Bab 40

Di bawah naungan pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, Alcard dan Kaelion melanjutkan perjalanan mereka menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok di tengah hutan Elf. Udara di sini terasa berbeda—lebih segar, lebih bersih, seolah setiap hela napas mengisi tubuh dengan ketenangan yang langka di dunia luar. Pepohonan kuno dengan daun berkilauan menyaring cahaya bulan dan bintang, menciptakan pendaran lembut yang membuat suasana di hutan ini tampak seperti dunia dari legenda kuno.

Di antara pohon-pohon itu, struktur khas Elf terlihat menyatu sempurna dengan alam. Bangunan berbentuk spiral menjulang dari batang pohon raksasa, akar-akar yang berkelok menjadi jembatan alami, sementara sungai kecil yang mengalir tenang berkelok di bawahnya. Tidak ada sudut yang merusak harmoni; bahkan bengkel pandai besi yang mereka lewati tersembunyi rapi di dalam batang pohon besar, dengan asap yang keluar perlahan melalui celah alami, menyatu tanpa merusak keindahan hutan ini.

Kaelion menoleh ke arah Alcard, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang mencerminkan nostalgia. "Kau lihat?" katanya dengan nada lembut. "Wilayah ini tidak pernah berubah, tetap seperti dunia lain dibandingkan tempat-tempat yang biasa kita kunjungi." Suaranya yang sebelumnya tegas dan profesional kini terdengar lebih santai, seperti sahabat lama yang akhirnya bisa berbicara dengan bebas.

Alcard mengangguk pelan, matanya masih menyapu keindahan di sekelilingnya. "Ya," katanya lirih. "Aku hampir lupa betapa damainya tempat ini."

Kaelion terkekeh, namun ada nada getir di balik tawanya. "Damai?" katanya sambil menatap ke depan. "Damai hanya bagi mereka yang tidak tahu betapa sulitnya menjaga keharmonisan ini tetap utuh. Kau tidak bisa membayangkan seberapa banyak yang telah kami lakukan untuk mempertahankannya."

Alcard menatapnya sejenak, memahami maksud di balik kata-kata Kaelion. Ia tahu, di balik keindahan ini, ada perjuangan yang tak terlihat oleh mata orang luar. Keheningan hutan ini menyimpan banyak rahasia yang tidak mudah diungkap.

Mereka terus melangkah, melewati jalan berbatu yang membawa mereka lebih dalam ke dalam jantung wilayah Elf. Perjalanan mereka menuju kediaman Lythara Nymiel, sang Pilar Cahaya, terasa semakin dekat. Kaelion mulai menceritakan tentang Lythara, suaranya dipenuhi rasa hormat dan kekaguman. "Dia bukan hanya seorang prajurit yang tangguh, Alcard. Lythara adalah penjaga warisan kami, seseorang yang memahami bahwa tradisi adalah fondasi dari semua yang kami lakukan. Memimpin di masa yang penuh gejolak seperti ini tidaklah mudah, dan dia selalu berusaha menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai takdirnya."

Alcard mendengarkan dengan diam, pikirannya masih berkecamuk dengan pertanyaan yang tidak bisa ia abaikan. Setelah beberapa saat, ia memecah keheningan dengan suara yang lebih dalam dan penuh beban. "Kaelion... kau tahu apa yang paling menghantuiku selama bertahun-tahun sejak aku menjadi Outcast?"

Kaelion meliriknya dengan tatapan penuh perhatian. "Apa itu?" tanyanya hati-hati.

Alcard menarik napas dalam, membiarkan pikirannya terlempar kembali ke masa lalu yang pahit. "Bukan monster yang aku bunuh. Bukan juga penghinaan dan cercaan dari para bangsawan. Yang paling menghantuiku adalah keluargaku... istriku... putriku. Aku tidak bisa menyelamatkan mereka. Aku gagal sebagai pelindung mereka, Kaelion."

Kaelion tetap diam, membiarkan Alcard melanjutkan. Suara Alcard menjadi lebih berat, penuh dengan rasa sesal yang telah lama ia pendam. "Setiap malam, aku bermimpi tentang mereka. Aku bisa mendengar suara mereka memanggilku, meminta pertolongan... Tapi aku selalu terlambat. Selalu. Aku bertanya pada diriku sendiri setiap hari—apakah aku masih pantas hidup setelah gagal seperti itu?"

Kaelion menarik tali kudanya, memperlambat langkahnya, memberi waktu pada Alcard untuk meluapkan apa yang selama ini ia pendam. "Aku ingat kau pernah menyebut mereka dalam beberapa misi kita dulu," ucap Kaelion dengan suara lembut. "Tapi kau tidak pernah benar-benar berbagi apa yang terjadi. Aku tahu mereka berarti segalanya bagimu."

Alcard mengangguk lemah, matanya masih memandang jalan di depannya tanpa benar-benar melihat. "Mereka adalah duniaku... dan ketika aku kehilangan mereka, aku kehilangan alasan untuk hidup. Itu sebabnya aku memilih menjadi Outcast. Aku pikir, setidaknya aku bisa mati dengan cara yang lebih terhormat. Tapi sekarang… aku tidak yakin lagi."

Kaelion menatapnya dengan penuh empati, senyum tipis terukir di wajahnya. "Tapi kau tidak mati, Alcard. Dan selama kau masih hidup, pasti ada sesuatu yang harus kau lakukan. Mungkin kau belum menemukannya sekarang, tapi suatu saat nanti kau akan tahu apa itu."

Percakapan mereka terhenti dalam keheningan yang hanya diisi oleh suara gemerisik dedaunan dan nyanyian burung malam yang berbisik di kejauhan. Alcard diam-diam merenungkan kata-kata Kaelion, mencoba menemukan secercah harapan di tengah rasa bersalah yang terus menghantuinya.

Di kejauhan, akhirnya mereka melihat tujuan mereka—kediaman Lythara Nymiel. Bangunan itu berdiri megah di antara pepohonan, terbuat dari kayu dan batu yang membaur sempurna dengan alam. Pilar-pilar menjulang tinggi, dihiasi ukiran halus yang menggambarkan kisah-kisah lama Elf, sementara cahaya lembut menyinari bagian dalamnya, menambah kesan keagungan dan ketenangan.

Alcard menarik napas dalam, menyadari bahwa pertemuan ini akan membawa mereka lebih jauh ke dalam misteri yang belum terpecahkan. Namun satu hal yang pasti, langkahnya di sini bukan hanya tentang misinya—ini juga tentang menghadapi bayang-bayang masa lalu yang selama ini mengikutinya tanpa henti.

****

 

Saat malam merayap semakin dalam, Alcard dan Kaelion memutuskan untuk beristirahat di tengah hutan Elf, meskipun benteng Lythara Nymiel sudah begitu dekat. Alcard sempat mempertanyakan keputusan Kaelion, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ada sesuatu dalam sikap Kaelion malam ini—sebuah keinginan untuk memperpanjang kebersamaan mereka, seolah ia ingin mengulur waktu sebelum menghadapi kenyataan di hadapan mereka.

Langit di atas hutan Elf tampak begitu jernih, seperti kanvas hitam pekat yang dihiasi ribuan bintang berkilauan. Cahaya redup dari api unggun yang mereka nyalakan di tengah perkemahan memberikan rasa nyaman di antara dinginnya udara malam. Pepohonan tinggi di sekitar mereka berdiri kokoh, seakan menjadi saksi bisu percakapan yang hendak terjadi.

Kaelion duduk bersandar pada batang pohon besar, memandang Alcard yang tengah sibuk dengan perlengkapannya. Sorot matanya berbeda dari sebelumnya—lebih lembut, penuh kehangatan yang jarang ia tunjukkan. Tidak ada lagi ketegangan dari sosoknya sebagai prajurit Elf yang tangguh; malam ini, ia hanya seorang wanita yang memandang seorang pria yang pernah mengisi bagian penting dalam hidupnya.

"Kau tahu, Alcard," ucapnya lirih, memecah keheningan di antara mereka, "Aku selalu bertanya-tanya apa yang terjadi padamu setelah semua itu. Saat kita berpisah dulu, aku... khawatir. Dan ketika aku mendengar kau menjadi Outcast, aku tak tahu harus berpikir apa."

Alcard menghentikan tangannya, menoleh ke arahnya dengan sorot mata yang penuh ketenangan, namun juga tersirat luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. "Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan, Kaelion," jawabnya pelan. "Aku tak pernah punya banyak pilihan."

Kaelion tersenyum tipis, tetapi di balik senyumnya tersimpan kepedihan yang telah lama ia simpan sendiri. "Kau selalu seperti itu, Alcard. Mengorbankan segalanya untuk orang lain, tanpa pernah berpikir untuk dirimu sendiri."

Alcard menatap api unggun di hadapannya, lalu duduk di samping Kaelion, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sejenak. "Itu sudah lama berlalu," katanya dengan nada getir. "Aku bahkan tidak yakin apakah aku masih orang yang kau kenal dulu."

Kaelion tidak bergeming. Ia menatap Alcard dalam-dalam, matanya berkilauan di bawah pantulan cahaya api unggun. "Kau masih Alcard yang sama bagiku," katanya dengan keyakinan yang teguh. "Kau mungkin berubah secara fisik, tapi aku tahu, di dalam hatimu, kau tetap orang yang pernah aku kenal. Aku bisa merasakannya."

Kata-kata Kaelion menusuk jauh ke dalam hati Alcard, membawa kembali kenangan yang telah lama ia kubur. Kehangatan yang selama ini ia pikir telah hilang perlahan-lahan merayap kembali, mengisi kekosongan yang selama ini ia coba abaikan. Selama bertahun-tahun, ia berjuang sendirian di tengah kehancuran dan pengkhianatan, namun di sini, di samping Kaelion, ia merasa ada sesuatu yang masih tersisa—sesuatu yang membuatnya merasa seperti manusia lagi.

Seiring malam semakin larut, obrolan mereka berubah menjadi lebih ringan. Mereka mengenang masa-masa ketika masih bertarung bersama, menertawakan kesalahan-kesalahan kecil yang pernah mereka lakukan, dan berbagi cerita tentang petualangan yang nyaris merenggut nyawa mereka. Suara tawa lirih sesekali terdengar di antara desir angin malam, menghidupkan kembali kenangan yang sempat terkubur di bawah beban kehidupan masing-masing.

Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih dalam yang terus tumbuh di antara mereka. Kaelion perlahan meraih tangan Alcard, jemarinya menyentuh dengan penuh kehati-hatian, seakan ingin memastikan bahwa pria di hadapannya benar-benar nyata, benar-benar ada di sana.

"Sepuluh tahun, Alcard," suaranya bergetar sedikit. "Aku merindukanmu lebih dari yang bisa kukatakan."

Alcard menatap tangan Kaelion yang kini berada dalam genggamannya. Ia tidak menarik diri, tidak menolak. Sebaliknya, ia membalas genggaman itu dengan lembut, sebuah tindakan sederhana yang sarat makna. "Aku juga, Kaelion," suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Keheningan menyelimuti mereka, tetapi kali ini bukan keheningan yang canggung. Ini adalah keheningan yang nyaman, penuh dengan pengertian yang tak membutuhkan kata-kata. Dalam hangatnya cahaya api unggun dan ketenangan malam, mereka menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan lama—sebuah ikatan yang tetap bertahan meskipun dipisahkan oleh waktu dan takdir.

Malam itu, di tengah hutan Elf yang sunyi, mereka menemukan kembali kehangatan yang pernah hilang. Kedekatan yang selama ini mereka sangka telah lenyap perlahan kembali terjalin, mengisi kekosongan di hati masing-masing dengan harapan yang lembut namun kuat. Mereka tahu bahwa besok akan membawa tantangan baru, tetapi untuk malam ini, mereka memilih untuk menikmati momen yang telah mereka temukan kembali.

****

 

Malam itu, suasana di perkemahan kecil mereka begitu tenang, hanya ditemani oleh gemerisik daun yang bergoyang lembut ditiup angin dan suara api unggun yang berderak perlahan. Di bawah satu kain tebal yang mereka gunakan untuk menghalau dinginnya malam, Alcard dan Kaelion berbaring berdampingan. Wajah Kaelion bersandar lembut di dada Alcard, mendengarkan irama detak jantungnya yang stabil, memberikan ketenangan yang sulit ia temukan selama bertahun-tahun terakhir. Sentuhan hangat Alcard di punggungnya membuatnya merasa seolah waktu berhenti sejenak, membawa kedamaian yang telah lama hilang.

Di tengah keheningan yang begitu nyaman, suara berat Alcard memecah kesunyian. "Kaelion, kau tahu... di selatan, aku pernah menghadapi musuh yang membuatku berpikir aku akan mati di tempat," katanya, suaranya nyaris seperti gumaman.

Kaelion mengangkat kepalanya sedikit, menatap wajah Alcard dengan rasa ingin tahu yang tak dapat disembunyikan. "Musuh seperti apa yang bisa membuatmu berpikir begitu?" tanyanya lembut, ujung jarinya secara refleks menggenggam kain selimut dengan erat.

"Orc mutasi," jawab Alcard tanpa ekspresi berlebihan, tetapi nada suaranya cukup untuk menunjukkan betapa berbahayanya ancaman itu. "Mereka bukan seperti orc biasa yang tercatat dalam sejarah perang kita. Mereka lebih kuat, lebih cepat, dan lebih cerdas. Mereka memiliki energi gelap yang mengalir dalam tubuh mereka, membuat mereka nyaris tak terkalahkan."

Kaelion mengerutkan kening, sorot matanya menjadi serius. "Itu tidak masuk akal, Alcard. Menurut catatan kami, orc telah dibasmi sepenuhnya di Era Kedua. Kita—manusia, elf, dan dwarf—bersatu untuk menghabisi mereka hingga ke akar. Bagaimana mungkin mereka masih ada?"

Alcard menghela napas panjang, matanya menerawang ke langit yang dipenuhi Bintang, sadar jika Kaelion mungkin tidak tahu mengenai kepala orc mutasi yang dibawa oldman untuk berkeliling seluruh dunia, mengabarkan jika para orc masih eksis. "Itu yang aku pikir juga," gumamnya. "Namun, selatan adalah tempat yang tidak bisa kita pahami sepenuhnya. Aku yakin mereka bermutasi karena sesuatu yang lebih besar… sesuatu yang aku percaya ada hubungannya dengan Ragonar, naga hitam."

Kaelion menggigit bibirnya, memikirkan kata-kata Alcard. Jika benar naga hitam memiliki peran dalam kebangkitan orc mutasi, maka dunia mungkin berada di ambang bencana yang jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan. Ia kembali menyandarkan kepalanya di dada Alcard, mencoba menyusun pikirannya. "Kalau itu benar, maka ancaman dari selatan lebih besar dari yang kita kira. Bahkan kami para elf, yang selama ini merasa aman di balik perlindungan hutan, mungkin tidak akan selamat," bisiknya.

Alcard hanya mengangguk, merasakan beban pikiran yang semakin berat. "Mereka adalah musuh yang paling sulit yang pernah aku hadapi," lanjutnya. "Kekuatan mereka semakin besar setiap kali kami bertarung, seolah mereka belajar dari kesalahan mereka sendiri. Aku nyaris kehilangan nyawa lebih dari sekali."

Suasana kembali hening sejenak sebelum Kaelion berbicara, mencoba mengalihkan suasana yang semakin tegang. "Ngomong-ngomong tentang makhluk besar," katanya dengan senyum kecil, "di dekat Gunung Mistis kami, ada sebuah danau yang dikeramatkan oleh kaum elf."

Alcard menoleh, alisnya terangkat. "Danau keramat?"

Kaelion mengangguk. "Legenda kami mengatakan bahwa di dasar danau itu, Alancard, naga biru, bersemayam dalam tidur panjangnya. Dia adalah penjaga energi alam kami. Selama dia tetap tertidur, keseimbangan dunia tetap terjaga."

Alcard menatapnya dengan sorot mata tajam. "Jika legenda itu benar, maka kaum elf memang sangat beruntung. Tapi kita juga tahu, jika Alancard terbangun, itu berarti sesuatu yang besar sedang terjadi—sesuatu yang mungkin tidak bisa kita kendalikan."

Kaelion tersenyum samar, tangannya perlahan menggenggam lengan Alcard. "Mari berharap dia tetap tertidur," katanya lirih, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih daripada meyakinkan Alcard.

Percakapan mereka terus mengalir, mengalihkan pikiran dari bahaya yang mengintai. Kaelion berbicara tentang harapannya akan dunia yang damai, tentang mimpinya melihat rakyatnya hidup tanpa perlu bertarung. Alcard, di sisi lain, berbagi tentang impian yang pernah ia miliki sebelum tragedi merenggut segalanya. Ia berbicara tentang keluarganya, tentang masa lalunya yang dipenuhi dengan ambisi dan harapan yang kini terasa seperti sisa-sisa reruntuhan.

Malam semakin larut, dan di antara obrolan dan keheningan yang nyaman, mereka mulai tenggelam dalam rasa damai yang telah lama absen dari hidup mereka. Kaelion menarik kain selimut lebih erat, mendekat ke sisi Alcard, membiarkan dirinya terhanyut dalam kehangatan yang lebih dari sekadar api unggun.

Alcard memejamkan mata, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, membiarkan dirinya merasakan ketenangan yang tidak ia rasakan selama bertahun-tahun. Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, di tengah hutan yang damai, mereka berdua menemukan sesuatu yang selama ini terasa jauh—sebuah momen sederhana yang membawa harapan dan penghiburan.

****

 

Perjalanan Alcard dan Kaelion terus berlanjut, meskipun langkah mereka terasa lambat. Bukan karena medan yang sulit, melainkan karena Kaelion yang dengan sengaja memperlambat perjalanan, seolah ingin meresapi setiap momen kebersamaan mereka. Alcard menyadari hal ini, tetapi ia tidak berniat untuk menolaknya. Baginya, perjalanan ini tidak hanya sekadar misi yang penuh tekanan, melainkan juga kesempatan untuk menemukan kembali ketenangan yang sempat hilang dari hidupnya. Di bawah cahaya rembulan yang menembus celah-celah dedaunan hutan Elf, mereka menyusuri jalan setapak yang tenang, dikelilingi oleh gemerisik daun yang tertiup angin malam.

Setiap malam yang mereka lalui di hutan dipenuhi dengan percakapan yang semakin dalam, tawa yang tulus, dan keintiman yang perlahan tumbuh di antara mereka. Kaelion, yang selama ini dikenal sebagai sosok tegas dan menjaga jarak demi menjaga kehormatan kaum Elf, kini mulai membuka dirinya sepenuhnya. Ia berbagi rahasia dan pemikiran yang selama ini ia pendam, sesuatu yang dianggap tabu bagi seorang Elf yang menjunjung tinggi tradisi dan kesempurnaan.

Suatu malam, ketika mereka duduk di sekitar api unggun yang menerangi kegelapan hutan, Kaelion memecah keheningan dengan suara lembutnya. "Tahukah kau, Alcard," ucapnya, matanya menatap nyala api yang menari di hadapannya, "di antara kaum Elf, ada sebuah kepercayaan lama yang jarang sekali dibicarakan. Kami percaya bahwa tidak ada satu pun makhluk yang benar-benar terbebas dari pengaruh dunia. Bahkan kami, yang selama ini dipandang sebagai penjaga keseimbangan, memiliki bayangan gelap yang selalu mengikuti."

Alcard, yang tengah mengasah pedangnya dengan gerakan lambat dan penuh kebiasaan, hanya mengangkat alisnya. "Itu bukan hal yang mengejutkan," ujarnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari pedang yang mulai berkilau. "Tidak ada makhluk di dunia ini yang benar-benar murni. Setiap ras, setiap individu, pasti memiliki sisi yang ingin disembunyikan."

Kaelion tersenyum samar, merasa lega bahwa Alcard tidak pernah menghakiminya. "Aku dulu berpikir bahwa aku harus selalu menjaga jarak dari apa pun yang bisa merusak citra seorang tentara Elf. Aku takut terlihat lemah, takut tidak lagi menjadi teladan bagi yang lain," ucapnya pelan, sebelum akhirnya menatap Alcard dengan pandangan yang lebih lembut. "Tapi denganmu... aku merasa bisa menjadi diriku sendiri, tanpa perlu menyembunyikan apa pun."

Alcard tersenyum kecil, menghangatkan tangannya di atas api unggun. "Aku senang kau merasa seperti itu, Kaelion. Setiap orang butuh tempat untuk menjadi dirinya sendiri. Bahkan aku, seorang outcast yang dianggap monster oleh dunia, butuh itu."

Percakapan-percakapan seperti ini menjadi bagian dari rutinitas mereka selama perjalanan. Mereka berbagi banyak hal, dari kenangan masa lalu hingga harapan tentang masa depan yang lebih baik. Setiap malam yang berlalu, ikatan di antara mereka semakin kuat, memberi Alcard perasaan yang jarang ia rasakan sejak menjadi Outcast—perasaan memiliki seseorang yang benar-benar peduli padanya.

Ketika akhirnya mereka mendekati salah satu benteng besar di wilayah utara Elf—tempat tinggal Pilar Cahaya, Lythara Nymiel—Kaelion kembali menunjukkan sisi profesionalnya. Sikap lembut yang ia tunjukkan saat mereka berdua perlahan tergantikan dengan ketegasan seorang pemimpin penjaga Elf. Namun, sebelum mereka mencapai gerbang benteng yang megah, Kaelion menoleh dan menghentikan langkahnya sejenak.

"Alcard," panggilnya dengan nada serius, "ada satu hal yang harus kau pertimbangkan sebelum bertemu dengan Lythara."

Alcard menghentikan langkahnya, menatap Kaelion dengan penuh perhatian. "Apa itu?"

Kaelion mengambil napas dalam sebelum berbicara. "Kau harus mengatakan kepadanya tentang fragment, seperti yang telah kau ceritakan kemarin," ujarnya mantap. "Ini bukan hanya masalahmu lagi. Semakin banyak petinggi elf yang tahu, semakin besar kemungkinan kita untuk menemukan jalan keluar dari bahaya ini."

Mata Alcard menyipit, menimbang saran tersebut dengan hati-hati. Ia paham maksud Kaelion, tetapi ia juga tahu bahwa menyebarkan informasi tentang fragment terlalu luas bisa membawa konsekuensi yang tak terduga. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Aku mengerti maksudmu, Kaelion, tetapi tidak semua orang bisa dipercaya dengan rahasia sebesar ini."

Kaelion menatapnya dengan penuh kesabaran, lalu mengangguk. "Aku tahu itu, dan aku tidak memaksamu untuk mempercayai semua orang. Tapi Lythara berbeda. Dia adalah Pilar Cahaya—jika ada seseorang yang bisa membantu kita, itu adalah dia."

Alcard terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara berat, "Aku akan mempertimbangkannya, tetapi aku tidak akan gegabah. Aku sudah melihat terlalu banyak pengkhianatan di dunia ini."

Kaelion tersenyum tipis, menepuk bahu Alcard dengan lembut. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak menghadapi semua ini sendirian, Alcard. Kau tidak harus menanggung beban ini seorang diri."

Alcard membalas dengan anggukan kecil. "Terima kasih, Kaelion. Aku menghargai itu."

Dengan percakapan itu, mereka kembali melangkah menuju gerbang benteng, yang kini berdiri megah di hadapan mereka, seolah menjadi simbol dari jawaban yang telah lama mereka cari. Namun, di balik pintu gerbang itu, Alcard tahu bahwa tantangan baru sudah menunggu, dan keputusannya untuk membuka rahasia fragment akan menentukan arah dari pertarungan ini.

****

 

Langkah Alcard dan Kaelion terdengar jelas di sepanjang koridor yang luas, memantul di antara pilar-pilar tinggi yang menopang aula megah menuju ruang kerja Lythara Nymiel. Bangunan itu, khas arsitektur elf, memancarkan kemegahan yang anggun tanpa kehilangan nuansa otoritas. Cahaya alami yang masuk melalui jendela kaca besar menyoroti ukiran-ukiran halus pada dinding dan pilar, gambaran kisah-kisah lama yang tertanam dalam sejarah kaum elf. Warna emas dan perak berkilauan dalam pantulan cahaya, berpadu dengan aroma kayu kuno dan dupa wangi yang memenuhi ruangan.

Saat mereka melangkah lebih dalam, suasana semakin berat, bukan hanya karena kemegahan tempat ini, tetapi juga oleh ketegangan yang menyelimuti udara. Di ujung ruangan, sebuah meja panjang dari kayu tua berdiri dengan megah, dipenuhi gulungan perkamen dan kristal kecil yang memancarkan cahaya redup. Di belakang meja itu, duduklah sosok yang telah lama dikenal sebagai salah satu pilar terkuat dalam kaum elf—Lythara Nymiel, Pilar Cahaya.

Tatapan Lythara menusuk tajam ke arah mereka, terutama kepada Alcard. Ada ketidakpercayaan yang jelas dalam sorot matanya, dan meskipun ekspresinya tetap tenang, kehadiran seorang outcast di tempat suci kaum elf adalah sesuatu yang tidak bisa ia terima begitu saja.

"Kaelion," ucapnya, suaranya terdengar tenang namun penuh wibawa. "Mína lorethë velarë en' outkarn naeth amin? Lithië, nai anté aelora sí lanthir, lye naer uialë, vírë mi lúmë sina."

(Apa alasanmu membawa seorang outcast ke hadapanku? Kau paham betul bahwa reputasi kaum kita harus dijaga, terutama di masa seperti ini.)

Bahasa elf yang mengalun seperti nyanyian, namun di baliknya terselip ketegasan yang sulit dibantah.

Kaelion melangkah lebih maju, tidak gentar meskipun tatapan Lythara penuh dengan pertanyaan yang meragukan keputusannya. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa apa yang dibawa Alcard bukanlah hal yang bisa diabaikan.

"Lythara, sina úan no' véren lanthir veva amin farnë. Amin carë Alcard, an sen ar' ta imya lye naeth tári en' Edenvila. Cevral Hamilton, tel' caun thauran, hetynë lestë yassen úan norenya en' taurë edan ar' quessir," jelasnya tanpa ragu.

(Lythara, ini bukan masalah kecil yang bisa diabaikan. Aku membawa Alcard karena dia memegang informasi penting terkait rencana yang sedang dipersiapkan oleh Edenvila. Cevral Hamilton, perdana menteri mereka, telah menyusun skema yang bisa memicu peperangan antara elf dan manusia.)

Seketika, ekspresi Lythara berubah. Awalnya skeptis, tetapi kini matanya memancarkan sorot penuh perhatian.

"Taurë en' quessir ar' edan?" tanyanya, nadanya masih meragukan. "Sen ista lye túrë. Úa marta sen merë khil' lúmë yassen sen nahtië sen sinta."

(Perang antara elf dan manusia? Mereka tahu kekuatan kita. Tidak mungkin mereka ingin menghadapi konsekuensi yang akan menghancurkan mereka sendiri.)

Kaelion mengangguk, tatapannya tetap teguh. "Sina naerë yassen karna ta nuruvë. Cevral úa carë sinome úan tári. Ai sen merë astalë lye, sen náre alyë tatyë palan lye, úan taurë ter' i oira. Náren lúmë sinome en' nahamë lye, ar' ilya nosser en' aran nauva hostar mi roccon, na lye tyelka."

(Itulah yang membuatnya berbahaya. Cevral tidak bertindak tanpa rencana. Jika mereka ingin memprovokasi kita, mereka pasti memiliki tujuan yang jauh lebih besar dari sekadar perang. Bisa jadi ini tentang melemahkan pengaruh kita, atau memancing kerajaan lain untuk ikut terlibat dalam konflik yang pada akhirnya akan merugikan kita.)

Lythara terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Kaelion bergema di pikirannya. Jemarinya yang ramping mengetuk perlahan permukaan meja, tatapannya mengarah ke luar jendela, di mana lembah hijau membentang luas di bawah cahaya matahari yang mulai meredup.

"Edan úan harma yassen ten' nárë. Sen melmë nár polinë nahtië i lantarë yassen lye varya lúmë ranyë mí mírë yén," gumamnya lirih, suaranya sarat dengan kecemasan yang kini semakin jelas.

(Manusia memang tidak pernah puas. Keserakahan mereka bisa menghancurkan keseimbangan yang telah kita jaga selama ribuan tahun.)

Kaelion mulai menjelaskan lebih lanjut, membahas setiap kejadian yang mereka alami—upaya pembunuhan, keterlibatan Edenvila, dan keberadaan gadis yang mereka temukan di dalam kotak misterius, yang akhirnya meregang nyawa akibat racun yang belum mereka ketahui asal-usulnya. Lythara mendengarkan dengan saksama, meskipun sesekali tatapannya kembali ke arah Alcard, menyiratkan bahwa meskipun ia mulai memahami situasinya, kepercayaannya kepada seorang outcast masih jauh dari kata penuh.

Saat keheningan kembali mengisi ruangan, Alcard yang sejak tadi hanya diam akhirnya melangkah maju. Ia berdiri tegak di hadapan meja Lythara, kedua tangannya mengepal ringan di sisinya. Suaranya dalam, tegas, tetapi tetap terkontrol saat ia berbicara.

"Pilar Cahaya," ucapnya, "aku tahu bagaimana pandanganmu terhadapku, terhadap para outcast. Tetapi aku juga tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang terjadi di dunia ini. Sesuatu yang melampaui intrik politik manusia."

Lythara menatapnya dengan ekspresi yang masih belum menunjukkan tanda percaya. "Apa maksudmu, Outcast?" tanyanya dengan nada tajam.

Alcard menarik napas panjang sebelum menjawab. Tatapannya tidak goyah sedikit pun saat ia mengucapkan satu kata yang mengubah suasana di ruangan itu seketika.

"Fragment."

Ruangan seketika terasa lebih berat, seolah udara di sekitarnya menegang dengan sendirinya. Bahkan Kaelion, yang sudah mengetahui sebagian dari rahasia ini, tampak sedikit gelisah mendengar kata itu keluar dari mulut Alcard.

Lythara menyilangkan tangan di dadanya, matanya menyorot dengan kewaspadaan yang kini meningkat. "Fragment?" ulangnya, nada bicaranya lebih hati-hati dari sebelumnya.

Alcard mengangguk, suaranya tetap stabil meskipun ia menyadari bahwa apa yang ia katakan saat ini berisiko besar. "Aku tahu lebih banyak tentang mereka daripada kebanyakan orang. Aku tahu apa yang terjadi jika mereka jatuh ke tangan yang salah. Dan aku tahu, jika kita tidak segera bertindak, maka dunia ini akan menghadapi bencana yang jauh lebih besar dari sekadar perang antara manusia dan elf."

Lythara masih belum bergerak, tetapi tatapannya kini penuh dengan rasa ingin tahu yang sulit ia sembunyikan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursinya, matanya tetap mengunci Alcard dalam pengawasan yang ketat. "Jika kau memang tahu sesuatu yang berharga," katanya akhirnya, "maka aku berharap kau siap untuk menjelaskannya dengan sejelas mungkin."

Alcard mengangguk perlahan. "Aku tidak akan menyembunyikan apa pun. Tetapi aku harus memastikan bahwa informasi ini tidak jatuh ke telinga yang salah."

Lythara tersenyum tipis, sinis namun penuh arti. "Kami kaum elf tidak mudah dikelabui oleh kata-kata, Outcast. Aku berharap kau benar-benar membawa sesuatu yang berarti."

Dan dengan itu, Alcard mulai mengungkapkan semuanya.

****