Bab 37

Langit kelabu membentang luas di atas cakrawala, menyelimuti hamparan tanah beku yang membentang di hadapan Alcard. Udara dingin menggigit kulit, menandakan bahwa musim dingin telah mulai merayap perlahan ke utara, membawa serta angin tajam yang menusuk hingga ke tulang. Setelah lebih dari sepuluh hari perjalanan yang melelahkan, tubuhnya terasa berat, tetapi matanya tetap tajam, penuh kewaspadaan. Setiap tarikan napasnya terlihat dalam embusan uap putih yang keluar dari mulutnya, kontras dengan dinginnya udara sekitar.

Kuda hitamnya masih bergerak dengan langkah mantap, meski Alcard bisa merasakan bagaimana nafas hewan itu semakin berat, otot-ototnya menegang karena kelelahan yang tak terhindarkan. Hamparan padang rumput luas yang dulunya hijau subur kini perlahan tertutup oleh lapisan salju tipis, menciptakan pemandangan yang sepi dan hampa. Di kejauhan, berdiri kokoh menara-menara penjaga Edenvila, menjulang tinggi dengan bendera-bendera kerajaan yang berkibar anggun di puncaknya. Lambang singa emas kerajaan tampak jelas dalam bayangan mendung yang menggelayut di atasnya, seakan menjadi pengingat bahwa ia kini telah tiba di wilayah yang bukan hanya asing, tetapi juga penuh dengan permusuhan.

Saat mendekati gerbang besar yang menjadi batas resmi antara Middle Earth dan Edenvila, suara derit rantai dan logam saling beradu terdengar ketika penjaga-penjaga perbatasan mulai bergerak. Suara langkah-langkah berat mereka menggema di udara yang dingin, diiringi dengan tatapan penuh ketidakpercayaan dan penghinaan. Alcard tetap diam di atas kudanya, wajahnya tetap tanpa ekspresi saat matanya menangkap gerakan beberapa penjaga yang mulai mendekat, bersiap untuk menghadang kedatangannya.

Dari arah kiri, seorang pria bertubuh besar dengan janggut tebal melangkah maju, senyumnya menyeringai penuh ejekan. "Lihat siapa yang datang," suaranya dalam dan kasar, nada mengejeknya begitu jelas terdengar. "Seorang Outcast berani menginjakkan kaki di tanah Edenvila? Sungguh sebuah penghinaan."

Tawa kasar menyusul di belakangnya. Seorang penjaga lain, lebih muda tetapi tidak kalah sombongnya, menimpali dengan nada yang sama. "Tak tahu malu," katanya dengan suara yang mengandung penghinaan tajam. "Apakah dia lupa bahwa sampah buangan seperti dirinya seharusnya tidak pernah diterima di tempat ini?"

Nada mereka bercampur dengan suara deru angin yang semakin kencang, memenuhi udara yang sudah dingin dengan cemoohan yang nyaris membeku di tempat. Beberapa penjaga lain tertawa keras, seakan Alcard hanyalah hiburan yang datang tanpa sengaja di hari mereka yang membosankan.

Namun, Alcard tetap tidak bergerak, wajahnya tetap dingin seperti es yang mulai membeku di tanah di bawahnya. Tidak ada sedikit pun kemarahan yang tampak dalam sorot matanya, tetapi ketegangan yang samar mengendap di sekitar tubuhnya. Ia tidak menanggapi, tidak juga memberikan tatapan balas yang bisa memicu provokasi lebih jauh. Baginya, membuang energi untuk menghadapi hinaan mereka adalah sesuatu yang sia-sia.

Dengan punggung tegak dan kepala yang tetap menghadap ke depan, Alcard melajukan kudanya melewati gerbang besar, membiarkan ejekan dan hinaan itu berlalu seperti angin dingin yang bertiup. Tetapi, jauh di dalam dirinya, ia bisa merasakan tekanan yang menggumpal, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kemarahan. Perlakuan seperti ini sudah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun, tetapi di Edenvila, cemoohan itu terasa berbeda—lebih dingin, lebih tajam, seolah-olah setiap kata yang dilemparkan kepadanya adalah belati yang ditujukan langsung ke jantungnya.

Orang-orang utara memang terkenal sebagai kaum yang paling membenci Outcast. Tidak seperti mereka yang hidup di dekat The Wall dan memahami alasan mengapa para Outcast ada, orang-orang Edenvila melihat mereka hanya sebagai sisa-sisa kegagalan peradaban, sebagai bayangan gelap yang seharusnya sudah lama dihapuskan dari dunia.

"Mereka tidak tahu apa-apa," pikir Alcard, mempererat genggamannya pada tali kendali kuda. Ia menahan desakan untuk membalas, memilih untuk tetap diam dan fokus pada tujuan yang lebih besar. Ia tidak datang ke sini untuk meladeni orang-orang yang pikirannya sempit. Ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar membalas penghinaan mereka.

Ia harus mencapai ibukota Edenvila.

Di sanalah jawaban yang ia cari berada.

Semakin jauh ia memasuki wilayah Edenvila, suhu udara semakin menusuk, dinginnya menggigit hingga ke tulang. Angin utara yang berhembus kencang membawa aroma hutan pinus yang tumbuh di sekitar, menciptakan suasana yang sepi tetapi penuh ketegangan. Setiap langkah kuda di atas tanah yang mulai membeku terdengar begitu jelas di telinganya, mengingatkannya bahwa ia kini semakin mendekati jantung kerajaan yang telah lama dikenal karena kelicikannya dalam permainan politik.

Di benaknya, satu pertanyaan masih terus berputar tanpa henti.

Apakah ini semua hanyalah sebuah tugas sederhana yang diberikan oleh seseorang yang memiliki kepentingan tersembunyi? Ataukah ini benar-benar jebakan yang telah dirancang dengan rapi untuk menjeratnya?

Alcard tidak tahu jawabannya.

Namun, ia sadar bahwa apa pun yang menantinya di ibukota, ia tidak bisa menunjukkan kelemahan sedikit pun. Jika ini benar-benar sebuah permainan, maka ia harus memastikan bahwa dirinya tidak sekadar menjadi bidak yang mudah dijatuhkan.

Perjalanan ini bukan lagi sekadar membawa sesuatu ke Edenvila.

Ini adalah langkah menuju kebenaran, atau mungkin juga menuju bahaya yang lebih besar daripada yang pernah ia hadapi sebelumnya.

Dan apa pun yang terjadi di depan sana, ia telah bersiap.

****

 

Langit di atas Edenvila dipenuhi awan kelabu yang menggantung rendah, seolah mencerminkan perasaan yang berkecamuk dalam hati Alcard. Semakin dalam ia melangkah ke jantung kerajaan ini, semakin berat beban yang ia rasakan. Bukan hanya kelelahan dari perjalanan panjang yang telah menguras fisiknya, tetapi juga tekanan yang tak kasat mata, menghimpitnya dari segala arah. Setiap langkahnya terasa diawasi, setiap gerakan sekecil apa pun disambut dengan tatapan tajam yang menyelidik dan penuh penghinaan.

Tidak ada tempat yang lebih dingin dan lebih tidak bersahabat bagi seorang Outcast selain Edenvila.

Di sepanjang jalan berbatu yang tersusun rapi, bisikan-bisikan mulai terdengar, meski mereka mencoba berbicara dengan pelan. Bagi Alcard, suara-suara itu jelas terdengar di tengah udara dingin yang menyelimuti kota.

"Lihat itu, seorang Outcast berani berjalan di jalanan kita," gumam seorang pria tua yang berdiri di depan kedai anggur mewah, suaranya dipenuhi nada merendahkan yang bahkan tidak berusaha disembunyikan.

"Kenapa dia tidak tetap tinggal di selatan, di antara monster dan kegelapan?" seorang wanita bergaun sutra yang elegan menimpali, diiringi tawa sinis yang terdengar seperti belati tajam yang menggores kulit. Matanya menatap Alcard seolah ia adalah noda kotor yang menodai kesempurnaan kota mereka.

Cibiran mereka datang seperti angin dingin yang menusuk tulang, tak terlihat namun mampu melukai dengan tajam. Hinaan demi hinaan meluncur tanpa ragu, seolah kehadirannya di Edenvila adalah penghinaan bagi tanah ini.

Namun, Alcard tidak menunjukkan reaksi apa pun. Wajahnya tetap datar, matanya lurus menatap ke depan, seolah mereka tidak lebih dari suara angin lalu yang tidak layak diperhatikan. Tidak ada gunanya menanggapi kebencian yang sudah tertanam begitu dalam dalam benak mereka. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini, meskipun di Edenvila, setiap kata-kata itu terasa lebih tajam, lebih menusuk ke dalam luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

Kerajaan ini adalah simbol kesempurnaan bagi manusia—megah, kaya, dan berkuasa. Mereka memiliki segalanya: pasukan yang kuat, perekonomian yang stabil, dan kekuasaan yang tidak tergoyahkan. Mereka tidak pernah membutuhkan Outcast, tidak seperti kerajaan lain yang terkadang masih menggunakan jasa mereka. Bagi mereka, Outcast adalah bayangan kelam dari kegagalan peradaban, sesuatu yang seharusnya dihapus dari sejarah.

Di antara tiga kerajaan besar yang masih berdiri di Middle Earth, Edenvila adalah yang paling angkuh. Wilayahnya terbentang luas dari pegunungan dingin di utara hingga perbatasan Middle Earth, dan mereka memiliki cukup kekuatan untuk mengusir siapa pun yang berani mengancam kedaulatan mereka. Itulah mengapa kehadiran Alcard di sini menjadi bahan ejekan. Mereka tidak butuh bantuan, mereka tidak meminta pertolongan. Lalu mengapa sekarang seorang Outcast dipanggil ke tempat ini?

Tapi bagi Alcard, hinaan ini bukan sekadar kata-kata. Setiap ucapan yang meremehkannya, setiap tatapan penuh kebencian, adalah pengingat pahit dari masa lalunya—masa ketika ia masih berdiri di puncak kejayaan. Ia pernah menjadi seorang jenderal yang dihormati, bukan hanya di kerajaannya sendiri tetapi juga di antara musuh-musuhnya. Dulu, ia memimpin pasukan Jovalian melawan Edenvila dalam perang yang dicatat dalam sejarah. Ia adalah sosok yang membawa kemenangan, yang membuat musuh-musuhnya bertekuk lutut dengan strategi yang brilian dan keberanian yang tak tertandingi.

Namun, kejayaan itu tidak berlangsung lama.

Fitnah, pengkhianatan, dan politik busuk menghapus segalanya dalam sekejap. Nama yang dulu disanjung kini dilupakan, kehormatan yang ia bangun dihancurkan begitu saja. Ia diusir dari tanah kelahirannya, dipaksa menjalani hidup sebagai seorang buangan—dan kini, ia kembali ke tempat yang menjadi saksi bisu dari kejatuhannya.

Setiap langkahnya di jalanan ibukota Edenvila terasa seperti berjalan di atas kenangan yang ingin ia lupakan. Bangunan-bangunan mewah yang menjulang tinggi, penuh dengan ukiran emas dan permata, mengingatkannya pada betapa besar kesenjangan antara dirinya dan dunia yang pernah ia kenal. Setiap detail di kota ini masih sama seperti yang ia ingat—hanya saja, kini ia melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.

Dulu, ia memasuki kota ini sebagai seorang pemimpin pasukan. Kini, ia hanyalah seorang pria yang dipandang rendah oleh semua orang di sekelilingnya.

"Mereka tidak tahu apa yang telah kulalui," pikir Alcard dalam hati, berusaha menenangkan gejolak di dadanya.

Ia mencoba untuk mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya, tetapi di balik ekspresi dinginnya, ada bara amarah yang mulai membakar. Tidak karena hinaan mereka, tetapi karena kenyataan bahwa mereka tidak pernah benar-benar memahami apa yang terjadi. Mereka tidak pernah tahu kebenaran tentang pengkhianatan yang ia alami. Mereka hanya melihatnya sebagai seorang Outcast—sampah yang terbuang dari dunia yang mereka anggap sempurna.

Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat, seperti beban yang semakin menekan dadanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang misi yang diberikan kepadanya. Ini adalah perjalanan untuk menghadapi bayangan masa lalu yang masih menghantuinya—masa lalu yang penuh dengan darah, kehormatan yang direnggut, dan pengkhianatan yang belum terbalaskan.

Ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan. Ia harus tetap fokus. Ini bukan saatnya untuk membiarkan emosi menguasainya.

Di Edenvila, setiap kesalahan kecil bisa berakibat fatal.

Alcard sadar bahwa ia kini telah memasuki wilayah di mana setiap orang yang ia temui bisa saja menjadi musuhnya. Setiap kata yang ia ucapkan bisa saja dimanfaatkan untuk menjatuhkannya. Ia tidak bisa bertindak gegabah.

Bagaimanapun juga, ia masih memiliki tujuan yang harus dicapai.

Dan ia tidak akan membiarkan dirinya terjatuh sebelum semuanya berakhir.

****

 

Perjalanan panjang yang telah ditempuh Alcard akhirnya membawanya ke hadapan dua benteng raksasa yang berdiri megah di atas perbukitan batu, dikenal sebagai Komendi dan Vomendi. Kedua benteng ini menjulang tinggi, seakan menjadi dua raksasa penjaga yang mengawasi dengan penuh kewaspadaan setiap makhluk yang berani melangkah menuju ibukota Edenvila. Mereka bukan hanya sekadar benteng pertahanan, melainkan simbol mutlak dari kekuatan dan dominasi Edenvila atas wilayah utara.

Di antara dua benteng itu, terbentang sebuah lembah dalam yang seolah membelah daratan, menciptakan garis pemisah yang menegaskan peran strategis mereka sebagai pelindung utama ibukota. Dengan struktur yang dirancang secara brilian, Komendi dan Vomendi bukanlah pertahanan biasa. Keduanya dibangun dengan ketelitian luar biasa, dirancang untuk saling melindungi dan melengkapi dalam menghadapi ancaman dari luar. Benteng-benteng ini tidak hanya mengandalkan kekokohan tembok batu yang menjulang, tetapi juga memanfaatkan jalur-jalur bawah tanah yang menghubungkan keduanya, memungkinkan pasukan bergerak cepat tanpa terlihat oleh musuh.

Saat Alcard menatap ke arah kedua benteng tersebut, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang telah lama mengusiknya. Mengapa Edenvila—kerajaan yang kaya raya dan berpengaruh—memilih untuk menempatkan ibukotanya begitu dekat dengan perbatasan utara yang selalu rawan konflik? Secara strategis, akan lebih masuk akal jika mereka memindahkan pusat pemerintahan ke bagian tengah kerajaan, yang jauh lebih aman dan lebih mudah dikelola. Namun, setelah ia mengamati betapa kokohnya Komendi dan Vomendi, jawaban atas pertanyaannya mulai terlihat jelas. Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan sebuah keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan mendalam selama berabad-abad.

Benteng kembar ini telah menjadi saksi dari banyak peristiwa penting dalam sejarah Edenvila. Saat kerajaan ini berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Kekaisaran Hamongrad, Komendi dan Vomendi berdiri sebagai perisai yang tak tertembus, menahan serangan bertubi-tubi dari pasukan kekaisaran yang jumlahnya jauh lebih besar. Dari sini, Edenvila membangun reputasinya sebagai kerajaan yang tidak hanya kaya, tetapi juga tangguh dan mustahil untuk ditaklukkan. Hingga saat ini, kedua benteng itu masih berdiri kokoh, menjadi simbol keangkuhan yang tidak bisa digoyahkan.

Benteng Komendi, yang berada di sisi timur, dikenal sebagai 'Benteng Serangan'. Dengan posisinya yang lebih tinggi, benteng ini berfungsi sebagai pusat artileri, memungkinkan pasukan pemanah dan meriam untuk menghujani musuh dengan serangan dari kejauhan. Dari ketinggian ini, setiap gerakan yang mencurigakan di lembah atau hutan sekitarnya dapat terdeteksi sebelum ancaman sempat mendekat. Sementara itu, di sisi barat, berdiri Benteng Vomendi yang dijuluki sebagai 'Benteng Pertahanan'. Struktur benteng ini lebih tebal dan lebih kokoh, dengan menara-menara pengawas yang berjajar rapat, memastikan tidak ada satu pun celah yang bisa dimanfaatkan musuh untuk menyusup. Jika Komendi adalah tombak, maka Vomendi adalah perisai yang siap menahan setiap gelombang serangan yang mencoba menerobos.

Alcard menarik tali kendali kudanya, menghentikan langkahnya sejenak di puncak bukit untuk mengamati lebih dekat benteng-benteng tersebut. Sorot matanya menyusuri setiap detail—para prajurit yang berdiri di atas tembok tinggi, bendera Edenvila yang berkibar gagah diterpa angin utara, serta pola pertahanan yang tampaknya masih seefektif yang tercatat dalam sejarah. Tidak ada celah yang terlihat jelas. Tidak ada titik lemah yang mudah dimanfaatkan.

Ia tidak bisa menahan perasaan kagumnya terhadap kehebatan arsitektur militer ini, tetapi di balik itu, ia juga menyadari sesuatu yang lebih dalam. Benteng ini bukan hanya simbol pertahanan Edenvila, tetapi juga simbol dari sesuatu yang lebih tersembunyi—sesuatu yang mungkin tidak terlihat oleh mata biasa. Setiap pertahanan, betapapun kokohnya, selalu memiliki celah. Dan setiap tempat yang terlalu terlindungi sering kali menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh dunia luar.

"Komendi dan Vomendi," gumamnya pelan, membiarkan nama-nama itu bergema di benaknya.

Ia tidak percaya pada benteng yang tampak terlalu sempurna. Jika ada sesuatu yang ia pelajari dari pengalamannya sebagai seorang prajurit dan seorang Outcast, itu adalah kenyataan bahwa setiap sistem pertahanan, tidak peduli seberapa kuatnya, selalu memiliki titik lemah. Apakah benteng ini benar-benar hanya berfungsi sebagai perisai bagi ibukota? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disembunyikan di balik dinding-dinding raksasa ini?

Tanpa membuang waktu lebih lama, Alcard menegakkan tubuhnya dan kembali melanjutkan perjalanannya menuju gerbang utama benteng. Seperti yang telah ia duga, para penjaga yang berjaga di sana menyambutnya dengan tatapan mencemooh. Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan pelindung dada berukir lambang singa Edenvila, menyeringai sinis saat melihatnya mendekat.

"Outcast di tanah Edenvila? Sungguh pemandangan langka," ujarnya dengan nada mengejek.

Penjaga lain tertawa kecil, melirik rekan-rekannya seolah kehadiran Alcard hanyalah sebuah hiburan di antara tugas mereka yang membosankan. "Tak banyak yang cukup bodoh untuk datang ke tempat ini dengan sukarela."

Alcard tetap diam, tidak memberikan reaksi apa pun terhadap hinaan mereka. Ia sudah terlalu sering menerima perlakuan seperti ini, dan ia tahu bahwa membalas hanya akan membuang-buang energi. Ia telah melihat lebih banyak darah dan kehancuran dibandingkan orang-orang ini, dan tidak ada satu pun dari mereka yang cukup berarti untuk membuatnya terganggu.

Tanpa memperlambat langkah kudanya, ia terus melaju menuju gerbang besar yang membatasi jalannya menuju ibukota. Namun, di dalam dirinya, kesadaran itu semakin jelas—perjalanan ini bukan hanya tentang menjalankan misi yang diberikan kepadanya.

Komendi dan Vomendi bukan sekadar benteng pertahanan.

Di balik dinding-dinding batu mereka yang menjulang tinggi, tersembunyi sesuatu yang lebih dalam.

Sesuatu yang mungkin lebih berbahaya daripada yang bisa ia bayangkan.

Namun, apa pun yang menunggunya di balik gerbang itu, Alcard telah siap.

****

 

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Alcard akhirnya tiba di depan gerbang utama Bermegvion, ibukota megah Kerajaan Edenvila. Kota ini, yang dikenal sebagai pusat kekuasaan dan simbol kejayaan Edenvila, berdiri dengan angkuhnya, menampilkan deretan bangunan marmer putih yang menjulang tinggi, jalan-jalan lebar yang dihiasi dengan patung-patung pahlawan kuno, serta taman-taman yang dirancang dengan kemewahan yang luar biasa. Namun bagi Alcard, keindahan ini hanyalah lapisan luar dari sesuatu yang jauh lebih gelap—tirai yang menyembunyikan kesombongan, keangkuhan, dan kebencian mendalam yang telah lama berakar di tempat ini. Bagi mereka, ia hanyalah seorang Outcast, seseorang yang tidak layak menginjakkan kakinya di tanah suci Edenvila.

Saat ia mendekati gerbang kota, para penjaga yang berjaga segera memperhatikannya dengan tatapan tajam penuh kecurigaan. Mata mereka menelisik setiap inci dirinya, seakan mencari alasan untuk menolaknya masuk. Alcard tetap tenang, tidak menunjukkan emosi apa pun saat ia mengulurkan dua surat yang telah ia bawa—satu dari Oldman dan satu lagi dengan segel resmi Edenvila. Para penjaga menerima dokumen itu dengan ragu, tatapan mereka berpindah dari surat ke wajah Alcard, seolah mengharapkan bahwa ada kesalahan yang bisa mereka gunakan sebagai alasan untuk mengusirnya. Namun, meskipun terlihat enggan, mereka tidak bisa menyangkal keabsahan perintah yang tertera di dalamnya.

"Masuklah," kata salah satu penjaga, suaranya kaku dan penuh rasa tidak suka. "Tapi jangan berpikir untuk membuat masalah di sini, Outcast." Kata terakhir itu diucapkan dengan nada penghinaan yang jelas, seolah Alcard hanyalah debu yang mengotori tanah mereka.

Tanpa membalas, Alcard hanya mengeratkan genggaman pada tali kekang kudanya dan melangkah melewati gerbang yang menjulang tinggi. Suara langkah kudanya bergema di jalanan berbatu yang mengkilap di bawah cahaya lentera kota, tetapi tidak ada satu pun orang yang menyambut kedatangannya dengan keramahan. Sebaliknya, mereka yang melihatnya segera berbisik, berbicara di antara mereka sendiri dengan nada penuh ejekan dan penghinaan. Beberapa wanita yang mengenakan gaun mahal dengan renda halus segera menyingkir, menatapnya dengan ekspresi jijik, sementara sekelompok pria yang tengah berbincang di pinggir jalan melemparkan tawa sinis, seolah keberadaannya adalah lelucon yang tak seharusnya terjadi.

"Lihat siapa yang berani masuk ke kota suci Edenvila," gumam salah satu dari mereka, suaranya cukup keras untuk didengar Alcard.

Alcard tetap melangkah, wajahnya tidak menunjukkan emosi sedikit pun, meskipun di dalam dadanya, kemarahan mulai menghangat seperti bara yang tersembunyi di balik abu. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini, sudah terlalu sering berada di tempat yang dipenuhi dengan kebencian terhadap dirinya. Dan seperti yang ia duga, Edenvila tidak berbeda dari tempat-tempat lain.

Saat ia mencapai kastil kerajaan, seorang pelayan tua sudah menunggunya di gerbang masuk. Wajah pria itu datar, ekspresinya tanpa rasa hormat, seolah-olah ia hanya melayani seseorang yang tidak lebih dari gangguan di tempat ini. Tanpa mengucapkan salam atau basa-basi, pelayan itu segera membawanya masuk, melewati lorong-lorong luas yang dihiasi oleh permadani mahal dan ukiran emas yang bercerita tentang sejarah panjang Edenvila. Namun, alih-alih diarahkan ke ruang pertemuan utama seperti tamu kehormatan, Alcard justru dibawa ke bagian belakang kastil—ke sebuah kamar kecil dan sederhana yang tampak seperti tempat tinggal bagi pelayan atau tamu yang tidak diinginkan.

"Tunggu di sini," ucap pelayan itu singkat, suaranya dipenuhi dengan ketidakpedulian. Ia tidak menunggu jawaban sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Alcard sendirian di ruangan yang sempit dan berdebu.

Alcard mengamati sekeliling ruangan dengan tenang. Tidak ada kemewahan di sini, hanya sebuah tempat tidur kecil, meja kayu tua, dan jendela sempit yang nyaris tidak membiarkan cahaya masuk. Udara di dalamnya terasa lembap, seolah ruangan ini sudah lama tidak digunakan. Ia tidak terkejut. Edenvila ingin memastikan bahwa ia tahu tempatnya di sini—bukan sebagai tamu, tetapi sebagai seorang buangan yang diberi tempat sekadar untuk menghindari skandal politik.

Tanpa rasa terganggu, Alcard duduk di kursi yang sudah berderit usang. Ia tidak merasa terhina, tidak pula merasa perlu untuk marah. Semua ini sudah ia perkirakan sejak awal. Yang terpenting baginya saat ini adalah menyelesaikan misinya secepat mungkin dan meninggalkan tempat ini sebelum ia terjebak dalam permainan politik yang lebih berbahaya.

Namun, tak lama setelah ia mulai merenung, suara derit pelan terdengar dari pintu yang terbuka. Langkah kaki yang ringan namun penuh kepercayaan diri bergema di ruangan yang sempit itu, dan Alcard tidak perlu melihat untuk mengetahui siapa yang datang.

Sosok pria dengan rambut keperakan yang tersisir rapi berdiri di ambang pintu, mengenakan pakaian gelap yang elegan dan membawa aura ketenangan yang menyesatkan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi di balik ketenangan itu, Alcard bisa merasakan kelicikan yang bersembunyi di balik setiap gerakannya.

"Alcard..." Suara pria itu terdengar lembut, hampir ramah, tetapi ada nada dingin yang tersirat di dalamnya. "Sudah lama sekali. Aku hampir tidak percaya kau benar-benar menerima undangan ini."

Alcard menatapnya dengan tajam, sorot matanya penuh kewaspadaan. Ia tidak perlu bertanya siapa orang ini. Sosok yang berdiri di hadapannya adalah seseorang yang namanya telah menghantui pikirannya selama bertahun-tahun. Cevral Hamilton, perdana menteri Edenvila—seorang pria yang dikenal dengan kecerdikannya dalam permainan politik, seorang manipulator ulung yang jarang menunjukkan niat sebenarnya.

Amarah yang telah lama terkubur dalam dada Alcard mulai menghangat, tetapi ia tetap menjaga ketenangannya. "Cevral," katanya singkat, nadanya penuh ketegangan. "Apa yang kau inginkan dariku?"

Cevral tertawa kecil, melangkah lebih dekat dengan gerakan yang terukur dan penuh perhitungan. Ia duduk di kursi di hadapan Alcard, ekspresinya tetap tersenyum, tetapi matanya tetap penuh misteri.

"Kita akan membicarakan itu, tentu saja," ujarnya dengan nada santai yang menipu. "Tapi sebelum kita mulai, aku penasaran... bagaimana rasanya kembali ke tempat yang begitu membencimu?"

Alcard tetap diam, tidak menunjukkan reaksi yang diharapkan oleh Cevral. Ia tahu bahwa ini hanyalah bagian dari permainan pria itu, bagian dari upaya untuk menggoyahkan ketenangannya. Namun, ia tidak akan terpancing.

Ia menatap pria di hadapannya tanpa berkedip, mengetahui bahwa di balik kata-kata manis dan senyuman sopan itu, ada sesuatu yang lebih besar yang sedang direncanakan.

Dan permainan ini baru saja dimulai.

****

 

Tatapan Alcard menusuk tajam ke arah Cevral, mata merahnya menyala dengan kemarahan yang ia tahan sekuat tenaga. Rahangnya mengeras, dan setiap otot di tubuhnya menegang, seolah tubuhnya bersiap untuk melompat menerkam pria yang duduk dengan angkuhnya di hadapannya. Hinaan yang baru saja keluar dari mulut Cevral membuat darahnya mendidih, tetapi ia tidak akan memberikan kepuasan kepada pria licik itu dengan menunjukkan betapa dalamnya luka yang telah ia gores.

"Kau ingin tahu bagaimana rasanya hidup di tempat yang membenciku, Cevral?" suara Alcard terdengar rendah, bergetar dengan kemarahan yang mendekati batasnya. "Aku lebih memilih itu daripada menjadi ular tua yang menghabiskan hidupnya dengan menghisap darah orang lain, sembunyi di balik kedok kata-kata manis dan permainan politik murahan."

Cevral tetap tersenyum, santai seperti biasanya, seolah kata-kata Alcard tidak lebih dari angin sepoi-sepoi yang tak cukup kuat untuk menggoyahkan dirinya. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang, tangannya yang kurus dan panjang terlipat dengan elegan di atas dadanya. "Ah, Alcard... aku selalu menyukai ketajaman lidahmu," ujarnya dengan nada seolah mengagumi, meskipun jelas ada ejekan terselubung di dalamnya. "Namun, dari apa yang kudengar, racun yang mengalir dalam tubuhmu itu hampir membuatmu lebih seperti binatang daripada manusia." Ia mengangkat alis dengan ekspresi yang dibuat-buat. "Bukankah itu ironis? Seorang yang dulu dihormati, kini tak lebih dari bayangan kelam yang bertahan hidup dari racun dan bersembunyi di ujung dunia."

Alcard tetap diam, meskipun di dalam dadanya, kemarahan menggelegak seperti api yang siap membakar segalanya. Ia tahu persis apa yang sedang dilakukan Cevral—memancing emosinya, menariknya ke dalam pusaran permainan yang selalu ia kendalikan. Jika Alcard terpancing sekarang, maka ia telah memberikan pria tua itu kemenangan yang diinginkannya.

Tapi Cevral tidak berhenti di situ. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya berubah lebih pelan, tetapi setiap kata yang ia ucapkan menusuk seperti pisau yang diputar di dalam luka lama. "Ah, hampir saja aku lupa," bisiknya, seolah mengingat sesuatu yang remeh. "Kau sudah mati, bukan? Hidupmu berakhir bersama istri dan putrimu yang malang. Begitu tragis... mereka adalah korban dari seorang suami yang lebih peduli pada perang dan rajanya daripada keluarganya sendiri." Ia tersenyum simpul, seolah menikmati setiap kata yang ia ucapkan. "Sungguh menyedihkan, Alcard. Kau adalah lambang kegagalan."

Kursi di bawah Alcard berderit keras ketika ia tiba-tiba berdiri, dadanya naik turun dengan napas yang berat, tinjunya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Tutup mulutmu, Cevral!" suaranya meledak, penuh dengan kemarahan yang hampir tak terbendung. "Jangan berani menyebut mereka dengan mulut busukmu!"

Tapi bukannya terintimidasi atau mundur, Cevral justru menyeringai lebih lebar, seperti seekor kucing yang baru saja menjebak mangsanya di sudut. Ia mengamati Alcard seolah sedang menikmati pertunjukan yang telah ia atur dengan sempurna. "Kenapa tidak?" ujarnya dengan nada rendah dan licik. "Bukankah mereka adalah bukti paling nyata dari kelemahanmu? Seorang jenderal besar yang gagal melindungi keluarganya sendiri. Itu sungguh... tragis." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada yang lebih dingin, "Dan aku harus mengakui, sabotase itu berjalan jauh lebih sempurna dari yang pernah kubayangkan."

Alcard membeku di tempatnya. Kata-kata itu menghantamnya seperti badai yang datang tanpa peringatan, menghancurkan pertahanan yang selama ini ia bangun. Matanya membelalak, dan untuk sesaat, ia bahkan lupa untuk bernapas.

"Jadi... itu kau," suaranya keluar nyaris berbisik, namun penuh dengan kemarahan yang membara. Ada kebencian yang begitu mendalam dalam tatapannya, begitu pekat hingga hampir bisa dirasakan di udara.

Cevral mengangguk pelan, seolah mengakui kejahatan itu tanpa sedikit pun penyesalan. Ia menikmati keterkejutan di wajah Alcard, menikmati momen di mana musuhnya akhirnya memahami seberapa dalam jaring yang telah ia tenun selama ini. "Siapa lagi?" katanya ringan, seolah-olah ini hanyalah percakapan biasa. "Kau pikir siapa yang cukup cerdas untuk memastikan Jovalian tidak pernah menjadi ancaman bagi Edenvila?" Ia mengangkat bahu santai. "Aku hanya melakukan apa yang perlu untuk menjaga keseimbangan. Jovalian terlalu ambisius... dan aku hanya memastikan mereka tetap berada di tempat mereka seharusnya."

Suara Alcard hampir bergetar saat ia berbicara, setiap kata yang keluar seperti ditempa dari bara api amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Kau akan membayar untuk ini, Cevral. Demi mereka yang telah kau hancurkan, aku bersumpah, kau tidak akan bisa lari dari pembalasan."

Cevral menertawakannya. Bukan tawa yang keras atau penuh ejekan, melainkan tawa kecil yang tenang dan menusuk, seperti seseorang yang tahu bahwa musuhnya telah terperangkap. "Oh, Alcard... pembalasan?" ulangnya dengan nada mengejek. "Kau pikir seorang Outcast sepertimu bisa melawanku? Kau hanyalah bayangan dari seorang yang dulu pernah dihormati. Bahkan jika kau membunuhku sekarang, Edenvila akan tetap berdiri kokoh di atas kuburanmu."

Ia melirik Alcard dengan tatapan penuh ejekan, seolah menantangnya untuk bertindak, untuk melakukan sesuatu yang bodoh. "Tapi... jika kau ingin mencobanya, aku tidak keberatan menunggu."

Alcard berdiri diam di tempatnya, kedua tangannya terkepal begitu erat hingga sarung tangannya berkerut. Setiap serat di tubuhnya berteriak untuk menyerang, untuk membalas dendam di tempat ini dan sekarang juga. Namun, ia tahu bahwa jika ia membunuh Cevral di sini, ia hanya akan memperkuat musuhnya.

Dengan napas panjang yang berat, ia memaksakan dirinya untuk tetap tenang. Perlahan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu, setiap langkah terasa seperti pertempuran tersendiri.

Saat tangannya menyentuh pegangan pintu, suara Cevral terdengar dari belakang, penuh dengan ejekan yang lebih tajam dari sebelumnya.

"Tunggu dulu, Outcast. Kita belum selesai."

Langkah Alcard langsung terhenti di sana, tubuhnya menegang seketika, amarah dalam dirinya kembali bergejolak. Namun, ia tetap diam, membiarkan udara di sekitarnya menjadi lebih berat oleh ketegangan yang menggantung di antara mereka. Permainan ini masih jauh dari selesai, dan Alcard tahu bahwa pertempuran sebenarnya baru saja dimulai.

***

 

"Kau benar-benar akan pergi tanpa mendengar misi besar yang telah kususun untukmu?"

Langkah Alcard terhenti seketika. Otot-otot tubuhnya menegang, rahangnya mengeras, dan kepalan tangannya semakin erat, seolah mencoba menahan gejolak kemarahan yang nyaris meledak dalam dirinya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri, lalu perlahan berbalik. Tatapannya dingin dan penuh kebencian, menusuk langsung ke arah pria yang dengan santainya duduk di kursinya, menikmati setiap detik dari permainan yang ia ciptakan.

Tanpa sepatah kata, Alcard kembali ke kursi yang tadi ia tinggalkan, duduk dengan gerakan kaku dan penuh ketegangan. Ia tidak ingin berada di sini lebih lama dari yang diperlukan, tetapi ia tahu Cevral tidak akan membiarkannya pergi begitu saja tanpa permainan liciknya.

Cevral tersenyum lebar, wajahnya dipenuhi kepuasan yang menjijikkan, seolah ia baru saja menaklukkan seekor binatang liar yang akhirnya tunduk pada perintahnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang, menyilangkan tangannya dengan gerakan yang begitu santai seakan ia adalah seorang raja di atas tahtanya. "Ah, akhirnya kau tahu tempatmu," katanya dengan nada merendahkan, seolah ia berbicara pada sesuatu yang lebih rendah dari debu di bawah sepatunya.

Alcard tidak bereaksi, meskipun kata-kata itu membakar dadanya seperti api yang liar. Ia hanya menatap tajam, membiarkan pria tua itu mengoceh dengan racunnya yang mematikan.

"Seperti seekor anjing yang sadar siapa tuannya," lanjut Cevral, matanya menyipit dengan penuh penghinaan. "Kau lebih rendah dari debu di jalanan ini, Alcard. Setidaknya debu bisa berguna bagi tanah, sementara kau?" Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap, sebelum menambahkan dengan nada puas, "Kau hanyalah bayangan dari masa lalu yang seharusnya sudah mati."

Di bawah meja, jari-jari Alcard mencengkeram keras kayu kursi hingga buku-buku jarinya memutih. Ia bisa merasakan kemarahan dalam dirinya semakin membesar, tetapi ia menahan diri. Ini bukan saatnya untuk kehilangan kendali.

Cevral menyeringai, menikmati kesunyian yang menggantung di antara mereka, seolah melihat Alcard yang hanya diam adalah hiburan terbaik yang pernah ia saksikan. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, nada suaranya menjadi lebih lembut namun penuh dengan tipu daya. "Ngomong-ngomong, Alcard… aku dengar ini bukan pertama kalinya kau menerima tugas dari Edenvila," katanya dengan tatapan penuh perhitungan. "Pernah ada misi lain sebelumnya... yang bahkan kau sendiri tidak tahu tujuannya."

Kata-kata itu membuat Alcard menegang. Wajahnya yang sebelumnya penuh kontrol berubah lebih serius, pikirannya berputar cepat, mencoba menggali setiap detail dari masa lalu yang mungkin ia lewatkan. Ingatannya melayang kembali pada malam ketika Arwen menceritakan tentang ibunya dan segala kengerian yang terjadi di bawah perintah Cevral. Ia mulai menyadari sesuatu, sesuatu yang selama ini tidak ia sadari sepenuhnya.

Tatapannya berubah lebih tajam, mengunci mata Cevral dengan kilatan penuh ancaman. Suaranya keluar rendah dan mengandung kemarahan yang terpendam. "Jangan coba-coba menyentuh Arwen," katanya tegas. "Jika kau berani mengganggunya…"

Tawa kecil keluar dari bibir Cevral, dingin dan tanpa perasaan, seolah apa yang baru saja diucapkan Alcard hanyalah lelucon yang menghiburnya. "Arwen?" ulangnya, matanya bersinar licik. "Ah, jadi gadis itu memiliki tempat di hatimu?" Ia menatap Alcard dengan ekspresi mengejek, kepuasan yang begitu kentara terlihat dalam wajahnya. "Betapa menyentuh... tapi juga menyedihkan."

Alcard tetap diam, tubuhnya menegang, tetapi Cevral terus menusukkan pisaunya lebih dalam.

"Kau benar-benar masih berpegang pada mimpi-mimpi kosongmu, ya?" katanya dengan nada meremehkan. "Betapa menggelikannya melihatmu berpikir kau masih bisa melindungi seseorang. Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri. Kau adalah Outcast, Alcard. Dunia ini telah melupakanmu. Kau tidak lebih dari sisa-sisa kehancuran yang seharusnya sudah dilupakan dan terkubur di bawah sejarah."

Setiap kata yang keluar dari mulut Cevral terasa seperti racun yang menetes perlahan ke dalam luka lama yang masih menganga.

Alcard mengepalkan tangannya lebih erat, menahan setiap dorongan untuk menghunus pedangnya dan mengakhiri semuanya di sini. Tetapi ia tahu, Cevral menginginkan itu. Ia ingin Alcard kehilangan kendali, ingin melihatnya bertindak ceroboh.

Melihat Alcard yang tetap diam, Cevral kembali menyeringai puas. "Ah, rasanya jauh lebih menyenangkan bermain dengan orang seperti dirimu, Alcard," katanya dengan nada santai. "Para prajurit yang hanya tahu cara mengayunkan pedang mereka, yang berpikir bahwa segalanya bisa diselesaikan dengan pertempuran." Ia tertawa kecil, lalu menambahkan dengan nada merendahkan, "Benarkan?"

Alcard masih tidak merespon, tetapi ketegangannya semakin terasa di udara.

Cevral menyilangkan kakinya, mempermainkan cincin di jarinya, sebelum melanjutkan dengan suara yang lebih tenang namun tak kalah menusuk. "Andai saja kau sadar sejak awal, aku mungkin tidak perlu repot-repot menyingkirkanmu," katanya pelan. "Dan mungkin, aku bisa berbaik hati memberimu kesempatan... menjadikanmu jenderalku di Edenvila ini."

Namun sebelum Alcard sempat merespon, Cevral melambaikan tangannya dengan acuh. "Ah, tapi itu tidak mungkin, bukan?" katanya dengan senyum mengejek. "Karena tentara sepertimu hanya tahu bertarung dengan emosi. Dan prajurit yang tenggelam dalam emosinya? Mereka tidak lebih dari monster yang bahkan tak bisa menyelamatkan keluarganya dari tiang gantung."

Tangan Alcard bergetar, dan sebelum ia bisa menahan dirinya, kata-kata itu keluar dari bibirnya dalam teriakan yang penuh kemarahan.

"Cevral!"

Cevral tetap tidak terpengaruh. Ia berdiri dari kursinya dengan tenang, meluruskan pakaiannya dengan gerakan lambat yang penuh perhitungan. "Baiklah, aku rasa aku sudah cukup membuang waktuku berbicara dengan sampah sepertimu," katanya, nada suaranya penuh dengan keangkuhan. "Pelayan di luar akan menjelaskan misi yang harus kau lakukan. Jangan sampai kau melakukan kesalahan, Alcard... meskipun itu adalah kebiasaanmu."

Saat ia berjalan menuju pintu, Cevral berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum yang lebih kejam dari sebelumnya.

"Oh, satu hal lagi," katanya, suaranya hampir berbisik, tetapi menusuk seperti pisau yang ditancapkan ke dalam daging. "Jangan mencoba menghancurkan apa pun di ruangan ini. Aku tidak ingin tangan kotormu merusak kemewahan yang tak akan pernah bisa kau miliki. Dan satu lagi... kau mungkin bisa keluar dari Edenvila hidup-hidup, tetapi jangan pernah berpikir bisa kembali."

Pintu tertutup dengan suara lembut yang terdengar seperti jeruji penjara yang terkunci.

Alcard tetap duduk diam, tangannya masih mengepal begitu erat hingga kukunya hampir menembus kulit. Napasnya dalam dan berat, mencoba menenangkan api yang membakar dadanya. Ia tahu, Cevral merasa menang hari ini. Tetapi hari pembalasan akan tiba. Dan ketika saat itu datang, ia akan memastikan bahwa senyum keji di wajah pria tua itu tidak akan pernah terlihat lagi.

****