Bab 33

Langkah kaki Alcard terdengar mantap di atas tanah berbatu saat ia perlahan menuntun kuda putih Arwen menjauh dari markas pusat The Wall. Cahaya matahari sore mulai meredup, menyisakan semburat jingga di cakrawala yang mengintip di antara dedaunan hutan yang menjulang tinggi. Embun yang tersisa dari pagi hari masih menggantung di ujung daun, jatuh perlahan seiring angin sepoi yang berhembus. Suasana hutan yang sunyi hanya diiringi suara langkah kuda dan derak ranting yang patah di bawah tapal mereka.

Arwen duduk dengan tenang di atas kudanya, posturnya anggun seperti biasanya, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya—sebuah ketenangan yang bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam.

Alcard, di sisi lain, membiarkan keheningan di antara mereka bertahan, meskipun pikirannya terus berputar, terjebak dalam bayang-bayang percakapan yang mereka lakukan semalam. Kata-kata Arwen masih terngiang di kepalanya, memperingatkan tentang bahaya yang datang dari dalam dan luar The Wall.

Suara lembut Arwen akhirnya memecah kesunyian yang melingkupi perjalanan mereka. "Terima kasih, Alcard," ucapnya, nada suaranya penuh dengan ketulusan yang jarang ia tunjukkan. "Aku tidak menyangka kau akan merespons semua ini dengan cara seperti ini."

Alcard menoleh ke arahnya, salah satu alisnya sedikit terangkat, mempertanyakan maksud dari kata-katanya. "Lalu, seperti apa yang kau bayangkan sebelumnya?" tanyanya dengan nada yang terdengar santai, tetapi ada rasa ingin tahu yang tersembunyi di dalamnya.

Arwen tersenyum tipis, sorot matanya yang jernih menatap langsung ke dalam mata Alcard, seolah mencari sesuatu di dalamnya. "Kau berbeda dari apa yang selalu kudengar dan kumimpikan tentangmu di masa lalu. Kau bukan lagi sekadar pembunuh monster tanpa belas kasih, Alcard," ujarnya, lembut namun penuh makna.

Mendengar itu, Alcard tersenyum samar, ekspresinya sulit ditebak. Matanya kembali menatap jalan di depan mereka, tetapi ia tetap menjawab, "Aku selalu seperti ini. Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku telah berubah?"

Arwen tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia perlahan mengangkat tangannya dan dengan lembut mengusap perutnya, sebuah gerakan yang nyaris tak terlihat, tetapi cukup untuk menarik perhatian Alcard. Ia menatapnya dengan sedikit kebingungan, bibirnya hampir terbuka untuk bertanya, tetapi sebelum ia sempat berbicara, Arwen mengulurkan tangannya, meminta bantuan untuk turun dari kudanya.

Tanpa banyak bicara, Alcard segera meraih tangan Arwen dan membantunya turun dengan hati-hati, jari-jarinya menggenggam tangan Arwen dengan kokoh namun lembut. Saat kaki Arwen menyentuh tanah, dia tetap berada di dekatnya, jarak mereka begitu dekat hingga Alcard bisa merasakan napasnya yang hangat. Arwen menatapnya sejenak, dan sebelum Alcard bisa bereaksi, ia mendekat dan mengecup bibirnya dengan lembut.

Ciuman itu tidak berlangsung lama, tetapi cukup untuk meninggalkan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar ungkapan kasih—itu adalah sebuah perpisahan, penuh makna dan kepastian yang tak terucap.

Saat mereka berpisah, Arwen menghela napas dan menatap Alcard dengan ekspresi yang sulit diartikan, seperti menyimpan sesuatu yang tidak ingin ia ungkapkan sepenuhnya. "Jika keadaan mendesak," katanya dengan suara lirih, "kau harus mencari bantuan dari teman lamamu."

Alcard mengernyit, kebingungan melintas di wajahnya. "Teman lama?" ulangnya, mencoba mencari tahu maksud dari kata-kata itu.

Arwen hanya tersenyum kecil, senyum yang tidak sepenuhnya bahagia. Ada sesuatu di baliknya—sebuah perasaan yang seperti cemburu, tetapi berusaha ia sembunyikan. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut, hanya menatap Alcard dengan mata yang menyimpan banyak rahasia.

Setelah beberapa saat, Arwen kembali ke kudanya dengan gerakan anggun, tangannya bertumpu ringan pada pelana, dibantu oleh Alcard. Sebelum berangkat, ia menoleh sekali lagi ke arah Alcard, tatapannya penuh dengan keyakinan dan harapan yang dalam.

"Selamat tinggal, Alcard," katanya dengan lembut, suara yang terasa seperti angin yang berbisik di antara pepohonan. "Sampai kita bertemu lagi."

Alcard hanya mengangguk pelan, menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan tetapi memilih untuk menyimpannya dalam hati. Ia hanya bisa berdiri diam, menyaksikan sosok Arwen yang perlahan menjauh, kudanya melangkah tenang di antara pepohonan yang mulai diselimuti kabut sore.

Dari atas menara, Oldman tetap memperhatikan mereka dengan mata yang tak lepas sedetik pun. Ada sesuatu di wajahnya—bukan sekadar kecemasan, tetapi juga kesadaran bahwa sebuah babak baru sedang dimulai. Dia tahu, meskipun mereka belum sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi, roda nasib sudah berputar.

Angin dingin dari selatan berhembus lembut, membawa serta perasaan yang sulit diartikan. Para penjaga di atas The Wall berdiri dalam keheningan, menyaksikan pemandangan yang terasa lebih berarti dari sekadar perpisahan biasa. Oldman tetap berdiri di sana, tatapannya jauh ke depan, menanti apa yang akan datang dengan kesadaran bahwa badai besar telah mulai bergerak.

****

 

Setelah melepas kepergian Arwen, Alcard melangkah kembali ke markas pusat The Wall dengan langkah berat. Pikirannya dipenuhi berbagai pertimbangan yang terus mengusiknya sejak perbincangan terakhir mereka. Tanpa banyak bicara, ia mendorong pintu kayu ruangan Oldman, membiarkan suara derit engsel yang panjang memenuhi keheningan. Di dalam, Oldman duduk diam di balik meja kayunya yang penuh dengan tumpukan peta dan laporan-laporan usang. Wajahnya tertunduk, matanya menatap kosong ke arah garis-garis yang telah lusuh oleh waktu, seolah mencoba mencari jawaban di antara lipatan sejarah yang tercetak di sana.

Saat Alcard masuk, Oldman tidak segera menoleh, tetapi ia sudah tahu siapa yang datang. Perlahan, lelaki tua itu mengangkat kepalanya, matanya yang penuh kebijaksanaan namun juga kelelahan, menatap Alcard dengan penuh perhatian.

"Kau ingin membahas tentang pesan Arwen, bukan?" suara Oldman terdengar pelan, tetapi ada ketegangan yang terasa jelas dalam nada bicaranya.

Alcard tidak membuang waktu. Ia melangkah mendekat, berdiri tegak di seberang meja, lalu berkata dengan suara penuh ketegasan, "Fragment itu... Kita harus menyingkirkannya dari The Wall. Menyimpannya lebih lama di sini hanya akan mendatangkan kehancuran."

Oldman menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu yang mulai berderit di bawah beban usianya. Ia menatap Alcard lekat, mencoba menilai sejauh mana kegelisahan yang tengah merongrong prajurit kepercayaannya itu. "Dan kepada siapa kita bisa mempercayakan benda sepenting ini, Alcard?" tanyanya, suaranya datar namun penuh makna.

Pertanyaan itu menusuk Alcard dalam diam. Ia membuka mulutnya, bersiap untuk menjawab, namun tak ada kata-kata yang keluar. Ia tahu Oldman benar—mereka tak memiliki siapa pun di luar sana yang dapat mereka percayai. Outcast hanya memiliki satu sama lain; tidak ada sekutu, tidak ada bantuan, hanya dinding tua yang menjadi benteng terakhir mereka.

Oldman menatapnya dengan pandangan yang lebih lembut, meski tetap tajam. "Aku tahu kau memahami ini," lanjutnya, suaranya sarat dengan kelelahan yang tersembunyi. "Menyerahkan fragment itu adalah seperti membuka pintu bagi bencana yang lebih besar. Tidak ada tempat yang cukup aman untuk benda seperti itu, dan jika jatuh ke tangan yang salah, seluruh benua ini akan terbakar."

Alcard mengalihkan pandangannya, menatap ke jendela kecil yang menghadap ke bentangan tanah luas di luar tembok. Dalam hati, ia menyadari beratnya keputusan yang mereka hadapi. Setelah beberapa saat hening, Oldman melambaikan tangannya, memberi isyarat agar Alcard meninggalkannya sendiri.

"Aku butuh waktu untuk mempertimbangkannya," ucapnya dengan nada lirih. "Kembalilah ke tugasmu. Kita akan membuat keputusan ini bersama-sama... nanti."

Alcard mengangguk perlahan, rasa enggan terlihat di wajahnya, namun ia tahu bahwa perdebatan ini belum berakhir. Ia berbalik, meninggalkan ruangan itu dengan langkah yang lebih berat dari sebelumnya, sementara pikirannya terus berputar di sekitar fragment yang terus menjadi bayang-bayang kematian bagi mereka semua.

Menaiki The Wall dengan lift tua, Alcard berdiri sendirian, membiarkan angin malam yang dingin menusuk kulitnya. Matanya yang tajam menatap gelapnya cakrawala, tetapi pikirannya jauh lebih gelap dari pemandangan yang ada di depannya. Fragment ungu yang tersembunyi di markas pusat terus menghantui pikirannya, seperti beban yang tak kunjung lepas dari pundaknya.

Ia memijat pelipisnya, mencoba meredakan ketegangan yang merayap di dalam kepalanya. "Jika aku membuangnya ke Hutan Selatan, mungkin semuanya akan selesai..." pikirnya, tetapi ia segera menggeleng, menyadari betapa berbahayanya wilayah itu. Hutan Selatan dihuni oleh makhluk-makhluk yang bahkan para Outcast enggan hadapi. Monster yang menghuni kegelapan di sana tidak hanya mengerikan, tetapi juga licik.

Namun, yang lebih mengerikan adalah kemungkinan fragment itu jatuh ke tangan Orc. Alcard mengepalkan tangan, merasakan dinginnya batu kasar di bawah genggamannya. "Jika mereka menemukannya... dunia tidak akan pernah pulih," gumamnya lirih.

Di tengah badai pikirannya, satu nama muncul di benaknya—Avros. Lord dari Middle Earth yang sebelumnya dikenal cerdik dan penuh perhitungan kini dikabarkan telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Rumor beredar bahwa dia mulai menunjukkan tanda-tanda kegilaan, membantai bawahannya sendiri dan menciptakan kekacauan di seluruh benua.

"Apa yang membuatnya menjadi seperti itu?" Alcard merenung. Ia tahu Avros bukanlah seseorang yang mudah terpengaruh oleh kekuatan fragment, kecuali... jika sesuatu telah terjadi. Mungkinkah Avros telah mengetahui bahwa fragment ungu ada di tangan mereka?

Ia menggertakkan giginya, tubuhnya menegang saat menyadari kemungkinan buruk itu. "Kalau benar begitu, maka hanya masalah waktu sebelum dia menemukan kita," katanya pada dirinya sendiri.

Kembali ke keheningan malam, Alcard merasa seolah dunia sedang bergerak menuju sesuatu yang lebih besar dari yang dapat ia kendalikan. Fragment itu adalah kunci, dan semua orang di Middle Earth, dari para raja hingga makhluk kegelapan, kini mulai mencarinya. Dan ia, berdiri di antara itu semua, harus menemukan jalan sebelum semuanya terlambat.

Di tengah kesunyian yang mencekam, hanya satu hal yang ia yakini—waktu mereka semakin habis.

****

 

Di tempat lain, Arwen melanjutkan perjalanannya, kuda putihnya melangkah perlahan menyusuri jalan setapak yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon. Matanya yang waspada mengamati setiap sudut di sekitarnya, sementara pikirannya tetap fokus pada tujuan yang belum ia ungkapkan sepenuhnya kepada Alcard. Jalur yang ia tempuh bukanlah jalur biasa—ia sengaja memilih rute yang lebih terpencil, menghindari jalur utama yang sering digunakan oleh mata-mata dan musuh yang mengintai dalam bayangan.

Sesekali, tatapan Arwen melembut saat pikirannya melayang kembali pada kenangan singkat bersama Alcard. Waktu yang mereka habiskan terasa seperti oasis di tengah perjalanan panjang yang penuh ketidakpastian. Senyum tipis menghiasi wajahnya, meski ia tahu bahwa pertemuan mereka kali ini mungkin yang terakhir.

"Aku akan melindungimu, sejauh yang aku bisa," bisiknya pelan, matanya menatap jauh ke cakrawala yang seolah tak berujung.

****

 

Di dalam benteng Govenren yang megah, sebuah tempat yang di dalamnya bernafas berbagai rencana licik dan konspirasi gelap, Avros berjalan mondar-mandir di ruangan besar yang dipenuhi dengan aura kelam. Dinding-dinding batu tinggi di ruangan itu berdiri kokoh, namun keheningan di dalamnya menekan, seolah setiap sudut menyerap amarah pria itu dan memantulkannya kembali kepadanya. Langkah-langkah berat sepatu botnya menghantam lantai marmer dingin, menggemakan suara yang keras dan berirama dalam kekosongan ruangan yang suram.

Matanya yang merah menyala penuh amarah, memantulkan cahaya lilin yang redup dari beberapa sudut ruangan. Napasnya terdengar memburu, dadanya naik turun dengan irama gelisah yang tidak pernah mereda. Ada sesuatu yang menggerogoti pikirannya sejak kehilangan fragment ungu—bukan hanya rasa frustrasi karena kegagalan, melainkan juga sesuatu yang lebih dalam. Sebuah obsesi yang berakar dari rasa takut akan kehilangan kendali, dan itu kini perlahan mengubahnya menjadi bayang-bayang dirinya yang dulu. Kegilaan itu merayap tanpa henti ke dalam pikirannya, membentuk pusaran kebencian yang tak kunjung mereda.

"Siapa… yang berani menyentuh milikku?" geramnya dengan suara serak yang penuh kebencian. Jari-jarinya mengepal begitu kuat hingga sendi-sendinya memutih, seolah ia berusaha meremukkan sesuatu yang tak kasat mata. Kata-kata itu keluar seperti kutukan, menyebar di udara dingin di sekitarnya. Selama ini, Avros tidak pernah menganggap ada makhluk mana pun yang berani mencampuri urusannya. Ia telah mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk mendapatkan kembali fragment tersebut. Para algojo setianya menyebar seperti angin gelap ke seluruh penjuru Middle Earth, informan-informan rahasianya mengais setiap sudut bayangan di istana para penguasa, sementara mata-mata terbaiknya bergerak tanpa jejak. Namun semua itu tidak membuahkan hasil. Fragment itu telah menghilang seperti ditelan kegelapan, tanpa petunjuk, tanpa jejak.

Saat pikirannya berputar dalam lingkaran kebencian dan rasa frustrasi yang seolah tanpa akhir, suara ketukan lembut memecah keheningan. Pintu besar dari kayu oak yang berat itu terbuka sedikit, dan seorang pelayan berpakaian serba hitam melangkah masuk dengan kepala tertunduk dalam sikap penuh hormat. Tanpa berkata sepatah kata pun, pelayan itu berjalan ke meja besar di tengah ruangan dan meletakkan sepucuk surat di atas permukaan kayu yang telah penuh dengan coretan dan simbol strategi. Setelah menunduk dengan dalam sekali lagi, pelayan itu mundur dengan langkah tenang dan menghilang seperti bayangan yang diserap oleh kegelapan lorong di luar.

Avros berhenti di tengah langkahnya, mengalihkan pandangannya yang menyala ke meja. Matanya segera menangkap segel lilin merah dengan lambang hitam khas The Veil yang terukir dengan rapi di atasnya. Ia menyipitkan mata, rasa penasaran bercampur dengan ketegangan menyusup ke dalam dirinya. The Veil jarang mengirimkan pesan tanpa alasan yang sangat penting. Dengan gerakan perlahan namun penuh kewaspadaan, Avros mengambil surat itu, tangannya sedikit gemetar karena campuran rasa penasaran dan kewaspadaan. Ia mengupas segel tersebut dengan ujung kukunya yang panjang dan tajam, membiarkan serpihan lilin merah jatuh ke lantai tanpa memedulikannya.

Lembaran vellum halus itu terbuka di tangannya, dan Avros mulai membaca setiap kalimat dengan seksama. Isi surat itu tidak panjang, tetapi setiap kata membawa pesan yang lebih berat daripada tampakannya. Ketua Tertinggi The Veil memperingatkan sesuatu yang selama ini diabaikannya—seseorang yang pernah terlihat di festival perayaan panen besar beberapa bulan lalu. Sosok itu tampak tidak mencolok, namun dari laporan yang terkumpul, menunjukkan keahlian luar biasa dalam bergerak tanpa terlihat, menyusup di antara keramaian seperti bayangan hidup.

Avros berhenti membaca sejenak, pikirannya mulai menyusun potongan-potongan informasi yang sebelumnya terasa terputus. Ia mengingat kembali berbagai laporan yang diterimanya tetapi diabaikan sebagai sesuatu yang sepele. Kini, semuanya terasa masuk akal. Perlahan, sebuah senyum tipis yang penuh kelicikan muncul di sudut bibirnya. Ia bergumam, nyaris seperti desisan, "Outcast…" Satu kata itu keluar dari mulutnya dengan nada penuh kebencian dan penghinaan, seolah hanya menyebutkan nama itu saja sudah mencemari udara di sekitarnya.

"Siapa lagi yang cukup nekat untuk mencuri dari bayang-bayang jika bukan mereka?" lanjutnya dengan nada berbahaya. Matanya yang menyala akan amarah semakin memancarkan kegilaan saat pikirannya merangkai kesimpulan baru. Para Outcast, mereka yang selama ini menjadi duri dalam daging kekuasaannya, kini telah menarik perhatian penuh dari sosok yang paling tidak mereka inginkan sebagai musuh.

Avros sangat yakin jika para Outcast benar-benar memiliki fragment itu, kemungkinan besar mereka telah menyembunyikannya di The Wall, tempat yang hampir tidak tersentuh oleh kekuatan luar mana pun. Namun, ia bukan orang yang menyerah hanya karena sebuah benteng raksasa berdiri di hadapannya. Baginya, segala sesuatu yang ada di dunia ini dapat dihancurkan dengan cukup waktu dan kekuatan. The Wall hanyalah penghalang sementara dalam rencananya.

Dengan tekad yang membara, Avros bergegas ke meja, meraih pena berbulu burung gagak yang selalu disimpan di sana, mencelupkannya ke dalam tinta hitam pekat yang tampak seperti cairan bayangan. Tangan kanan yang tadi menggenggam surat itu kini bergerak cepat di atas kertas perkamen mahal, menulis dengan tekanan yang menunjukkan amarah yang terpendam.

"Kepada sekutuku di Council of Shadow," ia memulai, setiap kata dituliskan dengan niat yang penuh ancaman tersirat. "Aku akan memberikan setiap sumber daya yang kau perlukan untuk meruntuhkan The Wall. Rekrut siapa saja yang bersedia berperang, bayar mereka yang lapar akan darah, dan gunakan kekuatan sebanyak yang dibutuhkan. Tak peduli berapa lama waktu yang harus dihabiskan atau berapa nyawa yang harus dikorbankan—kita akan menghancurkan mereka, satu demi satu. Fragment itu adalah milikku, dan aku tidak akan membiarkannya tetap berada di tangan para sampah itu."

Setelah selesai menulis, ia menutup surat itu dengan segel pribadinya—sebuah simbol ular melingkar yang menggigit ekornya sendiri, lambang tipu daya dan kekuasaan yang tanpa akhir. Avros mengangkat surat itu dan menyerahkannya kepada seorang pembawa pesan di balik topeng hitam dan berkerudung hitam yang muncul dari bayangan di ambang pintu. Pembawa pesan itu, dengan kepala tertunduk dalam sikap hormat, menerima surat tersebut tanpa berbicara.

"Sampaikan ini tanpa penundaan," perintah Avros dengan nada dingin yang memotong udara seperti belati.

Pembawa pesan itu membungkuk dalam-dalam sebelum berbalik dan bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Avros sendirian dengan pikirannya yang dipenuhi rencana gelap. Ia kembali duduk di kursinya yang besar dan berat, satu tangan menopang dagunya sementara tatapannya menatap peta besar Middle Earth yang tergantung di dinding seberang. Pandangannya jatuh pada wilayah di mana The Wall berdiri seperti benteng terakhir antara kegelapan dan peradaban. Namun, bagi Avros, benteng itu hanyalah penghalang sementara yang segera akan ia hancurkan dengan kekuatan yang telah ia kumpulkan selama bertahun-tahun.

Sebuah senyum berbahaya mengembang di wajahnya saat ia berbisik kepada dirinya sendiri, "Para Outcast berpikir mereka bisa menyembunyikan sesuatu dariku? Mereka akan belajar betapa salahnya mereka... Dan mereka akan menyesalinya."

Namun, di balik keyakinan yang terpancar dalam suaranya, jauh di lubuk hatinya, sebuah rasa cemas mulai merambat—ketakutan yang tak pernah ia akui bahkan kepada dirinya sendiri. Jika fragment itu tidak segera kembali ke tangannya, maka segala rencana yang telah ia bangun dengan darah dan tipu daya selama bertahun-tahun akan hancur seperti istana pasir yang tersapu oleh gelombang pasang.

Jari-jarinya masih mengepal, nyaris menggali telapak tangannya sendiri. "Aku akan mendapatkannya kembali... atau aku akan menghancurkan siapa pun yang menghalangiku," gumamnya, hampir seperti sebuah janji yang diucapkan dari kedalaman jiwanya.

Malam semakin larut, dan angin dingin bertiup kencang di luar benteng Govenren, membawa kabar kehancuran yang akan segera datang. Di dalam benteng itu, badai rencana yang telah disusun dengan rapi mulai berkumpul, siap menghantam The Wall dengan kekuatan yang belum pernah disaksikan sebelumnya.

****