Malam telah menyelimuti Edenvila saat Alcard tiba di gudang yang terletak di sudut kastil, jauh dari kemegahan aula-aula yang dipenuhi cahaya lilin dan perbincangan para bangsawan. Gudang itu gelap dan dingin, dinding-dinding batunya menyimpan kelembapan yang membuat udara terasa berat. Di tengah ruangan yang dipenuhi peti-peti kayu dan tong-tong tua, matanya langsung tertuju pada satu kotak besar yang berdiri kokoh di atas meja. Kotak itu terbuat dari kayu hitam yang kuat, dihiasi ukiran-ukiran rumit dan disegel dengan lambang kerajaan Edenvila yang berkilauan di bawah cahaya obor.
Alcard mendekati kotak itu, mengamati setiap detail dengan penuh kewaspadaan. Ia merasakan aura misterius yang menyelimutinya, seolah benda di dalamnya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar barang kiriman biasa. Dengan satu gerakan mantap, ia mengangkat kotak itu dengan mudah, meskipun ukurannya besar dan beratnya tidak bisa dianggap enteng. Ia meletakkannya dengan hati-hati di atas kereta kuda kecil yang sudah dipersiapkan di luar, memastikan setiap ikatan terpasang kuat agar tidak bergeser selama perjalanan.
Kuda hitamnya yang setia meringkik pelan, matanya yang gelap menatap Alcard dengan penuh pengertian. Seolah mengerti bahwa tugas kali ini berbeda dari sebelumnya. Alcard mengusap lembut leher kuda itu, suaranya lebih lembut daripada biasanya. "Kita sudah banyak melalui hal-hal sulit bersama, sobat. Ini hanya satu lagi dari sekian banyak perjalanan kita."
Ketika semua telah siap, seorang pelayan tua mendekatinya, langkahnya tertahan namun suaranya tegas, mencerminkan perintah yang jelas. "Ingat baik-baik," katanya, matanya tajam menatap Alcard. "Kotak ini tidak boleh dibuka dalam keadaan apa pun. Hanya para elf yang berhak melihat isinya."
Alcard menatap pelayan itu dengan ekspresi dingin dan tanpa emosi. Ia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan seseorang yang hanya menjalankan tugas. Ia hanya mengangguk sekali, lalu naik ke atas kereta, meninggalkan kastil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Rasa muak yang memenuhi dadanya sejak pertemuannya dengan Cevral masih terasa seperti bara yang tak padam.
Perjalanan keluar dari ibukota tidak mudah. Setiap tatapan yang dilemparkan padanya dipenuhi kebencian dan penghinaan. Beberapa warga bahkan berbisik di belakangnya, membicarakan sosoknya seolah ia adalah sesuatu yang lebih rendah dari kotoran di jalanan berbatu kota ini. Alcard mengabaikan semuanya, membiarkan tatapan penuh kebencian itu menjadi latar belakang yang tak berarti. Baginya, satu-satunya tujuan adalah keluar dari tempat ini secepat mungkin.
Setelah berjam-jam berkendara, akhirnya ia mencapai perbatasan kota dan memasuki wilayah hutan yang sepi. Pepohonan tinggi menjulang di kiri dan kanan, menciptakan lorong alami yang sunyi dan misterius. Ia menarik tali kendali, menghentikan kereta di tengah jalan setapak. Malam telah jatuh sepenuhnya, dan hanya suara angin yang berdesir di antara dedaunan yang menemani kesunyian.
Alcard turun dari kereta, berjalan beberapa langkah ke depan dengan tangan mencengkeram gagang pedangnya. Beban emosional yang ia tahan sejak di kastil kini mencapai puncaknya. Dengan satu tarikan nafas dalam, ia melepaskan semua yang ia pendam dalam bentuk teriakan keras yang menggema di antara pepohonan.
"Cevral, kau bajingan tua licik!" suaranya memenuhi hutan, amarahnya terpancar dalam nada seraknya.
Tanpa berpikir panjang, ia menghunus pedangnya dan mulai menebas udara di sekitarnya dengan gerakan yang penuh kemarahan. Tebasan demi tebasan menghantam batang pohon dan tanah, seolah setiap gerakan adalah wujud dari kebenciannya yang tak terbendung. Ia menyerang bayangan imajinernya, membayangkan wajah licik Cevral di setiap ayunan pedangnya. Nafasnya semakin berat, keringat mulai membasahi dahinya, tetapi ia tidak peduli. Ia ingin meluapkan semuanya—frustrasi, kesedihan, dan dendam yang selama ini ia pendam.
Setelah beberapa saat, Alcard berhenti, berdiri di tengah lingkaran ranting yang patah dan batang pohon yang tercabik. Ia menancapkan pedangnya ke tanah, dadanya naik-turun dalam tarikan nafas yang berat. Pandangannya tertuju ke pedangnya yang berkilauan di bawah sinar rembulan yang berhasil menembus celah dedaunan.
"Aku bersumpah, Cevral," bisiknya lirih, tetapi penuh tekad. "Jika ini adalah permainanmu, aku akan menemukannya. Dan ketika aku melakukannya, kau akan menyesal telah menyentuh keluargaku."
Hening menyelimuti malam. Alcard tetap berdiri di sana beberapa saat, mencoba meredakan gejolak yang berkecamuk di dalam dirinya. Setelah cukup tenang, ia menyarungkan pedangnya kembali dan berjalan perlahan menuju kereta kuda. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia menepuk leher kudanya, menenangkan hewan itu yang sempat gelisah akibat ledakan emosinya.
"Maaf," bisiknya pada kuda itu, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Ia menarik tali kendali, melanjutkan perjalanan ke arah hutan yang semakin gelap. Meski kemarahan dalam dirinya belum sepenuhnya reda, pikirannya mulai kembali fokus pada tugas yang diembannya. Ia tahu, apa pun yang menunggunya di depan, ia harus siap menghadapi semuanya—baik itu ancaman dari luar, maupun luka dari masa lalunya yang terus menghantuinya.
****
Perjalanan panjang Alcard akhirnya membawanya keluar dari perbatasan Edenvila, meninggalkan di belakangnya negeri yang penuh dengan tatapan menghina dan ejekan yang tanpa henti menghujamnya selama ia berada di sana. Ia tidak menoleh ke belakang, memacu kudanya dengan kecepatan yang hampir membutakan, seolah-olah berusaha menghapus setiap kenangan pahit dari pikirannya. Derap kaki kuda dan derit roda kereta yang membawanya menjadi satu-satunya suara yang terdengar di sepanjang jalan berbatu yang terbentang di hadapannya.
Ketika matahari mulai merunduk ke ufuk barat dan langit berubah jingga, Alcard akhirnya menarik tali kendali kudanya dan berhenti di tengah padang luas yang tenang. Ia menilai tempat itu cukup aman untuk beristirahat semalam. Dengan cekatan, ia melepaskan tali kekang kudanya, membiarkan hewan itu merumput sementara ia mendirikan kemah kecil di bawah langit yang mulai gelap. Sambil mengusap lembut leher kudanya yang berkeringat, ia berbicara dengan nada lebih lembut dari biasanya, "Kau sudah bekerja keras hari ini, sobat. Istirahatlah sejenak. Besok kita tak perlu terburu-buru."
Setelah memeriksa keadaan sekeliling dan memastikan tidak ada bahaya yang mengintai, Alcard duduk di dekat api unggun kecil yang ia buat, membiarkan kehangatannya sedikit mengusir dingin yang mulai merayap. Tatapannya tertuju pada kotak besar di atas kereta yang kini tampak seperti beban yang semakin berat, bukan hanya secara fisik tetapi juga mental. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan barang ini, sesuatu yang mungkin lebih besar dari yang ia duga sebelumnya.
Keesokan paginya, perjalanan berlanjut dengan kecepatan yang lebih lambat, membiarkan kudanya memulihkan tenaga setelah perjalanan yang melelahkan. Alcard tetap waspada, setiap gerakan di sekitar jalan sempit yang membelah hutan tidak luput dari perhatiannya. Seolah firasat buruknya terbukti benar, ia mulai merasakan ada sesuatu yang mengintai dari balik rimbunnya pepohonan di kedua sisi jalan.
Tanpa peringatan, sekumpulan bandit muncul dari bayangan hutan, berjumlah lebih banyak daripada yang biasanya ia temui. Mereka adalah pria-pria kasar dengan pakaian compang-camping, membawa senjata seadanya namun ekspresi mereka penuh percaya diri. Salah satu dari mereka, seorang pria besar dengan bekas luka yang melintang di wajahnya, maju ke depan sambil mengacungkan pedang berkarat ke arah Alcard.
"Serahkan kotak itu, Outcast," suaranya serak dan penuh ancaman. "Mungkin kami akan membiarkanmu pergi dengan seluruh anggota tubuhmu utuh."
Alcard tetap tenang, meskipun jari-jarinya kini dengan erat mencengkeram gagang pedangnya. Matanya yang tajam mengamati gerombolan bandit di sekitarnya, menghitung kemungkinan kemenangan. "Kalian paham siapa yang sedang kalian hadapi?" katanya dengan suara rendah namun tajam. "Aku adalah seorang Outcast. Aku tidak memiliki apa-apa untuk kehilangan. Jika kalian ingin mencobanya, pastikan kalian siap mati."
Bandit-bandit itu hanya tertawa kasar, suara mereka memenuhi udara yang sebelumnya sunyi. "Nyali besar untuk seseorang yang sendirian," sahut pemimpin mereka dengan seringai licik. "Barang itu lebih berharga daripada hidupmu yang tidak berarti."
Tanpa membuang waktu, bandit-bandit itu bergerak cepat, mencoba mengepungnya dari berbagai arah. Namun, Alcard jauh lebih cepat. Dengan gerakan yang terlatih dari pertempuran bertahun-tahun, pedangnya berkelebat seperti kilatan petir di bawah sinar matahari pagi. Dalam satu tebasan, dua bandit terjatuh dengan suara jeritan yang menyayat, sementara yang lain mundur sejenak, kaget oleh kecepatan dan ketepatannya.
Pertempuran berubah menjadi perburuan satu sisi. Alcard bergerak seperti bayangan yang tak terhentikan, setiap serangannya presisi, tanpa gerakan yang sia-sia. Satu demi satu bandit jatuh, tanah yang semula kering kini dibasahi darah. Dalam hitungan menit, hanya keheningan yang tersisa, disertai suara napas Alcard yang berat dan mayat-mayat yang berserakan di sekitarnya.
Ia menatap medan pertempuran yang kini sunyi, lalu beralih ke kotak yang masih utuh di kereta. Wajahnya penuh dengan keraguan dan kewaspadaan. "Apa sebenarnya isi kotak ini...?" gumamnya pelan, matanya tetap tertuju pada benda misterius yang seolah membawa kutukan.
Alcard melangkah ke kereta, memastikan bahwa tidak ada yang menyentuh kotak itu selama pertarungan. Ia membersihkan pedangnya dengan kain dari pakaian salah satu bandit, lalu menyarungkannya kembali. Setelah menarik napas panjang, ia kembali menaiki kudanya dan memacu kereta pelan meninggalkan tempat yang kini menjadi kuburan bagi para penyerangnya.
Selama perjalanan selanjutnya, ia tidak bisa menghilangkan rasa curiga yang semakin kuat. Ada sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang melibatkan lebih dari sekadar misi pengiriman biasa. Ia mulai menyadari bahwa Edenvila tidak akan mengirimnya hanya untuk sebuah tugas remeh. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya sedang menunggunya di ujung jalan ini, dan ia harus siap menghadapinya.
Dengan kewaspadaan yang lebih tinggi dari sebelumnya, Alcard melanjutkan perjalanannya, matanya tidak pernah berhenti mengamati setiap sudut hutan yang mulai tampak semakin gelap. Perjalanan ini masih panjang, dan ia tahu, tantangan yang lebih besar akan segera datang.
****
Perjalanan Alcard terasa semakin berat seiring waktu berlalu. Jalan yang ia lalui tak hanya dipenuhi bahaya alam liar, tetapi juga gangguan tanpa henti dari kelompok bandit yang datang silih berganti seperti gelombang pasang yang tiada akhir. Dalam beberapa hari terakhir, ia telah menghabisi puluhan dari mereka, tubuh mereka berserakan di sepanjang jalan yang ia tempuh. Namun, seolah tak ada habisnya, bandit-bandit baru selalu muncul, membuatnya semakin frustrasi. Ia mulai menyadari bahwa perjalanan ini jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di bawah sinar matahari yang menyengat, Alcard menghentikan keretanya di sebuah persimpangan kecil yang dipenuhi ilalang tinggi. Ia mengeluarkan peta lusuh dari dalam mantel kulitnya dan menatap jalur yang terbentang di hadapannya. Pikirannya dipenuhi keraguan. "Mungkin aku harus mengambil jalur melalui wilayah Jovalian dan masuk ke wilayah Elf dari sana," gumamnya sambil menelusuri jalur alternatif di peta. Namun, dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis ide itu. Jovalian bukanlah pilihan yang bijak. Di sana, pengkhianatan dan korupsi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dan bagi seorang yang dicap sebagai Outcast seperti dirinya, kerajaan itu adalah jebakan hidup yang hanya akan berakhir dengan dirinya menjadi kambing hitam atas kesalahan orang lain.
Dengan perasaan berat, ia memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan melalui jalur utara, meskipun hati kecilnya memperingatkan tentang bahaya yang mungkin menanti di depan. Ia merapikan kembali peta ke dalam mantel dan menatap cakrawala yang membentang di depannya. "Tidak ada pilihan lain," gumamnya pelan.
Kecurigaannya terbukti benar ketika, di tengah hutan lebat yang mulai menutup langit, sekelompok pria bersenjata muncul dari balik pepohonan dengan langkah penuh percaya diri. Mereka bukan bandit biasa—Alcard bisa melihat dari cara mereka membawa diri bahwa mereka adalah tentara bayaran, bukan sekadar pencuri jalanan. Dengan baju zirah ringan dan senjata yang terlihat terawat, mereka bergerak dengan disiplin yang jauh berbeda dari kelompok-kelompok bandit sebelumnya.
Salah seorang dari mereka, pria tinggi dengan bekas luka panjang di pipinya, berjalan ke depan dengan seringai yang penuh kesombongan. "Akhirnya kita bertemu, Outcast," suaranya terdengar seperti racun yang mengalir perlahan. "Kau sudah membuat cukup banyak kekacauan di jalur ini."
Alcard, yang masih berdiri di samping kudanya, mengamati mereka dengan waspada. Ia tidak terburu-buru, namun ia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Tangannya perlahan bergerak ke gagang pedangnya, sementara matanya tetap terkunci pada para tentara bayaran. "Apa yang kalian inginkan?" tanyanya dengan suara tenang namun tajam. "Jika kalian pikir aku hanya Outcast yang bisa kalian intimidasi, kalian telah membuat kesalahan besar."
Pria itu tertawa kecil, suara tawanya tajam dan menusuk. "Kami tidak peduli siapa kau, Outcast. Kami hanya peduli pada uang. Dan kebetulan, ada harga yang cukup tinggi untuk kepalamu dan kotak kecil yang kau bawa itu."
Alcard merasakan gelombang kemarahan yang ia tahan di dalam dadanya. "Siapa yang menyewa kalian?" Ia mempersempit matanya, mencoba menggali informasi. "Dan apa yang sebenarnya ada di dalam kotak ini?" Nada suaranya penuh kecurigaan.
Pemimpin tentara bayaran itu hanya mengangkat bahu dengan santai, menikmati ketegangan di antara mereka. "Itu bukan urusanmu, Outcast. Yang kami tahu, kotak itu berisi sesuatu yang bisa membuat siapa pun kaya raya seumur hidup. Dan mendengar itu, kami tak bisa menolak."
Alcard mendengus pelan, merasakan muak yang semakin dalam. "Harta karun?" gumamnya dengan nada sinis. "Hanya orang bodoh yang percaya omong kosong seperti itu."
Namun, lawannya tampaknya tak terpengaruh. "Bodoh atau tidak, tugas kami sederhana. Berikan kotak itu, dan kau mungkin bisa pergi tanpa kehilangan nyawamu."
Alcard menatap mereka tajam, lalu perlahan mengangkat pedangnya, refleksi cahaya dari mata pedangnya berkilat di udara. "Kalian boleh mencoba," katanya, suaranya sedingin baja.
Tanpa peringatan lebih lanjut, pertempuran pun pecah. Para tentara bayaran menyerang dengan formasi terlatih, mencoba mengepungnya dan menjauhkan dirinya dari kereta. Namun, Alcard, dengan keahliannya yang telah diasah oleh bertahun-tahun bertarung melawan monster dan manusia, bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan. Pedangnya menari di udara, memotong lawan dengan presisi yang mengerikan, setiap tebasan membawa kematian.
Pertempuran berlangsung sengit. Para tentara bayaran jauh lebih terlatih daripada bandit yang ia hadapi sebelumnya. Meskipun ia berhasil menjatuhkan banyak dari mereka, jumlah mereka yang banyak dan serangan yang tiada henti mulai menggerogoti stamina Alcard. Luka-luka kecil mulai muncul di tubuhnya, dan napasnya semakin berat.
Namun, pada akhirnya, pengalaman dan tekad yang dimilikinya lebih kuat. Dengan satu serangan terakhir yang menghancurkan, Alcard berdiri di tengah tumpukan mayat yang berserakan, pedangnya masih meneteskan darah. Ia menghela napas panjang, tubuhnya dipenuhi luka dan keringat, tetapi kemenangannya tak terbantahkan.
Menatap kotak besar yang masih utuh di kereta, ia mengerutkan dahi dengan penuh curiga. "Harta karun...?" gumamnya. "Tidak, ini sesuatu yang jauh lebih berbahaya."
Dengan tangan yang masih berlumuran darah, ia kembali ke kudanya, menepuk lehernya untuk menenangkan hewan yang masih gelisah itu. "Kita harus tetap bergerak," bisiknya, matanya tetap waspada pada jalan di depan.
Apa pun yang tersembunyi dalam kotak ini, nilainya jauh lebih besar dari sekadar emas atau permata. Dan semakin banyak yang mengejarnya, semakin yakin ia bahwa ia terjebak dalam konspirasi yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
****
Perjalanan panjang yang Alcard tempuh semakin terasa memberatkan, bukan hanya karena tubuhnya yang mulai lelah, tetapi juga oleh pikiran yang terus-menerus dipenuhi oleh kata-kata tentara bayaran yang sempat ia hadapi sebelumnya. Mereka menyebutkan sesuatu yang membuat darahnya mendidih—harga besar yang telah dipasang untuk kepalanya. Dan hanya satu nama yang muncul di benaknya, satu orang yang memiliki kelicikan dan pengaruh yang cukup untuk merencanakan sesuatu sekompleks ini—Cevral.
Alcard mengembuskan napas panjang, dadanya naik turun dalam gelombang kemarahan yang sulit ia redam. "Si ular tua itu," gumamnya, suaranya rendah dan bergetar dengan kebencian yang mendalam. "Dia pasti telah merancang semua ini dengan tangannya sendiri, menjadikanku bidak dalam permainan politiknya yang kotor."
Matanya menyipit, menatap lurus ke cakrawala dengan penuh kewaspadaan. Ia tahu, Cevral tidak akan berhenti hanya dengan mengirim tentara bayaran atau menyebar ancaman. Pria itu selalu memiliki rencana cadangan, sebuah strategi yang telah disusun berlapis-lapis, siap untuk menjebaknya kapan saja.
Pandangannya beralih ke kereta kecil di belakang kudanya, di mana sebuah kotak besar terikat erat dengan tali kulit yang kokoh. Kotak itu, benda yang telah menyeretnya ke dalam pusaran masalah ini. Semakin lama, semakin besar godaan dalam dirinya untuk membuka dan melihat apa yang tersembunyi di dalamnya. Apa sebenarnya yang begitu berharga hingga membuat Cevral mengirim pasukan untuk memastikan kotak ini sampai ke tujuan? Hanya harta biasa, atau sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Tangannya secara refleks bergerak ke gagang pedang di sisinya, jemarinya mengeratkan genggaman pada baja dingin itu. Dorongan kuat untuk mengabaikan perintah dan membuka kotak itu semakin menggerogoti pikirannya. "Jika aku tahu apa yang ada di dalamnya," pikirnya dalam hati, "aku bisa memiliki kendali atas situasi ini. Aku bisa mencari jalan keluar sebelum terlambat."
Namun, naluri bertahannya yang selama ini selalu menjadi penyelamatnya berbisik lain. Membuka kotak itu berarti melanggar perintah langsung, dan siapa pun yang menginginkan isinya pasti tidak akan membiarkannya lolos dengan mudah. Ia mungkin seorang Outcast, tetapi tugas dari Oldman adalah sesuatu yang mutlak. Tidak boleh ada pengkhianatan, bahkan ketika perintah itu terasa semakin mencurigakan.
Saat ia masih mempertimbangkan keputusannya, telinganya menangkap suara samar di kejauhan. Derap kaki kuda yang berlari dengan kecepatan tinggi, memecah keheningan jalan yang sejak tadi hanya diisi oleh suara angin dan langkah kudanya sendiri. Ia segera menoleh, matanya menajam saat menangkap bayangan yang bergerak cepat dari arah timur.
Di kejauhan, bendera Edenvila berkibar dengan gagah di atas kavaleri yang datang dalam formasi rapi. Jumlah mereka tidak sedikit, dan cara mereka bergerak menunjukkan bahwa ini bukan patroli biasa. Tidak ada alasan bagi pasukan Edenvila untuk berada di sini—kecuali jika mereka sedang memburu seseorang.
"Ini bukan pertanda baik," desisnya.
Dalam sekejap, Alcard bergerak cepat, melompat dari punggung kudanya dan berlindung di sisi kereta. Ia menyembunyikan dirinya sejenak, menilai situasi dengan mata tajam yang memindai setiap detail. Ia menghitung jumlah mereka, membaca gerakan mereka, dan dalam hatinya, ia sudah tahu bahwa ini bukan pertemuan biasa. Mereka datang dengan tujuan jelas, dan itu tidak ada hubungannya dengan perundingan damai.
Genggamannya pada pedang semakin erat, tubuhnya menegang, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Kudanya menginjak tanah dengan gelisah, ekornya bergerak tidak tenang, seolah ikut merasakan ketegangan yang meliputi tuannya. Alcard mengusap leher kuda itu dengan tangan kirinya, membisikkan kata-kata yang tenang meskipun di dalam dirinya, ia tahu pertempuran tidak bisa dihindari.
Derap langkah kuda semakin mendekat, debu beterbangan di sepanjang jalan berkerikil. Dalam hitungan detik, mereka sudah cukup dekat untuk menampakkan wajah-wajah tegas para prajurit Edenvila. Mata mereka penuh dengan ketegasan dan ketidakpercayaan, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka datang dengan niat baik.
Alcard menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-parunya. Ia berdiri tegak di depan keretanya, pedang yang selama ini menjadi perpanjangan tangannya berkilauan di bawah sinar matahari yang mulai condong. Matanya menatap lurus ke arah kavaleri yang kini berhenti hanya beberapa meter di depannya, penuh dengan keteguhan dan kewaspadaan yang tak tergoyahkan.
"Jika mereka datang untuk kotak ini," gumamnya pelan, suaranya penuh keteguhan, "maka mereka harus melewati mayatku terlebih dahulu."
Ia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil sesuatu darinya dengan mudah. Tidak ketika ia tahu bahwa semua ini adalah bagian dari permainan licik yang lebih besar. Tidak ketika ia sudah cukup lama menjadi boneka dalam tangan orang lain.
Saat debu yang mengepul mulai mengendap dan ketegangan semakin terasa di udara, Alcard mengencangkan genggaman pada pedangnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Satu hal kini semakin jelas baginya—tidak ada jalan kembali. Jalan di depannya kini hanya diwarnai oleh pertarungan dan darah.
****
Serangan yang datang begitu mendadak, seperti yang sudah Alcard perkirakan sejak awal. Regu kavaleri Edenvila tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berbicara atau bernegosiasi. Tanpa aba-aba, mereka langsung menyerang dengan keganasan yang mencerminkan tekad mereka untuk menyingkirkan Alcard secepat mungkin. Matahari yang masih menggantung di langit tinggi memantulkan cahaya pada bilah pedang mereka, menciptakan kilatan yang mematikan setiap kali mereka mengayunkannya. Tombak-tombak meluncur dengan kecepatan tinggi, mengoyak udara sebelum menghantam tanah berbatu di sekelilingnya. Debu tebal membubung, menyelimuti pertempuran yang baru saja dimulai.
Di barisan depan pasukan Edenvila, seorang pria bertubuh tegap yang mengenakan jubah biru gelap khas kerajaan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Sorot matanya penuh dengan kemarahan yang membara saat ia berteriak lantang, suaranya bergema di antara pekikan kuda dan benturan logam.
"Beraninya kau, Outcast hina, menculik life-seer kami! Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan! Dia adalah harapan Edenvila, sosok yang kami lindungi dengan jiwa dan raga!"
Kata-kata itu menghantam Alcard lebih keras daripada serangan apa pun. Jantungnya berdetak lebih cepat, matanya sedikit membelalak saat benaknya dipenuhi dengan kebingungan. Life-seer? pikirnya dalam hati, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. Selama ini, ia hanya mengira bahwa kotak besar yang ia bawa hanyalah berisi dokumen rahasia atau barang berharga yang menjadi bagian dari permainan politik kotor Edenvila. Namun, jika yang mereka katakan benar, jika di dalam kotak itu terdapat seseorang yang disebut sebagai life-seer, maka situasi ini jauh lebih rumit—dan lebih berbahaya—daripada yang ia bayangkan.
Namun, tak ada waktu untuk tenggelam dalam kebingungan. Serangan para prajurit terus berlanjut, semakin gencar, semakin brutal. Tombak lain melesat ke arahnya dengan kecepatan mematikan. Dengan refleks luar biasa, Alcard berhasil menghindar tepat pada detik terakhir, tubuhnya bergerak cepat seperti bayangan yang tidak dapat disentuh. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Setiap celah yang ia coba manfaatkan segera ditutup oleh serangan lainnya. Mereka bukanlah tentara biasa—mereka adalah pasukan elit kerajaan, terlatih untuk membunuh tanpa ragu.
Keringat mulai mengalir di dahinya, matanya terus bergerak, mencari jalan keluar dari situasi yang semakin buruk. Namun, ia tahu bahwa dirinya sudah terkepung. Jika ia terus bertarung dengan kondisi seperti ini, cepat atau lambat mereka akan berhasil menjatuhkannya. Pilihan yang ia miliki kini semakin terbatas.
Tanpa membuang waktu, Alcard merogoh kantong kecil di pinggangnya, jemarinya dengan cepat menemukan sebuah botol kaca kecil yang berisi cairan merah pekat. Bloody Potion. Sebuah ramuan terlarang yang memberikan kekuatan luar biasa dalam waktu singkat, tetapi dengan konsekuensi yang tidak bisa diremehkan. Ia menatap cairan itu sejenak, menyadari sepenuhnya risiko yang akan datang setelah menggunakannya. Tetapi dalam situasi ini, ia tidak punya pilihan lain.
Dengan gerakan cepat, ia membuka tutup botol dan meneguk seluruh isinya tanpa ragu.
Efeknya langsung terasa. Seolah api yang membara merayap melalui pembuluh darahnya, mengisi setiap ototnya dengan kekuatan yang tidak manusiawi. Detak jantungnya melonjak, matanya berubah tajam seperti predator yang mencium bau darah. Pandangannya menjadi lebih jelas, setiap gerakan musuh kini terasa lebih lambat dibandingkan sebelumnya.
"Kalian tidak tahu dengan siapa kalian berurusan," desisnya dengan suara yang lebih dalam dan mengancam dari sebelumnya.
Tanpa membuang waktu, ia melompat ke tengah-tengah kavaleri, menerjang seperti badai yang tak terhentikan.
Pertempuran berubah menjadi pembantaian.
Pedang Alcard bergerak dengan kecepatan yang sulit ditangkap oleh mata biasa. Setiap tebasan adalah hukuman mati. Tiga prajurit pertama yang mencoba mendekati kereta segera terjungkal, darah mereka menyembur ke udara sebelum mereka sempat bereaksi. Kuda-kuda mereka meringkik ketakutan, mundur dari sosok yang kini lebih menyerupai binatang buas daripada manusia.
Namun, efek Bloody Potion memiliki harga yang harus dibayar. Napasnya semakin berat, dadanya terasa seperti terbakar dari dalam. Kepalanya mulai berdenyut, denyutan yang semakin lama semakin menyakitkan, merayap ke seluruh pikirannya seperti belenggu yang perlahan mengikat kesadarannya. Tetapi ia tidak peduli. Ia terus bergerak, terus bertarung, hingga satu demi satu musuh berguguran di bawah pedangnya.
Dan ketika pertarungan akhirnya berakhir, medan di sekitarnya telah berubah menjadi lautan darah dan tubuh yang tak bernyawa.
Alcard berdiri di tengahnya, napasnya memburu, matanya masih menyala dengan energi liar yang belum sepenuhnya mereda. Tubuhnya masih gemetar akibat efek potion, tetapi ia tidak bisa berhenti sekarang. Dengan langkah cepat, ia bergegas menuju kereta, jemarinya yang masih gemetar meraih segel kerajaan yang mengunci kotak misterius itu.
Ia harus tahu.
Dengan satu tarikan kuat, segel itu terlepas. Tutup kotak itu terbuka perlahan, dan apa yang ada di dalamnya membuat Alcard tertegun.
Di dalamnya, seorang gadis muda terbaring dalam kondisi tak berdaya. Kulitnya pucat seperti salju, rambutnya keemasan, dan tubuhnya tampak lemah, seolah telah tertidur dalam waktu yang sangat lama. Napasnya teratur, tetapi tidak ada tanda-tanda kesadaran.
Alcard mengamati wajah gadis itu dengan cermat, dan perasaan lega menyelinap di dadanya. "Dia… bukan Arwen," gumamnya pelan. Namun, meskipun ia merasa lega mengetahui bahwa Arwen bukanlah orang yang berada di dalam kotak ini, kebingungan lain segera menyerang pikirannya.
Jika gadis ini memang life-seer Edenvila seperti yang dikatakan oleh para prajurit tadi, lalu siapa sebenarnya dia? Mengapa Edenvila begitu putus asa untuk mendapatkannya kembali? Dan yang lebih penting, mengapa mereka mengira bahwa akulah yang menculiknya?
Mata Alcard tetap tertuju pada gadis itu, berbagai pertanyaan berputar di kepalanya, mengisi pikirannya dengan kemungkinan-kemungkinan yang semakin sulit untuk diabaikan.
Apakah ini bagian dari skema politik Cevral?
Ataukah ini adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan?
Satu hal yang pasti—misi ini tidak lagi hanya tentang sebuah kotak misterius. Kini, ia telah terseret ke dalam sebuah pusaran yang jauh lebih dalam dari yang ia kira. Tidak ada jalan untuk kembali. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah mencari kebenaran, tidak peduli seberapa berbahayanya itu.
****