Bagi kaum elf, fragment bukan sekadar artefak biasa atau benda berkekuatan magis yang dapat dimanfaatkan dengan sembarangan. Di mata mereka, fragment adalah bagian dari kehendak para dewa, suatu manifestasi dari takdir tertinggi yang tidak bisa disentuh oleh makhluk fana tanpa konsekuensi besar. Keyakinan ini telah tertanam dalam tradisi mereka selama ribuan tahun, menjadi salah satu hukum sakral yang tidak boleh dilanggar. Membicarakan fragment di luar lingkup tertentu dianggap sebagai pelanggaran berat, bahkan menyebutnya saja dapat menimbulkan kecaman. Hanya segelintir individu dari kalangan tertinggi yang benar-benar memahami sifat fragment dan rahasia yang tersembunyi di baliknya.
Kaelion, yang telah lama mengenal Alcard, masih merasa sulit menerima kenyataan bahwa rekannya itu pernah memiliki interaksi langsung dengan dua fragment—fragment hijau dan fragment ungu. Ia mendengarkan dengan seksama ketika Alcard menceritakan bagaimana ia menemukan fragment hijau di reruntuhan elf yang tersembunyi di perbatasan, sebuah tempat yang seharusnya tidak mungkin dijangkau oleh manusia biasa. Kemudian, Alcard mengungkapkan bagaimana fragment ungu akhirnya berakhir di markas pusat Outcast, membawa serta efek samping yang mengerikan. Wajah Kaelion menegang ketika Alcard mulai menjelaskan tentang mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya sejak ia bersentuhan dengan fragment ungu—mimpi yang bukan sekadar ilusi, melainkan serangkaian penglihatan yang terasa begitu nyata dan mempengaruhi jiwanya secara perlahan.
Di hadapan mereka, Lythara Nymiel duduk dengan ekspresi penuh wibawa. Pilar Cahaya dari kaum elf itu tidak menunjukkan tanda-tanda keterkejutan, namun tatapannya yang tajam mengisyaratkan bahwa apa yang ia dengar tidak dapat diabaikan begitu saja. Setiap kata yang keluar dari mulut Alcard ditelannya bulat-bulat, tetapi ketika ia hendak melanjutkan penjelasannya, Lythara tiba-tiba mengangkat satu tangan, menghentikan pembicaraan dengan gerakan halus namun penuh otoritas.
"Sudah cukup," suara Lythara terdengar tegas, memenuhi ruangan dengan aura otoritas yang tidak terbantahkan. "Apa yang kau alami dengan fragment melampaui norma umum kami. Membicarakan hal ini di tempat terbuka sudah merupakan pelanggaran terhadap adat kami."
Ia lalu mengalihkan pandangannya ke Kaelion, tatapannya tajam bagaikan pisau yang menguliti lapisan kesalahan di balik tindakan rekannya itu. "Lithië, nai istan' lye alyë sina, Kaelion," ujarnya dengan nada penuh ketegasan.
(Kau seharusnya tahu lebih baik dari ini, Kaelion.)
Kaelion menundukkan kepalanya dengan sikap hormat, raut wajahnya menunjukkan ketulusan dalam penyesalannya. "Amin carë ve lúmë tyarë, Ehtelë Valar. Amin úan merë atalya i bondë en' aira lye," jawabnya dengan nada rendah, menyadari bahwa ia telah melangkahi batas yang tidak seharusnya ia langgar.
(Aku bertindak berdasarkan urgensi situasi, Pilar Cahaya. Aku tidak bermaksud melanggar batas tradisi kita.)
Lythara menarik napas panjang, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan sejenak. Wajahnya tetap kaku, tetapi ada sedikit perubahan dalam sorot matanya—sesuatu yang menyerupai pertimbangan. Setelah beberapa saat, ia kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih terkendali meskipun tetap sarat ketegasan.
"Fragment bukan sesuatu yang bisa dibahas sembarangan, apalagi dengan seorang Outcast," ucapnya, nada skeptisnya masih belum sepenuhnya hilang. "Namun, aku juga tidak bisa mengabaikan apa yang telah kau sampaikan, Alcard. Ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang tidak bisa kita hadapi dengan mata tertutup."
Ia berdiri dari kursinya, sosoknya yang tinggi dan anggun menegaskan kewibawaannya sebagai pemimpin yang disegani. Saat berdiri, sinar matahari dari jendela besar di belakangnya membentuk bayangan panjang di lantai, seolah menambah bobot kehadirannya di ruangan itu.
"Kau harus membawa informasi ini sendiri ke ibukota elf, Hartefain, ke hadapan Council of Three Pillars," katanya dengan nada tanpa ruang untuk penolakan. "Mereka yang berwenang untuk menentukan langkah selanjutnya. Ini bukan lagi sekadar masalah pribadi atau perselisihan kecil di antara manusia dan elf. Ini adalah ancaman yang bisa mengguncang keseimbangan dunia."
Alcard mengernyitkan dahi, jelas tidak menyukai arah percakapan ini. "Ke ibukota elf?" tanyanya, keraguannya terpancar jelas dalam suaranya. "Apa ini benar-benar langkah yang harus diambil? Aku bukan siapa-siapa bagi kaum elf."
Lythara menatapnya tajam, seolah melihat lebih dalam dari sekadar pria yang berdiri di hadapannya. "Lebih dari yang kau sadari," jawabnya tanpa ragu. "Keberadaanmu di sini saja sudah cukup menimbulkan pertanyaan. Kebenaran harus diungkapkan kepada mereka yang berwenang, dan satu-satunya cara adalah dengan membawamu langsung ke hadapan mereka."
Ia menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya tetap tegas meski kali ini sedikit lebih lunak. "Namun, aku tidak bisa ikut dalam perjalanan ini. Ada urusan lain yang harus kuselesaikan di sini terlebih dahulu. Kaelion akan mengawasi dan menuntunmu menuju ibukota."
Alcard menoleh ke arah Kaelion, yang hanya membalas dengan anggukan tegas. Tidak ada keraguan dalam ekspresi Kaelion, hanya kesadaran penuh akan tanggung jawab yang kini berada di pundaknya.
Namun, sebelum mereka bisa beranjak, Lythara melangkah lebih dekat ke arah Alcard. Tatapannya lebih tajam dari sebelumnya, seolah hendak mengukir kata-katanya langsung ke dalam pikiran sang Outcast.
"Dengar baik-baik, Alcard," suaranya terdengar seperti peringatan yang tidak bisa diabaikan. "Di wilayah ini, membicarakan fragment adalah tindakan yang bisa berujung pada hukuman berat. Apa pun yang kau lihat atau alami, simpan hanya untuk Council of Three Pillars. Ingatlah, pelanggaran terhadap aturan ini bukan hanya akan mengancam nyawamu, tetapi juga bisa membawa kehancuran yang lebih besar."
Alcard memahami betapa seriusnya peringatan itu. Ia merasakan tekanan yang begitu berat dalam kata-kata Lythara, namun ia tidak menunjukkan tanda-tanda kepanikan atau penolakan. Ia hanya mengangguk, mengunci semua informasi yang telah ia dapatkan dalam pikirannya.
Dengan keputusan yang telah diambil, mereka tidak punya pilihan lain selain melanjutkan perjalanan. Perjalanan panjang ke ibukota elf kini menjadi takdir yang harus mereka jalani, membawa serta beban yang lebih besar dari sekadar nama dan status.
Saat mereka meninggalkan ruangan, Alcard tahu bahwa apa yang akan ia hadapi di ibukota elf bukan sekadar pengadilan atau pertemuan diplomatik. Ia akan membawa rahasia yang bisa mengubah nasib dunia, dan setiap langkah yang ia ambil dari sini hanya akan semakin membawanya lebih dalam ke dalam pusaran takdir yang mungkin tak bisa ia hindari.
****
Dalam kegelapan malam yang menyelimuti hutan Elf, hanya kehangatan dari tubuh mereka yang terlindung di bawah satu selimut tipis mampu menghalau dinginnya angin yang merayap di antara pepohonan. Kaelion bersandar di dada Alcard, mendengarkan detak jantungnya yang stabil, sebuah irama yang biasa ia dengar tetapi kini terasa berbeda—lebih berat, penuh beban yang tak terucapkan. Meski tubuhnya terasa nyaman, pikirannya tidak bisa lepas dari kekhawatiran yang terus menghantuinya.
"Alcard," suara Kaelion terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang terbawa oleh angin malam. "Aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Apa yang kita hadapi sekarang... rasanya lebih besar dari yang kita bayangkan. Sesuatu yang tidak hanya menyangkut fragment, tapi sesuatu yang bisa menghancurkan segalanya. Termasuk dirimu."
Alcard menghela napas panjang, jemarinya dengan lembut menyusuri helaian rambut perak Kaelion, mencoba memberikan kenyamanan yang ia sendiri butuhkan. "Aku tahu, Kaelion. Aku menyadarinya jauh sebelum kita sampai di sini." Matanya menatap langit yang bertabur bintang, pikirannya melayang jauh. "Fragment bukan sekadar pecahan kekuatan kuno... mereka adalah kunci bagi orang-orang seperti The Veil untuk menguasai dunia."
Kaelion mengangkat kepalanya sedikit, menatap Alcard dengan mata yang menyiratkan keraguan dan ketakutan. "The Veil... organisasi bayangan yang selama ini hanya sebatas rumor di antara bangsawan dan prajurit?" tanyanya, seolah ingin memastikan bahwa mimpi buruk itu memang nyata.
Alcard mengangguk pelan, tatapan matanya berubah kelam. "Mereka lebih dari sekadar rumor, Kaelion. Mereka nyata, dan lebih berbahaya daripada yang bisa dibayangkan. Aku dan Oldman telah lama mencurigai gerakan mereka di balik berbagai peristiwa besar di seluruh benua. Mereka telah menanamkan akar mereka di dalam setiap kerajaan, setiap persekutuan, dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka memiliki semua fragment di tangan mereka."
Kaelion terdiam, merenungkan kata-kata Alcard yang membawa makna besar. "Kalau begitu, apa yang kau dan Oldman rencanakan selama ini?"
Alcard tersenyum kecil, meski wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. "Kami mencoba menghentikan mereka dengan cara yang kami bisa—menyembunyikan fragment, mengacaukan rencana mereka, dan memastikan mereka tidak mendapatkan satu pun yang tersisa. Tapi aku tidak pernah berpikir bahwa semuanya akan menjadi serumit ini."
Ia berhenti sejenak, menatap Kaelion dengan sorot mata yang sarat dengan kejujuran. "Setiap fragment yang berhasil kami sembunyikan, hanya menambah banyak pihak yang terlibat. Cevral, para lord Middle Earth, bahkan elf seperti kalian... semuanya kini terjerat dalam permainan yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan."
Kaelion menarik napas pelan, menggenggam tangan Alcard erat-erat. "Apakah kau menyesal, Alcard? Terlibat dalam semua ini?" suaranya terdengar lembut namun sarat emosi.
Alcard menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya meski kelelahan tergambar jelas di matanya. "Tidak, Kaelion. Aku tidak menyesal. Jika aku tidak melakukan ini, maka siapa yang akan bertindak? Oldman mungkin pemimpin yang hebat, tapi dia bukan dewa. Dan aku tahu, jika kami gagal... maka dunia ini akan jatuh ke tangan para monster seperti The Veil dan bajingan seperti Cevral."
Keheningan menyelimuti mereka sejenak, sebelum Kaelion mengeratkan genggamannya, matanya bersinar dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Kalau begitu, kau tidak akan menghadapi ini sendirian, Alcard. Aku bersamamu sekarang. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu menanggung semuanya sendiri."
Alcard terdiam, merasakan kehangatan yang berbeda—bukan dari api unggun atau selimut, tetapi dari keyakinan seseorang yang berada di sisinya. "Terima kasih, Kaelion. Kau tidak tahu betapa berharganya itu bagiku." suaranya bergetar, namun penuh dengan ketulusan yang jarang ia tunjukkan.
Malam itu, di bawah langit yang sunyi dan di tengah hutan yang menyimpan banyak rahasia, mereka tidak hanya berbagi kehangatan fisik, tetapi juga ketakutan, harapan, dan janji. Sebuah janji yang tanpa kata-kata disepakati di antara mereka—untuk tidak membiarkan kegelapan menelan dunia ini tanpa perlawanan.
****
Di bawah langit biru yang cerah dan diiringi suara merdu burung-burung hutan Elf, Alcard dan Kaelion melanjutkan perjalanan mereka menuju ibukota Hartefain. Angin sepoi-sepoi yang bertiup lembut membelai wajah mereka, membawa aroma segar dari dedaunan yang bergoyang pelan di sepanjang jalan setapak yang mereka lalui. Alcard, yang merasa suasana terlalu hening, berusaha mencairkan suasana dengan bercerita. Namun, tanpa ia sadari, ceritanya perlahan mengarah pada sesuatu yang seharusnya ia simpan sendiri.
"Kau tahu," Alcard memulai, suaranya terdengar ringan. "Dulu aku pernah mengawal seorang life-seer manusia kembali ke Edenvila. Namanya Arwen. Awalnya aku mengira dia hanya seorang bangsawan biasa yang gemar bermain-main dengan orang lain. Tapi ternyata, dia jauh lebih kompleks dari yang kuduga."
Kaelion yang mendengar nama itu langsung menunjukkan perubahan ekspresi, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. "Life-seer manusia?" tanyanya dengan nada datar yang menyembunyikan gejolak di hatinya. "Arwen?"
"Ya," Alcard melanjutkan tanpa memperhatikan perubahan sikap Kaelion. "Dia menipuku dengan dalih misi pengawalan. Ternyata, itu semua hanya alasan untuk bertemu dengan Jotun Reinhard. Aku bahkan tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahui tentang Reinhard atau lokasi desa mistis itu. Tempat itu terasa seperti berada di luar jangkauan dunia ini."
Kaelion tetap diam, tetapi jari-jarinya yang menggenggam tali kekang kudanya mulai mengencang. Ada ketegangan yang perlahan tumbuh dalam dirinya.
Alcard, yang masih tenggelam dalam cerita, melanjutkan dengan nada lebih santai. "Kemudian, dia muncul di The Wall. Itu hal yang nyaris tidak masuk akal, kau tahu? Seorang bangsawan, apalagi seorang life-seer, muncul di tempat yang dianggap dunia sebagai neraka? Kami bahkan berkelana ke hutan selatan bersama. Aku mengajarinya banyak hal tentang bertahan hidup, tentang monster, dan…," ia terhenti sejenak, namun memutuskan untuk melanjutkan, "...kami menghabiskan malam di markas rahasia outcast. Itu malam yang... yah, bisa dibilang penuh kehangatan dan nafsu."
Kalimat itu seakan menjadi cambuk bagi Kaelion. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang perlahan memanas. Ia menoleh tajam ke arah Alcard, suaranya rendah namun penuh ketegasan. "Jadi, kau membawa seorang wanita lain ke tempat rahasia yang bahkan tidak banyak orang tahu, lalu kau melatihnya, melindunginya, dan... berbagi malam dengannya?"
Alcard akhirnya menyadari nada dingin yang mengiringi kata-kata Kaelion, membuatnya sedikit tergagap. "Kaelion, aku tidak bermaksud... aku hanya menceritakan pengalaman…"
"Pengalaman?" potong Kaelion dengan cepat, nada suaranya berubah tajam. "Kau menyebutnya pengalaman, Alcard? Aku berada di sini bersamamu, menghadapi semua kekacauan ini, berusaha mendukungmu... dan kau dengan santainya menceritakan bagaimana kau berbagi 'malam penuh kehangatan' dengan seorang wanita lain?" Matanya yang biasanya lembut kini memancarkan kilatan kekecewaan yang dalam. "Apa kau sadar bagaimana perasaanku mendengar ini?"
Alcard terdiam, merasa dirinya telah membuat kesalahan besar. Ia mencoba meredakan ketegangan, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar canggung. "Kaelion... aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya…"
"Hanya apa?" Kaelion kembali memotong, matanya berkabut oleh emosi yang berusaha ia tahan. "Hanya ingin membunuh waktu dengan cerita yang meremukkan hati orang lain?"
Alcard menatapnya dengan perasaan bersalah yang mendalam. Ia menghela napas berat, merasakan dinginnya suasana di antara mereka yang semakin menusuk. "Kaelion... aku minta maaf. Aku seharusnya tidak berbicara seperti ini. Aku tidak ingin membuatmu terluka."
Kaelion tetap diam sejenak, sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang lebih lembut, namun penuh luka. "Aku tahu kau tidak bermaksud menyakitiku, Alcard. Tapi kau harus tahu, aku bukan hanya pendamping perjalananmu. Aku juga seseorang yang peduli padamu lebih dari yang kau kira. Jangan buat aku merasa aku hanya bagian kecil dari masa lalumu yang bisa kau ceritakan dengan enteng."
Kata-kata itu membuat Alcard semakin terpuruk dalam kesalahannya. Ia ingin berbicara lebih banyak, ingin memperbaiki keadaan, tetapi suasana sudah terlalu tegang. Kaelion menarik tali kudanya sedikit lebih cepat, menjauh beberapa langkah di depan, meninggalkan Alcard dengan pikirannya sendiri.
Keheningan yang kini melingkupi perjalanan mereka terasa berat, jauh lebih berat daripada sebelumnya. Alcard merasa dirinya telah melukai seseorang yang berharga baginya, sementara Kaelion berusaha keras menahan emosinya, agar air matanya tidak jatuh di tengah perjalanan mereka yang masih panjang.
Meski mereka terus maju menuju Hartefain, hubungan mereka terasa sedikit lebih rumit dan penuh beban, seakan ada jarak yang kini mulai terbentuk di antara mereka.
****
Alcard terus menunggangi kudanya dalam diam, mengikuti di belakang Kaelion yang masih menjaga jarak di depannya. Heningnya perjalanan mereka lebih menusuk daripada kesunyian malam di The Wall. Setiap langkah kuda terasa berat, seolah mencerminkan beban yang menghimpit hatinya. Alcard tidak pernah menyangka bahwa beberapa kata ceroboh dari mulutnya bisa membuat segalanya menjadi begitu canggung di antara mereka.
Pikirannya terus berputar, mencoba memahami kesalahannya. "Aku benar-benar bodoh," gumamnya dalam hati. "Terlalu lama aku hidup sebagai seorang outcast, dikelilingi oleh perang dan pertarungan tanpa akhir, hingga aku lupa bagaimana memperlakukan seseorang dengan hati." Dalam hidupnya yang dipenuhi pertempuran, ia terbiasa melihat orang-orang di sekitarnya hanya sebagai sekutu di medan perang, bukan sebagai individu dengan perasaan yang harus dihormati dan dijaga.
Kaelion bukan seperti rekan-rekannya di The Wall yang hanya fokus pada bertahan hidup. Dia berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang lembut namun kuat, sesuatu yang tidak bisa dihadapi hanya dengan strategi dan keberanian. Namun, Alcard sadar bahwa ia telah menyia-nyiakan kepercayaan yang mulai terbentuk di antara mereka.
Ketika mereka akhirnya berhenti di sebuah perkemahan kecil di tengah hutan, Kaelion turun dari kudanya tanpa sepatah kata pun. Ia sibuk mengurus perlengkapannya sendiri, mengatur api unggun dengan gerakan yang tampak terburu-buru, seolah ingin segera menyelesaikan semuanya agar bisa menjauh dari Alcard. Tatapannya yang biasanya penuh kehangatan kini terasa dingin, seperti tembok es yang sulit ditembus.
Alcard duduk di sisi lain perkemahan, mengamati Kaelion dari kejauhan. Setiap gerakan wanita itu terasa kaku, seakan ada kemarahan yang ia tahan di dalam dirinya. Alcard membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi yang keluar hanyalah desahan berat. Ia takut bahwa apa pun yang dikatakannya hanya akan memperburuk suasana.
Malam semakin larut, dan Alcard menyadari bahwa ia tidak bisa terus menghindari masalah ini. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju api unggun yang Kaelion buat. Ia duduk di seberangnya, membiarkan nyala api menjadi pemisah di antara mereka.
"Kaelion," panggilnya dengan suara rendah, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku... aku ingin meminta maaf." Ia menghela napas dalam sebelum melanjutkan. "Aku sadar aku telah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan. Aku menyakitimu dengan ceritaku. Aku bodoh, dan aku benar-benar menyesal."
Kaelion tidak langsung menjawab. Matanya yang biasanya lembut kini menatap tajam ke arah Alcard, penuh dengan emosi yang tertahan. Setelah beberapa saat, ia tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa pahit. "Maaf?" katanya dengan nada sarkastik. "Apakah kau pikir kata maaf bisa menghapus semua hal yang baru saja kau ceritakan? Kau pikir aku bisa dengan mudah melupakan bahwa kau telah berbagi malam dengan wanita lain, sementara aku di sini mendukungmu?"
Alcard menundukkan kepala, merasa kata-katanya barusan hanya semakin memperburuk situasi. "Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu," bisiknya, suaranya terdengar hampir tak terdengar.
Kaelion mendengus pelan. "Aku tidak marah hanya karena masa lalumu, Alcard. Aku marah karena kau tidak pernah memikirkan bagaimana aku merasakannya. Aku di sini, mempertaruhkan segalanya untuk mendampingimu, dan kau masih terjebak dalam kenangan yang sudah berlalu." Kaelion menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan luka yang lebih dalam daripada yang bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Alcard tahu, dalam situasi seperti ini, tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki semuanya dengan instan. Ia berdiri perlahan, menyadari bahwa tekanan antara mereka terlalu kuat untuk dihadapi malam ini. "Aku mengerti... Aku akan memberimu waktu," ujarnya dengan nada pelan, sebelum berbalik dan berjalan kembali ke tempatnya.
Di sisi lain perkemahan, Alcard duduk diam, menatap api unggun dari kejauhan. Pikirannya terus dipenuhi dengan berbagai cara untuk menebus kesalahannya, tetapi ia tahu satu hal pasti—ini bukan sesuatu yang bisa diperbaiki dalam semalam. Ia hanya bisa berharap bahwa waktu dan tindakannya ke depan akan membuktikan kesungguhannya pada Kaelion.
Malam itu berlalu dalam keheningan yang menyiksa, masing-masing dari mereka terjebak dalam pikiran dan perasaan yang tak terucapkan. Namun di dalam hati Alcard, tekadnya sudah bulat. Ia tidak akan membiarkan kesalahan ini merusak satu-satunya hubungan yang benar-benar berarti baginya di tengah dunia yang terus berusaha menjatuhkannya.
****
Pagi masih begitu muda ketika Alcard terbangun dari tidurnya, ditemani udara segar yang membelai wajahnya dan suara alam yang perlahan mengisi keheningan. Embun masih menggantung di dedaunan, menciptakan kilauan samar di bawah cahaya remang-remang fajar. Ia menoleh ke sisi lain perkemahan, menatap sosok Kaelion yang masih terlelap di bawah selimut tipis. Napasnya yang tenang dan damai membuat Alcard merasa bersalah. Kenangan masa lalu mereka berkelebat di benaknya, membangkitkan kesadaran akan betapa berharganya kehadiran Kaelion dalam hidupnya.
"Dia selalu memiliki hati selembut sutra," gumamnya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin pagi. "Dan aku... aku malah melukainya. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaikinya."
Dengan langkah ringan dan hati-hati agar tak membangunkan Kaelion, Alcard meraih tali kendali kudanya dan berangkat meninggalkan perkemahan. Kuda hitamnya berjalan dengan tenang, mengikuti tuannya yang tampak begitu fokus pada tujuannya. Dalam pikirannya, Alcard teringat bagaimana Kaelion selalu terpesona oleh keindahan alam—keanggunan bunga liar, kemegahan pepohonan, dan ketenangan alam yang ia hargai lebih dari apa pun.
Alcard menyusuri jalan setapak di hutan Elf, matanya tajam menelusuri setiap sudut, mencari bunga-bunga liar yang paling indah untuk dipersembahkan kepada Kaelion. Ia memilih bunga satu per satu, memastikan bahwa setiap kelopaknya sempurna. "Ini akan membuatnya tersenyum lagi," bisiknya pada dirinya sendiri sambil menatap seikat bunga yang mulai ia kumpulkan. Kuda hitamnya sesekali meringkik kecil, seolah-olah memahami niat baik tuannya.
Namun, tanpa sadar, Alcard terus bergerak semakin dalam ke hutan, semakin jauh dari jalan yang ia kenal. Pepohonan yang menjulang tinggi mulai tampak lebih rapat, bayangan yang dilemparkan dedaunan semakin pekat, dan suara burung yang tadi menemani kini perlahan menghilang. Ia berhenti sejenak, menatap sekelilingnya dengan alis berkerut.
"Di mana aku?" gumamnya, mencoba mengingat jalur yang ia tempuh sebelumnya. Rasa gelisah mulai merayapi dirinya. Ia berusaha mencari jejak kaki kudanya di tanah, tetapi semuanya tampak asing.
Tiba-tiba, suara derap kuda terdengar mendekat dari kejauhan. Alcard menegang, tangannya secara refleks meraih gagang pedangnya sebelum akhirnya sosok yang familiar muncul di antara pepohonan. Kaelion. Ia menunggangi kudanya dengan kecepatan tinggi, rambut peraknya berayun seiring gerakannya. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang begitu jelas.
Tanpa ragu, Kaelion turun dari kudanya dan berlari ke arah Alcard. Sebelum Alcard bisa berkata apa-apa, ia merasakan tangan Kaelion yang kuat namun lembut melingkari tubuhnya dalam pelukan erat. Nafas Kaelion tersengal, penuh kelegaan dan ketakutan yang masih tersisa.
"Apa yang kau pikirkan?!" serunya, suaranya bergetar dengan emosi yang terpendam. "Kenapa kau pergi tanpa memberitahuku? Aku mencarimu ke mana-mana! Aku... aku pikir kau telah pergi selamanya."
Alcard terdiam, merasakan kepanikan dalam suara Kaelion. Ia membiarkan wanita itu menumpahkan kekhawatirannya, lalu perlahan berkata dengan nada menyesal, "Aku... hanya ingin mencari sesuatu untukmu." Ia mengangkat tangannya, memperlihatkan seikat bunga yang telah ia kumpulkan dengan susah payah. "Aku ingin meminta maaf... atas kebodohanku."
Kaelion mundur sedikit, matanya menatap bunga-bunga itu dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Amarah, kelegaan, dan mungkin, sedikit rasa haru.
"Kau benar-benar bodoh," ucapnya dengan suara yang masih bergetar. Ia mengambil bunga-bunga itu dari tangan Alcard, menatapnya dalam diam sejenak sebelum tersenyum tipis. "Jangan pernah melakukan ini lagi. Aku... aku tidak ingin kehilanganmu."
Alcard mengangguk dengan tulus. Ia akhirnya menyadari betapa dalamnya perasaan Kaelion terhadapnya, sesuatu yang mungkin sudah lama ia abaikan.
Saat matahari mulai naik perlahan di ufuk timur, keduanya menuntun kuda mereka kembali ke perkemahan, berjalan berdampingan dengan langkah yang lebih ringan. Meskipun perjalanan mereka masih panjang dan banyak bahaya yang mengintai, setidaknya mereka kini berbagi kehangatan yang lebih dalam dari sebelumnya—sebuah harapan baru yang tumbuh di antara mereka, seperti bunga-bunga liar yang telah Alcard kumpulkan dengan sepenuh hati.
****