Alcard melangkah dengan mantap melalui koridor yang sepi menuju ruang kerja Oldman, merasa ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Dinding-dinding kayu tua yang biasa terasa seperti penjaga bisu kini seolah menyerap ketegangan yang mengalir di udara. Ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan rutin. Nalurinya yang telah terasah oleh pengalaman bertahun-tahun di The Wall memberinya firasat bahwa percakapan yang akan terjadi di balik pintu itu bukanlah hal kecil.
Ketika ia membuka pintu dan masuk, matanya langsung menangkap sosok Oldman yang duduk di balik meja kayunya yang besar. Biasanya, pemimpin tertinggi para Outcast itu selalu memiliki ekspresi tenang dan penuh kebijaksanaan, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Garis-garis di wajah tuanya tampak lebih dalam, sorot matanya memancarkan ketegangan yang sulit disembunyikan. Bahkan, meskipun Oldman tidak langsung berbicara, Alcard tahu bahwa apapun yang akan dibahas kali ini adalah sesuatu yang serius.
"Kau terlihat berbeda, Oldman," kata Alcard akhirnya, suaranya tetap rendah tetapi penuh perhatian. Ia melipat kedua tangannya di dada, berdiri dengan postur yang menunjukkan kewaspadaan. Matanya yang tajam mengamati setiap perubahan halus dalam ekspresi Oldman. "Apa ini ada hubungannya dengan salah satu dari tiga kerajaan besar?"
Oldman menghela napas panjang sebelum mengangguk. "Tepat sekali," katanya, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. Ia mengulurkan tangan, mengambil sebuah surat dari tumpukan dokumen yang tertata rapi di meja. "Kabar ini datang dari Edenvila."
Alcard memperhatikan ketika Oldman menyerahkan surat itu kepadanya. Segel emas kerajaan Edenvila terukir dengan jelas di atas lilin merah yang masih utuh, menunjukkan bahwa pesan ini berasal dari sumber yang sah. Tidak ada yang mengirimkan surat dengan segel kerajaan jika bukan sesuatu yang penting, dan itu saja sudah cukup untuk membuat Alcard semakin waspada.
Dengan hati-hati, ia menerima surat itu, ibu jarinya menyentuh segel dengan gerakan lambat, seolah berharap bisa merasakan sesuatu yang tersembunyi di baliknya. "Mereka meminta secara khusus agar aku yang menangani ini?" gumamnya, sedikit tidak percaya. Perlahan, ia merobek segel itu dan membuka lembaran perkamen di tangannya. Matanya bergerak dari satu baris ke baris berikutnya, membaca dengan penuh konsentrasi.
Semakin ia membaca, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Isi surat itu terasa terlalu singkat untuk sesuatu yang sebesar ini. Edenvila meminta agar sebuah 'pusaka berharga' diantarkan ke wilayah elf. Namun, yang lebih mencurigakan adalah permintaan eksplisit bahwa tugas ini hanya boleh dilakukan oleh dirinya—seorang Outcast. Tidak ada penjelasan rinci tentang apa yang dimaksud dengan 'pusaka' tersebut, tidak ada alasan mengapa Edenvila menghubungi The Wall untuk ini, dan yang paling penting, tidak ada informasi tentang mengapa hanya Alcard yang bisa menjalankannya.
Tatapannya beralih kembali ke Oldman. "Pihak pemerintahan meminta jasaku secara khusus?" ulangnya, nadanya penuh dengan kecurigaan. "Edenvila bukan kerajaan yang tiba-tiba menjadi baik hati terhadap kita. Ini mencurigakan. Apa yang mereka rencanakan?"
Oldman tidak segera menjawab. Ia hanya menatap lurus ke mata Alcard, seakan mencoba membaca pikirannya sebelum akhirnya menghela napas berat. "Aku juga berpikir demikian, Alcard. Kita tahu bahwa Edenvila punya sejarah panjang dalam memanfaatkan orang-orang seperti kita sebagai bidak dalam permainan mereka. Mereka tidak pernah memberi tanpa mengharapkan sesuatu sebagai gantinya." Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ekspresinya semakin dalam. "Tapi kita tidak punya banyak pilihan di sini. Jika kita menolak, mereka akan menggunakan itu sebagai alasan untuk bertindak melawan kita. Dan siapa pun yang mengirim surat ini, mereka sangat berhati-hati. Tidak ada nama, tidak ada celah bagi kita untuk menolak tanpa membuatnya terlihat seperti sebuah pembangkangan langsung."
Alcard mengepalkan tangannya, merasa ketidakpuasan membakar dalam dadanya. Ini bukan pertama kalinya mereka dipaksa menjalani sesuatu tanpa tahu tujuan yang sebenarnya. "Jadi kita hanya menerima ini begitu saja?" tanyanya, suaranya mengandung nada tajam. "Melakukan pekerjaan kotor mereka tanpa tahu maksud sebenarnya?"
Oldman tetap diam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Terkadang, dalam permainan ini, kita harus tahu kapan harus melangkah mundur agar bisa bertahan lebih lama." Matanya tetap menatap Alcard dengan serius. "Aku tidak suka ini, Alcard, tapi kita harus bermain sesuai aturan mereka… untuk saat ini."
Keheningan yang berat menyelimuti ruangan. Hanya suara kayu yang berderit pelan saat Oldman menggenggam sandaran kursinya yang tua. Alcard membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam pikirannya, mencoba menimbang situasi. Dalam dunia yang mereka jalani, terkadang pilihan terbaik bukanlah yang paling benar, tetapi yang paling sedikit risikonya.
Ia kembali menatap surat di tangannya, kemudian menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan nada tegas, "Baiklah. Aku akan melakukannya. Tapi aku tidak akan ceroboh. Aku akan memastikan bahwa kita tidak masuk ke dalam perangkap mereka."
Oldman mengangguk, meskipun sorot matanya tetap menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Berhati-hatilah, Alcard," katanya, suaranya lebih lembut namun tetap membawa bobot berat. "Ini bukan sekadar pengantaran biasa. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mereka rencanakan, dan kau harus tetap waspada."
Alcard tidak menjawab. Ia hanya mengangguk sekali sebelum berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, langkahnya mantap tetapi pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Udara di luar terasa lebih dingin saat ia melangkah keluar dari gedung utama The Wall, tetapi bukan cuaca yang membuatnya merasa gelisah—melainkan misi yang kini ada di tangannya.
Edenvila tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan tersembunyi. Dan kini, ia harus mempersiapkan dirinya untuk perjalanan ke wilayah elf—perjalanan yang bisa saja lebih berbahaya dari yang ia bayangkan. Apa pun yang sedang direncanakan oleh para bangsawan Edenvila, ia tahu satu hal dengan pasti: mereka tidak akan mempercayakan sesuatu kepada Outcast tanpa alasan yang mencurigakan. Dan ia akan mencari tahu apa alasan itu—dengan caranya sendiri.
****
Matahari mulai merayap turun di balik cakrawala saat Alcard terus menunggangi kudanya, melintasi jalanan yang semakin sulit ditembus. Ranting-ranting pohon yang menjulang di kedua sisi jalur yang ia lalui bergerak perlahan diterpa angin, menciptakan bayangan yang seolah menari di bawah sinar senja yang meredup. Tanah di bawahnya tidak ramah—batu-batu tajam berserakan di antara jalan setapak yang sempit, memaksa kuda hitamnya untuk melangkah lebih hati-hati.
Namun, tantangan fisik yang ada di hadapannya hanyalah gangguan kecil dibandingkan dengan gejolak yang berputar di dalam benaknya. Setiap langkah yang diambil kudanya menggema seperti ritme yang selaras dengan kegelisahan yang enggan pergi dari pikirannya. Perjalanan ini menuju Edenvila, tetapi tidak ada satu pun hal yang terasa jelas. Semua masih tertutup kabut ketidakpastian.
Tangannya secara refleks merogoh kantong kulit di pinggangnya, merasakan tekstur surat yang tersimpan di dalamnya. Ia tidak perlu mengeluarkannya untuk mengetahui seberapa banyak pertanyaan yang masih belum terjawab. Selembar perkamen dengan segel emas kerajaan Edenvila itu terasa lebih berat daripada yang seharusnya, seolah membawa beban yang lebih besar dari sekadar tinta dan kertas.
"Siapa yang benar-benar mengirimkan ini?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tangannya yang lain secara naluriah menggenggam gagang pedangnya yang terikat di sisi pelana, jarinya menekan permukaan kulit sarungnya dengan kuat.
Ia tidak pernah percaya pada kebetulan, dan surat ini penuh dengan terlalu banyak celah yang mencurigakan. Edenvila bukan kerajaan yang dikenal bersikap baik kepada Outcast. Jika mereka sampai menghubunginya langsung, tanpa melalui perantara, itu berarti mereka memiliki agenda tersembunyi. Tetapi apa? Mengapa ia yang dipilih? Apakah ini jebakan?
Pikiran Alcard terus berputar, menyusun berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Edenvila terkenal dengan kelicikan politiknya, dengan para bangsawan yang lebih pandai bermain di balik bayang-bayang daripada bertarung di medan perang. Mereka bukan jenis orang yang akan memberikan perintah tanpa memastikan setiap detail sudah sesuai dengan keinginan mereka. Apakah ini hanya tugas pengantaran biasa? Tidak. Tidak mungkin sesederhana itu.
Alcard tahu bahwa begitu ia tiba di Edenvila, ia harus bertindak dengan cepat. Langkah pertamanya adalah mengidentifikasi siapa sebenarnya dalang di balik surat ini. Jika ia menemukan bahwa ada sesuatu yang mencurigakan, maka ia akan menemukan jalan keluar sebelum semuanya menjadi lebih buruk. Ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh ke dalam perangkap yang dirancang dengan hati-hati oleh para bangsawan Edenvila.
Namun, jika ini memang jebakan… maka ia tidak akan segan-segan bertindak. Jika seseorang mencoba mempermainkannya, ia tahu apa yang harus dilakukan.
Pikirannya yang penuh perhitungan itu tiba-tiba tersentak ke arah yang berbeda. Tanpa bisa dikendalikan, sosok Arwen muncul di dalam benaknya, menghancurkan sejenak fokusnya pada strategi dan kemungkinan.
Ia bisa mengingat dengan jelas ekspresi Arwen saat menceritakan masa lalunya. Tatapan matanya yang penuh luka tersembunyi, nada suaranya yang sedikit bergetar saat mengingat kenangan yang menyakitkan. Malam ketika ia berbagi cerita tentang ibunya—wanita yang telah mengalami penderitaan di tangan seorang pria yang tak asing lagi bagi Alcard.
"Cevral Hamilton."
Nama itu melintas di kepalanya seperti bilah pisau yang menusuk tanpa peringatan.
Alcard merasakan dadanya menegang, napasnya berubah lebih berat. Cevral adalah sosok yang selama ini selalu berada di balik banyak tragedi. Seorang perdana menteri licik dari Edenvila, seorang pria yang memiliki reputasi sebagai pengendali bayangan, menarik benang-benang politik dengan tangan yang tak terlihat. Dan kini, nama itu kembali berputar dalam benaknya, seperti arang panas yang dilempar ke bara api yang sudah menyala.
Tangannya mengepal di atas tali kekang kudanya, kekuatan yang ia gunakan membuat sarung tangannya berderak di bawah tekanan jarinya.
"Cevral tua sialan," desisnya dengan suara rendah, tetapi penuh dengan kebencian yang terpendam begitu dalam.
Jika orang itu adalah dalang di balik semua ini… jika Cevral-lah yang berada di balik surat yang kini ia bawa… maka ia sudah tahu ke mana perjalanannya akan berakhir.
Ia menarik tali kekang lebih kuat tanpa sadar, membuat kudanya merespons dengan mempercepat langkahnya. Kuda hitam itu meringkik pelan, seolah ikut merasakan gejolak yang kini membara di dalam dada Alcard. Ia berusaha mengendalikan emosinya, tetapi amarah itu tidak mudah mereda.
Perjalanan menuju Edenvila kini bukan hanya tentang menjalankan misi yang diberikan kepadanya. Ini bukan lagi sekadar tugas untuk mengantarkan sesuatu yang disebut 'pusaka berharga'.
Ini adalah perjalanan menuju jawaban yang selama ini belum ia temukan.
Ini adalah perjalanan menuju balas dendam.
Dan kali ini, Alcard tidak akan membiarkan dirinya menjadi bidak dalam permainan mereka.
****
Langit senja mulai berubah warna, dari biru tua yang meredup menjadi semburat jingga keemasan yang melukis cakrawala dengan nuansa lembut. Cahaya matahari yang tersisa memantul di atas debu jalanan, memberikan kilauan samar pada jalur panjang yang membentang di depan Alcard. Angin sore berhembus perlahan, membawa aroma tanah yang mengering dan dedaunan yang jatuh ke tanah. Namun, keindahan itu tidak cukup untuk menenangkan kegelisahan yang menguasai pikirannya.
Ia terus menunggangi kudanya, matanya tetap tajam mengamati lingkungan sekitar. Namun, meski fisiknya berada di jalur menuju Edenvila, pikirannya berada di tempat lain—terperangkap dalam pusaran pertanyaan dan ketidakpastian yang telah menghantuinya sejak surat itu tiba di tangannya. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan denyut amarah yang perlahan-lahan mulai menguasai dadanya. Namun semakin ia mencoba mencari logika dalam semua ini, semakin jelas bahwa tugas ini bukan sekadar pengantaran biasa. Ini adalah permainan yang telah dirancang dengan hati-hati, sebuah jebakan yang disusun dengan presisi.
Tatapannya menyusuri jalan panjang di depannya, kedua alisnya berkerut saat ia bergumam pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri, "Edenvila tidak memiliki perbatasan langsung dengan wilayah Elf... Satu-satunya kerajaan manusia yang berbatasan dengan mereka hanyalah Jovalian." Kata-kata itu menggantung di udara, membentuk sebuah kesadaran yang tidak menyenangkan. Jika tujuan sebenarnya adalah mengantarkan sesuatu ke wilayah Elf, mengapa Edenvila bertindak seolah mereka memiliki otoritas atasnya? Mengapa permintaan ini datang langsung dari mereka, tanpa campur tangan kerajaan lain?
Semakin lama ia memikirkan hal itu, semakin kuat perasaan bahwa ia telah masuk ke dalam permainan politik yang lebih besar daripada yang terlihat di permukaan. Seperti pion di papan catur yang telah diposisikan dengan cermat, ia dipaksa bergerak tanpa mengetahui gambaran penuh dari permainan ini. Namun, satu hal yang paling mengusiknya bukanlah kerumitan situasi ini, melainkan sesuatu yang lebih pribadi—jebakan ini seolah memang dirancang hanya untuknya. Seakan-akan sejak awal, ia telah ditargetkan.
Alcard mencoba mencari tahu alasan di baliknya. Apakah karena reputasinya sebagai seorang Outcast yang telah melewati banyak hal dan menjadi ancaman bagi mereka yang berada di atas? Atau ada sesuatu dari masa lalunya yang masih mengikatnya dalam permainan mereka? Ia mendesah berat, membiarkan pikirannya menyelami kemungkinan-kemungkinan yang tak berujung. Tidak ada jawaban pasti, tetapi satu hal yang ia tahu, ia sedang berjalan menuju sesuatu yang tidak bisa ia hindari.
Kuda hitamnya melangkah dengan mantap melewati jalan berbatu, gerakannya tenang meski pemiliknya dilanda badai emosi. Bibir Alcard melengkung dalam senyuman getir, refleksi dari kegetiran yang telah lama ia kenal. "Outcast…" katanya dengan nada sinis yang penuh dengan ironi. "Tak peduli seberapa jelas jebakan itu, kita tetap harus melangkah ke dalamnya, karena kita tidak punya pilihan lain."
Kata itu bergema dalam pikirannya. Outcast—mereka yang telah dibuang oleh dunia, dipaksa untuk bertarung dalam perang yang bukan milik mereka. Mereka yang digunakan sebagai alat oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, tetapi tak pernah diakui keberadaannya. Tidak ada tempat untuk menolak, bahkan ketika mereka tahu bahwa jalan yang mereka tempuh hanya akan membawa mereka pada kehancuran.
Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ada sesuatu yang perlahan menguat di dadanya, dorongan gelap yang terasa semakin liar dan tak terkendali. Perasaan itu seperti gelombang yang semakin besar, menghantam pertahanannya dengan kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, napasnya semakin berat, dan pikirannya berputar dalam kecepatan yang tidak biasa.
"Apa ini?" pikirnya, alisnya berkerut dalam kebingungan. "Apakah karena aku semakin dekat dengan ular tua itu?"
Sebuah nama melintas di benaknya, membawa serta gelombang kemarahan yang sudah lama ia pendam.
Cevral Hamilton.
Nama itu menciptakan kobaran api di dalam dirinya sekali lagi, membakar ketenangan yang selama ini ia coba pertahankan. Cevral, pria yang menjadi otak di balik banyak tragedi yang terjadi di Edenvila. Sosok licik yang menggunakan kekuasaannya untuk menyiksa dan menghancurkan orang lain demi keuntungannya sendiri.
Dan di antara semua kejahatan yang telah ia lakukan, ada satu yang tidak bisa Alcard lupakan.
Ia mengingat bagaimana Arwen berbicara tentang ibunya—seorang wanita yang tak berdaya di bawah kekejaman pria itu. Bagaimana suaranya bergetar ketika ia mengisahkan penderitaan yang tidak bisa dihapus oleh waktu. Mata Arwen yang dipenuhi kesedihan saat mengucapkan nama Cevral untuk pertama kalinya. Dan kini, Alcard semakin yakin bahwa pria tua itu tidak hanya terlibat dalam masa lalu Arwen, tetapi juga dalam kehancuran yang menimpanya di Jovalian.
Tangannya mengepal erat pada tali kendali kudanya, kekuatan yang ia gunakan begitu besar hingga sarung tangannya berderak di bawah tekanan jari-jarinya. Ia bisa merasakan panasnya amarah yang mulai meluap, sesuatu yang tidak bisa lagi ia tekan.
"Cevral tua sialan," desisnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan kebencian yang telah lama ia pendam.
Jika pria itu berada di balik semua ini, jika dia adalah dalang dari jebakan yang kini menunggunya di Edenvila, maka Alcard tahu bahwa kali ini ia tidak bisa menghindari pertarungan.
Tanpa sadar, ia menarik tali kekang lebih kuat, membuat kudanya mempercepat langkahnya. Kuda hitam itu meringkik pelan, merasakan emosi pemiliknya yang mulai tidak terkendali.
Ia berusaha mengendalikan dirinya, tetapi amarah itu terlalu dalam, terlalu kuat untuk diabaikan.
Ketika ia akhirnya tiba di Edenvila, ia tahu bahwa segalanya bisa berubah dalam hitungan detik. Jika Cevral benar-benar berada di balik semua ini, maka tidak ada lagi ruang untuk keraguan.
Dan kali ini, Alcard tidak yakin apakah ia bisa menahan diri untuk tidak menyerah pada sisi gelap yang telah lama ia lawan.
Dengan tatapan tajam menembus horizon yang semakin gelap, ia menarik tali kendali kudanya, mempercepat lajunya. Tidak ada jalan untuk mundur sekarang. Apapun yang menantinya di Edenvila, ia akan menghadapinya dengan cara yang paling ia ketahui—tanpa belas kasihan.
****
Langit semakin meredup, warna jingga keemasan yang sebelumnya melukis cakrawala kini perlahan menghilang, digantikan oleh bayangan gelap yang merayap perlahan dari ufuk barat. Cahaya matahari yang tersisa hanya berupa semburat samar di cakrawala, sementara bintang-bintang mulai muncul satu per satu di angkasa. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah yang masih lembap dan dedaunan yang jatuh berserakan di sepanjang jalan setapak berbatu. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin bercampur dengan langkah mantap kuda hitam yang ditunggangi Alcard, menciptakan irama monoton yang berpadu dengan kesunyian malam.
Alcard menarik tali kekang kudanya dengan sedikit tekanan, memperlambat lajunya agar hewan itu dapat mengambil napas sejenak setelah perjalanan panjang yang belum juga berakhir. Matanya tetap waspada, menelusuri kegelapan di sekelilingnya, tetapi pikirannya lebih sibuk berkelana di dalam labirin ketidakpastian yang semakin berliku sejak ia menerima surat dari Edenvila. Sejak saat itu, berbagai pertanyaan terus berputar di kepalanya tanpa menemukan jawaban yang pasti. Ia telah mencoba menguraikan teka-teki di balik permintaan aneh itu, mencoba memahami motif tersembunyi yang mungkin terselip di antara baris-baris kata dalam surat tersebut. Namun, semakin dalam ia mencari, semakin ia merasa dirinya tenggelam dalam jaring intrik yang sulit dipecahkan.
Sebuah firasat baru perlahan muncul di benaknya, sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia pertimbangkan dengan serius.
"Mungkinkah... ini semua karena aku melindunginya?" gumamnya pelan, lebih seperti pertanyaan yang ia lontarkan kepada dirinya sendiri daripada pernyataan yang pasti.
Kenangan akan Arwen kembali memenuhi pikirannya. Bagaimana ia membantunya melarikan diri, bagaimana ia memastikan bahwa tak ada jejak yang tersisa, bagaimana ia dengan hati-hati menutupi semua yang bisa menjadi petunjuk bagi mereka yang mungkin mengincarnya. Ia telah melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk menjaga rahasianya tetap tersembunyi. Namun, jika benar tugas ini berkaitan dengan Arwen, berarti ada seseorang di luar sana yang tahu lebih banyak daripada yang seharusnya.
Tatapannya menyipit, ekspresinya mengeras ketika pikirannya mulai menyusun kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya luput dari perhatiannya. "Apakah ada mata-mata di antara kami?" pikirnya, sementara ingatannya kembali pada para Outcast baru yang datang dari pos timur beberapa bulan lalu. Mereka pernah bercerita bahwa mereka akan melarikan diri setelah membunuh seorang bangsawan—Arwen yang saat itu ia lindungi. Saat itu, Alcard hanya menganggapnya sebagai kisah biasa dari kehidupan para Outcast yang selalu dipenuhi tragedi dan perburuan. Namun kini, ia mulai bertanya-tanya, apakah mereka telah berbicara kepada orang yang salah? Ataukah mereka sendiri telah dijebak sejak awal?
Ia menggertakkan giginya. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, para bangsawan Edenvila telah mengetahui keberadaan Arwen jauh lebih awal, dan kini mereka mencoba memancingnya keluar dengan cara yang lebih halus. Atau kedua, ada seseorang di dalam The Wall yang telah menjual informasi ini kepada mereka.
Tetapi ia juga tidak bisa menyingkirkan kemungkinan lain. Para bangsawan bukan orang bodoh. Mereka tidak perlu pengkhianat di dalam jika mereka sudah memiliki cara lain untuk menjebak para Outcast. Seperti yang pernah dikatakan Oldman—"Kita selalu berada dalam permainan mereka, mau kita sadari atau tidak."
Pikirannya semakin berat, seperti kabut tebal yang menyelimuti jalan pikirannya, membuatnya sulit menemukan jawaban pasti. Jika memang ada yang mengkhianatinya, siapa yang bisa ia percaya? Dan jika ini bukan pengkhianatan dari dalam, lalu seberapa dalam permainan ini telah direncanakan sebelum ia menyadarinya?
Tangannya secara refleks meremas gagang pedangnya lebih erat. Ia tidak asing dengan pengkhianatan, tetapi kali ini, kemungkinannya terasa lebih nyata. Jika ada seseorang yang membocorkan informasi, maka itu berarti musuh telah mengetahui gerakannya sejak lama. Itu berarti mereka telah menunggunya di Edenvila, bahkan mungkin telah menyiapkan setiap langkah sebelum ia tiba di sana.
Namun semakin lama ia memikirkannya, semakin ia merasa terperangkap dalam jebakan pikirannya sendiri. Seolah-olah semakin ia berusaha mencari tahu kebenaran, semakin sulit ia menemukannya. "Siapa sebenarnya yang menarik tali di balik layar ini?" pikirnya dengan frustrasi, matanya menelusuri jalan setapak berbatu yang membentang di hadapannya.
Tidak ada jawaban yang mudah, tetapi ia tahu satu hal—kebenaran itu ada di Edenvila.
Akhirnya, setelah perjalanan panjang yang dipenuhi dengan kecamuk pikiran yang tak berkesudahan, Alcard menarik napas panjang, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya sebelum perlahan ia hembuskan kembali. Semua pertanyaan ini, semua keraguan dan kemarahan yang menghantuinya, hanya memiliki satu titik akhir—Cevral.
"Semua ini akan terjawab di sana," bisiknya, suaranya pelan tetapi mengandung ketegasan yang dingin.
Tatapannya berubah tajam, seperti mata seorang pemburu yang telah mengunci mangsanya. Ia tidak tahu seberapa dalam jebakan ini telah dipersiapkan, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan datang sebagai korban yang mudah dijatuhkan. Jika Cevral adalah sosok di balik semua ini, maka pria tua itu akan memberinya jawaban yang ia cari. Dengan kata-kata, atau dengan darah, jika itu yang diperlukan.
Dengan tekad yang semakin menguat dalam dadanya, Alcard menarik tali kekang kudanya, mendorongnya maju ke dalam kegelapan yang semakin pekat. Langkah kuda hitamnya kembali mantap di atas jalanan berbatu, bayangan mereka berdua membentang panjang di bawah cahaya bulan yang mulai menampakkan diri.
Malam ini, Edenvila semakin dekat.
Dan apa pun yang menantinya di sana, ia telah bersiap untuk menghadapinya. Dengan atau tanpa belas kasihan.
****