Pagi itu, cahaya matahari yang masih lembut perlahan menembus celah-celah kecil di antara papan kayu bangunan tua, menyebarkan sinarnya yang hangat di atas lantai yang berdebu. Udara pagi yang dingin menggantikan sisa-sisa kehangatan malam sebelumnya, membawa aroma tanah basah yang samar tercium di antara kayu lapuk yang mulai melemah dimakan usia. Alcard membuka matanya perlahan, membiarkan kesadarannya kembali ke dunia nyata. Ia menggeliat sedikit, mencoba mengusir sisa kantuk yang masih menggantung di kelopak matanya. Namun, saat tangannya bergerak ke sisi tempat tidur, tempat di mana seharusnya Arwen berada, yang ia temukan hanyalah ruang kosong dan dinginnya udara pagi.
Dengan cepat, Alcard duduk tegak, rasa kantuknya lenyap begitu saja. Matanya bergerak mengamati sekeliling ruangan yang tampak lebih sunyi dari sebelumnya, seolah kehilangan sesuatu yang membuatnya hidup. Pandangannya jatuh pada jejak langkah samar yang tercetak di lantai berdebu, satu-satunya bukti keberadaan Arwen sebelum ia pergi tanpa sepatah kata pun. Kegelisahan merayap perlahan di dadanya, membuatnya segera mengenakan pakaiannya dengan gerakan cepat, seakan waktu yang terbuang akan membuatnya kehilangan sesuatu yang berharga.
Begitu keluar dari bangunan kayu yang mulai rapuh, Alcard menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara pagi yang sejuk memenuhi paru-parunya. Harapannya, udara segar itu bisa sedikit menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi kekhawatiran. Namun, tatapannya segera tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh dari sana, di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Arwen berdiri dengan tenang, tubuhnya sedikit diterpa sinar matahari yang menyelinap di antara dedaunan, menciptakan pantulan keemasan yang samar di sekelilingnya. Di tangannya, ia menggenggam seikat rumput kering, menyodorkannya dengan lembut kepada Gratten—kuda hitam Alcard yang dikenal liar dan sulit didekati oleh siapa pun selain dirinya. Namun kali ini, kuda itu menerima uluran tangan Arwen dengan begitu jinak, menikmati makanan yang diberikan tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda perlawanan.
Alcard berhenti melangkah, sekadar mengamati pemandangan itu dari kejauhan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang terasa aneh namun sekaligus menghangatkan dari adegan sederhana tersebut. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa Gratten hanya akan menurut pada dirinya, tetapi kini, kuda itu tampak nyaman dalam kehadiran Arwen. Tanpa sadar, senyum tipis mulai muncul di wajahnya, sesuatu yang jarang terjadi dan hampir tidak pernah ia sadari. Ada perasaan aneh yang perlahan mengisi dadanya, sesuatu yang masih sulit untuk ia definisikan sepenuhnya.
"Apa kau berniat mencuri kudaku?" suara Alcard akhirnya terdengar, sedikit dalam, mengandung nada menggoda saat ia melangkah mendekat.
Arwen menoleh, senyum khasnya semakin lebar begitu matanya bertemu dengan tatapan Alcard. "Sepertinya dia lebih menyukai sarapan yang kubawakan," ujarnya ringan, mengangkat rumput kering di tangannya sebagai bukti dari perkataannya.
Alcard hanya menghela napas ringan, tangannya secara refleks merapikan pakaiannya yang sedikit kusut sebelum mengalihkan pandangan antara kuda dan Arwen. "Apa yang kau rencanakan hari ini?" tanyanya, suaranya kini lebih serius. "Kita akan kembali ke The Wall?"
Arwen menggeleng pelan, matanya mengarah ke dalam hutan yang masih dibalut kabut tipis pagi hari. "Belum," jawabnya lembut. "Aku masih ingin berada di sini untuk sementara waktu. Ada sesuatu yang harus kulakukan, sebelum aku bisa kembali."
Alcard menatapnya dengan pandangan yang lebih tajam, berusaha membaca apa yang sebenarnya tersembunyi di balik kata-kata itu. Namun, ia tahu bahwa memaksa Arwen untuk menjelaskan hanya akan membuat segalanya semakin rumit. Ia menarik napas panjang, kemudian mengangguk, meskipun ada sedikit nada pasrah dalam suaranya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi kau sadar, tempat ini berbahaya, bukan?"
Arwen tersenyum, tatapannya lebih lembut, membawa sesuatu yang tak terucapkan di dalamnya. Ada keyakinan dalam cara ia memandang Alcard, keyakinan yang entah bagaimana membuat kegelisahannya sedikit mereda. "Aku tahu," katanya pelan. "Tapi selama kau ada di sini, aku merasa cukup aman."
Alcard terdiam sejenak. Kata-kata itu membawa sesuatu yang tak terduga ke dalam hatinya, sebuah getaran yang hampir tidak ia sadari. Namun, seperti biasa, ia tetap menyembunyikan perasaannya di balik ekspresi datarnya. Setelah beberapa detik berlalu, ia akhirnya hanya mengangguk kecil. "Kalau begitu, kita sebaiknya bergerak sebelum matahari terlalu tinggi."
Tanpa menunggu jawaban, Alcard mulai berjalan ke arah Gratten, bersiap untuk naik ke punggung kudanya. Namun, sebelum ia sempat melakukan apa pun, suara Arwen menghentikannya.
"Alcard…"
Ia menoleh, menemukan Arwen yang kini menatapnya dengan ekspresi yang berbeda. Matanya serius, ada sesuatu yang mendalam dalam cara ia memandangnya, sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan ringan. "Kita tidak punya banyak waktu," lanjutnya dengan suara yang nyaris berbisik. "Aku harus kembali ke tugasku sebagai Life-Seer… dan itu berarti aku mungkin tidak akan bisa bersamamu seperti ini lagi."
Mata Alcard tetap terpaku pada Arwen, memproses setiap kata yang baru saja keluar dari bibirnya. Sesuatu di dalam dirinya menegang, sebuah perasaan yang telah lama ia hindari mulai muncul ke permukaan. Ia selalu tahu bahwa kebersamaan mereka tidak akan bertahan selamanya, bahwa suatu saat Arwen akan kembali ke jalannya sendiri. Namun, mendengar hal itu langsung darinya terasa seperti pukulan yang berat, sesuatu yang sulit ia terima sepenuhnya.
Namun, seperti biasa, ia tidak membiarkan emosinya terlihat. Ia menelan perasaan itu jauh di dalam dadanya dan hanya mengangguk kecil. Suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan saat akhirnya ia berbicara. "Kalau begitu," katanya, mencoba terdengar ringan meskipun di dalam hatinya terasa sesak, "pastikan kau menikmati setiap detik yang tersisa."
Arwen tersenyum, meskipun ada kesedihan yang samar di matanya. Tanpa banyak bicara lagi, ia naik ke punggung Gratten dengan bantuan Alcard dan duduk tepat di depan outcast itu lagi. Dalam keheningan yang penuh makna, mereka berdua mulai bergerak melewati hutan yang masih diselimuti bayangan pagi.
Langkah kuda terdengar berirama di atas tanah yang lembap, menjadi satu-satunya suara yang menemani perjalanan mereka. Tidak ada kata-kata yang terucap di antara mereka, tetapi di balik keheningan itu, ada begitu banyak yang tidak terungkap. Waktu terus berjalan, setiap detik yang berlalu terasa semakin berharga. Alcard sadar bahwa perjalanan sederhana ini—berbagi keheningan dengan Arwen di tengah hutan yang penuh misteri—adalah sesuatu yang tidak bisa ia ulang kembali.
Mereka terus menyusuri jalan setapak yang sempit, dikelilingi pepohonan tinggi yang menyimpan banyak rahasia. Mungkin ada bahaya yang mengintai di setiap sudut, mungkin dunia luar masih penuh dengan ancaman yang harus mereka hadapi. Tetapi untuk saat ini, yang mereka miliki hanyalah satu sama lain dan waktu yang perlahan-lahan semakin berkurang.
****
Perjalanan kali ini membawa Alcard dan Arwen semakin jauh ke dalam jantung hutan yang liar dan berbahaya. Pepohonan raksasa dengan cabang-cabang tebal menjulang tinggi, menciptakan kanopi gelap yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya matahari. Meski masih siang, suasana di bawah dedaunan itu begitu suram, membuat setiap langkah mereka terasa seperti memasuki dunia lain yang penuh misteri dan ancaman tak terlihat. Udara yang lembab membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk, sementara suara gemerisik halus dan raungan samar dari kejauhan mengingatkan mereka bahwa mereka tidak sendirian di sini.
Alcard duduk teguh di atas kudanya, Gratten, dengan gerakan yang penuh kewaspadaan. Matanya terus menyapu area sekitar, setiap detil kecil tidak luput dari pengamatannya. Sementara itu, Arwen yang duduk di depannya tampak jauh lebih santai, meski rasa ingin tahunya terus menyala. Ia tak henti-hentinya melontarkan pertanyaan tentang segala hal yang mereka lewati, seolah ingin memahami setiap inci dari dunia yang berbahaya ini.
"Pohon itu," Arwen menunjuk ke sebuah batang raksasa dengan cabang-cabang yang aneh, melengkung seperti tangan yang sedang menanti mangsanya. "Apa namanya? Aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya."
Alcard melirik pohon tersebut dengan mata tajam sebelum menjawab, "Itu disebut Pohon Pengintai." Suaranya datar, namun ada ketegangan tersembunyi di baliknya. "Dahannya bisa bergerak dan menangkap apa pun yang terlalu lama berada di dekatnya. Mereka tak bisa bergerak cepat, tapi cukup licik untuk membuatmu lengah."
Arwen menelan ludah, matanya membesar penuh rasa ngeri sekaligus kagum. "Sepertinya setiap jengkal tanah di sini berusaha membunuh kita," gumamnya, setengah bergurau.
Alcard hanya mengangkat bahu. "Inilah benua selatan," katanya sambil memperbaiki pegangan tali kudanya. "Hanya mereka yang cukup cerdik dan berpengalaman yang bisa bertahan di sini. Dan yang terparah, berada di dalam pegunungan Orcal."
Nada suaranya dingin, seakan hutan ini bukan lagi sesuatu yang bisa membuatnya takut—hanya sesuatu yang perlu dihadapi dengan kepala dingin dan kehati-hatian.
Perjalanan mereka berlanjut, menyusuri jalur sempit yang dipenuhi semak berduri dan akar-akar besar yang menjalar di tanah seperti perangkap alami. Jejak kaki makhluk buas yang tersebar di sepanjang jalan mengingatkan mereka pada bahaya yang selalu mengintai di balik bayang-bayang pepohonan. Alcard merasa perbekalan mereka mulai menipis, dan pikirannya mulai dipenuhi pertimbangan untuk kembali ke The Wall sebelum segalanya menjadi terlalu berisiko.
Namun, Arwen tampaknya masih belum puas. Dia menoleh ke arah Alcard dengan sorot mata penuh harap. "Bagaimana kalau kita tinggal di sini satu malam lagi?" tanyanya dengan senyum yang sulit ditolak. "Aku ingin merasakan malam terakhir di hutan ini sebelum kita kembali."
Alcard menatapnya lama, merenungkan permintaannya. Hutan ini penuh bahaya, dan dia tahu semakin lama mereka di sini, semakin besar risikonya. Namun, melihat tatapan Arwen yang penuh harapan, ia akhirnya menyerah. Dengan helaan napas panjang, ia mengangguk. "Baiklah," katanya pelan. "Aku tahu tempat yang cukup aman. Tapi kita harus segera ke sana sebelum malam benar-benar jatuh."
Tanpa menunggu lebih lama, Alcard memacu kudanya, membimbing mereka melewati jalur berliku menuju markas rahasia lain yang tersembunyi di antara dua tebing curam. Lokasinya yang sulit diakses menjadikannya tempat perlindungan yang sempurna dari serangan monster besar. Ketika mereka tiba, langit sudah berubah warna, mengguratkan merah dan ungu di cakrawala sebelum akhirnya gelap menyelimuti hutan.
Bangunan kecil yang tersembunyi di celah tebing itu tampak usang, namun tetap kokoh. Alcard turun dari kudanya terlebih dahulu, matanya dengan cepat memindai area sekitar untuk memastikan tidak ada bahaya yang mengintai. Setelah yakin semuanya aman, dia membantu Arwen turun dari pelananya.
Tak ada tanda-tanda kehidupan di markas itu, hanya sunyi dan kesunyian yang menyambut mereka. Alcard berjalan ke dalam salah satu bangunan kayu, membersihkan sedikit debu yang menutupi meja dan kursi di dalamnya, sementara Arwen duduk dengan tenang di sudut, menikmati suasana yang lebih damai dibandingkan kegelapan hutan yang baru saja mereka lalui.
Api kecil yang dinyalakan Alcard di sudut ruangan mulai menghangatkan udara yang dingin. Ia kemudian mengeluarkan sisa perbekalan mereka, roti kering dan sedikit daging yang telah diawetkan, lalu membagikannya kepada Arwen. Mereka duduk di lantai kayu yang dingin, berbagi makanan dalam keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara api yang berderak.
Setelah beberapa saat, Alcard memecah kesunyian, menatap Arwen dengan pandangan serius. "Jadi," katanya perlahan. "Apakah kau sudah puas dengan perjalanan ini?"
Arwen menatap Alcard, matanya bersinar samar dalam cahaya api. Ia tersenyum kecil, mengunyah makanannya dengan pelan sebelum menjawab. "Belum," katanya jujur. "Ada sesuatu di hutan ini... sesuatu yang terasa dekat, tapi belum bisa kutemukan."
Alcard menghela napas, setengah mengantisipasi jawaban seperti itu. "Apa yang kau cari, Arwen? Apa kau benar-benar yakin dengan semua ini?"
Arwen meletakkan makanannya, menatap api dengan pandangan jauh. "Aku tak sepenuhnya tahu," bisiknya. "Tapi aku merasa bahwa ada jawaban di sini, sesuatu yang harus kutemukan sebelum aku kembali ke tugas asliku sebagai Life-Seer."
Alcard terdiam, menatapnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu Arwen selalu memiliki alasan yang lebih besar di balik setiap langkahnya, meskipun terkadang dia sendiri tidak memahami apa yang sebenarnya wanita itu cari. Namun, seperti biasa, ia tidak bertanya lebih jauh.
"Aku hanya berharap kita bisa keluar dari sini dengan selamat," katanya akhirnya, sebelum kembali fokus pada makanannya.
Arwen menatapnya dan tersenyum lembut. "Kau selalu seperti itu, ya? Selalu berpikir tentang keselamatan lebih dulu."
Alcard tersenyum tipis. "Seseorang harus melakukannya," jawabnya singkat.
Malam pun berlalu dalam keheningan yang akrab, dengan keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, di tengah hutan yang penuh dengan rahasia yang belum terungkap.
****
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, dengan hanya suara api unggun kecil di ruangan yang berderak pelan, mengisi keheningan di antara mereka. Di bawah satu selimut tebal yang melindungi dari dinginnya malam benua selatan, Alcard dan Arwen berbagi kehangatan dalam kesunyian yang damai. Pelukan Alcard yang kokoh melingkupi tubuh Arwen, seolah menjadi perisai dari segala ancaman yang mungkin mengintai di luar sana. Nafas mereka yang tenang berpadu dalam ritme yang serasi, menciptakan momen yang jarang terjadi di tengah kehidupan yang penuh ketegangan.
Dalam hening yang hampir sempurna itu, suara lembut Arwen tiba-tiba memecah keheningan, membawanya kembali dari pikirannya yang melayang jauh.
"Alcard," bisiknya dengan nada nyaris tak terdengar, matanya tetap terpaku pada bayang-bayang yang bergerak pelan di dinding kayu, dipantulkan dari nyala api. "Ada sesuatu... sesuatu yang selalu mengawasi markas pusat kalian. Kalian harus lebih berhati-hati saat berbicara atau mengungkapkan sesuatu di sana."
Alcard menegang seketika, pikirannya berputar cepat mencoba memahami makna dari peringatan Arwen. Kecurigaannya segera mengarah pada kemungkinan bocornya informasi tentang fragment, sesuatu yang selama ini mereka lindungi dengan nyawa. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, jemari lembut Arwen menyentuh bibirnya, menghentikan kata-kata yang hendak ia ucapkan.
"Jangan bicara," bisik Arwen dengan lembut, tetapi ada ketegasan yang tak bisa diabaikan dalam suaranya. "Kalian tidak bisa menghentikan sesuatu itu untuk melihat dan mendengar. Dan untuk menghancurkannya... dibutuhkan pengorbanan yang tidak bisa dibayangkan."
Alcard menatapnya dalam diam, membaca kejujuran dan ketakutan yang tersembunyi di balik mata Arwen. Ia bisa merasakan bahwa wanita di hadapannya ini sedang membawa beban yang jauh lebih besar dari yang ia ketahui, sesuatu yang belum siap untuk ia ungkapkan sepenuhnya. Meskipun hatinya dipenuhi pertanyaan, ia menahan diri untuk tidak mendesaknya.
Setelah beberapa saat berlalu dalam keheningan, Alcard akhirnya bertanya dengan hati-hati, suaranya hampir seperti bisikan. "Lalu, apa yang ingin kau katakan pada Oldman? Apakah itu sesuatu yang mendesak?"
Namun, Arwen hanya tersenyum samar, senyum yang lebih terasa sebagai perlindungan daripada kebahagiaan. Dia menutup matanya perlahan, membiarkan kelopak matanya beristirahat, sebelum berbisik lirih, "Tidurlah, Alcard. Kita masih harus menempuh perjalanan panjang besok."
Alcard memandangnya beberapa saat sebelum akhirnya mengalah. Ia tahu, ada banyak hal yang belum ia pahami tentang Arwen, tetapi malam ini, ia memilih untuk memberinya ketenangan. Perlahan, ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya rileks di bawah selimut yang membungkus mereka berdua.
Waktu terus berputar, hingga matahari baru saja merangkak naik di cakrawala ketika Alcard dan Arwen bersiap meninggalkan markas rahasia yang tersembunyi di tengah hutan. Udara pagi masih dipenuhi embun dingin, dan kabut tipis menggantung di antara pepohonan, menciptakan suasana mistis yang seakan menyelimuti perjalanan mereka.
Alcard duduk tegap di atas Gratten, sementara Arwen duduk di depannya, membiarkan tubuhnya bersandar santai pada pelukan pria itu. Perjalanan mereka melalui jalur hutan terasa lebih ringan dibandingkan sebelumnya. Percakapan ringan dan sesekali tawa kecil dari Arwen mengisi udara pagi, menciptakan kehangatan yang menutupi bayangan bahaya yang selalu mengintai di benua selatan.
"Kau seharusnya lebih sering tersenyum seperti ini," ujar Arwen, menoleh ke arah Alcard dengan senyum lebih lebar dari biasanya.
Alcard hanya menghela napas dengan nada pasrah, tapi di sudut bibirnya terlihat secercah senyum samar. "Tersenyum di tempat seperti ini? Kau memang aneh, Arwen."
Mereka melanjutkan perjalanan, menikmati momen langka di mana mereka bisa merasa seperti manusia biasa, jauh dari pertempuran dan intrik yang selalu mengelilingi hidup mereka.
Dari kejauhan, tembok raksasa The Wall mulai terlihat, berdiri kokoh seperti raksasa bisu yang memisahkan dunia manusia dari kegelapan di selatan. Di atas tembok The Wall, sosok Oldman berdiri tegak, matanya yang tajam mengawasi kedatangan mereka dari kejauhan. Angin berhembus membawa mantel panjangnya berkelebat, tetapi wajahnya tetap tenang, seperti patung yang telah menyaksikan terlalu banyak hal selama bertahun-tahun.
Dari tempatnya di atas The Wall, Oldman melihat pemandangan yang jarang ia saksikan—Alcard yang biasanya penuh dengan ketegangan, kini tampak lebih rileks, senyum kecil terlihat di wajahnya saat ia berbicara dengan Arwen. Arwen, di sisi lain, tampak seperti matahari kecil yang membawa kehangatan dalam kesendiriannya.
Namun, meskipun bibir Oldman sedikit melengkung dalam senyum tipis, ada bayangan kesedihan dalam matanya. Ia melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata orang lain—sebuah perpisahan yang mendekat, sesuatu yang tak dapat dihindari. Ia tahu, kebahagiaan ini hanyalah sementara, dan tugas mereka yang lebih besar menanti di depan.
Angin dingin berhembus di puncak tembok, membawa keheningan yang begitu mendalam hingga para penjaga pun enggan berbicara. Mereka hanya berdiri dalam diam, menyaksikan kedatangan Alcard dan Arwen yang perlahan mendekat.
Oldman tetap berdiri di sana, mengawasi mereka dengan mata seorang pria yang telah melihat terlalu banyak kehilangan. Dia tahu bahwa waktu mereka bersama semakin sedikit, dan meskipun hari ini penuh dengan tawa dan senyum, badai akan segera datang.
Saat Alcard dan Arwen akhirnya mendekati gerbang besar The Wall, Alcard menoleh sejenak, menatap Arwen dengan tatapan yang penuh makna, seolah ingin mengabadikan momen ini sebelum semuanya berubah kembali menjadi kegelapan yang selama ini mereka hadapi.
****
Sesampainya di markas pusat The Wall, Alcard dan Arwen langsung menuju ruang kerja, tempat Oldman telah menunggu dengan sabar. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang bergetar, menciptakan bayangan panjang di dinding kayu yang dingin. Meja kayu besar di tengah ruangan dipenuhi peta usang, dokumen berisi laporan pertempuran, serta tanda-tanda strategi yang tersusun rapi. Oldman berdiri tegak di dekatnya, sosoknya tampak kokoh meskipun usia telah meninggalkan jejak di rambut dan janggutnya yang memutih. Wajahnya tetap tenang, tetapi sorot matanya yang tajam menunjukkan keseriusan yang tak terbantahkan.
Arwen, dengan langkah mantap dan penuh kepercayaan diri, melangkah lebih dulu dan berhenti di hadapan Oldman. Ia berdiri tegak, tidak menunjukkan sedikit pun tanda keraguan. Sementara itu, Alcard memilih untuk bersandar di dinding di sudut ruangan, kedua lengannya terlipat di dada. Tatapannya tajam, memantau percakapan yang akan berlangsung dengan penuh kewaspadaan.
Oldman tidak membuang waktu. "Jadi, apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" suaranya rendah namun penuh otoritas, langsung menembus ke inti masalah. Matanya menatap lurus ke arah Arwen, menanti penjelasan.
Arwen menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya lembut namun tegas. "Menyimpan fragment itu terlalu lama di tempat ini hanya akan membawa kehancuran bagi kalian semua," katanya, menatap Oldman dengan penuh kesungguhan. "Jika kalian terus bertahan tanpa perubahan, aku khawatir bencana yang jauh lebih besar akan segera datang menghampiri."
Oldman menyipitkan matanya, menimbang setiap kata yang diucapkan Arwen. "Kau tahu tentang fragment itu?" tanyanya, suaranya kini lebih rendah, hampir seperti bisikan yang hanya bisa didengar di antara mereka bertiga.
Arwen tetap tenang, ekspresinya tidak berubah. "Aku tidak terlibat langsung dalam urusan Outcast, fragment, atau konflik dunia ini," katanya. "Namun, aku tahu satu hal—menyimpan sesuatu yang tidak kalian pahami sepenuhnya hanya akan membawa kehancuran yang tidak bisa dibayangkan. Jika kalian bersikeras mempertahankannya di sini, harga yang harus kalian bayar akan jauh lebih besar dari yang kalian perkirakan."
Dari sudut ruangan, Alcard mengangkat alis, sedikit terkejut dengan kedalaman pengetahuan Arwen. Oldman, sementara itu, mengusap janggutnya dengan gerakan perlahan, napasnya terdengar berat. "Dan kau ingin kami menyerahkannya begitu saja?" tanyanya, suara beratnya penuh dengan kehati-hatian dan ketidakpercayaan. "Kau tahu apa yang akan terjadi jika fragment itu jatuh ke tangan yang salah?"
Arwen menggeleng pelan, seolah sudah menduga reaksi itu. "Aku tidak meminta kalian untuk menyerahkannya," katanya, suaranya tetap tenang. "Tapi kalian juga harus menyadari bahwa bahaya tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Para lord telah lama mengincarnya, dan jika aku tidak salah, mereka semakin mendekati wilayah kalian."
Ketegangan di ruangan itu meningkat. Oldman mengerutkan dahinya, tetapi sebelum ia bisa berbicara, Arwen melanjutkan dengan nada yang lebih serius. "Dan yang lebih berbahaya lagi, ada The Veil. Mereka bukan sekadar bayangan yang kalian kira. Mereka telah mencengkeram dunia ini lebih dalam dari yang bisa kalian bayangkan. Hanya para elf yang mungkin masih terlindungi dari pengaruh mereka... setidaknya untuk saat ini."
Kata-kata itu membuat Oldman dan Alcard terdiam sejenak, tatapan mereka berubah tajam. Alcard meluruskan tubuhnya dari dinding, pandangannya terpaku pada Arwen dengan campuran keterkejutan dan kecurigaan. "The Veil?" tanyanya dengan suara rendah, matanya menyipit tajam. "Apa maksudmu mereka terlalu kuat? Kami hampir tidak pernah mendengar tentang mereka, apalagi melihat mereka beraksi."
Arwen menoleh ke arahnya, menatapnya dengan sorot mata yang lembut tetapi penuh keyakinan. "Karena mereka bergerak dalam bayang-bayang," jawabnya. "Mereka ada di mana-mana, bahkan di tempat yang tidak kalian duga. Mereka tidak butuh tampil di depan umum karena mereka sudah memiliki kendali atas banyak hal, termasuk orang-orang yang tak pernah kalian curigai."
Oldman mengepalkan tangannya di atas meja, suara kayu yang berderit memenuhi ruangan. Ia menahan emosi yang bercampur dengan kekhawatiran yang kian dalam. "Kalau begitu," katanya dengan suara berat, "apa saranmu, Arwen? Apa yang harus kami lakukan?"
Arwen tidak segera menjawab. Dia hanya tersenyum tipis, tetapi di balik senyum itu, tersembunyi kekhawatiran yang mendalam. "Keputusan ada di tangan kalian," katanya akhirnya. "Tapi ingat, melindungi sesuatu yang tidak bisa kalian kendalikan selalu memiliki harga. Dan terkadang, harga itu jauh lebih besar daripada yang bisa kalian bayangkan."
Oldman memandang Arwen dalam diam, mencoba membaca makna yang lebih dalam dari kata-katanya. Ia tahu ada lebih banyak hal yang disembunyikan Arwen daripada yang ia ungkapkan. Sementara itu, Alcard masih mencerna informasi yang baru saja ia dengar, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya.
Diskusi berakhir tanpa kesimpulan yang jelas. Arwen tetap tenang, sementara Oldman tampak larut dalam pikirannya sendiri. Alcard melirik Arwen, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya yang selalu terasa seperti teka-teki yang belum terpecahkan. Dalam keheningan ruangan yang semakin mencekam, satu hal menjadi jelas bagi mereka—waktu mereka semakin sedikit, dan keputusan harus segera diambil sebelum semuanya terlambat.
****