Di ruangan belajar yang sunyi, hanya suara lembut kertas yang dibalik dan nyala lilin yang berkedip-kedip yang menemani Arwen dalam perjalanannya menelusuri sejarah dunia yang tersembunyi di balik lembaran-lembaran kuno. Ia duduk di sebuah meja kayu kecil, di hadapannya terdapat tumpukan manuskrip dengan tulisan-tulisan yang telah memudar seiring berjalannya waktu. Cahaya redup dari lilin-lilin besar di sudut ruangan memancarkan bayangan panjang yang menari di dinding batu, menciptakan suasana yang seakan membawa Arwen ke masa lalu yang telah lama terkubur.
Reinhard berdiri di dekatnya, sosoknya menjulang dalam keheningan, memperhatikan setiap gerak-gerik Arwen dengan sorot mata tajam. Tangannya sesekali merapikan gulungan kuno di atas meja, sebelum akhirnya ia berbicara dengan nada dalam dan penuh wibawa, "Arwen, kau telah banyak belajar tentang dunia ini, tetapi ada satu hal yang lebih mendasar yang harus kau pahami sebelum melangkah lebih jauh. Para dewa dan Jotun bukan sekadar mitos atau legenda yang tertulis dalam sejarah, mereka adalah kenyataan yang membentuk dunia ini. Jika kau ingin menjalankan tugasmu sebagai seorang Life-Seer, kau harus memahami mereka—bukan hanya sebagai entitas, tetapi sebagai penjaga keseimbangan yang sebenarnya."
Arwen menatap Reinhard dengan penuh keseriusan, matanya memancarkan keingintahuan yang dalam. "Aku siap mendengar dan mempelajari semuanya, Reinhard," jawabnya dengan nada tegas, meskipun ada sedikit ketegangan dalam suaranya.
Reinhard menghela napas perlahan, pandangannya beralih ke dinding yang penuh ukiran kuno yang menceritakan kisah para dewa. "Dunia ini dijaga oleh sepuluh dewa utama," katanya dengan nada yang hampir seperti gumaman, "setiap dewa memiliki tugasnya masing-masing, dan mereka tidak bekerja sendirian. Setiap dewa memiliki seorang Jotun, makhluk yang diciptakan sebagai perpanjangan tangan mereka, pelayan sekaligus penjaga keseimbangan dunia ini."
Dengan gerakan perlahan, Reinhard menunjuk ke salah satu gulungan di meja, dan mulai menjelaskan satu per satu.
"Jetoka, Dewa Ruang," ia memulai, suaranya terdengar tegas. "Dia bertugas menjaga stabilitas ruang dan dimensi. Tanpa Hal o Seri, Jotun pelayannya, dunia ini mungkin sudah hancur akibat dimensi yang bertabrakan satu sama lain. Ia memastikan bahwa ruang tetap berada di tempatnya."
Arwen mencatat dengan cermat, menyerap setiap kata yang diucapkan Reinhard. Reinhard melanjutkan tanpa jeda, matanya berkilat di bawah cahaya lilin yang bergetar. "Vaseto, Dewa Waktu," katanya. "Dia menjaga alur waktu agar tetap berjalan sesuai dengan takdirnya. Gey e Asla, Jotunnya, bertugas memastikan bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan tidak bercampur dan tetap pada jalurnya yang telah ditetapkan. Jika ada satu kesalahan kecil, seluruh keseimbangan dunia bisa runtuh."
Reinhard berhenti sejenak sebelum melanjutkan, kali ini matanya menatap Arwen dengan dalam. "Lalu ada Geota, Dewa Kekuatan," suaranya menjadi lebih berat. "Dan aku adalah Fal i Dera, pelayannya. Tugasku adalah mengawasi keseimbangan kekuatan di dunia ini, baik fisik maupun spiritual. Namun, kekuatan adalah sesuatu yang berbahaya, Arwen. Itu bisa menyelamatkan, tetapi juga bisa menghancurkan. Aku adalah bukti hidup dari beban tanggung jawab yang datang dengan kekuatan tersebut."
Arwen menelan ludah, menyadari betapa dalam dan kompleks peran yang dimainkan oleh para Jotun. Reinhard melanjutkan, suaranya lebih tenang sekarang. "Bosavy, Dewa Kehidupan, memiliki Yel ue Kabe sebagai pelayannya. Ia mengatur siklus kehidupan, memastikan bahwa setiap makhluk hidup dilahirkan, tumbuh, dan akhirnya menemui ajalnya sesuai dengan hukum alam."
Namun, ketika Reinhard menyebutkan nama berikutnya, suaranya berubah menjadi lebih berat. "Labene, Dewa Kematian," katanya dengan nada yang hampir berbisik. "Dan Jotun pelayannya... Bahamud." Reinhard menatap Arwen tajam, seakan ingin memastikan bahwa gadis itu memahami pentingnya nama ini. "Kematian bukan akhir, tetapi transformasi. Namun, cara Bahamud menjalankan tugasnya sering kali tidak dapat kita pahami. Dia bukan hanya pelayan, dia adalah penjaga gerbang antara kehidupan dan kematian."
Arwen merasa tenggorokannya mengering, tetapi ia tetap diam, membiarkan Reinhard melanjutkan. "Gesiha, Dewi Kesuburan dan Tanah, memiliki Wart a Vensu, yang menjaga agar tanah tetap subur dan kehidupan tumbuhan terus berlanjut," Reinhard melanjutkan. "Tanpa mereka, dunia ini akan menjadi tandus dan mati."
Kemudian, ia menyebutkan nama-nama lainnya, masing-masing dengan peran yang tak kalah penting. "Yalido, Dewi Air, bersama Nav eu Shads menjaga keseimbangan siklus air di dunia ini. Sungai, hujan, lautan—semuanya berada di bawah pengawasannya. Hermoda, Dewi Api, memiliki Joy ai Kela, penjaga api yang membawa kehancuran sekaligus kehidupan."
Di akhir penjelasannya, Reinhard menyebut dua nama terakhir dengan nada penuh makna. "Savady, Dewi Cahaya, bersama Mas i Ash, yang menjaga cahaya dan kebenaran. Dan akhirnya... Ivola, Dewi Kegelapan, yang diwakili oleh Far ei Mey. Tanpa kegelapan, cahaya tidak akan memiliki arti."
Arwen duduk diam, memproses semua informasi yang baru saja ia terima. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Reinhard menghentikannya dengan tatapan tajam. "Sudah cukup untuk sekarang, Arwen," katanya dengan suara yang terdengar lebih rendah. "Ada hal-hal yang lebih baik tetap menjadi misteri. Masa lalu memiliki kegelapan yang tak perlu diungkap sepenuhnya."
Arwen menatapnya dengan kebingungan. "Mengapa? Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu?" tanyanya pelan.
Reinhard menggeleng dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Belajarlah dari sejarah, tetapi jangan terjebak di dalamnya. Ada harga yang harus dibayar untuk mengetahui segalanya, dan tidak semua kebenaran layak untuk ditemukan."
Arwen hanya bisa terdiam, hatinya dipenuhi dengan pertanyaan yang belum terjawab. Ia tahu bahwa di balik semua ini, ada rahasia yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus bersabar—dan belajar sebanyak yang ia bisa sebelum waktunya tiba.
****
Arwen menghela napas panjang, mencoba menghilangkan beban yang menggantung di dadanya setelah Reinhard menghentikan penjelasan tentang para dewa dan Jotun. Suasana ruangan yang sebelumnya tegang kini terasa sedikit lebih tenang, dengan cahaya lilin yang bergetar lembut di sudut ruangan, menciptakan bayangan yang bergerak perlahan di dinding batu tua. Ia mengalihkan pandangannya ke gulungan sejarah yang terbentang di meja, jemarinya menyusuri permukaannya dengan hati-hati sebelum akhirnya ia mengangkat wajah dan bertanya dengan nada yang lebih ringan. "Reinhard, bagaimana dengan para naga?" suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu, meskipun ada sedikit kehati-hatian di dalamnya. "Apakah benar mereka dulu tinggal di World Tree dan memiliki hubungan dengan Jewellery of the God? Aku pernah membaca kisah itu dalam catatan tua Elf yang kutemukan di sini."
Mendengar pertanyaan itu, Reinhard yang sebelumnya terlihat begitu serius, kini memperlihatkan ekspresi yang sedikit lebih santai, meskipun ketajaman di matanya tetap terjaga. Ia memandang Arwen sejenak sebelum mengangguk pelan, seolah membenarkan sesuatu yang selama ini hanya dianggap sebagai legenda oleh banyak orang. "Ya," katanya dengan nada berat, "cerita itu benar adanya. Para naga adalah makhluk pertama yang diciptakan di dunia ini, sebelum hukum dan tatanan ditetapkan oleh para dewa. Mereka adalah penjaga awal keseimbangan, lahir dari energi murni yang mengalir melalui World Tree, tempat yang dulunya menjadi pusat kehidupan."
Arwen terdiam, membayangkan dunia di masa lalu yang penuh dengan kemegahan dan kekacauan dalam takaran yang sama. Reinhard melanjutkan, suaranya penuh penghormatan terhadap makhluk-makhluk purba tersebut. "Pada masa itu, dunia masih dipenuhi kekacauan. Tidak ada aturan, hanya kehancuran yang terus berulang. The Creator One, yang menciptakan para dewa, juga menciptakan para naga sebagai penjaga awal dunia. Untuk membantu mereka dalam tugas ini, para naga diberi benda suci yang dikenal sebagai Jewellery of the God. Benda-benda ini tidak hanya menyimpan kekuatan besar, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan energi dunia yang tidak terkendali."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan dengan nada lebih dalam. "Setiap naga diberkati dengan satu Jewellery yang sesuai dengan sifat dan perannya. Mereka adalah perwujudan dari elemen-elemen dunia yang saling berhubungan."
Reinhard mulai menjelaskan lebih rinci tentang para naga, membagikan kisah mereka dengan ketenangan yang khas.
"Hosveny," katanya, suaranya terdengar lebih lembut saat menyebut nama itu. "Naga putih yang dikenal dengan kebijaksanaannya. Jewellery miliknya, Admonvy—Kristal Putih—memiliki kemampuan untuk menenangkan kekacauan dan membawa harmoni di dunia ini. Ia berdiam di puncak Pegunungan Es di Utara, tertidur dalam diam, menjaga keseimbangan tanpa diketahui oleh dunia."
Arwen mengangguk perlahan, membayangkan sosok naga putih yang megah, tersembunyi di balik es yang membeku abadi. Reinhard melanjutkan penjelasannya.
"Alancard, naga biru yang tenang dan spiritual. Ia memilih untuk tidur di kedalaman danau besar di perbatasan Timur, di tanah Elf. Jewellery-nya, Gesvity—Kristal Biru—membantunya menjaga hubungan antara alam dan makhluk hidup, memberikan keseimbangan yang tak terlihat. Kehadirannya dijaga oleh kaum Elf yang percaya akan kekuatan spiritualnya."
Mata Arwen berbinar mendengar nama itu, seolah ia dapat merasakan energi tenang yang terpancar dari naga tersebut. Namun, wajah Reinhard berubah lebih serius saat ia menyebut naga berikutnya.
"Baraka," lanjutnya, "sang naga merah yang berdiam di gua vulkanik Pegunungan Vulcan di Barat. Jewellery miliknya, Falvony—Kristal Merah—adalah simbol dari kekuatan destruktif api. Baraka adalah naga yang penuh emosi, dan para Dwarf percaya, untuk tidak menganggu Baraka, atau mereka akan dihancurkan oleh panasnya api Baraka."
Arwen merasakan ketegangan dalam suara Reinhard, seolah naga ini lebih berbahaya daripada yang lain. Namun, saat Reinhard menyebut nama berikutnya, kesedihan yang mendalam terlihat dalam sorot matanya.
"Shedara, naga kuning yang telah lama tiada. Ia adalah naga yang paling setia pada tugasnya, dan Jewellery miliknya, Kevaly—Kristal Kuning—diyakini hilang setelah ia mengorbankan dirinya di dekat The Wall demi mencegah kehancuran dunia. Meskipun tubuhnya telah menjadi tulang belulang di reruntuhan, energinya masih terasa, membekas di tempat itu sebagai pengingat akan pengorbanannya."
Suasana ruangan menjadi lebih berat dengan kisah itu, dan Arwen tidak bisa menahan kesedihan yang merayapi hatinya. Namun, sebelum ia sempat berkata apa pun, Reinhard menyebut nama terakhir dengan nada yang terdengar penuh kewaspadaan.
"Ragonar," suaranya hampir seperti geraman, "sang naga hitam yang kini menjadi ancaman terbesar dunia ini. Jewellery miliknya, Nodvaly—Kristal Hitam—adalah yang paling berbahaya dari semuanya. Ia tidak lagi tertidur seperti yang lain. Di puncak Gunung Orcal di Selatan, ia mengawasi dan memanipulasi kekuatan di sekitarnya, menggunakan para monster sebagai alatnya. Ambisinya melampaui apa yang bisa kita pahami, dan jika ia mendapatkan kembali kekuatan penuh Jewellery-nya, dunia ini mungkin tidak akan bertahan."
Arwen menelan ludah, merasakan bulu kuduknya berdiri saat mendengar nama Ragonar. Ia kini menyadari betapa pentingnya menjaga fragmen-fragment yang tersebar di dunia agar tidak jatuh ke tangan yang salah.
Reinhard menatap Arwen dengan serius, ekspresinya tidak lagi menunjukkan kelembutan. "Para naga dulu adalah penjaga dunia ini, Arwen. Tapi seiring waktu, beberapa di antara mereka mulai kehilangan tujuan, sebagian tertidur, dan yang lain, seperti Ragonar, berambisi mengambil alih segalanya."
Arwen menatap gulungan yang terbuka di depannya, merasa bahwa ia baru menyentuh permukaan dari misteri yang jauh lebih dalam. "Jadi, mereka semua memiliki peran besar dalam menjaga dunia ini?" tanyanya dengan suara yang dipenuhi rasa hormat.
"Ya, tetapi seperti yang telah kau pelajari, kekuatan besar selalu membawa konflik besar," jawab Reinhard dengan nada tegas. "Itulah sebabnya aku tidak bisa menceritakan semuanya padamu. Semakin banyak yang kau ketahui, semakin besar beban yang harus kau tanggung."
Arwen mengangguk, menyadari batas yang Reinhard tetapkan untuk melindunginya. Namun, rasa ingin tahunya masih membara. "Lalu bagaimana dengan World Tree?" tanyanya dengan harapan.
Reinhard hanya tersenyum samar dan berkata, "Itu adalah kisah untuk lain waktu, Arwen. Sekarang, cukup untuk hari ini."
****
Keesokan paginya, Arwen kembali ke ruang pembelajaran di dalam Tower of Jotun, tempat di mana sejarah dunia tertulis dalam gulungan-gulungan kuno yang berjajar rapi di rak-rak tinggi. Meja besar di tengah ruangan dipenuhi dengan manuskrip-manuskrip tua yang berdebu, sementara nyala lilin yang berkerlip lembut menciptakan bayangan panjang di dinding batu yang dingin. Di sudut ruangan, Reinhard berdiri dengan postur tegak, pandangannya tertuju pada hamparan hutan luas yang terlihat dari jendela besar. Pagi itu, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Reinhard menatap dunia di luar sana, seolah ia sedang menimbang sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa Arwen pahami.
Tanpa menoleh, Reinhard berbicara dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan, "Arwen, sudah saatnya kau mengetahui asal usul yang sebenarnya dari peranmu sebagai Life-Seer." Suaranya menggema di ruangan yang hening, membawa bobot yang segera membuat Arwen menghentikan semua kegiatannya dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Arwen menelan ludah, hatinya berdegup lebih cepat. Ia telah lama menyadari bahwa menjadi seorang Life-Seer bukanlah sebuah kebetulan, tetapi ia tidak pernah membayangkan sejauh apa makna dari gelar yang kini disandangnya. "Aku selalu berpikir bahwa Life-Seer adalah seseorang yang lahir dengan kemampuan khusus, sebuah bakat yang muncul secara alami," ujarnya pelan, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu dan sedikit keraguan.
Reinhard akhirnya berbalik, matanya menatap langsung ke dalam mata Arwen, seperti mencoba menegaskan betapa pentingnya percakapan ini. "Tidak, Arwen," katanya dengan nada yang lebih dalam. "Life-Seer bukanlah sesuatu yang lahir secara alami. Mereka adalah hasil dari permintaan kami, para Jotun, kepada para dewa. Permintaan itu diajukan pasca Chaos Era, ketika dunia ini hampir runtuh dalam kehancuran yang tidak bisa dikendalikan oleh satu pun makhluk fana. Entah itu manusia, dwarf, elf, maupun orc."
Arwen mengerutkan kening, mencoba memahami makna di balik kata-kata Reinhard. "Permintaan? Jadi... kalian yang meminta agar Life-Seer ada?" tanyanya, suaranya terdengar tidak percaya.
Reinhard berjalan perlahan ke arah meja, tangannya menyusuri permukaan kayu tua yang kasar. "Ya," jawabnya dengan tenang. "Kami tahu bahwa kami, para Jotun, tidak bisa lagi mencampuri dunia ini secara langsung seperti dahulu. Setelah Chaos Era berakhir, hukum kasualitas mulai diterapkan lebih ketat kepada kami. Setiap tindakan yang kami lakukan akan membawa konsekuensi yang melampaui apa yang bisa kami perkirakan. Kami telah belajar bahwa keterlibatan langsung kami hanya akan membawa lebih banyak kekacauan."
Ia menatap Arwen dalam-dalam, seakan ingin memastikan bahwa gadis itu memahami betapa besar tanggung jawab yang ada di pundaknya. "Karena itu, kami meminta agar diciptakan sosok yang dapat bertindak sebagai penghubung antara dunia fana dan kekuatan di luar pemahaman mereka. Seorang penuntun yang berasal dari dunia ini sendiri."
Arwen terdiam, jari-jarinya dengan gelisah meremas ujung mantel panjangnya. "Lalu... siapa yang pertama kali menjadi Life-Seer?" tanyanya, hampir berbisik.
Reinhard melanjutkan, suaranya penuh dengan kehormatan terhadap mereka yang telah datang sebelumnya. "Saat pertama kali para dewa menyetujui permintaan kami, mereka menciptakan sistem di mana empat Life-Seer akan muncul dalam satu generasi. Mereka dipilih dari empat ras utama di dunia ini—manusia, dwarf, elf, dan..." Reinhard berhenti sejenak, matanya memperhatikan reaksi Arwen sebelum melanjutkan, "orc."
Arwen tersentak, matanya membelalak tak percaya. "Orc?" ucapnya dengan nada yang hampir menyiratkan ketidaksetujuan. "Bagaimana mungkin para orc bisa mendapatkan tempat di antara Life-Seer? Mereka adalah ras yang dikenal karena kebrutalan dan kehancuran yang mereka sebarkan."
Reinhard mengangkat satu tangan dengan tenang, menghentikan pertanyaan yang belum selesai itu. "Kau melihat mereka dari sudut pandang yang terbatas, Arwen," katanya dengan sabar. "Hukum keseimbangan tidak dapat memilih hanya berada pada apa yang terlihat baik dan bijak saja. Orc adalah simbol dari ketahanan, dari insting bertahan hidup yang murni. Tanpa mereka, dunia ini akan kehilangan bagian penting dari keseimbangan yang diperlukan untuk bertahan. Kehidupan tidak hanya tentang kebijaksanaan, tetapi juga kekuatan dan ketahanan."
Arwen menggigit bibirnya, mencoba mencerna penjelasan itu, meskipun pikirannya masih bergejolak dengan ketidakpastian. Reinhard kembali berbicara, suaranya terdengar lebih lembut, namun tetap tegas. "Kau, Arwen, adalah salah satu dari empat Life-Seer saat ini. Tugasmu bukan sekadar memahami dunia, tetapi juga membimbing mereka yang tersesat menuju keseimbangan yang sejati. Kau tidak dipilih karena kebetulan, tetapi karena garis keturunanmu telah membawa takdir ini sejak kau lahir."
Arwen mengangkat kepalanya dengan ekspresi bingung. "Jadi... aku telah menjadi Life-Seer sejak aku lahir?" tanyanya, mencoba memastikan bahwa apa yang ia dengar memang benar.
Reinhard mengangguk perlahan. "Benar," katanya. "Ketika seorang Life-Seer meninggal, kekuatannya tidak hilang begitu saja. Ia berpindah ke bayi yang baru lahir dari ras yang sama. Ini bukan sesuatu yang bisa dipilih atau dicegah. Mereka yang ditakdirkan menjadi Life-Seer sering kali tidak menyadari takdir mereka sampai dunia memanggil mereka untuk bertindak."
Arwen terdiam cukup lama, memikirkan semua yang baru saja ia dengar. Beban yang ia rasakan kini semakin nyata, lebih berat daripada yang pernah ia bayangkan sebelumnya. "Dan aku harus menjalani semua ini sendirian?" tanyanya, suaranya terdengar lebih rapuh dari sebelumnya.
Reinhard menatapnya dengan penuh keyakinan. "Tidak, Arwen," jawabnya. "Kau tidak sendirian. Kau memiliki kami, para Jotun, yang akan selalu memandumu dari bayang-bayang. Dan kau juga tidak boleh lupa, ada tiga Life-Seer lainnya di luar sana. Jika kau cukup bijak dan tekun, kau akan menemukannya, dan bersama mereka, kau bisa membawa dunia ini ke arah yang lebih baik."
Arwen mengangguk perlahan, meskipun di dalam hatinya, ia merasa ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi. "Apakah para Life-Seer sebelumnya berhasil dalam tugas mereka?" tanyanya lirih.
Reinhard terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Beberapa berhasil, beberapa gagal. Tapi yang harus kau ingat, setiap generasi memiliki tantangan mereka sendiri. Dunia ini selalu berada di ujung kehancuran, dan kali ini, tugasmu lebih penting daripada yang bisa kau bayangkan."
Arwen menarik napas dalam, berusaha menenangkan hatinya. Ia tahu bahwa apa yang menantinya di masa depan tidak akan mudah. Namun, di dalam dirinya, kini tumbuh tekad yang lebih kuat daripada sebelumnya. Dengan suara yang lebih mantap, ia berkata, "Aku akan melakukan yang terbaik."
Reinhard tersenyum samar, tetapi di balik senyumnya, Arwen bisa merasakan betapa besarnya harapan yang Reinhard gantungkan padanya.
****
Setelah pelajaran yang penuh dengan beban sejarah dan tanggung jawab besar, Arwen mencoba mengubah suasana menjadi lebih ringan, meskipun rasa ingin tahunya tetap tidak terbendung. Dengan suara lembut, ia berbicara kepada Reinhard yang masih fokus pada dokumen-dokumen tua yang tersebar di mejanya. "Reinhard," katanya perlahan, seolah tidak ingin mengganggu konsentrasi sang Jotun. "Bolehkah aku tahu lebih dalam tentang fragment? Aku merasa semakin banyak aku mendengar tentang mereka, semakin banyak misteri yang menyelimutinya."
Reinhard tidak segera menjawab. Ia menghela napas panjang, seolah sedang mempertimbangkan seberapa banyak yang boleh ia ungkapkan. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya menatap Arwen dengan mata yang serius dan penuh kewaspadaan. "Fragment... mereka berasal dari Jewellery of God, Nodvaly," ucapnya perlahan. "Benda yang dulu dimiliki oleh naga hitam Ragonar."
Mata Arwen melebar seketika. "Nodvaly milik Ragonar?" bisiknya tak percaya. "Aku... aku pikir itu hanya mitos kuno, cerita kuno yang diceritakan untuk menakuti anak-anak, dicatatan yang aku baca kemarin. Tidak mungkin fragment berasal dari sesuatu yang sekuat itu!"
Reinhard mengangguk dengan wajah tanpa ekspresi, meskipun ada ketegangan halus dalam nada suaranya. "Di dunia ini, Arwen, tidak ada yang benar-benar mustahil. Hanya karena sesuatu tidak diketahui, bukan berarti itu tidak ada." Reinhard menatap dalam ke mata Arwen, memastikan ia memahami seriusnya topik ini. "Fakta ini sangat rahasia, bahkan tidak banyak yang mengetahuinya. Jika sampai tersebar luas, dunia akan jatuh dalam kekacauan yang tak terkendali. Kau harus bersumpah untuk tidak pernah membicarakan hal ini di luar Tower of Jotun."
Arwen menelan ludah, merasa beban berat dari informasi yang baru saja ia terima. Dengan suara penuh kesungguhan, ia berkata, "Aku bersumpah, Reinhard. Rahasia ini akan kubawa hingga akhir hidupku."
Melihat kesungguhannya, Reinhard melanjutkan penjelasannya. "Ketika Chaos Era berakhir, Nodvaly—jewellery yang menjadi sumber kekuatan utama Ragonar—hancur berkeping-keping. Sepuluh pecahan terlempar ke seluruh penjuru dunia, membawa kekuatan besar yang tersembunyi di dalamnya."
"Sepuluh fragment..." Arwen mengulang pelan, suaranya dipenuhi keterkejutan dan ketidakpercayaan. "Begitu banyak? Mengapa tidak ada yang menyebutkan ini sebelumnya? Sejarah yang aku baca selama ini hanya menyebutkan sedikit di antaranya."
Reinhard mengangguk, ekspresinya tetap tenang meskipun pertanyaan Arwen membangkitkan ingatan yang lama ia simpan. "Itu karena tidak semua fragment tercatat dalam sejarah yang kau baca, Arwen. Beberapa fragment disembunyikan dengan sengaja untuk mencegah mereka jatuh ke tangan yang salah. Dunia tidak siap menghadapi kebenaran tentang mereka." Reinhard kembali menatapnya dalam-dalam, memastikan ia memahami pentingnya informasi ini.
Ia melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, seolah takut bahwa tembok-tembok ruangan pun bisa mendengarnya. "Setiap fragment memiliki kehendaknya sendiri. Mereka akan memilih siapa yang pantas memilikinya. Tapi kekuatan yang mereka berikan bukanlah hadiah, melainkan ujian. Kekuatan besar selalu datang dengan harga yang lebih besar. Fragment akan menguji pemiliknya, dan jika seseorang tidak cukup kuat untuk menanggungnya, maka kehancuran adalah satu-satunya akhir."
Arwen mengerutkan kening. "Harga yang besar?" tanyanya dengan ragu. "Apa maksudmu?"
Reinhard bersandar pada kursinya, matanya menatap jauh ke arah tumpukan dokumen di mejanya. "Fragment tidak hanya memberikan kekuatan fisik atau magis," katanya pelan, "mereka juga membawa dampak pada pikiran dan jiwa pemiliknya. Mereka bisa memperkuat, tetapi juga bisa menghancurkan. Mereka bisa memberikan harapan, tetapi juga bisa membawa keputusasaan yang tak tertahankan. Jika tidak berada di tangan yang tepat, fragment dapat menjadi kutukan bagi dunia ini. Namun, fragment juga membutuhkan banyak waktu untuk mengisi energy-nya, karena Ragonar, pemilik asli mereka, mengisi kekuatan fragment itu."
Arwen mendengarkan dengan seksama, merasa semakin berat dengan informasi yang diterimanya. "Jadi... apa yang terjadi jika fragment itu terisi penuh oleh kekuatan ragonar dan mungkin… jatuh ke tangan yang salah?"
Reinhard menatapnya dengan pandangan yang dingin dan penuh keteguhan. "Maka dunia akan kembali ke akhir First atau Second Era, Arwen. Dan kali ini, mungkin tidak akan ada yang mampu menghentikan kehancuran yang akan terjadi."
Arwen terdiam dalam keheningan yang panjang. Setelah beberapa saat, Reinhard mulai menyebutkan satu per satu fragment yang dikenal dunia, seperti sedang mengungkap bagian dari misteri yang telah lama terkubur.
"Fragment hijau, ungu, merah, biru muda, perak, emas, hitam, biru tua, putih, dan kuning." Reinhard menyebutkan dengan hati-hati, seakan setiap kata mengandung bobot yang tak terlihat.
Namun, Arwen dengan cepat menangkap kejanggalan. Ia mengangkat alis, suaranya dipenuhi keheranan. "Tunggu sebentar... dalam semua catatan yang kubaca sebelumnya, hanya ada tujuh fragment yang disebutkan dalam sejarah. Fragment hijau, ungu, merah, biru muda, perak, emas, dan hitam. Tidak pernah ada catatan tentang tiga fragment lainnya."
Reinhard tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. "Tiga fragment lainnya," katanya pelan, "disembunyikan dari catatan sejarah untuk melindungi keseimbangan dunia. Ada kekuatan yang terlalu besar untuk diketahui oleh dunia, Arwen. Dan beberapa rahasia lebih baik tetap tersembunyi."
Arwen merasakan gelombang keingintahuan yang semakin besar di dalam dirinya, tetapi ia tahu Reinhard tidak akan memberikan lebih banyak jawaban dari yang seharusnya. Ia hanya bisa duduk di sana, merenungkan apa yang telah ia pelajari hari ini. Dalam hatinya, ia menyadari bahwa dunia yang ia pikir ia pahami selama ini jauh lebih kompleks, penuh dengan rahasia yang tersembunyi di balik bayangan kekuasaan dan keabadian.
"Apakah aku harus tahu lebih banyak?" Arwen bertanya dengan suara pelan, seolah takut dengan jawabannya sendiri.
Reinhard menatapnya dengan tatapan yang penuh kebijaksanaan. "Tidak untuk saat ini, Arwen. Pengetahuan yang berlebihan bisa menjadi beban yang menghancurkan. Yang harus kau lakukan sekarang adalah memahami apa yang sudah kau ketahui, dan bersiap untuk apa yang akan datang."
Arwen mengangguk perlahan, menyadari bahwa perjalanan memahami fragment ini baru saja dimulai.
****
Arwen masih duduk di hadapan Reinhard, matanya terus meneliti wajah sang Jotun dengan penuh rasa ingin tahu. Meskipun ia telah mendengar banyak hal luar biasa hari ini, pikirannya belum juga merasa puas. Ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di benaknya, sesuatu yang ia rasa penting untuk diketahui. Dengan hati-hati, ia memecah keheningan yang terasa berat di antara mereka. "Reinhard," suaranya terdengar lembut, namun penuh dengan keingintahuan yang tak bisa ia sembunyikan. "Kemarin, kau mengatakan bahwa ada sepuluh Jotun, sama seperti jumlah dewa mereka. Tapi... mengapa sekarang hanya dirimu dan Bahamud yang dikenal? Di mana yang lainnya?"
Reinhard tidak langsung menjawab. Ia membiarkan kata-kata Arwen menggantung di udara, matanya tertuju keluar jendela besar yang menghadap hutan luas di kejauhan. Hening beberapa saat sebelum ia menarik napas panjang, seakan menyelami ingatan yang telah lama terkubur di dalam dirinya. "Setelah Hukum Kasualitas diterapkan oleh para dewa," Reinhard akhirnya berbicara, suaranya terdengar dalam dan berat, "setiap Jotun diberi kebebasan penuh untuk menentukan jalan mereka sendiri. Tidak lagi terikat oleh perintah mutlak dewa, kami bisa memilih apakah akan tetap berperan dalam urusan dunia atau menarik diri ke dalam bayang-bayang."
Arwen memperhatikan Reinhard dengan cermat, menyerap setiap kata yang diucapkannya. "Mereka memilih untuk menghilang?" tanyanya, nada suaranya mencerminkan campuran rasa penasaran dan ketidakpercayaan.
Reinhard mengangguk perlahan. "Ya. Sebagian besar dari kami memilih untuk menyepi, bersembunyi jauh dari hiruk-pikuk dunia fana. Beberapa bahkan memilih untuk hidup di antara manusia, dwarf, dan elf tanpa mereka sadari. Mereka hidup sebagai bagian dari dunia ini, tanpa mengungkapkan siapa mereka sebenarnya. Namun, ada juga yang memilih untuk meninggalkan semuanya, melepaskan tanggung jawab mereka, dan membiarkan keseimbangan dunia berjalan tanpa campur tangan mereka."
Mendengar itu, Arwen mulai memahami mengapa hanya sedikit yang diketahui tentang para Jotun. Mereka telah menjadi legenda, kisah yang terpendam di antara debu waktu. Namun, ada satu hal yang membuatnya penasaran. "Tapi Bahamud... dia berbeda, bukan?"
Ekspresi Reinhard berubah seketika. Sorot matanya menjadi tajam, seperti api yang menyala dalam kegelapan. "Bahamud tidak pernah puas hanya dengan diam. Dia percaya bahwa dunia ini harus diubah sesuai kehendaknya. Ambisinya melampaui batas yang pernah ada. Ia tidak hanya ingin mengamati, tetapi ingin menguasai, menciptakan kekacauan dan menghancurkan semua yang dianggapnya lemah. Tidak seperti yang lain, Bahamud terus menggerakkan bidaknya di atas papan catur dunia, dan jika tidak ada yang menghentikannya, kehancuran total hanyalah masalah waktu."
Arwen merasakan ketegangan yang memenuhi ruangan. "Dan karena itulah... kau memilih untuk menjadi penyeimbang?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.
Reinhard tersenyum tipis, tetapi senyuman itu terasa pahit. "Ya. Aku mengajukan diriku. Aku bersumpah atas nama dewaku dalam Soul's Vow of Jotun, sebuah ikatan yang mengikat jiwaku sampai akhir zaman. Aku bersumpah untuk melindungi keseimbangan dunia ini dengan segala cara, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan diriku sendiri."
Kata-kata itu menggema di benak Arwen. Ia dapat merasakan beratnya janji yang diucapkan Reinhard, janji yang tidak bisa diingkari, janji yang menjadi beban seumur hidup. Ia menatapnya dengan penuh hormat, tetapi di sisi lain, ada perasaan iba yang perlahan tumbuh di hatinya. "Kenapa kau mau melakukannya, Reinhard? Mengapa kau rela memikul beban sebesar ini sendirian?"
Reinhard tidak langsung menjawab. Ia terdiam, seolah pertanyaan itu telah menghantam sesuatu yang lebih dalam dalam dirinya. Matanya menatap ke kejauhan, dan akhirnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia menjawab dengan satu kata. "Penebusan."
Arwen mengerutkan dahi, kebingungan melingkupi pikirannya. "Penebusan?" ulangnya pelan, mencoba memahami arti di balik kata itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Reinhard sudah kembali menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.
"Beberapa hal lebih baik dibiarkan di masa lalu, Arwen," katanya dengan nada lembut namun penuh ketegasan. "Apa yang kulakukan bukan untuk mencari pengampunan, tetapi untuk memastikan bahwa kesalahan yang pernah terjadi tidak terulang kembali."
Arwen tidak ingin memaksa lebih jauh, meskipun rasa ingin tahunya masih terus berkecamuk. Ia hanya bisa menyimpan kata 'penebusan' itu dalam pikirannya, mencoba mencari maknanya di antara fragmen-fragment pengetahuan yang telah ia kumpulkan selama ini. Ia menyadari bahwa Reinhard bukan sekadar penjaga keseimbangan, tetapi juga sosok yang memikul luka masa lalu yang tak dapat dihapus.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, Arwen menatap kembali meja penuh gulungan sejarah di hadapannya. Ia tahu bahwa perjalanannya di Tower of Jotun baru saja dimulai, dan masih banyak rahasia yang menunggu untuk terungkap, baik tentang dunia ini maupun tentang sosok Reinhard yang misterius.
****
Di tepi kolam yang tenang, di bawah naungan pepohonan tinggi yang bergoyang pelan tertiup angin sore, Arwen duduk dengan diam, membiarkan pikirannya melayang di antara suara gemercik air yang mengalir lembut. Kilauan cahaya matahari yang hampir tenggelam memantul di permukaan air, menciptakan bayangan-bayangan emas yang bergerak mengikuti arus kecil yang terbentuk dari sentuhan lembut jemarinya. Udara sore membawa kesejukan yang menyentuh kulitnya, memberikan ketenangan setelah seharian tenggelam dalam pelajaran dan tugas yang menuntut pikiran serta energinya.
Hutan di sekitar Tower of Jotun terasa sunyi, hanya diisi oleh suara alam yang berbisik pelan. Sesekali, daun-daun jatuh ke permukaan air, menimbulkan riak kecil yang perlahan menghilang. Arwen mengusap perutnya dengan lembut, tatapannya menerawang jauh, seolah ada sesuatu yang lebih besar yang mengganggu pikirannya selain sekadar kelelahan. Ada ketidakpastian yang terus menghantuinya, sesuatu yang tidak ia katakan dengan lantang tetapi selalu mengendap di benaknya.
Langkah berat yang bergema dari kejauhan membuyarkan lamunannya. Suara itu mendekat dengan irama yang mantap dan penuh keyakinan, tidak tergesa-gesa tetapi membawa kehadiran yang tidak bisa diabaikan. Arwen menoleh sedikit, menemukan sosok Reinhard yang kini berdiri di belakangnya, tubuhnya tegap dengan tangan yang disilangkan di dada. Ekspresinya tetap tenang seperti biasa, tetapi ada rasa ingin tahu yang samar terlihat dalam tatapannya.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" suaranya dalam, resonansinya bercampur dengan suara angin yang mengalir di antara pepohonan. Nada bicaranya bukanlah pertanyaan yang menuntut jawaban, melainkan sebuah ketertarikan yang terselubung.
Arwen sedikit terkejut dengan kedatangannya, tetapi ia segera menguasai dirinya. Ia menoleh ke arahnya dengan senyum kecil, meskipun ada sedikit kegugupan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. "Aku hanya... menikmati waktu istirahat sejenak," jawabnya, suaranya ringan namun menyimpan sesuatu di baliknya.
Arwen tetap diam sejenak, matanya memperhatikan Reinhard dengan intensitas yang dalam, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata sederhananya. Lalu, dengan sedikit perubahan dalam ekspresinya, ia melanjutkan percakapan dengan nada yang lebih santai. "Apakah keberadaan Tower of Jotun ini sama seperti sihirmu yang kau gunakan pada desa itu, Reinhard?"
Arwen menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.
Reinhard tersenyum kecil sebelum menjelaskan, "Ya. Menghilangkan Tower of Jotun dari dunia adalah bagian dari kekuatan dewa Jetoka. Kekuatan untuk memindahkan suatu objek ke dimensi lain, sesuatu yang hanya dimiliki oleh Jotun dewa Jetoka. Tapi aku berhasil mendapatkannya, setelah menjadi satu-satunya Jotun yang masih aktif di dunia ini. Lagipula, membiarkan Tower of Jotun tetap berada di hutan besar Agrovarnin akan menimbulkan kekacauan besar jika diketahui oleh orang yang salah, seperti yang terjadi di Second Era saat orc menguasai tempat ini."
Arwen mendengar penjelasan itu dengan mata yang sedikit membesar, terkejut dengan pengakuan Reinhard. Ia butuh beberapa detik untuk memproses informasi itu sebelum akhirnya bertanya, "Apakah itu berarti kau bisa menggunakan semua kekuatan kesepuluh dewa?"
Reinhard menggeleng pelan, tatapannya tidak berubah. "Tidak," jawabnya dengan tenang. "Aku hanya bisa menggunakan beberapa kekuatan dari dewa selain Geota, dewa yang aku sembah. Dan bahkan itu pun sangat kecil, jauh di bawah kekuatan Jotun asli yang mewarisi kekuatan langsung dari dewa mereka."
"Aku mengerti." Arwen menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, tetapi sebelum pembicaraan itu bisa berlanjut lebih jauh, ia memutuskan untuk mengalihkan topik. Ia menarik napas dalam, kali ini suaranya lebih serius saat ia bertanya, "Reinhard… menurutmu, apakah The Wall bisa bertahan menghadapi ancaman yang semakin mendekat?"
Pertanyaan itu membuat Reinhard terdiam sejenak, matanya kini beralih ke kolam di depannya, melihat pantulan langit yang mulai berubah warna seiring matahari yang perlahan turun ke cakrawala. "Tak ada yang pasti dalam dunia ini," jawabnya akhirnya, suaranya rendah, hampir seperti gumaman yang penuh pemikiran mendalam. "Masa depan selalu bergerak, Arwen. Setiap langkah yang diambil akan membuka banyak jalan yang tak terduga. Kau lebih dari siapa pun yang memahami itu."
Arwen mendesah pelan, lalu merebahkan tubuhnya ke rerumputan lembut di tepi kolam, membiarkan dirinya menatap langit yang dihiasi awan tipis yang perlahan berubah warna menjadi jingga keemasan. "Aku tahu..." katanya dengan suara pelan. "Tapi rasanya… terlalu banyak kemungkinan. Setiap kali aku bermimpi tentang masa depan, aku seperti dihujani begitu banyak skenario yang berbeda. Seolah-olah semakin aku berusaha memahami, semakin rumit semuanya terasa."
Reinhard, yang biasanya tidak banyak menunjukkan ekspresi, kali ini tersenyum tipis. Ia berjongkok di sebelah Arwen, membiarkan ujung jarinya menyentuh air kolam dengan ringan, menciptakan riak kecil yang berpendar di bawah cahaya matahari. "Begitulah takdir seorang Life-Seer," katanya dengan nada ringan, tetapi ada pemahaman yang mendalam dalam suaranya. "Kau memintanya, bukan?"
Arwen mendengus kecil, menutup matanya sesaat sebelum kembali membuka kelopaknya dengan perlahan. "Ya... dan sekarang aku merasa seperti tenggelam di dalamnya. Seolah-olah aku tidak lagi memiliki kendali atas mimpiku sendiri. Rasanya seperti menonton sandiwara yang tak pernah berakhir." Ia mengalihkan pandangannya ke Reinhard, matanya penuh kelelahan yang bercampur dengan keingintahuan. "Bagaimana caranya untuk... berdamai dengan semua ini? Bagaimana aku bisa menerima semua kemungkinan itu tanpa merasa kewalahan seperti ini?"
Reinhard tidak segera menjawab. Ia menatap Arwen sejenak, mempertimbangkan jawabannya sebelum akhirnya berkata dengan nada bijak, "Kau tidak harus menerima semuanya dalam satu waktu. Nikmati satu mimpi, satu langkah, satu kemungkinan pada satu waktu. Masa depan selalu berubah, tetapi yang penting adalah bagaimana kau memilih untuk bergerak di saat ini."
Arwen menghembuskan napas pelan, lalu tersenyum kecil. Meski ada kelelahan yang masih tersisa di matanya, kata-kata Reinhard membawa sedikit ketenangan dalam pikirannya. "Kau membuatnya terdengar mudah," gumamnya, memainkan ujung jubahnya dengan pelan.
"Karena kau masih belajar," jawab Reinhard sambil berdiri, menatap langit yang kini dipenuhi cahaya senja. "Dan belajar itu tidak harus selalu terburu-buru. Apalagi untuk dirimu, yang harus meengetahui banyak kemungkinan-kemungkinan masa depan, yang bisa berubah sewaktu-waktu."
Arwen duduk tegak, menatapnya dengan ekspresi yang lebih lembut dari sebelumnya. "Kau benar. Aku harus mulai melihatnya dengan cara yang berbeda." Ia menarik napas panjang, merasa sedikit lebih ringan.
Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka, hanya diisi oleh suara gemerisik air dan dedaunan yang tertiup angin. Di tengah semua ketidakpastian yang memenuhi pikirannya, Arwen mulai merasa bahwa ia tidak harus memikul segalanya sendirian. Setidaknya, untuk saat ini, ada seseorang di sisinya yang bisa mengerti, meskipun hanya dalam diam.
****