Bab 34

Arwen memperlambat laju kudanya saat memasuki hutan besar Agrovarnin, di mana pepohonan raksasa berdiri tegak seperti penjaga abadi, cabang-cabang mereka menjulur bagaikan tangan raksasa yang melindungi hutan dari dunia luar. Matahari yang sebelumnya bersinar terik kini hanya menyelinap melalui celah dedaunan yang lebat, menciptakan suasana remang yang sarat dengan misteri. Udara di sekitar terasa dingin, dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan tua yang telah lama membusuk di lantai hutan. Satu-satunya suara yang terdengar adalah derap pelan kaki kuda putihnya yang menapaki jalur yang tertutup dedaunan kering, menghasilkan bunyi gemerisik halus yang seolah menjadi bagian dari harmoni hutan ini.

Tatapan Arwen terpaku pada sesuatu di kejauhan, di mana di antara celah pepohonan yang rapat, tampak siluet menara raksasa yang menjulang tinggi, menyembul di balik kanopi hutan. Bayangan menara itu tampak tak tergoyahkan, seolah telah berdiri selama ribuan tahun, menanti kepulangannya setelah perjalanan panjangnya ke The Wall.

Menara itu, yang dikenal sebagai Tower of Jotun, berdiri dengan keanggunan yang memancarkan kewibawaan. Batu hitam yang membentuk dindingnya tampak berkilauan samar dalam cahaya yang merayap melalui dedaunan, seakan menyimpan rahasia yang tak terungkap. Relief-relief kuno menghiasi permukaannya, menceritakan kisah-kisah yang telah lama terlupakan oleh dunia luar. Di puncaknya, cahaya kehijauan berdenyut lembut seperti denyut nadi raksasa, memberi kesan bahwa menara ini bukan hanya sekadar bangunan, melainkan sesuatu yang hidup dan penuh energi.

"Tower of Jotun..." bisik Arwen nyaris tanpa suara, suaranya bercampur antara kekaguman dan ketegangan yang bergemuruh di dadanya.

Ia menghentikan kudanya sejenak, menatap menara dengan mata yang sarat akan makna. Bagi Arwen, menara ini adalah lebih dari sekadar batu dan cahaya—ini adalah simbol dari harapan dan ketakutan, dari masa lalu dan masa depan yang terus menghantuinya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gemuruh dalam hatinya sebelum melanjutkan langkahnya menuju pintu masuk yang megah, yang dijaga oleh dua patung naga raksasa dengan mata berpendar lembut, seakan tengah mengawasi setiap langkahnya.

Begitu tiba di hadapan pintu besar yang terbuat dari kayu kuno yang telah menyaksikan peradaban berganti, Arwen turun dari kudanya dengan gerakan anggun. Tangannya yang ramping menyentuh leher kuda putihnya, sebuah tanda terima kasih atas perjalanan panjang yang mereka lalui bersama. Kudanya meringkik pelan, seakan memahami kelelahan dan kegelisahan yang melingkupi Arwen.

Dengan langkah hati-hati namun penuh keyakinan, Arwen mendekati pintu raksasa itu. Saat jemarinya yang halus menyentuh permukaan kayu yang dingin, getaran halus merambat ke seluruh tubuhnya. Sebuah bisikan halus muncul di benaknya, seperti suara yang telah menantinya sejak lama, bergema lembut dalam pikirannya.

"Selamat datang kembali, Arwen."

Reinhard berdiri tegap di depan pintu besar menara yang menjulang tinggi, siluetnya terlihat kokoh di bawah cahaya rembulan yang samar. Sorot matanya yang tajam, namun penuh ketenangan, menyambut kedatangan Arwen dengan kesabaran yang seolah telah mengakar selama berabad-abad. Di balik ekspresinya yang dingin, tersembunyi kebijaksanaan yang sulit dijabarkan oleh kata-kata. Arwen, yang telah menempuh perjalanan panjang kembali ke tempat ini, melangkah dengan penuh kehati-hatian. Keletihan tergambar jelas di wajahnya, terpancar melalui mata yang menyimpan berbagai emosi yang bercampur aduk—penyesalan, harapan, dan keraguan.

Jantung Arwen berdegup lebih cepat. Ia menggigit bibir bawahnya, mengumpulkan keberanian untuk mendorong pintu itu. Dengan sedikit tenaga, daun pintu berat itu berderak pelan, membuka perlahan ke dalam dan mengungkapkan ruangan luas yang dipenuhi cahaya hijau yang berpendar dari kristal-kristal besar yang tertanam di dinding. Udara di dalam terasa berbeda—hangat dan menenangkan, seolah keberadaan menara ini sendiri menolak dinginnya dunia di luar.

"Masuklah."

Angin malam berembus pelan di sekitar mereka, membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua dari hutan besar Agrovarnin. Reinhard tidak segera berbicara, hanya mengangkat tangannya dengan gerakan halus, memberi isyarat agar Arwen mengikutinya memasuki menara yang megah itu.

Arwen melangkah masuk, langkahnya yang ringan bergema di lantai batu yang halus dan dingin. Ruangan itu dipenuhi ornamen-ornamen kuno yang seakan berbicara tentang kejayaan masa lalu yang kini hanya tersisa dalam ingatan segelintir orang. Pandangannya tertuju pada sebuah altar besar di tengah ruangan, berdiri megah di bawah pancaran cahaya yang turun dari kubah tinggi di atasnya. Aura yang terpancar dari altar itu begitu kuat, hingga Arwen merasakan tekanannya hingga ke tulang-tulangnya.

Dalam bisikan yang hampir tak terdengar, Arwen menyebutkan sebuah nama yang telah lama menghantui pikirannya. "Reinhard..." suaranya mengandung perpaduan harapan dan keraguan yang bercampur menjadi satu, seolah memanggil sosok yang ia yakini sedang menunggu di tempat suci ini.

Hening.

Tidak ada jawaban, tetapi Arwen bisa merasakan sesuatu—sebuah kehadiran yang mengawasi, menilai, menunggu. Ia tidak sendiri di dalam menara ini. Bayangan-bayangan di sudut ruangan tampak berdenyut, seakan hidup dan bergerak perlahan. Namun Arwen tidak mundur. Ia melangkah maju dengan hati yang teguh, siap menghadapi apa pun yang telah menunggunya di dalam Tower of Jotun.

****

 

Suasana di lobi utama Tower of Jotun terasa hening ketika Reinhard berdiri dengan tenang di tengah ruangan yang luas, menanti kedatangan tamunya dengan kesabaran seorang pria yang telah terbiasa menghadapi waktu. Langkah-langkah lembut terdengar mendekat, gema sepatu menyentuh lantai batu mengisi udara dengan ritme yang nyaris tak terdengar. Arwen akhirnya tiba, langkahnya sedikit lebih berat dari biasanya, seolah ada beban yang tak kasat mata menggantung di pundaknya.

Tatapan Reinhard menyapu sosoknya dengan ketenangan yang dalam, sebelum akhirnya ia berbicara dengan nada suara yang penuh wibawa, suaranya menggema lembut di antara pilar-pilar kokoh yang menopang menara ini. "Aku tahu perjalananmu tidak mudah," katanya akhirnya, kalimat itu lebih dari sekadar sapaan—itu adalah pengakuan atas kesulitan yang telah dihadapi Arwen. "Aku yakin kau telah menyampaikan pesan yang kau bawa kepada mereka yang menunggu di The Wall."

Arwen menundukkan kepala, matanya sedikit meredup ketika ia menghela napas panjang. Nafasnya terdengar berat, mencerminkan beban yang masih melekat erat dalam pikirannya. "Aku sudah melakukannya," jawabnya pelan, suaranya nyaris tertelan keheningan malam yang menyelimuti menara. "Tapi aku merasa seperti telah mengecewakan mereka. Aku kembali dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, dan aku takut mereka mulai meragukan segalanya."

Reinhard berhenti sejenak di ambang pintu, tatapannya mengarah ke langit luas yang dipenuhi bintang-bintang. Mata tajamnya seperti menembus kegelapan, menyelami rahasia-rahasia yang belum terungkap. Ia memahami perasaan itu—perasaan gagal dalam membawa kepastian bagi mereka yang berharap. Akhirnya, ia menurunkan pandangannya kembali ke Arwen dan berkata dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri," ujarnya, suaranya membawa ketenangan yang dalam. "Kau harus mengingat satu hal, Arwen—kau bukan sekadar seorang utusan. Kau adalah seorang Life-Seer, seseorang yang dapat melihat jauh melampaui apa yang bisa dipahami manusia biasa. Dan masa depan... adalah sesuatu yang bahkan para dewa pun tidak dapat uraikan sepenuhnya."

Arwen mengangkat wajahnya, tatapannya dipenuhi keraguan yang sulit ia sembunyikan. Ia mencari sesuatu di mata Reinhard, sesuatu yang bisa memberinya keyakinan bahwa semua ini tidak sia-sia. "Tapi aku merasa telah gagal," katanya dengan suara yang lebih pelan. "Aku membawa harapan, tetapi tak ada kepastian. Bagaimana aku bisa meminta mereka untuk percaya, jika aku sendiri masih dipenuhi ketidakpastian?"

Reinhard menghela napas panjang sebelum kembali melangkah, tangannya mendorong perlahan daun pintu besar yang terbuat dari kayu hitam, yang perlahan berderit terbuka, memperlihatkan lorong luas yang terbentang di dalamnya. Saat mereka memasuki bagian dalam menara, suasana berubah drastis. Udara di dalam terasa lebih sunyi, lebih dalam, seakan-akan dinding batu besar yang mengelilingi mereka telah menyerap setiap suara dari dunia luar. Relief-relief kuno yang terpahat di sepanjang dinding menceritakan kisah-kisah yang telah lama terlupakan, jejak sejarah yang terukir dalam batu dan waktu.

Cahaya lilin yang berjajar di sepanjang lorong menciptakan bayangan yang bergerak perlahan, membuat menara ini terasa seakan memiliki kehidupan tersendiri. Ada sesuatu yang hampir mistis dalam keheningan ini, sesuatu yang berbicara tanpa perlu mengeluarkan suara.

Di depan pintu menuju ruang utama, Reinhard berhenti sekali lagi, kali ini menoleh ke arah Arwen dengan tatapan yang lebih tajam. "Hukum kasualitas telah ditetapkan sejak awal penciptaan," katanya, nada suaranya lebih serius dibandingkan sebelumnya. "Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini memiliki sebab dan akibatnya. Bahkan para dewa pun tidak bisa menghindari hukum itu. Dan siapa pun yang mencoba melawan takdirnya akan menghadapi konsekuensi yang lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan."

Arwen berdiri diam di tempatnya, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam pikirannya. Kata-kata itu berat, tetapi ada kebenaran di dalamnya—kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Beban di hatinya terasa sedikit berkurang, meskipun tidak sepenuhnya lenyap. Reinhard bukan seseorang yang berbicara tanpa makna. Setiap nasihatnya lahir dari pengalaman yang panjang, dari luka yang tidak terlihat tetapi tetap meninggalkan jejak di dalam dirinya.

Saat mereka berjalan lebih dalam ke dalam menara, atmosfer di dalamnya berubah perlahan. Apa yang awalnya terasa megah kini terasa lebih akrab, lebih tenang. Cahaya kehijauan yang memancar dari kristal-kristal yang tertanam di dinding memberikan ketenangan yang menenangkan, seperti aliran air yang mengalir perlahan di tengah hutan yang sunyi.

Di tengah ruangan utama, sebuah altar besar berdiri dengan kokoh, pusat dari segala sesuatu di tempat ini. Cahaya dari langit-langit menyorotinya dengan lembut, membuatnya tampak seperti bagian penting dari sebuah pertunjukan yang telah lama dinanti. Reinhard melangkah maju, mendekati altar itu dengan langkah yang tenang. Ia memandangnya sejenak, lalu menoleh kembali ke Arwen, ekspresinya penuh dengan pengertian.

"Kau telah melakukan yang terbaik," ujarnya, kali ini dengan nada yang lebih hangat. "Apa yang kau lakukan mungkin tampak kecil sekarang, tetapi setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampaknya sendiri. Tidak ada yang pasti di dunia ini, Arwen, tetapi yang pasti adalah bahwa pilihan yang kita buat hari ini akan membentuk jalan bagi masa depan yang belum terungkap."

Arwen terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. Senyum tipis terbentuk di bibirnya, meskipun keraguannya belum sepenuhnya sirna, kata-kata Reinhard telah memberikan sedikit ketenangan dalam pikirannya. Ia melangkah lebih dekat, tatapannya kini lebih mantap saat ia memandangi altar itu.

Dalam kesunyian menara yang megah ini, ia menyadari sesuatu—masa depan mungkin tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan, tetapi ia tidak harus menghadapinya sendirian. Reinhard ada di sini, menara ini ada di sini, dan yang paling penting, keyakinannya masih ada di dalam hatinya. Apa pun yang akan terjadi nanti, ia tahu bahwa langkah yang ia ambil saat ini adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar. Ia tidak perlu mengetahui semua jawaban sekarang. Yang perlu ia lakukan hanyalah terus melangkah.

****

 

Di pagi hari berikutnya yang cerah, Reinhard berdiri di tepi balkon menara, tatapannya terarah jauh ke kejauhan, menembus cakrawala yang diselimuti kabut tipis. Matanya yang tajam seolah sedang menelusuri sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa, sesuatu yang berasal dari masa lalu yang terlalu jauh untuk dijangkau. Udara dingin berhembus pelan, menggoyangkan helaian rambut peraknya yang panjang, namun ia tetap berdiri teguh, seperti patung hidup yang telah ada di sana sejak awal waktu. Dalam keheningan yang menggantung di udara, ia akhirnya berbicara, suaranya dalam dan berwibawa, tetapi juga sarat dengan kelelahan yang sulit disembunyikan.

"Sebagai salah satu ciptaan dan utusan para dewa, aku tidak bisa sembarangan mencampuri urusan dunia fana," katanya perlahan, seakan memilih setiap kata dengan hati-hati. "Tugasku hanyalah menjaga keseimbangan dari hukum kasualitas yang telah ditetapkan. Namun, saat keseimbangan itu terganggu, aku tak punya pilihan lain selain bertindak."

Arwen, yang duduk di sebuah kursi batu berukir di hadapan Reinhard, mendengarkan dengan seksama. Wajahnya dipenuhi rasa penasaran yang bercampur dengan keraguan. Hutan di sekeliling mereka terasa sunyi, seakan alam sendiri turut menunggu kelanjutan dari pembicaraan ini. Ia mengerutkan kening, matanya menatap lurus ke arah sosok tinggi yang berdiri di hadapannya.

"Keseimbangan seperti apa yang kau maksud?" tanyanya dengan suara lirih, namun dalam nada suaranya terselip ketegangan yang jelas. Ia tahu, pembicaraan ini menyangkut sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

Reinhard menarik napas panjang, seolah membiarkan udara malam memenuhi paru-parunya sebelum ia akhirnya mengucapkan satu nama yang sarat akan makna. "Bahamut," jawabnya, suaranya terdengar seperti sebuah beban berat yang telah lama ia pikul.

Mendengar nama itu, tubuh Arwen menegang. Matanya membelalak, dan untuk sesaat ia kehilangan kata-kata. Nama itu adalah sesuatu yang tak pernah ingin ia dengar lagi, sesuatu yang hanya diceritakan dalam bisikan oleh mereka yang berani membicarakannya. "Bahamut..." bisiknya nyaris tak terdengar, seolah hanya sekadar menyebut namanya sudah cukup untuk membawa malapetaka.

Reinhard mengangguk pelan, ekspresinya tetap tenang, tetapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang lebih dalam—kesedihan, kehati-hatian, atau mungkin rasa lelah yang tak pernah benar-benar hilang. "Ya, Bahamut. Jotun gagal. Ia adalah alasan mengapa aku selalu terlambat di medan perang, bukan karena aku menginginkannya, tetapi karena aku harus menunggu hingga dia mengambil langkahnya lebih dulu. Bahamut bukan sekadar ancaman... dia adalah keseimbangan yang terdistorsi dan aku akan menjadi antidosisnya."

Arwen menelan ludah, mencoba memahami besarnya implikasi dari kata-kata Reinhard. Ia menundukkan kepala, tangannya mengepal erat di pangkuannya. "Jadi..." ucapnya dengan suara yang nyaris bergetar, "segala yang terjadi selama ini, kehancuran besar yang melanda dunia, perang besar yang memisahkan tiga ras, bahkan pembangunan The Wall... semuanya karena Bahamut?"

Reinhard menatapnya dalam diam sebelum akhirnya mengangguk lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih berat dari sebelumnya. "Ya," jawabnya dengan lembut. "Bahamut adalah wujud dari kehancuran yang lahir dari ambisi dan ketamakan. Dia adalah sesuatu yang tidak bisa dihentikan sepenuhnya, hanya bisa ditahan. Setiap kali dia bergerak, aku harus memastikan dunia ini tidak jatuh ke dalam kegelapan sepenuhnya. Tapi, Arwen..." Reinhard menunduk sedikit, suaranya kini lebih dalam dan sarat dengan kejujuran yang tak dapat disangkal, "aku tidak bisa menjamin bahwa aku akan selalu mampu menghentikannya."

Arwen mengangkat wajahnya, menatap Reinhard dengan mata yang dipenuhi kebingungan dan kecemasan yang nyata. Ia telah mendengar banyak tentang kehancuran, tentang kejahatan yang mengintai dunia ini, tetapi untuk mendengarnya langsung dari seseorang seperti Reinhard... itu terasa jauh lebih nyata dan lebih menakutkan.

"Apa yang bisa kulakukan?" tanyanya akhirnya, suaranya kecil, tetapi penuh harapan. Ia merasa begitu kecil di hadapan ancaman sebesar ini, tetapi di dalam hatinya ia tahu bahwa ia tidak bisa berpaling.

Reinhard tersenyum tipis, sorot matanya melembut saat menatap gadis itu. "Tugas seorang Life-Seer bukanlah untuk bertempur, Arwen. Kau tidak ditakdirkan untuk mengangkat pedang dan bertarung di medan perang. Kau adalah penjaga cahaya di tengah kegelapan, seorang yang dapat menuntun mereka yang tersesat. Ketika dunia dipenuhi ketakutan, kau adalah yang akan membawa harapan. Karena itu, aku membutuhkanmu untuk tetap berdiri. Bukan untukku... tapi untuk dunia ini."

Kata-kata itu menyentuh sesuatu di dalam diri Arwen. Ia merasa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bukan hanya seseorang yang membawa ramalan-ramalan kosong, tetapi seseorang yang memiliki peran yang lebih besar dari yang ia bayangkan sebelumnya. Di balik ketakutannya, ia merasakan secercah kepercayaan yang perlahan menguat.

Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang penuh makna. Arwen melihat sesuatu yang jarang ia temukan di wajah Reinhard—sebuah pengakuan bahwa bahkan seorang utusan dewa pun memiliki batasnya, dan bahwa di balik kehebatannya, ia pun berjuang seperti manusia biasa.

Arwen menarik napas dalam-dalam, membiarkan kata-kata Reinhard meresap sepenuhnya ke dalam hatinya. Ia tahu, jalannya masih panjang dan penuh ketidakpastian, tetapi kali ini, ia tidak lagi merasa sendirian. Reinhard telah memberinya sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar kata-kata—sebuah keyakinan bahwa meskipun masa depan gelap, masih ada cahaya yang bisa ia bawa.

Dengan hati yang sedikit lebih ringan, Arwen mengangguk perlahan, menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus maju. Reinhard mengawasi gadis itu dengan penuh kebanggaan, sebelum akhirnya berbalik, kembali menatap langit malam yang kini tampak lebih luas dari sebelumnya.

****

 

Di dalam ruang belajar yang sunyi dan penuh dengan aroma kayu tua yang terbakar, Arwen berdiri dengan tegak di hadapan Reinhard. Cahaya temaram dari lilin-lilin yang tertata di berbagai sudut ruangan memancarkan cahaya lembut, menyoroti wajahnya yang penuh dengan keprihatinan. Api di perapian kuno menderu pelan, mengisi keheningan dengan suara gemeretak lembut yang menyelimuti percakapan mereka dalam kehangatan yang samar.

Reinhard, seperti biasa, berdiri dengan tenang, tubuhnya yang tegap dan sikapnya yang penuh ketenangan menciptakan aura yang sulit ditembus. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Arwen, seolah membaca setiap pikiran yang bergejolak di dalam dirinya. Ia tidak terburu-buru, membiarkan gadis itu menemukan kata-katanya sendiri sebelum berbicara.

Arwen akhirnya menghela napas panjang, mencoba menyusun pikirannya sebelum memulai. "Ketika aku berada di Benua Selatan," ucapnya dengan suara pelan namun dipenuhi ketegasan yang tidak bisa diabaikan, "Aku melihat sesuatu yang berbeda... sesuatu yang menakutkan. Monster-monster di sana—mereka berubah, lebih kuat, lebih buas. Bahkan tumbuhan di hutan-hutan pun tampak berbeda, seolah mereka hidup dengan energi yang lebih gelap daripada sebelumnya. Aku yakin, semua ini adalah akibat dari kekuatan Ragonar."

Nada suaranya berubah sedikit lebih tegang saat menyebut nama Black Dragon yang telah lama menghantui kisah sejarah dan legenda. Reinhard tidak menunjukkan tanda-tanda keterkejutan, hanya tatapannya yang semakin tajam, meneliti wajah Arwen dengan cermat. Ia mengangguk perlahan, mengakui bahwa apa yang diungkapkan gadis itu bukanlah hal baru baginya.

"Aku sudah lama mengetahui hal itu," jawab Reinhard akhirnya, suaranya dalam dan mantap, nyaris tanpa emosi yang terbaca. "Ragonar telah lama bangkit dari tidurnya yang panjang, dan pengaruhnya kini mulai meresap ke seluruh sudut Benua Selatan. Tapi..." Reinhard berhenti sejenak, menatap api yang menari di perapian sebelum melanjutkan, "Aku tidak dapat melakukan apa pun untuk menghentikannya."

Arwen mengerutkan kening, kebingungan dan frustrasi terlihat jelas di wajahnya. "Kenapa tidak?" tanyanya dengan nada yang hampir menuntut. "Kau adalah seorang Jotun, Reinhard. Jika ada yang bisa menghentikan kekuatan seperti itu, maka orang itu seharusnya adalah kau, bukan? Dan bukankah kekuatan Ragonar juga menganggu hukum kasualitas, seperti yang kau katakana sebelumnya?"

Reinhard menarik napas dalam, ekspresinya tetap tenang, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di balik matanya—sebuah kesadaran akan keterbatasannya yang jarang ia akui. "Ragonar tak terlalu terikat hukum kasualitas, sementara aku terikat oleh hukum itu," jawabnya perlahan, seolah menjelaskan sesuatu yang telah ia katakan berulang kali. "Sebagai seorang Jotun, kehadiranku saja sudah cukup untuk mengubah keseimbangan dunia. Setiap langkah yang kuambil, sekecil apa pun, dapat mengubah arah sejarah. Jika aku bertindak di luar batas yang ditentukan, dunia ini mungkin tidak akan pernah kembali seperti semula. Sementara, Ragonar bisa bermain-main di batas yang lebih longgar, seperti menyebarkan kekuatannya dengan semaunya dia, asalkan tak mengubah tatanan dunia. Itu adalah salah satu keistimewaan dari ciptaan langsung dari The Creator One."

Tatapan lelah Reinhard ditujukan pada Arwen yang masih belum pulih dari rasa terkejutnya, mendengar fakta yang sangat jauh di luar perkiraannya. "Aku harap, kau mengerti."

Arwen terdiam, kata-kata itu bergema di dalam dirinya, mencoba memahami betapa kompleksnya keberadaan makhluk seperti Reinhard. Namun, rasa frustrasi masih menyelimuti hatinya. "Aku mengerti," katanya dengan suara yang lebih pelan, nadanya dipenuhi dengan penerimaan yang enggan. "Tapi mengetahui hal itu tidak membuat semua ini lebih mudah diterima. Dunia ini sedang menghadapi kehancuran, dan kau yang hanya bisa diam melihatnya terjadi?"

Reinhard tidak segera menjawab. Ia membiarkan keheningan menggantung di antara mereka sebelum akhirnya berkata, "Ada hal-hal yang berada di luar kendali kita, Arwen. Kita hanya bisa melakukan apa yang berada dalam kapasitas kita."

Arwen menghela napas panjang, lalu berbicara lagi, kali ini suaranya terdengar lebih sarat dengan kekhawatiran. "Aku hanya berharap..." ia berhenti sejenak, mencari keberanian dalam kata-katanya, "para Outcast tidak akan dihancurkan sepenuhnya saat serangan besar itu datang. Mereka telah berjuang terlalu lama, Reinhard. Mereka sudah cukup menderita. Jika fragment yang mereka sembunyikan menjadi alasan kehancuran mereka... aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan diriku sendiri karena tidak memperingatkan mereka lebih detail lagi."

Reinhard menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut, meskipun tetap tak terbaca sepenuhnya. Dalam keheningan itu, ada sesuatu di matanya yang menunjukkan bahwa ia juga memiliki beban yang sama. "Para Outcast telah memilih jalan mereka sendiri," jawabnya dengan suara yang terdengar seperti nasihat bijak yang berasal dari pengalaman panjang. "Mereka tahu risikonya sejak awal, dan mereka terus berjalan meskipun tahu bahaya yang mengintai di setiap sudut. Tapi selama aku masih di sini, aku akan memastikan bahwa keseimbangan tetap terjaga. Meskipun dalam batas minimal."

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum menambahkan, "Dunia ini masih memiliki kesempatan, Arwen. Jangan biarkan harapan itu lenyap dari hatimu."

Arwen menatapnya lama, mencoba mencari keyakinan dalam kata-katanya. Ia tahu Reinhard adalah seseorang yang tidak akan memberikan harapan palsu, tetapi sulit baginya untuk percaya bahwa semuanya masih bisa diperbaiki. Meskipun demikian, ia mengangguk perlahan, menerima kenyataan bahwa ia harus melakukan bagiannya, sekecil apa pun itu.

Malam semakin larut, dan di dalam ruangan yang dipenuhi cahaya lilin yang berkelip lembut, Arwen akhirnya merasa sedikit lebih ringan. Meskipun ia tahu jalan di depannya masih panjang dan penuh bahaya, percakapannya dengan Reinhard memberikan kepastian bahwa ia tidak sendirian. Ia telah memutuskan, di dalam hatinya, untuk melakukan yang terbaik dengan apa yang ia miliki—meskipun itu berarti melawan ketakutan dan keraguan yang terus membayangi langkahnya.

****

 

Di dalam ruang arsip yang luas dan penuh dengan aroma kertas tua dan debu sejarah, Arwen duduk dengan tekun di depan meja kayu besar yang telah menampung berabad-abad pengetahuan selama seharian penuh. Di hadapannya, berbagai gulungan manuskrip terhampar, beberapa di antaranya berusia lebih tua dari kerajaan-kerajaan yang sekarang berdiri. Buku-buku tebal dengan sampul kulit yang sudah mulai rapuh tertumpuk rapi di sisi meja, sementara peta-peta kuno dengan tinta yang mulai pudar tersebar di antara tumpukan dokumen lainnya. Cahaya dari lilin-lilin yang ditempatkan di berbagai sudut ruangan bergetar pelan, memantulkan bayangan samar di dinding batu yang dingin dan penuh ukiran-ukiran kuno.

Di sudut ruangan yang lain, Reinhard berdiri dengan tenang di depan jendela besar yang menghadap ke lanskap luas di luar menara. Matanya menatap jauh ke cakrawala, seolah mengamati dunia yang tersembunyi di balik kabut. Suaranya akhirnya terdengar, tenang namun penuh makna. "Kurasa kau sudah membaca cukup banyak untuk hari ini," katanya tanpa menoleh, tetapi nada bicaranya menyiratkan bahwa ia telah memperhatikan setiap gerakan Arwen sejak tadi.

Arwen menghela napas panjang, tangannya yang ramping menutup sebuah buku besar dengan hati-hati, seolah takut menghancurkan sejarah yang terjaga di dalamnya. Tatapannya masih tertuju pada huruf-huruf kuno yang tertulis dengan tinta berwarna gelap di halaman yang menguning. "Aku tidak menyangka bahwa begitu banyak kebenaran yang telah dibelokkan," ucapnya dengan suara lirih, tetapi tetap mengandung ketegasan. "Hal-hal yang selama ini dianggap sebagai fakta ternyata hanyalah kebohongan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bagaimana mungkin kebenaran dapat begitu mudah diubah?"

Reinhard akhirnya berbalik, langkahnya mantap saat ia mendekati meja besar yang dipenuhi dengan catatan sejarah dari berbagai era. Sorot matanya tajam namun tetap menyiratkan kebijaksanaan yang dalam. "Sejarah," katanya dengan nada rendah, "adalah permainan yang dimainkan oleh mereka yang berkuasa. Kebenaran bisa dibentuk dan dimanipulasi sesuai keinginan mereka yang memiliki kendali atas pena, bukan pedang." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap dalam pikiran Arwen sebelum melanjutkan, "Terkadang, kebohongan yang disampaikan dengan cukup meyakinkan akan menjadi kebenaran yang diterima begitu saja oleh dunia."

Arwen mengangguk perlahan, mencoba mencerna makna di balik kata-kata itu. Tatapannya kembali ke buku-buku di depannya, seolah mencari petunjuk tersembunyi yang mungkin belum ia temukan. "Tapi bagaimana mungkin sesuatu yang begitu penting seperti kebenaran sejarah bisa diabaikan atau bahkan dimanipulasi dengan begitu mudah?" tanyanya, suaranya penuh keraguan dan rasa frustrasi yang semakin tumbuh.

Reinhard menarik kursi di seberangnya dan duduk dengan gerakan yang terukur. Ia melipat tangannya di atas meja, matanya masih tertuju pada Arwen dengan ketenangan yang tidak tergoyahkan. "Karena sejarah tidak hanya tentang peristiwa yang telah terjadi," ujarnya dengan lembut, "tetapi juga tentang kekuasaan. Mereka yang menguasai narasi, mengendalikan masa depan. Sebuah kerajaan bisa bertahan atau runtuh bukan karena kekuatan tentaranya, tetapi karena bagaimana sejarahnya diceritakan dan dipercayai oleh rakyatnya."

Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Arwen terdiam sejenak, merenungkan kenyataan pahit yang baru saja terungkap di hadapannya. Ia menyadari bahwa beban yang dipikulnya sebagai seorang Life-Seer jauh lebih besar dari sekadar membaca dan memahami sejarah. "Jadi, tugas seorang Life-Seer seperti diriku," katanya dengan suara yang lebih rendah, "adalah untuk memastikan sejarah tidak hilang begitu saja, atau bahkan disalahartikan?"

Reinhard mengangguk, ekspresinya tetap serius. "Tugasmu jauh lebih besar dari itu," ujarnya. "Kau tidak hanya mempelajari sejarah, Arwen. Kau juga harus menjaganya, dan yang lebih penting, menggunakannya untuk melindungi keseimbangan dunia ini. Kau adalah penjaga kenangan dunia, dan apa yang kau ketahui di sini bisa menjadi penentu arah yang akan diambil dunia ini di masa depan."

Arwen menggigit bibirnya, merasa beban tanggung jawab itu semakin nyata. Ia menyadari bahwa setiap gulungan dan buku yang ia pelajari mengandung kebenaran yang bisa mengubah segalanya. "Bagaimana aku bisa tahu bahwa apa yang kutemukan di sini benar-benar murni? Bahwa apa yang kuserap tidak juga telah terdistorsi oleh tangan-tangan mereka yang datang sebelumnya?"

Reinhard tersenyum tipis, ekspresi yang jarang muncul di wajahnya. "Itulah ujian terbesarmu sebagai seorang Life-Seer," katanya dengan suara yang lembut namun penuh arti. "Tidak ada yang benar-benar tahu seluruh kebenaran. Tapi dengan pengetahuan yang cukup, kau bisa mendekati kebenaran itu. Yang perlu kau lakukan sekarang adalah terus belajar, mengamati, dan ketika waktunya tiba, gunakan pengetahuanmu dengan bijaksana."

Arwen menatap Reinhard dengan rasa hormat yang semakin dalam. Ia merasa bahwa ia telah dipersiapkan untuk sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Dengan penuh tekad, ia berkata, "Aku akan melakukannya, Reinhard. Aku akan memastikan bahwa semua yang kupelajari di sini tidak akan sia-sia."

Reinhard mengangguk, lalu berdiri kembali, berjalan menuju jendela besar yang memperlihatkan hamparan luas dunia di bawah mereka. "Waktu akan menunjukkan seberapa baik kau memahami tugasmu, Arwen," katanya dengan suara yang mengandung makna mendalam. "Tapi ingat, perjalanan ini tidak akan mudah. Akan ada saatnya kau harus memilih antara kebenaran dan kepentingan. Jangan pernah melupakan tujuan utamamu."

Arwen menatap punggung tegap Reinhard yang berselimut cahaya redup lilin, lalu menghela napas dalam. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan berakhir hanya di antara halaman-halaman buku tua. Ia kembali membuka salah satu gulungan, tekadnya semakin kuat. Ia sadar bahwa dunia ini sedang berubah, dan masa depan mungkin bergantung pada apa yang ia pelajari di tempat ini.

****