu bukan hanya aib, tetapi juga ancaman yang harus dihabisi dengan segera. Dia mungkin tidak akan langsung mengangkat pedang, tapi kata-katanya bisa lebih tajam dari tebasan baja."
Alcard tersenyum kecil, seolah mencoba meredakan kekhawatiran Kaelion meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa situasi ini tidak bisa dianggap remeh. "Sepertinya aku harus membawa semua kesabaran yang kumiliki," ujarnya ringan, meski pikirannya mulai menyiapkan strategi untuk menghadapi Pilar yang penuh permusuhan itu.
Kaelion menatapnya dengan tajam. "Bukan hanya kesabaran, Alcard," katanya, menggenggam tangan Alcard erat. "Kau harus bijaksana. Arathion tidak hanya kuat dalam bertarung, tapi juga dalam memengaruhi keputusan Dewan. Satu kesalahan kecil darimu bisa menghancurkan seluruh kesempatan kita."
Alcard mengangguk paham, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan dengan nada yang lebih ringan. "Lalu bagaimana dengan Pilar Alam, Aeryn Sylvalis? Apa dia sama sulitnya untuk dihadapi?" tanyanya, berharap mendengar sesuatu yang lebih menenangkan.
Senyum tipis muncul di wajah Kaelion, tatapan seriusnya sedikit melunak. "Aeryn... dia berbeda," ujarnya. "Dia adalah Pilar yang paling ramah dan terbuka. Aeryn melihat dunia dengan cara yang berbeda, penuh empati dan kasih sayang. Bahkan manusia pun dianggapnya sebagai bagian dari keseimbangan. Kau mungkin akan merasa lebih mudah berbicara dengannya dibandingkan dengan Arathion."
Alcard tertawa pelan, lalu menatap Kaelion dengan pandangan menggoda. "Kalau begitu, haruskah aku khawatir kau akan cemburu jika aku menjadi terlalu akrab dengannya?" godanya sambil mengusap lembut punggung tangan Kaelion.
Kaelion mendengus kecil, matanya berkilat dengan ekspresi setengah jengkel namun juga tersipu. "Kau benar-benar tak tahu waktu untuk bercanda," gumamnya sambil mencubit pinggang Alcard pelan, meski rona merah samar mulai muncul di pipinya.
Alcard terkekeh, menahan senyum. "Aku hanya mencoba membuat suasana lebih ringan," katanya sambil menggenggam tangan Kaelion yang masih mencubitnya. "Tapi baiklah, aku akan menjaga jarak dengan Aeryn agar tidak membuatmu marah."
Kaelion akhirnya tertawa kecil, melepaskan cubitannya dan kembali bersandar di dada Alcard. "Aku tidak marah, hanya saja... aku ingin kau tahu bahwa meskipun aku terlihat tegar, aku tetap bisa merasa cemburu." Suaranya berbisik, nyaris seperti angin malam yang membelai lembut.
Alcard tersenyum hangat, mengecup lembut kening Kaelion. "Aku tahu, Kaelion. Dan aku berjanji akan lebih berhati-hati mulai sekarang."
Malam itu, mereka terdiam dalam kehangatan yang berbeda. Hati mereka kini sedikit lebih ringan, meskipun tantangan besar masih menanti di depan. Alcard menatap langit berbintang, merenungkan pertemuan yang akan datang, sementara Kaelion perlahan tertidur di pelukannya, percaya bahwa kehadiran Alcard akan membawa harapan di tengah ketegangan yang belum berakhir.
****
Setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya Alcard dan Kaelion tiba di ibukota elf, Hartefain. Kota terbesar di seluruh benua ini berdiri megah di tengah hutan rimbun yang seakan menyembunyikannya dari dunia luar. Keanggunan Hartefain bukan sekadar mitos; bangunan-bangunan menjulang dengan desain arsitektur yang menyatu sempurna dengan alam, dipenuhi ukiran-ukiran halus yang memancarkan keindahan tiada tara. Cahaya matahari menembus pepohonan tinggi, menciptakan kilauan keemasan yang menari di atas jalan-jalan berbatu yang tertata rapi. World tree yang terlihat sejak dari jauh pun, seperti mempermegah Hartefain menjadi ibukota terbesar di seluruh benua, yang berharmonisasi dengan kehindahan alamnya.
Meskipun Alcard adalah seorang yang telah terbiasa dengan kerasnya kehidupan di The Wall, keindahan kota ini tetap mampu membuatnya tertegun sejenak. Namun, di balik keindahan itu, ia merasakan tatapan dingin dan penuh penolakan dari para elf yang memenuhi jalanan. Bisikan-bisikan lirih dan sorot mata penuh rasa curiga mengiringi setiap langkahnya, mengingatkan bahwa meskipun ia berada di sini atas urusan resmi, ia tetaplah seorang outcast yang tidak diterima sepenuhnya.
Kaelion melangkah di depannya dengan penuh percaya diri, tubuhnya tegak dengan sikap yang tegas dan penuh wibawa. Ia dengan anggun mengabaikan tatapan merendahkan dari sesamanya, membuktikan bahwa kehadiran Alcard ada di bawah perlindungannya. Perjalanan mereka melewati jalan-jalan utama kota yang dihiasi dengan pepohonan yang menjulang, taman-taman yang dipenuhi bunga-bunga eksotis, dan air mancur kristal yang memancarkan cahaya lembut di bawah sinar matahari.
Setelah melewati beberapa gerbang penjagaan yang diperkuat oleh pasukan elf berbaju zirah perak, mereka akhirnya tiba di depan kastil kerajaan. Bangunan yang berdiri dengan megahnya ini memiliki menara-menara tinggi yang menusuk langit, dihiasi simbol-simbol kuno yang menceritakan sejarah panjang para elf. Pintu gerbang besar yang diukir dengan indah terbuka perlahan, dan di sana, sosok yang sudah mereka duga sedang menunggu—Lythara Nymiel, Pilar Cahaya.
Lythara berdiri anggun di bawah cahaya lembut yang jatuh dari kanopi pepohonan di atasnya. Busur panjangnya terikat di punggung dengan gagah, dan matanya yang tajam seperti mata elang menatap lurus ke arah mereka. Wajahnya yang cantik tidak menunjukkan keramahan, melainkan ketegasan dan sedikit kesan tidak sabar.
"Kaelion," ucapnya dengan nada dingin yang menusuk. "Mani lye nae sii telya? Amin már nornë far alyë néra sina. Mani tyarë ve tyalië?"
(Kenapa kalian begitu lama? Aku sudah menunggu jauh lebih lama dari yang seharusnya. Apa yang terjadi di perjalanan?)
Kaelion terlihat ragu sejenak, mencoba menyusun kata-kata yang tepat, tetapi sebelum ia bisa menjawab, Alcard melangkah maju, seolah paham arti dari pertanyaan dalam Bahasa elf itu. Dengan tenang dan suara yang mantap, ia berkata, "Itu karena aku, Pilar Cahaya. Dalam perjalanan, aku ingin melihat dengan mata kepala sendiri tempat pelatihan para prajurit elit elf, Lorendil. Aku mendengar banyak tentang monster pohon yang menjadi lawan mereka dan merasa perlu untuk memahami metode pelatihan mereka."
Lythara mengangkat alis, ekspresinya sulit ditebak. Ia menatap Alcard lama, menimbang kata-katanya dengan cermat. Namun, setelah beberapa saat, ia hanya mengangguk kecil. "Rasa ingin tahumu bisa dimengerti, tapi jangan lupa bahwa di tanah kami, prioritas tetaplah perintah yang diberikan. Ingat itu, outcast."
"Aku minta maaf atas ketidaktahuanku," ujar Alcard dengan sedikit membungkukkan badan.
Kaelion secara diam-diam menghela napas lega meskipun wajahnya tetap tenang. Alcard menangkap sekilas perubahan kecil itu dan tahu bahwa setidaknya ia telah berhasil menghindari pertanyaan yang lebih rumit.
Setelah momen singkat yang terasa lebih lama dari seharusnya, Lythara kembali berbicara. "Kaelion, kau tunggu di luar. Aku yang akan membawa Alcard menemui dua Pilar lainnya. Pertemuan ini bukan untuk siapa pun kecuali yang berkepentingan."
"Baik."
Meskipun Kaelion tampak tidak setuju, ia menundukkan kepala patuh. Namun, sebelum mereka berpisah, ia menatap Alcard dalam-dalam dan memberikan isyarat kecil dengan tangannya—sebuah dorongan semangat tanpa kata-kata. Alcard mengangguk tipis sebagai balasan, menyadari kekhawatiran yang tersembunyi di balik ketegasan Kaelion.
Tanpa banyak bicara, ia mengikuti Lythara ke dalam kastil, melangkah melewati lorong-lorong panjang yang dipenuhi ukiran dan cahaya kristal elf yang berpendar lembut. Di balik pintu besar di ujung lorong, dua sosok lain sudah menunggu—Arathion Quenlith, Pilar Perang yang terkenal dengan sifat kerasnya, dan Aeryn Sylvalis, Pilar Alam yang dikenal lebih lembut namun memiliki kecerdasan yang tajam.
Alcard menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa pertemuan ini tidak akan mudah. Setiap langkah yang diambil di tanah para elf bukan hanya perjalanan, melainkan ujian bagi keberadaannya sebagai seorang outcast yang membawa kebenaran yang mungkin tak ingin didengar oleh siapa pun.
****
Saat Alcard melangkah ke dalam ruang pertemuan yang luas dan megah, atmosfer ruangan seketika terasa berat, seolah-olah udara di sekitarnya dipenuhi dengan ketegangan yang tidak terlihat. Cahaya alami yang masuk melalui jendela besar menerangi ukiran-ukiran halus di dinding yang menggambarkan sejarah panjang kaum elf, menciptakan suasana yang penuh kehormatan namun juga sarat akan tekanan. Di ruangan itu, duduk dua sosok yang mewakili dua pilar penting dalam pemerintahan elf—dua pemimpin dengan kepribadian dan aura yang bertolak belakang, tetapi sama-sama memancarkan kewibawaan yang tak terbantahkan.
Di sisi kiri ruangan, berdiri Arathion Quenlith, Pilar Perang. Sosoknya tinggi, dengan bahu lebar dan postur tubuh yang menggambarkan kekuatan seorang pejuang yang telah mengalami banyak pertempuran. Ia mengenakan armor ringan yang terbuat dari mithril berwarna perak, dengan ukiran daun ek emas yang menjadi simbol ketangguhan dalam peperangan. Pedang panjang dengan gagang berornamen khas elf tergantung di pinggangnya, dan matanya yang tajam mengamati setiap gerakan Alcard dengan penuh kewaspadaan. Tidak ada keramahan dalam tatapannya, hanya sorot mata dingin yang memandangnya seolah ia adalah ancaman potensial yang sewaktu-waktu bisa membawa bahaya.
Di sisi berlawanan, duduk Aeryn Sylvalis, Pilar Alam. Berbeda dengan Arathion yang mencerminkan ketegasan dan kekuatan, Aeryn memancarkan aura ketenangan dan keanggunan. Rambutnya yang panjang berwarna hijau zamrud tergerai lembut di bahunya, berkilauan di bawah cahaya yang masuk dari jendela. Jubahnya yang berwarna hijau tua dihiasi dengan sulaman motif flora yang nyaris tampak hidup, seolah-olah dirinya adalah bagian dari alam itu sendiri. Tatapan matanya lembut, penuh pengertian, berbeda dengan Arathion yang terlihat kaku dan keras. Ia menyambut kedatangan Alcard dengan senyuman tipis yang samar, memberi kesan bahwa kehadirannya di tempat ini tidaklah sepenuhnya ditolak.
Begitu Alcard berdiri di tengah ruangan, Arathion tidak membuang waktu dan langsung memecahkan keheningan dengan suaranya yang berat dan penuh otoritas.
"Outcast," katanya dengan nada yang nyaris terdengar seperti perintah, "kami tidak memiliki waktu untuk membuang-buang kata. Urusan dengan Cevral telah selesai dibahas. Sekarang, katakan yang sebenarnya—ceritakan tentang fragment hijau yang kau temukan."
Nada bicaranya tegas dan lugas, tidak memberi ruang bagi basa-basi atau pembicaraan yang berbelit-belit. Tatapan matanya yang tajam menyiratkan bahwa ia tidak menginginkan jawaban yang setengah-setengah.
Alcard terdiam sejenak, berusaha menyusun kata-kata yang tepat dalam pikirannya. Namun, sebelum ia sempat merespons, Aeryn mengangkat satu tangan dengan gerakan anggun, menyela dengan nada yang jauh lebih lembut tetapi tetap penuh kewibawaan.
"Arathion, loriel en' snaga úan nauva ulca lye," ujarnya dalam bahasa elf dengan suara yang menenangkan.
(Arathion, kesabaran sedikit takkan membahayakan kita.)
Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke Alcard, senyumnya tetap tenang namun sarat dengan pemahaman.
"Lye naa sinome an harya tyalassë, úan an termar cáno úan haryanë. Alcard már yára ilya an tulë sinome."
(Kita ada di sini untuk mendapatkan jawaban, bukan untuk menciptakan permusuhan yang tidak perlu. Alcard telah melewati banyak hal untuk sampai ke sini.)
Meskipun intervensi Aeryn sedikit melunakkan ketegangan di ruangan itu, Alcard masih bisa merasakan tekanan yang menggantung di udara. Ia tahu bahwa meskipun kedua Pilar ini memiliki pendekatan yang berbeda, mereka sama-sama tidak akan mentoleransi kebohongan atau informasi yang tidak berguna.
Aeryn menatapnya dengan mata penuh perhatian sebelum akhirnya kembali berbicara. "Fragment hijau memiliki makna yang sangat mendalam bagi kaum elf, Alcard," katanya dengan nada yang lebih hati-hati. "Kami perlu memahami bagaimana kau menemukannya dan apa yang terjadi sejak saat itu."
Alcard mengangguk pelan. Meskipun ia sadar bahwa fragment hijau adalah sesuatu yang sangat berharga bagi para elf, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya—jika fragment itu memang begitu penting, mengapa dibiarkan tersembunyi di reruntuhan terpencil di perbatasan, tanpa perlindungan yang cukup ketat?
Namun, ia segera mengingat kembali pengalaman saat pertama kali menemukannya. Perlindungan terhadap fragment itu memang ada, bukan dalam bentuk penjagaan fisik oleh para elf, melainkan melalui mekanisme kuno—golem-golem raksasa yang terbuat dari kayu dan batu, makhluk penjaga yang berdiam di reruntuhan seperti sosok abadi yang menghalangi siapa pun yang mencoba mendekat. Perlindungan itu bukan sekadar jebakan biasa, melainkan benteng terakhir yang memastikan bahwa fragment tetap berada di tempatnya tanpa tersentuh oleh tangan yang salah.
Aeryn tetap menatapnya dengan sabar, lalu bertanya lebih lanjut. "Ceritakan padaku, Alcard. Apa yang kau rasakan saat pertama kali berada di dekat fragment hijau itu? Bagaimana kau bisa mengamankannya tanpa dampak buruk yang signifikan?"
Alcard menarik napas dalam, mencoba mengingat setiap detail yang penting. Namun, sebelum ia sempat membuka mulutnya untuk menjawab, suara Arathion kembali memotong, kali ini lebih tajam dan penuh ketidaksabaran.
"Jangan buang waktu dengan rincian yang tidak perlu, outcast. Katakan saja apa yang kami perlu ketahui."
Nada perintah itu membuat ketegangan di ruangan semakin meningkat. Meskipun Aeryn telah mencoba meredam situasi, jelas bahwa Arathion tidak memiliki kesabaran untuk mendengar cerita yang terlalu panjang.
Alcard menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya saat ini harus dipilih dengan sangat hati-hati. Ia tidak boleh memberikan kesan bahwa ia menyembunyikan sesuatu, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan dirinya terlalu terbuka hingga kehilangan kendali atas situasi ini.
Pertemuan ini lebih dari sekadar diskusi biasa. Ini adalah pengadilan terselubung, sebuah ujian yang akan menentukan bagaimana kaum elf memandang dirinya—sebagai seseorang yang membawa jawaban yang mereka butuhkan, atau sebagai ancaman yang harus segera disingkirkan. Dengan penuh kewaspadaan, ia akhirnya mulai berbicara, memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan akan membawanya lebih dekat kepada kepercayaan yang sangat sulit untuk ia peroleh di tempat ini.
****
Alcard berdiri tegap di tengah ruangan yang masih dipenuhi dengan ketegangan, mencoba mengendalikan pikirannya yang berputar dengan cepat. Ia menarik napas dalam, membiarkan keheningan yang menggantung di antara mereka berlangsung sejenak sebelum akhirnya memberikan jawaban yang telah lama dinantikan. Dengan nada suara yang datar tetapi tetap tegas, ia menyampaikan kebenaran yang telah ia ketahui sejak awal.
"Aku tidak merasakan efek negatif apa pun saat pertama kali menyentuh fragment hijau," ucapnya dengan tenang, matanya tetap terfokus pada para Pilar yang duduk di hadapannya. "Bahkan hingga saat ini, setelah membawanya dan menyimpannya untuk beberapa waktu, aku masih baik-baik saja. Namun, oldman yang tak sengaja tidur di dekat fragment hijau, mengalami kelelahan fisik yang berat."
Kata-kata itu bergema di ruangan, menciptakan keheningan yang lebih dalam dibandingkan sebelumnya. Mata para Pilar, yang selama ini hanya memancarkan kewaspadaan, kini berubah menjadi sorot keterkejutan yang tidak dapat mereka sembunyikan. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara untuk beberapa saat, seolah mencoba mencerna sesuatu yang bertentangan dengan semua pengetahuan yang mereka miliki selama ini.
Arathion, yang biasanya memancarkan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan, tampak sedikit terguncang oleh pernyataan itu. Rahangnya mengeras, dan matanya yang tajam semakin menyipit, seolah-olah berusaha mencari kebohongan yang mungkin tersembunyi dalam kata-kata Alcard. Sementara itu, Aeryn, yang biasanya dikenal karena kelembutannya, kini menatap Alcard dengan ekspresi yang lebih serius, jemarinya menyentuh dagunya seolah sedang mencoba memahami sesuatu yang sulit diterima oleh akal sehat.
Lythara, yang sejak tadi hanya mengamati dengan diam, akhirnya bersandar ke kursinya dengan sikap yang tampak lebih santai, meskipun matanya tetap dipenuhi dengan ketajaman analitis. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berbicara, suaranya tidak lagi sekadar bertanya, tetapi lebih seperti menyatakan sesuatu yang sulit dipercaya.
"Sejujurnya, saat aku pertama kali mendengar hal ini, aku pun meragukannya," katanya, sorot matanya tetap menancap tajam ke arah Alcard. "Seorang outcast—seseorang yang dianggap tidak lebih dari buangan dalam tatanan dunia ini—justru menjadi satu-satunya yang mampu membawa fragment hijau tanpa dampak negatif apa pun. Ini melampaui logika yang kita pahami."
Aeryn akhirnya membuka suara setelah beberapa saat terdiam, suaranya tetap lembut tetapi sarat dengan pemahaman yang mendalam.
"Reruntuhan tempat fragment hijau disimpan bukan sekadar tempat biasa," katanya dengan nada lebih pelan tetapi penuh keyakinan. "Struktur itu dibangun dengan satu tujuan utama—menyeleksi siapa yang benar-benar layak di antara kami, kaum elf, untuk mendapatkan berkah dari fragment tersebut. Dan juga untuk membiarkan fragment itu menyerap kekuatan alam di sekitar reruntuhan. Kami menempatkannya jauh di perbatasan selatan untuk melindungi masyarakat kami dari dampaknya yang tidak bisa diprediksi. Namun, yang terjadi di sini adalah sesuatu yang di luar dugaan."
Ia menatap Alcard lebih dalam, kali ini dengan campuran antara rasa penasaran dan penghormatan yang sebelumnya tidak terlihat.
"Yang terpilih bukan dari golongan kami... melainkan seorang manusia, seorang outcast."
Alcard tetap berdiri diam, membiarkan pernyataan itu menggantung di udara, meresapi betapa besar dampaknya bagi kaum elf yang selama ini meyakini bahwa hanya mereka yang layak memiliki fragment tersebut. Ia tidak mengubah ekspresinya, tetapi di dalam kepalanya, ia tahu betul bahwa peristiwa ini bukan sekadar kebetulan.
Lythara kembali angkat bicara, suaranya lebih dalam dan serius.
"Tapi ini bukan hanya tentang siapa yang dapat membawa fragment tanpa dampak negatif," katanya dengan penuh pertimbangan. "Alcard mengambil fragment itu bukan karena ia ingin memilikinya, melainkan karena ia memahami betapa berbahayanya jika fragment ini jatuh ke tangan yang salah—terutama ke tangan The Veil."
Begitu nama itu disebut, atmosfer dalam ruangan berubah drastis. Arathion, yang sejak awal sudah menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Alcard, kini mencondongkan tubuhnya ke depan, ekspresinya berubah dari ketegangan menjadi keterkejutan dan amarah yang tak dapat disembunyikan.
"The Veil?" ulangnya dengan suara berat dan penuh ketidakpercayaan. "Kelompok terkutuk itu? Aku pikir mereka telah dibasmi dari kalangan elf ribuan tahun yang lalu! Bagaimana bisa mereka masih ada di dunia manusia?!"
Suasana berubah tegang dalam sekejap. Arathion mengepalkan tangannya erat, ekspresi wajahnya menunjukkan kemarahan yang tersimpan sejak lama.
"Manusia..." katanya dengan nada mencemooh. "Makhluk bodoh yang selalu terjebak dalam keserakahan mereka sendiri! Mereka membiarkan ancaman seperti The Veil berkembang di antara mereka, dan sekarang lihatlah akibatnya—sesuatu yang nyaris menghancurkan kami di masa lalu kini kembali muncul sebagai ancaman yang jauh lebih besar!"
Alcard tetap tidak bereaksi, membiarkan mereka meluapkan emosi yang sejak tadi terpendam. Ia tahu, dalam situasi seperti ini, tugasnya bukan untuk membela manusia, tetapi untuk menyampaikan kenyataan yang terjadi. Ia bisa merasakan kemarahan yang bergejolak dalam diri Arathion, tetapi ia juga melihat kekhawatiran mendalam dalam sorot mata Aeryn dan pertimbangan strategis yang berputar di dalam benak Lythara.
"Mereka tidak salah," pikir Alcard dalam diam. "Manusia memang telah membiarkan The Veil berkembang di antara mereka, dan kini seluruh dunia harus menghadapi konsekuensinya. Tetapi pertanyaannya adalah, apa yang bisa kami lakukan sekarang, ketika kami bahkan tidak memiliki cukup kekuatan untuk menghentikan mereka sepenuhnya?"
Diskusi di antara para Pilar berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat, membahas bagaimana The Veil kembali muncul sebagai ancaman, bagaimana fragment hijau kini menjadi bagian dari permainan yang jauh lebih besar daripada yang mereka duga. Sementara itu, Alcard tetap berdiri di tempatnya, menunggu waktu yang tepat untuk kembali berbicara.
Ia menyadari bahwa kehadirannya di ruangan ini bukan sekadar sebagai seorang utusan, tetapi sebagai bagian dari sebuah percakapan yang dapat menentukan masa depan dunia. Setiap kata yang ia ucapkan setelah ini harus dipilih dengan cermat, karena kesalahan sekecil apa pun bisa mengubah arah peristiwa yang sedang berlangsung. Ia tahu bahwa dirinya bukan seorang diplomat, tetapi di saat seperti ini, perannya lebih besar dari yang ia bayangkan.
Di dalam ruang pertemuan yang dipenuhi dengan perdebatan yang semakin tajam, satu hal kini semakin jelas bagi Alcard—dunia sedang berada di ambang perubahan besar, dan ia, dengan caranya sendiri, telah menjadi bagian dari pergeseran itu.
****
Alcard menyadari bahwa apa yang akan ia ceritakan selanjutnya hanya akan memperkeruh suasana, terutama bagi Arathion yang sejak awal sudah terlihat sulit untuk menahan emosinya. Namun, ia tahu bahwa kebenaran harus diungkapkan, tak peduli seberapa pahitnya. Dengan suara yang tenang namun penuh keteguhan, ia mulai berbicara, membiarkan kenangan kelam kembali terlintas dalam pikirannya.
"Aku dan Oldman telah mencoba memahami apa sebenarnya fragment itu," ujar Alcard, tatapannya tertuju pada lantai ruangan seakan menghindari tatapan tajam yang menghujani dirinya. "Kami ingin tahu bagaimana cara kerjanya, apa rahasia di balik kekuatan yang terkandung di dalamnya, dan apakah ada jalan untuk menggunakannya tanpa harus terjebak dalam konsekuensi yang menghancurkan. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban, langkah kami malah membawa lebih banyak masalah."
Ia menghela napas, merasa bebannya semakin berat di setiap kata yang ia ucapkan. "Aku membawa fragment hijau ke klan Steelhammer," lanjutnya, suaranya sedikit bergetar karena beban emosional yang ia rasakan. "Aku berharap mereka memiliki pengetahuan lebih tentang artefak kuno seperti ini, sesuatu yang tidak bisa aku temukan di The Wall atau di antara para outcast."
"Bodoh!"
Ruangan itu langsung dipenuhi ketegangan. Arathion menegang, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal erat di atas meja seolah sedang berusaha menahan amarah. "Lalu?!" tanyanya dengan nada tajam yang nyaris menyerupai gertakan.
Alcard menelan ludah, tetapi tetap melanjutkan. "Tharvin Steelhammer, pemimpin mereka, merebut fragment itu dariku. Aku tidak memiliki pilihan lain selain menyerahkannya. Aku sendirian, sedangkan mereka adalah seluruh klan yang siap mati untuk mendapatkan apa yang mereka anggap sebagai harta paling berharga."
Arathion akhirnya tak bisa menahan diri lagi. Ia berdiri dengan gerakan kasar, suara kemarahannya menggema di seluruh ruangan. "Dasar bodoh!" geramnya. "Kau benar-benar percaya pada para dwarf? Mereka adalah makhluk paling serakah di dunia ini! Kau seharusnya tahu bahwa menyerahkan fragment ke tangan mereka sama saja dengan menyerahkannya pada kehancuran!"
Alcard menatap Arathion dengan pandangan yang tenang namun dingin. "Aku tidak pernah mempercayai mereka," katanya pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh semua orang di ruangan itu. "Tapi aku juga tidak punya pilihan. Kau tahu mengapa? Karena kaum elf tidak pernah membuka pintu bagi kami, para outcast. Setiap kali kami mencoba mendekat, yang kami dapatkan hanyalah penolakan dan penghinaan. Bahkan sekadar berdiskusi pun adalah sesuatu yang mustahil. Jadi, katakan padaku, Arathion... apa yang harus kulakukan ketika aku tidak punya tempat lain untuk mencari bantuan?"
Ruangan itu tiba-tiba terasa sesak oleh ketegangan yang begitu berat. Arathion masih berdiri, tubuhnya gemetar karena amarah yang tertahan, tetapi ia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam kata-kata Alcard. Ia memejamkan matanya sejenak, berusaha mengendalikan dirinya sendiri.
Aeryn, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan nada lembut namun penuh ketegasan. "Sudah cukup," katanya, suaranya membawa kesejukan di tengah panasnya perdebatan. "Mencari kesalahan masa lalu tidak akan membawa kita ke mana-mana. Yang penting sekarang adalah menyadari bahwa fragment hijau itu telah memilih Alcard. Tanpa dirinya, fragment itu hanyalah batu yang tidak berguna."
Kata-kata Aeryn tampaknya sedikit menenangkan suasana. Arathion perlahan duduk kembali, meskipun ekspresinya masih terlihat tegang dan enggan menerima kenyataan. Ia melirik ke arah Aeryn dengan rasa kesal yang belum sepenuhnya reda, tetapi memilih untuk tidak mengatakan apa pun lagi.
Lythara yang sejak tadi mengamati dengan cermat, mengangguk pelan, lalu berbicara dengan suara yang sarat akan wibawa. "Aeryn benar," katanya. "Kita harus melihat kenyataan di depan mata. Meskipun fragment kini berada di tangan para dwarf, kita masih memiliki keuntungan. Mereka memiliki hierarki yang ketat dan keserakahan mereka tetap berada dalam batasan tertentu. Jika fragment itu jatuh ke tangan The Veil, situasinya akan jauh lebih buruk."
Alcard mengangguk pelan, meskipun hatinya masih menyimpan keraguan. "Aku hanya ingin menjaga fragment itu agar tidak jatuh ke tangan yang salah," ucapnya lirih, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain. "Tapi semakin aku berusaha, semakin aku menyadari bahwa di dunia ini, hampir tidak ada tangan yang benar-benar bisa dipercaya."
Lythara menatapnya dalam-dalam, seolah ingin memastikan kesungguhan dalam kata-katanya. "Itulah alasan mengapa kau ada di sini, Alcard," ujarnya dengan suara penuh keyakinan. "Kau mungkin seorang outcast, tetapi fragment telah memilihmu. Dan meskipun kau bukan bagian dari kami, kau memiliki peran yang tidak bisa diabaikan."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Meskipun ketegangan masih terasa, ada perasaan pengertian yang mulai tumbuh di antara mereka. Alcard menyadari bahwa meskipun jalan yang ia tempuh penuh dengan tantangan dan kesulitan, ia tidak sendirian dalam menghadapi ancaman yang semakin dekat.
****