Alcard menatap gadis yang terbaring di hadapannya dengan campuran kebingungan dan kekhawatiran yang semakin menghimpit dadanya. Napasnya sedikit tertahan saat ia berjongkok, jemarinya menyentuh bahu gadis itu dengan hati-hati, merasakan dinginnya kulit yang hampir seperti es. Perlahan, ia mengguncang tubuhnya, mencoba membangunkannya dari tidur panjang yang misterius.
"Bangun… kau harus bangun sekarang," suaranya terdengar tegas, tetapi masih mengandung sedikit kelembutan, seolah ia berharap sentuhannya bisa membangkitkan kesadaran gadis itu. Namun, tubuhnya tetap lunglai, napasnya tetap tenang tetapi begitu lemah, hampir tidak terdengar. Alcard menyipitkan mata, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan yang lebih jelas.
Jantungnya berdetak lebih cepat saat berbagai kemungkinan mengerikan berkelebat di dalam pikirannya. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" gumamnya dalam hati, tatapannya dipenuhi oleh kecurigaan yang semakin menebal. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan gejolak pikirannya, tetapi satu nama terus muncul dalam benaknya.
"Cevral. Si ular tua itu."
Alcard mulai menyadari bahwa ini semua mungkin lebih dari sekadar perangkap biasa. Cevral, dengan kelicikannya yang tak terhitung, pasti telah merancang rencana ini jauh sebelum ia sendiri menyadarinya. Mungkin sejak awal, ia telah dijadikan bidak dalam permainan politik yang jauh lebih besar. Ia dimanfaatkan—entah untuk menyingkirkan gadis ini, atau sebagai kambing hitam jika sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Rahasia yang terbungkus di dalam kotak ini ternyata bukan hanya sekadar harta atau dokumen. Ini adalah seorang life-seer. Sosok yang, jika kata-kata para prajurit tadi benar, memiliki peran yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Jika Edenvila mati-matian menginginkannya kembali, berarti gadis ini memiliki sesuatu yang sangat berharga—sesuatu yang bisa mengubah keseimbangan kekuasaan.
Namun, jika benar Cevral telah menukar nama Arwen dengan gadis ini, berarti kebohongan besar telah disebarkan ke seluruh kerajaan. Apakah ini bagian dari strategi pria tua itu untuk mengamankan kekuasaannya? Mengorbankan seorang life-seer demi memastikan dirinya tetap berada di puncak?
Lamunannya buyar ketika suara gemuruh mendekat dari kejauhan.
Ia segera menoleh ke barat, melihat debu yang berputar tinggi di udara, pertanda jelas bahwa sekelompok besar pasukan berkuda sedang bergerak cepat menuju lokasinya. Mata Alcard menyipit tajam, dengan cepat menilai situasi.
Pasukan kavaleri Edenvila.
Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada regu pertama yang ia hadapi sebelumnya. Kali ini, mereka datang dengan kekuatan penuh, seolah memastikan bahwa ia tidak akan memiliki kesempatan kedua untuk lolos.
"Sial... ini buruk," gumamnya, rahangnya mengeras, tangan kanannya mengepal erat.
Tidak ada waktu untuk berpikir terlalu lama. Dengan gerakan cepat dan terlatih, ia melompat ke atas kereta, menarik tali yang mengikatnya dan melepaskannya dari kudanya. Kuda hitamnya meringkik pelan, merasakan ketegangan yang kini memenuhi udara. Alcard mengulurkan tangan, mengelus lehernya dengan tenang, mencoba menenangkan hewan setianya.
"Tenang," bisiknya. "Kita akan keluar dari sini."
Tanpa membuang waktu, ia meraih tubuh gadis itu dan dengan penuh kehati-hatian membaringkannya di depan tubuhnya di atas pelana kuda. Ia memastikan bahwa posisinya cukup aman sebelum naik ke punggung kuda dengan gerakan yang gesit. Saat itu, hanya ada satu tujuan yang melintas dalam benaknya.
Hutan Elf.
"Hanya itu satu-satunya pilihan kita," gumamnya pada dirinya sendiri, matanya menatap lurus ke jalur sempit di depan.
Ia tahu bahwa memasuki wilayah Elf adalah perjudian besar. Hubungan antara Outcast dan kaum Elf selalu dipenuhi dengan ketegangan dan ketidakpercayaan. Mereka tidak menyambut manusia, apalagi seseorang seperti dirinya—seorang Outcast yang telah ternoda oleh perang dan darah. Tetapi ada satu hal yang ia Yakini, yaitu para Elf tidak akan membiarkan pasukan Edenvila memasuki hutan mereka dengan mudah. Itu berarti, hutan tersebut bisa menjadi satu-satunya perlindungan bagi mereka untuk sementara waktu.
Dengan satu hentakan kuat pada kendali, kuda hitamnya melesat maju, melewati jalan berbatu yang semakin kasar. Langkahnya cepat, hampir seperti badai yang menerjang tanpa bisa dihentikan. Semak-semak dan ranting pohon mencambuk tubuh mereka saat mereka melaju di jalur yang semakin menantang.
Sementara itu, suara pasukan Edenvila semakin mendekat dari belakang. Teriakan mereka bercampur dengan suara derap kuda yang memenuhi udara, semakin menambah ketegangan yang telah mencapai puncaknya.
Alcard terus memacu kudanya, matanya fokus pada jalur di depan. Di kejauhan, garis hijau pekat dari pepohonan raksasa mulai terlihat—perbatasan alami menuju hutan Elf.
Jalan setapak yang membentang di depannya sempit, penuh batu dan akar pohon yang menjulur seperti tangan raksasa yang siap menjerat siapa saja yang masuk tanpa izin. Tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia harus terus maju, tidak peduli seberapa besar risikonya.
Di pangkuannya, gadis itu masih tak sadarkan diri. Alcard melirik wajahnya sejenak, melihat kulitnya yang masih pucat dan napasnya yang tetap teratur meskipun lemah.
"Bertahanlah... siapa pun kau," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Meskipun ia tidak mengenalnya, ia tahu bahwa keselamatan gadis ini kini berada di tangannya. Dan lebih dari itu, ia merasa bahwa gadis ini adalah kunci dari sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang mungkin bisa membantunya membongkar rahasia yang telah menghancurkan hidupnya selama ini.
Semakin dekat dengan hutan, semakin jauh suara pasukan di belakangnya. Namun, meskipun ia berhasil memasuki wilayah Elf, ia sadar bahwa ancaman belum berakhir.
Edenvila mungkin tidak bisa mengikutinya ke dalam hutan, tetapi bahaya lain pasti menanti di dalamnya.
Dan ia harus bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.
****
Alcard terus memacu kudanya dengan kecepatan penuh, meskipun setiap otot di tubuhnya terasa semakin berat, dan napasnya mulai memburu akibat perjalanan yang begitu melelahkan. Namun, tidak ada waktu untuk beristirahat. Tekadnya tetap terpancang pada satu tujuan—hutan Elf yang mulai tampak di kejauhan. Dahan-dahan pohon raksasa yang menjulang tinggi membentuk siluet pekat di bawah cahaya bulan yang mulai muncul, seolah menjadi gerbang alami yang hanya bisa ditembus oleh mereka yang diterima di dalamnya.
Angin berembus kencang, membawa aroma tanah basah dan daun yang berguguran, namun kesejukan yang ditawarkan tidak mampu meredakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Semakin dekat ia dengan perbatasan hutan, semakin tajam instingnya berteriak, memberi peringatan akan bahaya lain yang mungkin menunggunya di dalam sana.
Saat kudanya melewati batas tak kasat mata menuju wilayah Elf, suara nyaring tiba-tiba menggema dari atas pepohonan.
"Berhenti di tempatmu! Jangan bergerak lebih jauh!"
Seketika, suara busur ditarik terdengar jelas, diikuti oleh deru anak panah yang melesat dengan kecepatan mengerikan. Beberapa di antaranya menancap di tanah hanya beberapa inci dari kaki kudanya, cukup dekat untuk menjadi peringatan yang tak perlu diulang.
Alcard langsung menarik tali kendali kudanya, menghentikan langkahnya dalam sekejap. Matanya menyapu ke arah sumber suara, melihat bayangan para penjaga Elf yang berdiri di atas cabang-cabang tertinggi, senjata mereka masih terarah dengan presisi mematikan. Ia tahu, satu gerakan yang salah bisa berakhir dengan panah yang menembus tubuhnya sebelum sempat memberikan penjelasan.
Dengan gerakan lambat dan hati-hati, ia merogoh ke dalam jubahnya, lalu mengangkat tinggi-tinggi sebuah gulungan surat yang memiliki segel resmi dari The Wall. Cahaya remang dari bulan yang mengintip di sela dedaunan menyinari lilin segel yang masih utuh, membuktikan keasliannya.
"Aku Alcard, dari The Wall! Aku membawa misi resmi yang tak bisa diabaikan!" suaranya tegas, memastikan bahwa para penjaga mendengarnya dengan jelas.
Dari atas, para Elf saling bertukar pandang, mata mereka penuh dengan kewaspadaan yang tak berkurang sedikit pun. Salah satu dari mereka, yang tampaknya pemimpin regu, memberi isyarat kecil. Perlahan, beberapa penjaga mulai menurunkan busur mereka, tetapi sikap mereka tetap kaku, seolah setiap otot dalam tubuh mereka masih siap menyerang kapan saja.
Namun sebelum ada satu kata pun yang keluar dari mulut pemimpin regu, suara gemuruh mendadak muncul dari arah belakang.
Derap kaki kuda terdengar mendekat dengan cepat, menggetarkan tanah dan menerbangkan debu ke udara. Alcard menoleh ke belakang, matanya menyipit saat melihat siluet pasukan kavaleri Edenvila yang telah mengejarnya sejak awal. Barisan mereka semakin dekat, bendera kebesaran Edenvila berkibar dengan angkuh di udara, seolah menandakan bahwa mereka datang bukan untuk bernegosiasi, melainkan untuk menuntaskan perburuan mereka.
Salah satu prajurit yang tampaknya pemimpin regu menarik tali kendalinya dan mengangkat suaranya dengan lantang.
"Kami dari Edenvila! Outcast itu telah menculik seorang Life-Seer manusia dari kerajaan kami! Kami menuntut hak untuk menangkapnya dan membawa gadis itu kembali!"
Alcard mengeraskan rahangnya, matanya memancarkan ketidakpercayaan. Life-Seer? Sekali lagi, kata itu terdengar, dan semakin banyak pertanyaan bermunculan dalam benaknya. Jika yang dikatakan Edenvila benar, maka gadis yang kini masih tertidur lemah di pelukannya bukanlah orang biasa. Namun, apakah ia benar-benar Life-Seer Edenvila? Atau ini hanya satu lagi kebohongan yang dirancang oleh Cevral untuk menjebaknya?
Pemimpin regu Elf yang sejak tadi mengamati kini melangkah maju dari antara pepohonan, sorot matanya tajam seperti pedang yang diasah. Suaranya dingin dan tegas saat ia berbicara.
"Tidak ada manusia yang diizinkan melangkah ke dalam hutan kami tanpa izin langsung dari Dewan Elf. Edenvila tidak terkecuali."
Hening sesaat, sebelum beberapa penjaga di atas cabang kembali menarik busur mereka, kali ini menargetkan langsung pada para prajurit Edenvila. Sebagai peringatan terakhir, mereka melepaskan beberapa anak panah ke tanah di depan kuda-kuda musuh, lebih dekat dari sebelumnya, nyaris menyentuh kuku kuda mereka.
Wajah pemimpin kavaleri Edenvila berubah geram, tetapi ia tahu bahwa menantang kaum Elf di wilayah mereka adalah keputusan yang tidak bisa diambil sembarangan. Meski penuh amarah, ia menggertakkan giginya dan menatap tajam ke arah Alcard.
"Kalian akan menyesal telah melindungi sampah seperti dia! Outcast ini tidak pantas berada di tanah mana pun! Kami bersumpah, hari ini kalian mungkin menolaknya, tetapi kami akan kembali, dan tidak ada yang bisa menghentikan kami!"
Setelah memberi ancaman terakhirnya, ia akhirnya memberi isyarat mundur. Dengan enggan, pasukan Edenvila menarik kembali kuda-kuda mereka dan perlahan bergerak menjauh dari perbatasan hutan. Namun, dari sorot mata mereka yang masih mengarah ke Alcard, jelas bahwa ini belum berakhir.
Saat suara langkah kuda mulai memudar, Alcard menghela napas panjang, melepaskan sebagian dari ketegangan yang selama ini menggantung di dadanya. Tangannya perlahan menepuk leher kudanya, jari-jarinya bergerak lembut, sesuatu yang jarang ia lakukan.
"Kau telah melakukannya dengan baik, sobat. Terima kasih sudah bertahan."
Kuda hitamnya meringkik pelan, seolah memahami kata-kata itu, ekornya berkibar sedikit lebih santai dibandingkan sebelumnya. Namun, meskipun ia telah lolos dari ancaman Edenvila, Alcard tahu bahwa perjalanannya belum berakhir.
Hutan Elf mungkin telah menjadi tempat perlindungan sementara, tetapi itu tidak berarti ia aman. Kaum Elf bukanlah bangsa yang murah hati, dan mereka tidak akan begitu saja mempercayainya hanya karena ia membawa surat dari The Wall.
Ia menatap ke dalam kegelapan hutan, pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga kuno yang diam namun penuh perhitungan. Tidak ada yang bisa menebak apa yang tersembunyi di dalamnya.
Dengan suara rendah yang nyaris hanya terdengar untuk dirinya sendiri, Alcard berbisik pada gadis yang masih tertidur di pelukannya.
"Aku harap kau bisa memberiku jawaban… karena aku sudah terjebak terlalu dalam."
Langkah kuda yang lambat membawanya semakin jauh masuk ke dalam hutan. Dari atas, para penjaga Elf masih mengawasi dengan tatapan dingin, panah mereka belum diturunkan sepenuhnya. Ia sadar bahwa ia mungkin telah selamat dari satu bahaya, tetapi bahaya lain kini menantinya di depan.
Dan kali ini, ia benar-benar tidak tahu harus mempercayai siapa.
****
Alcard turun dari kudanya dengan langkah hati-hati, memeluk erat tubuh gadis tak sadarkan diri dalam dekapannya. Tatapan tajamnya beralih ke sekeliling, bersiap menjelaskan situasinya kepada para penjaga Elf yang telah menantinya dengan panah siap dilepaskan. Namun, sebelum ia sempat berkata apa pun, dari balik pepohonan yang tinggi dan lebat, muncullah sosok yang begitu familiar baginya.
"Kaelion..." gumam Alcard, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sosok wanita Elf dengan rambut perak yang tergerai indah di bahunya berdiri anggun di antara para penjaga, mengenakan armor ringan khas prajurit Elf yang memungkinkan pergerakan yang cepat dan lincah di antara pepohonan. Mata hijaunya yang tajam memancarkan kewaspadaan, namun di balik itu, ada kejutan yang jelas saat ia mengenali pria yang berdiri di hadapannya.
"Alcard?" Kaelion menyebut namanya dengan nada setengah terkejut. Ia melangkah mendekat, seolah ingin meraih Alcard dalam sebuah pelukan yang telah lama tertunda, tetapi ia menghentikan dirinya sendiri. Matanya beralih ke gadis di dalam pelukan Alcard, ekspresinya berubah menjadi lebih serius.
Alcard mengangguk pelan, sedikit lega melihat wajah yang dikenalnya di tengah situasi yang begitu pelik. "Kaelion... Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini. Kau penjaga wilayah barat laut sekarang?" tanyanya, mencoba memahami keberadaan Kaelion di tempat ini.
Kaelion membalas dengan senyum kecil yang nyaris tak terlihat. "Ya. Aku telah ditugaskan menjaga perbatasan barat laut selama dekade terakhir. Tapi aku tak pernah membayangkan bahwa pertemuan kita berikutnya akan dalam keadaan seperti ini." Tatapannya tajam saat kembali memandang gadis yang masih terkulai lemah di pelukan Alcard. "Apa yang terjadi, Alcard? Siapa gadis ini?" tanyanya dengan nada yang sarat akan rasa ingin tahu.
Alcard menarik napas dalam, bersiap untuk menjawab, tetapi Kaelion sudah lebih dulu mengulurkan tangan, isyarat yang jelas agar ia menyerahkan gadis itu padanya. Dengan enggan, Alcard menyerahkan tubuh gadis itu ke dalam pelukan Kaelion, mempercayakan keselamatannya pada para penyembuh Elf.
Kaelion dengan teliti memeriksa kondisi gadis itu. Ia meraba lehernya, merasakan denyut nadi yang lemah, dan memperhatikan kulit pucatnya yang memerah di beberapa titik. Sejurus kemudian, desahan pelan keluar dari bibirnya. "Racun..." ujarnya dengan suara penuh kepastian, matanya menatap Alcard dengan keseriusan yang mendalam.
Alcard merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Racun?" ulangnya dengan nada khawatir. "Bisakah kau menyelamatkannya?"
Kaelion menggeleng pelan, ekspresinya tak menunjukkan harapan. "Racun ini telah berada dalam tubuhnya terlalu lama. Ia perlahan menghancurkan fungsi vitalnya dari dalam. Bahkan dengan seluruh kemampuan penyembuh terbaik kami, aku ragu ia bisa bertahan."
Seketika itu juga, Alcard merasakan gelombang emosi bercampur frustrasi membuncah dalam dirinya. Rahangnya mengeras, matanya berkilat dengan kemarahan yang ditujukan pada satu sosok yang langsung muncul di benaknya—Cevral. "Jadi ini semua bagian dari permainannya..." gumamnya, kepalan tangannya mengeras di sisi tubuhnya.
Kaelion menyadari perubahan emosi Alcard dan menempatkan tangan lembut di bahunya. "Alcard... Kau tahu kita tidak bisa menyelamatkannya," katanya dengan suara lembut namun tegas.
Alcard menutup matanya sejenak, berusaha menahan gejolak emosinya yang hampir meledak. "Tidak..." bisiknya lirih, suaranya penuh rasa bersalah yang mendalam. "Aku... seharusnya bisa melakukan sesuatu..."
Kaelion menatapnya dengan penuh pengertian, tapi juga dengan kejujuran yang menyakitkan. "Dia sudah terlalu lama menanggung penderitaan ini, Alcard. Kadang, satu-satunya cara yang tersisa adalah mengakhiri rasa sakitnya dengan cara yang paling bermartabat."
Alcard menatap gadis itu sekali lagi, matanya penuh dengan kesedihan yang sulit dijelaskan. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih gagang pedangnya dan menariknya dengan gerakan yang lambat namun pasti. "Aku akan melakukannya... dengan cara yang paling lembut yang aku bisa," katanya, suaranya hampir tak terdengar.
Kaelion melangkah mundur, memberikan ruang bagi Alcard untuk melakukan hal yang harus dilakukan. Dengan penuh kehati-hatian, Alcard menyentuh pipi gadis itu untuk terakhir kalinya sebelum menempatkan ujung pedangnya ke jantung gadis itu. Dengan satu gerakan cepat dan presisi, ia menusuknya, memastikan tidak ada rasa sakit yang ia rasakan.
Saat tubuh gadis itu melemas untuk terakhir kalinya, Alcard menundukkan kepalanya dalam-dalam, memberikan penghormatan sunyi. "Maafkan aku," bisiknya dengan suara bergetar. "Aku bersumpah akan menebus ini... suatu hari nanti."
Hutan yang tadinya sunyi terasa semakin mencekam, seolah ikut meratapi nyawa yang baru saja pergi. Kaelion tetap berdiri di sampingnya, memberinya waktu untuk merenungi apa yang baru saja terjadi.
Setelah beberapa saat hening yang panjang, Kaelion akhirnya berbicara dengan nada serius. "Alcard, apa pun ini, kau harus memberitahuku segalanya. Racun seperti ini bukan sesuatu yang biasa kami temui. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang terjadi."
Alcard mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi dengan tekad yang semakin kuat. "Aku akan menjelaskan semuanya, Kaelion. Tapi sebelum itu, kita harus memastikan bahwa tak ada yang mengikutiku. Ini lebih rumit dari yang kau bayangkan."
Kaelion mengangguk, dan tanpa berkata lebih banyak, ia memberi isyarat kepada para penjaga Elf lainnya untuk mengamankan area tersebut. Alcard tahu bahwa perjalanannya baru saja memasuki babak baru—satu di mana ia harus mengungkap kebenaran di balik jebakan yang telah menjeratnya, sebelum terlambat.
****
Udara malam yang dingin merayap di sela-sela pepohonan raksasa, menyapu dedaunan yang berguguran di tanah hutan. Angin berdesir pelan, membawa serta aroma tanah basah dan kayu lapuk yang seakan menyatu dengan keheningan yang mengelilingi mereka. Di bawah langit yang kelam, di antara bayangan pepohonan yang menjulang, Alcard dan Kaelion berdiri dalam diam di samping gundukan tanah yang masih segar—kuburan sederhana bagi seorang gadis tak bernama yang nasibnya kini telah berakhir.
Alcard menarik napas panjang, dadanya naik turun seiring dengan ketegangan yang tak kunjung sirna dari pikirannya. Ia menatap tanah yang baru tergali itu dengan ekspresi yang sulit diartikan, campuran antara kemarahan, rasa bersalah, dan kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Kaelion, yang berdiri di sisinya, tak mengalihkan pandangannya dari Alcard. Tatapan matanya tajam, penuh dengan pertanyaan yang menuntut jawaban.
"Alcard." Kaelion akhirnya membuka suara, nada bicaranya rendah namun tegas, mencerminkan ketidaksabarannya yang mulai mencapai batas. "Sudah cukup menundanya. Aku butuh penjelasan. Ceritakan semuanya sekarang."
Alcard mengalihkan pandangannya dari tanah dan menundukkan kepalanya sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sebelum akhirnya ia menghela napas lagi. Dengan suara rendah yang dipenuhi kehati-hatian, ia mulai berbicara, menceritakan segalanya dari awal—dari saat ia menerima surat perintah dari Oldman, hingga bagaimana ia akhirnya sampai ke Edenvila dan bertemu kembali dengan Cevral. Setiap detail ia ungkapkan, tentang perjalanan yang dipenuhi kecurigaan, tentang kotak misterius yang diberikan kepadanya, dan bagaimana pada akhirnya semua ini membawanya pada kematian seorang gadis yang bahkan ia tidak tahu namanya.
"Aku sudah merasakan jika ada yang tidak beres sejak awal misi ini," ucapnya dengan nada frustasi yang jelas terdengar. "Tapi aku tidak pernah menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Tentara Edenvila menyebut gadis ini sebagai seorang Life-Seer, tapi aku tahu itu tidak mungkin. Aku pernah bertemu dengan Life-Seer yang asli, dan dia... dia sangat berbeda."
Kaelion menyilangkan tangan di dadanya, sorot matanya tajam penuh analisis. Ia mendengarkan dengan seksama, mencoba merangkai setiap potongan cerita yang disampaikan Alcard.
"Jika begitu," katanya dengan nada serius, "apa sebenarnya yang diinginkan Cevral? Jika dia tahu gadis ini bukan Life-Seer, mengapa ia mengirimmu untuk membawa seseorang yang sepertinya tidak memiliki peran penting?" Ada skeptisisme yang jelas dalam suaranya, seolah ia masih mencari celah dalam logika yang belum sepenuhnya masuk akal.
Alcard mengangkat bahu, wajahnya penuh dengan kelelahan yang kini tidak lagi bisa ia sembunyikan. "Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa ini semua adalah skema untuk menjebak para Outcast. Mungkin Cevral ingin menciptakan skenario seolah-olah kami menculik Life-Seer yang asli, atau lebih buruk lagi... membunuhnya."
Tangan Alcard mengepal di sisinya, amarah yang tadi sempat mereda kini kembali bergejolak. "Dan sekarang, dengan gadis ini dibawa kabur dan mati di tanganku, aku telah menjadi bagian dari rencana liciknya."
Keheningan menyelimuti mereka, hanya suara dedaunan yang bergesekan pelan tertiup angin yang menjadi saksi dari percakapan mereka. Kaelion menatap tanah yang baru saja mereka gali, ekspresinya dalam, seperti sedang mencoba memahami sesuatu yang lebih besar daripada yang tampak di permukaan. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang.
"Cevral memang licik, itu sudah jelas," ucapnya akhirnya, suaranya lebih pelan namun tetap tegas. "Tapi ini lebih dari sekadar permainan politik biasa. Jika dia ingin mengadu domba Outcast dengan kaum Elf, maka dia pasti sedang merencanakan sesuatu yang jauh lebih besar."
Alcard mengangkat tatapannya, matanya kini memancarkan kewaspadaan yang lebih dalam. "Jika itu yang dia inginkan, maka dia ingin menyalakan api perang antara Edenvila dan Elf. Dan aku hanyalah alat yang ia gunakan untuk memulainya."
Kaelion terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk, matanya menunjukkan pemahaman yang sama. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Alcard. Tapi kita harus bertindak cepat. Jika para pemimpin Elf mengetahui tentang kematian gadis ini sebelum kita sempat menjelaskan, mereka akan menganggap ini sebagai serangan dari Outcast. Dan kita berdua tahu, mereka tidak akan ragu untuk membalas dengan kekuatan penuh."
Alcard mengangguk setuju. Dalam situasi seperti ini, hanya ada satu cara untuk menghindari perang yang tak perlu—menemukan bukti yang cukup untuk membongkar rencana Cevral sebelum semuanya terlambat.
"Aku butuh bantuanmu, Kaelion," katanya dengan suara yang lebih dalam, lebih serius. "Aku harus membersihkan namaku, tidak, membersihkan nama para Outcast. Kita tidak bisa membiarkan Cevral menang dalam permainan kotornya."
Kaelion menatapnya lama, seakan menimbang segala risiko yang akan datang. Namun akhirnya, ia mengangguk dengan mantap, tekad terpancar dari wajahnya. "Aku akan membantumu, Alcard. Tapi kita harus berhati-hati. Satu kesalahan saja bisa menghancurkan kita semua."
Tatapannya beralih ke hutan yang semakin gelap di sekitar mereka, seolah menyadari bahwa bahaya lain bisa saja mengintai dari balik pepohonan yang tampak damai.
Alcard mengencangkan genggaman pada sarung pedangnya, wajahnya kini hanya menunjukkan satu hal—keteguhan yang tak tergoyahkan. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kita akan melangkah dengan hati-hati… dan memastikan bahwa Cevral tidak mendapatkan apa yang ia inginkan."
Dengan itu, mereka melangkah pergi, meninggalkan kuburan sederhana di belakang mereka. Meskipun tubuh mereka bergerak menjauh, beban yang mereka bawa di hati masing-masing tetap terasa berat. Mereka tahu, ini bukan akhir dari masalah—ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah mereka bayangkan.
****