Langit malam membentang luas di atas The Wall, kelam dan pekat, seolah menyerap segala suara yang sebelumnya memenuhi udara. Hanya nyala api unggun yang masih berkobar, menciptakan bayangan panjang yang menari di atas tanah yang kini basah oleh darah dan abu. Pertempuran telah berakhir, tetapi jejaknya masih tertinggal di mana-mana—tubuh-tubuh direwolf yang hangus, senjata yang berlumuran darah, dan wajah-wajah kelelahan yang mencoba memahami apa yang baru saja mereka lalui.
Tanah di sekitar The Wall kini dipenuhi bau anyir dan daging terbakar, menciptakan suasana yang semakin suram. Para outcast yang masih memiliki tenaga bergerak dengan langkah berat, beberapa di antara mereka membersihkan senjata, sementara yang lain berkumpul di sepanjang tembok, berjaga dalam diam. Meskipun tubuh mereka masih berdiri, beban kehilangan jelas terasa di wajah mereka. Tidak ada yang berbicara terlalu banyak, hanya suara gesekan baja dan kayu yang terdengar samar di antara desiran angin malam.
Alcard berdiri sedikit menjauh dari yang lain, pandangannya terpaku pada kobaran api yang melahap bangkai direwolf yang telah mereka kumpulkan. Nyala api itu berkedip-kedip, membentuk siluet tak beraturan yang bergerak mengikuti angin. Namun, bukan api itu yang benar-benar menarik perhatiannya, melainkan apa yang telah terjadi selama pertempuran.
Di awal pertempuran, direwolf pemimpin memang lebih kuat dari yang mereka duga, tetapi masih dalam batas yang bisa diatasi. Namun, tiba-tiba saja sesuatu berubah—kekuatannya melonjak drastis, kecepatannya meningkat, dan cakarnya yang tajam mampu merobek baja seakan-akan itu hanya kain tipis. Dua outcast tewas seketika, terlempar seperti boneka kain di hadapan kekuatan makhluk itu. Bahkan yang selamat pun kini masih merasakan efek dari serangan brutalnya.
Alcard yang bertarung di garis depan bisa merasakan sesuatu yang aneh saat itu. Seolah ada kekuatan yang tidak kasat mata menyelimuti direwolf tersebut, sesuatu yang terasa seperti energi gelap yang tidak seharusnya ada. Sejenak, ia mengira itu hanya efek dari kelelahan dan ketegangan pertempuran, tetapi instingnya mengatakan sebaliknya. Itu bukan perubahan alami, bukan kekuatan yang biasa ditemukan di makhluk-makhluk mutasi dari selatan.
Dan yang lebih aneh lagi, seperti datangnya yang tiba-tiba, kekuatan itu juga menghilang begitu saja. Direwolf pemimpin yang sebelumnya begitu mengerikan, tiba-tiba melemah, gerakannya melambat, dan serangannya menjadi tidak seakurat sebelumnya. Tanpa keunggulan yang sempat dimilikinya, makhluk itu akhirnya bisa mereka tumbangkan. Namun, rasa tidak nyaman tetap tertinggal di hati Alcard dan para outcast lainnya. Seolah ada sesuatu yang bermain di balik layar, sesuatu yang mereka belum pahami sepenuhnya.
Bisikan mulai beredar di antara para outcast. Beberapa berbisik tentang kutukan yang datang dari selatan, sementara yang lain menyebut ini sebagai pertanda buruk dari sesuatu yang lebih besar. Ketakutan mereka tidak terlihat secara langsung, tetapi Alcard bisa merasakannya. Ia sendiri tidak bisa menghilangkan pikiran tentang kabut hitam yang pernah ia temui di Gunung Orcal, atau bagaimana fragment ungu yang ia bawa beberapa hari lalu nyaris menghancurkan kewarasannya. Apakah semua ini memiliki keterkaitan? Ataukah ada kekuatan lain yang perlahan mulai mengungkapkan dirinya?
Sebuah suara berat memecah keheningan. Oldman telah berdiri di tengah kerumunan yang tersisa, wajahnya penuh kelelahan, tetapi sorot matanya tetap tajam dan penuh kewibawaan. Ia mengedarkan pandangannya ke arah para outcast yang masih berdiri, seakan ingin memastikan bahwa setiap orang memahami beratnya peristiwa yang baru saja terjadi.
"Kita telah kehilangan saudara-saudara kita hari ini," kata Oldman, suaranya rendah tetapi menggema di seluruh area. "Mereka tidak mati sebagai orang buangan, tidak mati sebagai sisa-sisa yang ditinggalkan dunia. Mereka mati sebagai penjaga. Sebagai benteng terakhir antara dunia ini dan kegelapan yang ingin menelannya."
Tak ada yang berbicara, hanya suara kayu yang berderak di dalam api unggun. Para outcast, meskipun lelah, mengangkat senjata mereka sebagai tanda penghormatan. Beberapa dari mereka menundukkan kepala, mengenang wajah-wajah yang tak akan pernah mereka lihat lagi. Kesedihan itu terasa nyata, tetapi tidak ada ratapan—karena mereka tahu, ini adalah jalan yang telah mereka pilih sejak mereka pertama kali berdiri di bawah tembok ini.
Oldman melanjutkan, "Mereka yang gugur akan tetap menjadi bagian dari kita. Nama mereka akan selalu diingat. Mereka bukan lagi orang-orang yang terlupakan. Mereka adalah prajurit yang berjuang sampai akhir."
Lalu, dengan suara yang lebih dalam, ia memimpin sumpah yang telah diucapkan berkali-kali sebelumnya. Kata-kata yang menjadi janji dan tekad mereka sebagai outcast, tetapi malam ini, kata-kata itu terasa lebih berat dari sebelumnya.
"Di dunia yang mengasingkan kami, kami berdiri di antara kegelapan.
Kami tidak memiliki tanah, tidak memiliki nama, hanya memiliki jalan ini.
Kami adalah bayangan di balik tembok ini.
Kami adalah para penjaga yang dilupakan dunia.
Kami adalah Outcast, dan kami akan bertahan, atau mati di jalan kami."
Suara mereka bergema serempak, menembus udara malam yang dingin. Api unggun yang menyala tinggi menjadi saksi sumpah mereka, janji yang telah diucapkan selama bertahun-tahun oleh mereka yang memilih hidup di bawah bayang-bayang dunia.
Satu per satu, para outcast mulai meninggalkan tempat itu, kembali ke barak mereka. Beberapa berjalan dengan tertatih, luka mereka masih terbuka dan berdarah. Yang lain tetap duduk di sekitar api, memandangi kobaran yang mulai meredup, mencoba memahami peristiwa yang baru saja terjadi. Mereka semua tahu bahwa pertempuran ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar—dan mungkin, sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Alcard tetap berdiri di tempatnya, menatap api yang perlahan mengecil. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang belum memiliki jawaban. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang bergerak dalam kegelapan, sesuatu yang mengamati mereka dari bayang-bayang, menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan dirinya. Dan ketika saat itu tiba, mereka harus siap.
Karena malam ini hanyalah permulaan dari badai yang akan datang.
****
Langit malam yang gelap di atas The Wall telah lama berubah menjadi pagi yang kelabu, namun beban yang menekan pikiran Alcard belum juga sirna. Setelah upacara penghormatan selesai, pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Ada sesuatu yang mengusik instingnya, sesuatu yang tidak ia mengerti sepenuhnya, tetapi cukup mengganggu untuk membuatnya merasa bahwa ancaman yang lebih besar sedang mengintai di balik bayang-bayang. Dengan langkah tegas, ia meninggalkan alun-alun utama dan berjalan menuju ruangan Oldman, di mana pemimpin tertinggi para Outcast itu selalu tenggelam dalam pikirannya yang penuh perhitungan.
Ruangan Oldman, seperti biasa, tampak berantakan dengan peta-peta tua yang tersebar di atas meja, gulungan dokumen yang sebagian terbuka, dan lilin-lilin yang telah meleleh hingga hampir habis. Di tengah ruangan itu, Oldman duduk dengan ekspresi serius, tangannya sibuk memeriksa laporan dari pertempuran terakhir. Namun, begitu Alcard masuk dan menutup pintu di belakangnya, Oldman mengangkat pandangannya, mengamati kedatangannya dengan tatapan tajam.
Tanpa membuang waktu, Alcard menarik kursi kayu di seberang meja dan duduk dengan sikap penuh kewaspadaan. "Direwolf terbesar dalam pertempuran terakhir…" ia memulai dengan suara yang dalam dan berat. "Ada sesuatu yang aneh padanya. Aku melihat sendiri bagaimana kekuatannya melonjak tiba-tiba, seolah ada kekuatan yang mengalir ke dalam tubuhnya, membuatnya lebih cepat, lebih ganas, lebih berbahaya. Tapi kemudian, secepat itu pula kekuatannya menghilang, seolah efeknya hanya sementara."
Oldman tidak langsung menanggapi. Ia melipat tangannya di atas meja, membiarkan kata-kata Alcard menggantung di udara sebelum akhirnya menghela napas pelan. "Aku telah menerima laporan serupa sebelumnya," katanya akhirnya. "Beberapa monster yang menyerang kita dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan pola yang sama—mereka tiba-tiba menjadi lebih kuat dalam waktu singkat, lalu kembali melemah tanpa sebab yang jelas. Tapi hingga saat ini, kita masih belum bisa menemukan sumber dari fenomena ini."
Alcard mengusap dagunya, matanya menyipit penuh pemikiran. "Lalu apa yang akan kita lakukan? Ini bukan sekadar kebetulan. Jika suatu saat ada makhluk yang tidak kembali melemah setelah lonjakan kekuatannya, kita mungkin akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah kita duga."
Oldman mengamati Alcard dengan pandangan penuh pertimbangan sebelum akhirnya berbicara dengan nada yang lebih dalam. "Kita tidak bisa mengambil keputusan hanya berdasarkan firasat, Alcard. Kita butuh informasi yang lebih jelas sebelum bertindak. Jika kita mulai menyebarkan keresahan di antara para Outcast tanpa bukti yang cukup, kita hanya akan melemahkan moral mereka."
Alcard menahan diri untuk tidak menghela napas frustrasi. Ia memahami bahwa Oldman berbicara dengan logika yang masuk akal, tetapi tetap saja sulit baginya untuk mengabaikan ancaman yang belum mereka pahami sepenuhnya. Ia tidak pernah percaya pada kebetulan, terutama ketika menyangkut sesuatu yang berkaitan dengan kekuatan gelap.
Namun, sebelum pembicaraan mereka bisa berlanjut lebih jauh, ketukan keras menggema dari balik pintu. Tanpa menunggu perintah, seorang Outcast muda mendorong pintu terbuka dengan wajah sedikit pucat, napasnya masih tersengal seolah ia baru saja berlari dari menara pengawas.
"Oldman," katanya dengan nada terburu-buru. "Seorang bangsawan baru saja tiba di gerbang luar. Dia meminta pertemuan denganmu."
Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih dingin. Oldman mengangkat alisnya, jelas tidak menyangka mendengar kabar semacam itu. "Bangsawan?" ulangnya, skeptis. "Di The Wall?"
Outcast itu tampak ragu, seolah ia sendiri pun masih berusaha memahami situasi yang baru saja ia saksikan. "Ya, tuan. Dan yang lebih mengejutkan… dia seorang wanita."
Keheningan yang mengikuti pernyataan itu hampir terasa seperti palu yang jatuh di tengah ruangan. Alcard dan Oldman bertukar pandang, masing-masing menyadari betapa tidak masuk akalnya situasi ini. The Wall bukan tempat bagi bangsawan—terutama seorang wanita dari kalangan mereka. Tempat ini dikenal sebagai perbatasan dunia yang telah dilupakan, tempat para buangan dan prajurit tanpa kehormatan. Tidak ada alasan bagi seorang wanita bangsawan untuk datang ke sini… kecuali ada sesuatu yang sangat penting.
Oldman akhirnya bangkit dari kursinya, sikapnya tetap tenang meskipun sorot matanya penuh kewaspadaan. "Baiklah," katanya dengan nada datar tetapi penuh perhitungan. "Kita akan melihat tamu istimewa kita ini. Jika ada seorang bangsawan yang cukup nekat untuk menginjakkan kaki di tempat ini, maka pasti ada alasan yang lebih besar daripada sekadar urusan politik atau perdagangan."
Alcard mengangguk tanpa berkata-kata, lalu berdiri dan mengikuti Oldman keluar dari ruangan. Pikirannya berputar dengan berbagai kemungkinan. Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah ini bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengubah arah perjalanan mereka? Bagaimanapun juga, ia tahu satu hal pasti—kedatangan bangsawan ini bukanlah hal biasa, dan ia harus bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
****
Di ambang pintu markas utama, Alcard berdiri diam, matanya mengikuti setiap gerakan sosok asing yang melangkah memasuki benteng The Wall. Para outcast yang berkumpul di halaman menatap dengan ekspresi penuh tanya, sebagian dari mereka bahkan berbisik satu sama lain, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Seorang wanita bangsawan, mengenakan jubah elegan yang tampak tidak tersentuh debu perjalanan, kini berdiri di antara mereka, seolah-olah ia bukan tamu yang tidak diundang, melainkan seseorang yang sudah lama berhak berada di sini.
Kuda putih yang ia tuntun berdiri anggun, kontras dengan kuda-kuda para outcast yang tubuhnya dipenuhi bekas luka, debu, dan kelelahan dari pertempuran. Bulunya yang bersih seperti cahaya bulan tampak begitu asing di tempat ini, dan bahkan tanpa berkata-kata, kehadiran wanita itu sudah cukup untuk menggetarkan ketenangan di The Wall.
Namun bagi Alcard, keterkejutan itu lebih dari sekadar melihat seorang bangsawan berada di tempat yang seharusnya tidak pernah dikunjungi oleh kaum mereka. Matanya terpaku pada wajah wanita itu, dan dalam sekejap, ingatan lama yang telah ia kubur dalam-dalam muncul kembali. Senyum lembut yang begitu familiar, tatapan mata yang menyimpan misteri, dan cara berjalan yang penuh percaya diri—semua itu membangkitkan kenangan yang seharusnya sudah lama ia lupakan.
Arwen.
Jantungnya berdetak lebih kencang, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi. Wanita yang dulu meninggalkannya dengan segudang pertanyaan kini muncul di tempat yang paling tidak ia duga. Apakah ini kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik kedatangannya?
Dari sudut matanya, Alcard melihat Oldman memperhatikan dengan seksama. Pemimpin para outcast itu mungkin tidak mengenal Arwen, tetapi nalurinya yang tajam jelas menangkap sesuatu yang tidak biasa dari interaksi ini. Dengan suara pelan namun penuh otoritas, Oldman berbisik kepada Alcard tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita itu. "Kau mengenalnya, bukan? Antarkan dia ke ruanganku. Aku akan menunggu di dalam."
Tanpa menunggu tanggapan, Oldman berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Alcard dalam kebisuan yang tiba-tiba terasa berat. Ia tahu tidak ada jalan untuk menghindari ini, jadi dengan tarikan napas panjang, ia menuruni anak tangga, mendekati Arwen yang kini berdiri menunggu dengan tenang.
Ketika jarak mereka hanya beberapa langkah, Arwen akhirnya berbicara, suaranya lembut, mengalir seperti aliran sungai yang menenangkan. "Sebuah kehormatan bisa bertemu denganmu lagi, Alcard," ucapnya, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang menyimpan lebih banyak makna daripada yang bisa ditafsirkan oleh orang lain. "Dan aku minta maaf atas kejadian terakhir, aku tahu kau berpikiran jika aku memanfaatkanmu, tapi tidak. Aku juga tak tahu bisa bertemu dengan Reinhard saat itu."
Alcard tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap tajam, menelusuri wajah wanita itu dengan penuh kewaspadaan. Butuh beberapa detik sebelum ia akhirnya mengeluarkan suara, nadanya tetap dingin dan datar. "Apa yang membawamu ke sini, Arwen? The Wall bukan tempat bagi seorang bangsawan sepertimu."
Arwen tertawa pelan, suara lembutnya begitu kontras dengan atmosfer tegang di sekeliling mereka. "Aku tidak datang untuk mencari masalah," katanya dengan nada ringan, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Aku hanya ingin berbicara dengan pemimpinmu. Aku membawa kabar yang tidak bisa ditunda lebih lama lagi."
Tanpa menunggu persetujuan Alcard, Arwen menyerahkan kendali kudanya kepada seorang outcast yang tampak ragu sebelum menerimanya dengan sikap setengah hormat, setengah kebingungan. Setelah itu, ia mendekat selangkah ke arah Alcard, dan sebelum pria itu bisa bereaksi, tangannya yang ramping menyentuh lengan Alcard dengan sentuhan ringan, sekilas namun cukup untuk membuat tubuhnya menegang.
"Bisakah kau mengantarku?" tanyanya dengan nada penuh harapan, matanya menatap Alcard dengan kesabaran yang terasa hampir menusuk.
Untuk sesaat, Alcard mempertimbangkan berbagai kemungkinan—tentang alasan di balik kehadiran wanita ini, tentang apa yang ia ketahui, dan tentang kenapa, setelah sekian lama, ia kembali muncul di hidupnya. Namun, ia tahu tidak ada gunanya menunda-nunda sesuatu yang pada akhirnya tetap harus ia hadapi. Maka, dengan anggukan kecil yang nyaris tak terlihat, ia berbalik dan mulai berjalan, mengantarnya menuju ruang Oldman.
Setiap langkah terasa seperti beban, bukan karena beratnya perjalanan, tetapi karena gejolak di dalam dirinya yang sulit ia pahami. Ia bisa merasakan tatapan para outcast yang masih tertuju pada mereka, bisikan-bisikan yang mulai merayapi udara di sekitar. Namun, semua itu hanyalah latar belakang dari pertanyaan yang kini mendominasi pikirannya.
Apa yang sebenarnya Arwen inginkan? Mengapa ia memilih muncul di sini, di tempat yang seharusnya tidak pernah ia datangi? Dan lebih dari segalanya—apakah kedatangannya membawa ancaman, atau justru secercah harapan dalam kekacauan yang mulai mengintai dari bayang-bayang?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di benaknya, mengikuti setiap langkahnya menuju ruang di mana jawaban, atau mungkin lebih banyak misteri, telah menunggu mereka.
****
Di dalam ruang sempit yang diterangi cahaya redup dari beberapa lilin yang hampir habis, suasana terasa begitu tegang meski tidak ada suara yang menggema selain detak api yang sesekali berderak. Oldman duduk tegap di kursinya yang telah menua, tatapannya tajam dan penuh perhitungan saat mengamati sosok wanita yang kini duduk di hadapannya. Arwen, dengan senyum tipis yang tetap menghiasi wajahnya, membawa aura ketenangan yang kontras dengan suasana penuh kewaspadaan di dalam ruangan itu. Setiap gerakannya halus, terukur, menunjukkan ketenangan yang seolah tak tergoyahkan oleh suasana yang semakin berat.
Di sudut ruangan, Alcard berdiri tegap dengan sikap kaku, kedua lengannya terlipat di dada, namun bahunya sedikit tegang seolah tengah menahan sesuatu di dalam dirinya. Matanya tak lepas dari sosok Arwen, mengamati setiap gerak-geriknya dengan kewaspadaan yang hampir berlebihan. Sejak kemunculan wanita itu di The Wall, pikirannya terus berputar mencari alasan yang masuk akal atas kedatangannya. Pertemuan ini bukan kebetulan, dan ia tahu, Arwen tidak akan muncul di tempat seperti ini tanpa tujuan yang jelas.
Oldman, yang telah menghabiskan hidupnya membaca bahasa tubuh dan menafsirkan maksud tersembunyi di balik kata-kata, menangkap ketegangan di antara keduanya. Namun, ia memutuskan untuk tidak menyinggungnya. Ia lebih tertarik untuk langsung masuk ke inti permasalahan yang dibawa oleh tamunya kali ini. Dengan gerakan perlahan, ia melipat tangannya di atas meja kayu yang dipenuhi peta usang dan gulungan dokumen yang berantakan, lalu menatap Arwen dengan ekspresi penuh perhitungan.
"Aku sudah banyak mendengar tentangmu, Lady Arwen," ucapnya akhirnya, suaranya tenang namun mengandung ketajaman yang tak bisa diabaikan. "Sebagai seorang life-seer, kedatanganmu ke tempat ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap biasa. Itu membuatku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kau inginkan dengan muncul di The Wall?"
Arwen tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu dengan nada curiga Oldman. Sebaliknya, ia menanggapi dengan ketenangan yang hampir terlalu sempurna. Tatapannya beralih sekilas ke arah Alcard sebelum kembali tertuju pada Oldman, dan dengan suara yang tetap lembut namun penuh arti, ia menjawab, "Aku datang bukan untuk membawa masalah, Tuan Oldman." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung sebelum melanjutkan, "Aku hanya ingin memberikan peringatan tentang sesuatu yang tidak seharusnya berada di tempat ini."
Mata Oldman menyipit, ekspresinya berubah lebih tajam, tanda bahwa rasa ingin tahunya kini telah terpicu. "Peringatan?" ulangnya, mencoba menimbang makna di balik kata-kata Arwen. "Dan sesuatu yang kau maksud itu apa?"
Alih-alih langsung menjawab, Arwen kembali melirik ke arah Alcard, kali ini dengan sorot mata yang lebih dalam, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar peringatan biasa. Tatapan itu membuat Alcard sedikit bergeser, perasaan tak nyaman menyelinap dalam dirinya. Ada sesuatu yang sedang terjadi di sini, sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
Setelah momen singkat yang terasa lebih panjang dari seharusnya, Arwen akhirnya kembali menatap Oldman. Senyum tipis yang sejak tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar, berganti dengan ekspresi yang lebih serius. "Sesuatu yang bisa membawa kehancuran," ucapnya dengan nada yang lebih pelan, tetapi penuh keyakinan. "Jika dibiarkan tetap berada di sini, maka bukan hanya The Wall yang akan hancur, tetapi segala yang telah kalian bangun."
Ruangan itu terasa semakin sunyi, seolah setiap kata yang baru saja ia ucapkan menggantung di udara, menyusup ke dalam pikiran masing-masing orang di dalamnya. Oldman menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya semakin mengeras dalam pertimbangan yang berat. "Katakan lebih lanjut," katanya dengan suara rendah, tetapi jelas dipenuhi ketegasan. "Apa yang sebenarnya kau ketahui?"
Namun, bukannya memberikan jawaban yang diharapkan, Arwen hanya menggeleng perlahan, sebuah ekspresi misterius kembali muncul di wajahnya. "Aku akan memberitahumu," katanya dengan nada menggantung. "Tapi hanya jika aku bisa berbicara dengan Alcard... secara pribadi, jauh dari tempat ini."
Alcard, yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya bersuara. Nada suaranya tajam, tetapi ada keraguan yang samar di baliknya. "Arwen," panggilnya, matanya menatapnya dengan penuh kehati-hatian. "Jika ini benar-benar sepenting yang kau katakan, maka kau bisa mengatakannya sekarang. Tidak perlu menyembunyikan sesuatu yang bisa berdampak pada kita semua."
Arwen hanya tersenyum kecil, lalu melangkah mendekatinya, cukup dekat hingga Alcard bisa merasakan hawa dingin dari kehadirannya. "Percayalah padaku, Alcard," katanya dengan suara yang lebih lembut, seolah ingin menenangkan ketegangan yang mengikat mereka. "Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan begitu saja di sini. Aku butuh waktu denganmu... jauh dari mata-mata yang mungkin mengamati kita."
Oldman, yang sejak tadi memperhatikan dengan mata penuh pertimbangan, akhirnya menghela napas dalam, sebelum berbicara dengan nada berat. "Baiklah," katanya, memberikan izin dengan enggan. "Tapi ingat, aku ingin jawaban yang jelas setelah kalian kembali."
Arwen tampak puas dengan keputusan itu, matanya bersinar dengan rasa percaya diri yang nyaris menenangkan. Ia menoleh kembali pada Alcard dan berkata dengan nada lembut, tetapi memiliki ketegasan yang sulit untuk ditolak. "Ayo, kita punya banyak hal untuk dibicarakan."
Alcard menatapnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih diselimuti rasa waspada, ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan hal ini. Tanpa banyak kata, ia berbalik dan mulai berjalan keluar ruangan, dengan Arwen di sisinya.
Di dalam ruangan, Oldman tetap duduk di tempatnya, memperhatikan kepergian mereka dengan tatapan penuh kecurigaan. Ia tidak tahu apa yang sedang direncanakan wanita itu, tetapi satu hal yang pasti—tidak ada kedatangan yang terjadi di The Wall tanpa membawa konsekuensi. Dan ia hanya bisa berharap bahwa jawaban yang akan ia dapatkan setelah ini tidak akan membawa lebih banyak masalah daripada yang sudah ada.
****
Langit sore mulai memudar, menyisakan semburat cahaya keemasan yang perlahan tenggelam di balik cakrawala, mewarnai awan dengan rona jingga yang berpendar lembut. Di bawah cahaya terakhir senja itu, Alcard memacu kudanya melewati jalur sempit yang membelah hutan selatan, Arwen duduk di depan, berbagi tempat di pelana yang sama. Kuda hitam itu melaju dengan langkah mantap, melewati jalan setapak yang mulai diselimuti bayangan panjang dari pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Seperti penjaga kuno yang diam, pepohonan itu seolah mengamati perjalanan mereka dengan kebisuan yang mencekam.
Semakin mereka melangkah ke dalam, udara berubah. Angin yang tadi terasa sejuk kini membawa hawa dingin yang perlahan merasuk ke kulit, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai membusuk di lantai hutan. Suara langkah kuda menggema di antara pepohonan, ritmenya berulang, memecah keheningan yang terasa begitu berat. Seakan-akan alam sendiri menahan napas, menyadari kehadiran mereka di tempat yang seharusnya tidak mereka masuki.
Di depan, Arwen tetap duduk tegak, pandangannya lurus menatap ke dalam kegelapan hutan yang semakin pekat. Tidak ada ketakutan di wajahnya, tidak ada kecemasan yang biasa terlihat pada mereka yang akan memasuki wilayah seperti ini. Sebaliknya, ada tatapan yang penuh rasa ingin tahu, seolah ia bukan sedang menuju bahaya, melainkan sesuatu yang telah lama ingin ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Alcard masih belum sepenuhnya memahami alasan di balik permintaan Arwen yang begitu aneh. Perjalanan ini bukan sekadar menempuh jalur baru atau menghindari perhatian, melainkan untuk menyaksikan sendiri apa yang bersembunyi di dalam hutan selatan—wilayah yang selama ini hanya disebut dalam bisikan ketakutan. Bahkan para Outcast yang telah bertahun-tahun bertarung di The Wall enggan memasuki tempat ini tanpa alasan yang benar-benar mendesak. Namun kini, mereka memasuki wilayah itu hanya karena keingintahuan Arwen.
Alcard akhirnya memecah kesunyian, suaranya datar tetapi mengandung ketidakyakinan yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kau benar-benar yakin ingin melakukan ini?"
Tangannya menggenggam kendali kuda dengan erat, menjaga laju mereka agar tetap stabil di jalur yang lebih aman. Di depannya, Arwen menoleh sedikit, tatapan matanya bertemu dengan milik Alcard, dan dalam sorotannya ada ketenangan yang sulit dijelaskan. Senyum kecil muncul di bibirnya, seolah perjalanan ini bukan sesuatu yang layak untuk dikhawatirkan.
"Tentu saja, Alcard," jawabnya tanpa ragu. "Ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku ingin melihat dunia yang selama ini hanya kudengar dari cerita dan desas-desus."
Alcard menghela napas panjang, ekspresinya mengeras. Sekarang, perasaannya benar-benar campur aduk. "Ini bukan perjalanan wisata, Arwen," katanya, nadanya lebih tajam dari sebelumnya. "Hutan ini berbeda dari daerah perbatasan yang biasa kau kunjungi. Ini adalah tempat yang bahkan pasukan kerajaan pun enggan hadapi. Kau tahu apa yang terjadi pada manusia yang berani memasuki wilayah mereka?"
Namun, Arwen tidak tampak gentar. Sebaliknya, ia justru tertawa kecil, suaranya lembut tetapi penuh keyakinan. "Itulah sebabnya aku meminta kau menemaniku, Alcard," ujarnya ringan. "Aku tahu aku bisa mempercayakan nyawaku padamu."
Alcard merasakan ketegangan di dalam dirinya meningkat. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Arwen—wanita ini memiliki tekad baja yang tidak mudah digoyahkan. Tetapi meskipun ia akhirnya menerima kenyataan bahwa perjalanan ini harus mereka lalui, ia tidak bisa menghilangkan firasat buruk yang terus mengganggu pikirannya. Ada sesuatu yang lebih besar di balik keinginan Arwen ini, sesuatu yang belum ia pahami dan sesuatu yang membuatnya tak bisa membenci wanita ini.
Mereka terus bergerak ke dalam hutan, dan perlahan, cahaya matahari yang tersisa sepenuhnya menghilang. Kini, hanya bayangan gelap yang bergerak di antara batang pepohonan tinggi, membentuk siluet yang tampak seperti makhluk-makhluk yang mengintai di dalam kegelapan. Udara menjadi lebih dingin, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka. Jauh di kejauhan, terdengar raungan samar, diikuti oleh suara kepakan sayap yang bergema di antara dahan-dahan tinggi. Namun Arwen tampak tidak terpengaruh. Justru, semakin dalam mereka masuk, semakin matanya berbinar, mempelajari setiap detail di sekitar mereka dengan ketertarikan yang hampir tidak masuk akal.
Keheningan panjang menyelimuti perjalanan mereka, hingga akhirnya Arwen berbicara, suaranya lembut tetapi mengandung sesuatu yang lebih dalam dari sekadar percakapan biasa. "Pernahkah kau berpikir, Alcard," katanya tanpa menoleh, "bahwa mungkin monster-monster yang kita takuti ini hanyalah bagian dari dunia yang belum kita pahami? Mungkin mereka tidak lebih buruk daripada kita, manusia, yang sering kali menjadi monster bagi satu sama lain."
Alcard tidak segera menjawab. Kata-kata Arwen menusuk jauh ke dalam pikirannya, membangkitkan ingatan tentang segala yang pernah ia lihat dan alami. Pengkhianatan, kehancuran, dan peperangan—semua itu adalah hasil dari tangan manusia sendiri, bukan makhluk kegelapan yang bersembunyi di hutan seperti ini. Terkadang, ia berpikir bahwa manusia lebih pantas disebut monster dibandingkan dengan makhluk yang selama ini mereka takuti.
Namun, meskipun ada kebenaran dalam kata-kata Arwen, ia tidak bisa begitu saja menerimanya. Ia tetap menatap lurus ke depan, membiarkan keheningan menjadi satu-satunya jawaban yang ia berikan.
Arwen tampaknya memahami bahwa Alcard tidak akan langsung membalasnya. Tetapi ia tetap tersenyum, senyum yang samar, seolah ia telah menemukan sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
"Arwen," akhirnya Alcard berbicara, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Kau bilang perjalanan ini penting bagimu. Tapi sebenarnya, apa yang kau cari di sini?"
Arwen tidak segera menjawab. Ia menatap hutan di depannya, seakan mencari sesuatu yang belum bisa ia temukan. Setelah beberapa saat, ia menoleh sedikit, dan dalam matanya ada sesuatu yang sulit ditebak. "Jawabannya akan kau temukan nanti, Alcard," katanya dengan nada misterius. "Aku hanya ingin kau mempercayaiku lagi, seperti aku mempercayaimu."
Alcard menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas dalam-dalam. Ia tahu tidak ada gunanya mendesaknya lebih jauh. Arwen akan mengungkapkan niatnya ketika ia merasa waktunya tepat. Untuk saat ini, Alcard hanya bisa memastikan bahwa perjalanan ini tidak berakhir dalam tragedi.
Mereka terus melangkah lebih dalam ke jantung hutan selatan. Kegelapan semakin pekat, suara-suara asing semakin sering terdengar di sekitar mereka. Bayangan-bayangan bergerak di antara pepohonan, menambah kesan bahwa mereka tengah diawasi oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Suara langkah kuda mereka adalah satu-satunya yang terdengar, menjadi ritme perjalanan yang menandai bahwa mereka semakin jauh meninggalkan dunia yang aman di belakang mereka. Ke mana perjalanan ini akan membawa mereka, Alcard belum tahu pasti. Namun dalam hatinya, ia hanya bisa berharap bahwa membawa Arwen ke tempat ini bukanlah sebuah kesalahan yang akan ia sesali. Karena ia tahu, apa pun yang menunggu mereka di dalam kegelapan ini, akan mengubah segalanya.
****
Di bawah langit malam yang kelam, rembulan bersinar redup di antara celah dedaunan lebat, memberikan sedikit penerangan pada jalan setapak berbatu yang mereka lalui. Cahaya perak samar memantulkan bayangan panjang di tanah, sementara suara dedaunan yang bergesekan dengan angin malam menambah kesan sunyi yang menyelimuti perjalanan mereka. Alcard duduk tegap di atas kudanya, tatapannya tajam menembus kegelapan, sementara Arwen duduk di depannya dengan tenang, seolah tidak terpengaruh oleh dinginnya udara atau suasana misterius di sekeliling mereka.
Perjalanan mereka menuju lembah tersembunyi di hutan selatan ini bukanlah perjalanan biasa. Pikiran Alcard terus dipenuhi pertanyaan tentang bagaimana Arwen bisa mengetahui keberadaan markas rahasia para Outcast di tempat ini. Hanya sedikit orang yang mengetahui lokasinya, bahkan di antara mereka yang termasuk dalam lingkaran dalam The Wall. Namun, Arwen tampaknya mengetahuinya seolah informasi itu sudah lama ada dalam genggamannya.
"Bukankah sudah saatnya kita beristirahat di markas rahasiamu?" ucap Arwen dengan nada lembut, namun penuh keyakinan.
Ucapan itu hanya semakin memperjelas bahwa wanita ini memiliki pengetahuan yang jauh lebih luas daripada yang ia tunjukkan. Alcard semakin menyadari bahwa Life-Seer seperti Arwen melihat dunia dengan cara yang berbeda, melampaui batasan logika dan pemahaman manusia biasa.
Dalam keheningan yang hanya diiringi oleh suara langkah kuda dan desir angin yang mengalir di antara pepohonan, Alcard akhirnya memecah kebisuan. "Kau benar-benar tahu terlalu banyak," gumamnya, nadanya datar namun penuh ketidakpercayaan. Tatapannya tetap lurus ke depan, fokus pada jalur sempit yang mereka lewati.
Arwen menoleh sedikit, sinar rembulan menerangi wajahnya yang tenang. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Aku hanya tahu apa yang perlu aku ketahui," katanya dengan suara selembut angin. "Dunia ini lebih besar dari yang bisa kita bayangkan, Alcard. Kita hanyalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar."
Kata-kata itu menggantung di udara, menyisakan ruang bagi Alcard untuk merenung. Ia tidak tahu bagaimana harus meresponsnya, tetapi di dalam hatinya, ia tahu ada kebenaran di balik ucapan Arwen. Mereka terus melanjutkan perjalanan dalam diam, hingga akhirnya mereka mencapai tepi lembah tersembunyi di balik bukit yang ditutupi pepohonan raksasa. Dari posisi mereka, samar-samar terlihat beberapa bangunan kayu kecil, tersembunyi dengan baik seolah menjadi bagian dari hutan itu sendiri.
"Di sana." Alcard menganggukkan kepalanya ke arah lembah di bawah mereka. Nada suaranya tetap penuh kewaspadaan. "Salah satu dari beberapa markas rahasia yang kami miliki. Tempat ini dirancang sebagai perlindungan terakhir jika markas utama jatuh atau terancam." Matanya menyapu sekeliling, memastikan tidak ada tanda-tanda bahaya yang mengintai. "Hanya sedikit monster yang bisa mencapai tempat ini, dan bahkan jika mereka mencoba, mereka harus menghadapi kesulitan besar."
Arwen memandangi lembah itu dengan penuh minat, matanya berkilau dalam kegelapan seolah menangkap sesuatu yang tidak terlihat oleh mata biasa. "Kau dan rekan-rekanmu memang sangat cerdik," katanya pelan, nada suaranya mengandung kekaguman. "Tempat ini tersembunyi dengan sangat baik."
Alcard mendengus kecil. "Itu semua berkat Oldman. Dia selalu memikirkan segala kemungkinan terburuk, termasuk serangan dari para lord Middle Earth."
Arwen menoleh ke arahnya, ekspresinya kini dipenuhi rasa penasaran. "Mengapa para lord ingin menyerang kalian?" tanyanya dengan suara lebih pelan, seolah jawaban yang akan ia terima sudah ia duga sebelumnya.
Alcard menatap ke arah lembah dengan ekspresi dingin, suaranya rendah namun penuh makna. "Karena kami adalah bukti dari kegagalan mereka," katanya, matanya masih memandang jauh ke dalam kegelapan. "Mereka membuang kami ke tempat ini untuk mati, tapi kami bertahan. Keberadaan kami adalah pengingat dari kesalahan mereka—dan mereka membenci itu."
Arwen tidak segera menanggapi. Ia membiarkan kata-kata itu menggantung dalam pikirannya, mencerna realitas pahit yang telah lama menjadi bagian dari dunia ini. Para outcast seharusnya menghilang, lenyap ditelan kerasnya kehidupan di The Wall. Namun, mereka bertahan, dan dalam bertahannya mereka menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar kelompok buangan—mereka menjadi ancaman bagi mereka yang menganggap diri mereka sebagai penguasa sah dunia ini.
Alcard akhirnya menarik tali kudanya, menuntunnya menuruni lembah dengan hati-hati. Mereka berhenti di depan sebuah bangunan kayu kecil yang tampak tua dan terbengkalai. Sekilas, tempat itu terlihat tak berpenghuni selama bertahun-tahun, tetapi Alcard tahu lebih baik daripada menilai sesuatu hanya dari luarnya. Ia turun dari kudanya lebih dulu, lalu dengan gerakan sigap, ia membantu Arwen turun.
"Tempat ini kosong," katanya sambil melangkah masuk, matanya menyapu ruangan berdebu yang dipenuhi sarang laba-laba. "Markas ini hanya digunakan dalam keadaan darurat."
Arwen melangkah pelan ke dalam, jemarinya menyentuh meja kayu yang berdebu, seolah sedang membaca jejak masa lalu yang tertinggal di sana. Matanya tampak menerawang, melihat sesuatu yang tak dapat dilihat oleh Alcard. "Tempat ini menyimpan banyak cerita," gumamnya lirih. "Aku bisa merasakannya."
Alcard menyilangkan tangannya, menatapnya dengan ekspresi skeptis. "Mungkin," katanya, suaranya datar. "Tapi aku masih belum mengerti kenapa kau ingin datang ke sini. Apa yang sebenarnya kau cari, Arwen?"
Arwen mengangkat wajahnya, senyum samar yang sulit diartikan kembali menghiasi bibirnya. "Aku mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, Alcard," ucapnya dengan nada lembut. "Aku hanya merasa bahwa tempat ini... memegang petunjuk kecil tentang apa yang akan terjadi di masa depan."
Alcard menghela napas panjang, membiarkan kata-kata Arwen meresap dalam pikirannya. Wanita ini selalu menjadi misteri baginya—sesuatu yang tak pernah bisa ia pecahkan, meskipun dia mencoba. Namun, di sisi lain, ia telah menyaksikan hal-hal yang tak dapat dijelaskan sejak pertemuannya dengan Arwen. Dan mungkin, tempat ini memang menyimpan sesuatu yang menunggu untuk diungkap.
Dengan langkah berat, ia berjalan menuju jendela terbuka, membiarkan angin malam yang dingin menerpa wajahnya. Dari sini, ia bisa melihat hamparan lembah yang tersembunyi dalam pelukan pepohonan tinggi, seolah-olah dunia luar tidak pernah menyadari keberadaannya. "Aku harap kau tahu apa yang kau lakukan, Arwen," gumamnya pelan. "Karena jika ini hanya permainan, maka kita berdua bisa terjebak di dalamnya."
Arwen melangkah mendekatinya, matanya bersinar lembut di bawah cahaya rembulan. "Percayalah, Alcard," bisiknya. "Aku tidak pernah bermain-main dengan hal yang sepenting ini."
Alcard hanya bisa diam, membiarkan angin malam yang dingin mengisi ruangan kosong itu, membawa bersama ketidakpastian yang menggantung di antara mereka.
****
Di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi oleh nyala api kecil yang berkedip-kedip, keheningan terasa semakin pekat. Setelah menyalakan api unggun sederhana di atas lantai tanah yang dingin dan padat, Alcard membiarkan cahaya api itu menyebar perlahan ke sekeliling mereka. Aroma khas kayu yang sedikit hangus tercium dari dinding-dinding tua yang mengelilingi tempat itu, memberikan sensasi kehangatan yang samar-samar di tengah udara malam yang menggigit. Di pojok ruangan, jendela terbuka membiarkan asap tipis melayang keluar, sementara ruangan yang tampak seperti barak tua dan kosong ini tetap terasa dingin, tanpa perabotan atau tempat tidur untuk beristirahat. Meski api kecil itu memberi sedikit rasa nyaman, keheningan dari hutan selatan tetap membayangi, menghadirkan perasaan bahwa mereka mungkin tidak benar-benar sendirian di tempat ini.
Alcard bersandar pada dinding kayu kasar di belakangnya, menatap kobaran api dengan ekspresi yang sulit diterka. Sorot matanya kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari tempat ia duduk sekarang. Di seberangnya, Arwen duduk dengan tenang, wajahnya diterangi pantulan cahaya oranye yang lembut, menciptakan bayangan bergerak di sepanjang dinding ruangan. Tidak jauh dari mereka, seekor kuda hitam berdiri diam, menikmati sedikit kehangatan yang ditawarkan api unggun. Hewan itu baru saja diberi nama oleh Arwen—Gratten, nama yang tak pernah terpikirkan oleh Alcard sebelumnya. Kuda itu menggerakkan kepalanya perlahan, seolah memahami keberadaan mereka, seolah ikut mengamati perbincangan yang sedari tadi.
Suasana hening itu akhirnya dipecahkan kembali oleh suara Alcard, dalam dan berat, menyusup di antara dentingan kayu yang terbakar. "Aku tidak bisa membawa kita ke ruangan utama," katanya, nada suaranya terukur dan penuh pertimbangan. "Ada hal-hal yang lebih baik tetap tak diketahui."
Arwen menatapnya sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil, bukan tawa yang keras, melainkan nada lembut yang menyiratkan sesuatu yang sulit ditafsirkan. Senyum khasnya muncul di bibirnya, senyum yang sering kali membuat Alcard merasa seperti ia telah kalah sebelum pertarungan dimulai. "Kau selalu menyimpan begitu banyak rahasia, Alcard," ucapnya, suaranya terdengar hampir menggoda. "Tapi kau benar-benar berpikir aku tidak tahu apa pun tentang tempat ini?"
Alcard mengangkat tatapannya dari api dan menatap wajah Arwen, ekspresinya tetap tak terbaca, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Setelah beberapa saat, ia hanya menghela napas panjang dan menggelengkan kepala, seakan akhirnya menyerah dalam pertarungan yang bahkan belum dimulai. "Mungkin aku hanya membuang waktu," gumamnya dengan nada lelah, menyadari bahwa berdebat dengan Arwen hanya akan membuatnya semakin terperangkap dalam lingkaran yang tak berujung.
Arwen, seolah menikmati percakapan ini, tersenyum lebih dalam sebelum mengalihkan perhatiannya ke Gratten. Ia merentangkan tangan dan dengan lembut membelai kepala kuda itu, jemarinya menyusuri bulu gelap yang terasa hangat di bawah sentuhannya. "Aku menyukai tempat ini," katanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. "Tenang, hangat... dan aku bisa bersama Gratten." Cara ia menyebut nama kuda itu terdengar begitu akrab, seolah ia telah mengenalnya jauh lebih lama daripada Alcard sendiri.
Alcard tetap diam, matanya mengamati gerak-gerik Arwen dengan kesunyian yang penuh arti. Sebelumnya, ia tidak pernah memberi nama pada kuda itu, karena baginya, memberi nama berarti membangun keterikatan. Dan dalam kehidupannya yang penuh ketidakpastian, ikatan adalah sesuatu yang berbahaya. Namun kini, Arwen telah melangkah lebih jauh dari yang ia perkirakan. Dengan satu kata, ia mengubah sesuatu yang selama ini hanya dianggap sebagai alat, menjadi lebih dari itu. Hal kecil ini seharusnya tidak berarti apa-apa, tetapi bagi Alcard, ada sesuatu yang terasa berbeda, sesuatu yang perlahan menggerogoti pertahanannya.
"Kau benar-benar melakukan apa pun yang kau mau," akhirnya ia berkata, suaranya terdengar lebih seperti keluhan yang tak benar-benar serius. Dengan gerakan malas, ia merogoh tas kecil yang tergantung di sabuknya dan mengeluarkan beberapa potong makanan sederhana. Tanpa banyak bicara, ia menyodorkannya kepada Arwen.
Namun, seperti yang sering terjadi, Arwen selalu memiliki cara sendiri dalam menanggapi sesuatu. Alih-alih menerima atau membahas makanan yang diberikan, ia tetap menatap api dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah serius. Sejenak, suasana kembali dipenuhi keheningan yang hanya dipecah oleh bunyi kayu yang terbakar perlahan. Lalu, dengan suara yang begitu lembut tetapi penuh ketegasan, ia berkata, "Aku tidak ingin menjadi Life-Seer."
Gerakan Alcard terhenti. Saat ia tengah bersiap untuk menyandarkan tubuhnya lebih nyaman ke dinding, kata-kata itu menghentikannya seketika. Matanya menatap Arwen dengan kebingungan, mencoba memahami makna tersembunyi di balik pengakuan yang tiba-tiba ini. Life-Seer—sebuah kemampuan langka yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, kekuatan yang mampu menembus batas antara kenyataan dan masa depan. Bakat itu adalah bagian dari diri Arwen, sesuatu yang selama ini mendefinisikan keberadaannya. Namun kini, dalam suaranya ada kegetiran yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya, sesuatu yang terdengar jauh lebih dalam daripada sekadar keluhan biasa.
"Apa maksudmu?" tanya Alcard, suaranya hampir berbisik, seolah takut menyinggung sesuatu yang rapuh, sesuatu yang telah lama tersembunyi di balik sikap tenang Arwen.
Namun, Arwen tidak segera menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, tetapi senyum itu terasa hampa, seolah tidak benar-benar mencapai matanya. Tatapannya kembali terfokus pada api yang berkedip-kedip di hadapan mereka, seakan mencari sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tidak bisa temukan. Dalam keheningan yang kembali melingkupi mereka, Alcard dapat merasakan sesuatu yang tidak pernah ia sadari sebelumnya—bahwa di balik sikap santai dan ketenangan Arwen, ada beban yang telah lama ia pikul sendirian, sesuatu yang bahkan ia sendiri mungkin belum siap untuk mengakui.
Alcard menunduk, matanya jatuh pada potongan makanan di tangannya yang masih belum disentuh. Ia ingin bertanya lebih lanjut, ingin memahami lebih dalam, ingin mengetahui apa yang selama ini Arwen simpan dalam diamnya. Namun, seperti yang sering ia lakukan, ia memilih untuk tetap diam.
****
"Aku tidak pernah meminta ini," ucap Arwen dengan suara lirih, matanya menerawang ke arah api yang berkedip pelan. "Sejak kecil, ibuku berjuang melindungiku, menjaga rahasia yang terlalu besar untuk ditanggung seorang anak kecil. Dia selalu berkata bahwa aku tidak boleh menunjukkan apa yang aku tahu, tidak boleh mengungkapkan mimpiku kepada siapa pun."
Nada suaranya sedikit bergetar, dan Alcard tetap terdiam, hanya menatapnya dengan ekspresi serius yang sulit diterjemahkan. Arwen melanjutkan, tatapannya kini beralih kepadanya, seakan ingin memastikan bahwa kata-katanya didengar dengan sungguh-sungguh.
"Aku ingat bagaimana ibuku selalu tampak cemas setiap kali aku berbicara tentang hal-hal yang kulihat dalam mimpiku," lanjutnya, jemarinya yang ramping menggenggam erat kain jubahnya sendiri. "Saat itu aku tidak mengerti kenapa dia begitu takut, sampai akhirnya dia memberitahuku rahasia yang selama ini disembunyikannya. Bahwa Life-Seer sebelumnya... dibunuh oleh Cevral."
Mendengar nama itu, tubuh Alcard menegang seketika. Sorot matanya yang semula tenang berubah menjadi gelap, penuh dengan kemarahan yang hanya bisa ia tahan dengan usaha keras. Cevral, Perdana Menteri Edenvila—sosok yang dikenal sebagai pria yang tak kenal ampun, licik, dan memiliki tangan yang selalu berlumuran darah orang-orang yang dianggapnya ancaman. Fakta bahwa pria itu telah memburu para Life-Seer, termasuk Arwen, membuat darahnya mendidih. Namun, dia tetap diam, membiarkan Arwen melanjutkan.
"Ibuku bilang, Cevral melakukan segalanya untuk memastikan tidak ada penerus Life-Seer manusia yang menghancurkan kerajaannya," suara Arwen semakin pelan, seolah ia berbicara pada dirinya sendiri. "Dia menjalankan operasi rahasia, memburu mereka yang memiliki kemampuan seperti ini, meskipun itu hanya rumor. Ibuku... dia hidup dalam ketakutan, dan aku tumbuh dengan ketakutan yang sama. Ketakutan bahwa suatu hari apa yang aku impikan bisa menjadi akhir dari hidupku sendiri."
Arwen mengangkat wajahnya, menatap Alcard dengan mata yang berkaca-kaca, penuh luka yang telah lama tersembunyi di balik keanggunannya. "Aku tumbuh dalam bayang-bayang itu, Alcard. Dalam ketakutan akan kematian, dalam kecemasan bahwa siapa pun yang aku percayai mungkin akan menjadi orang yang menghancurkanku. Tapi kemudian..." dia berhenti sejenak, seakan mencari kekuatan untuk melanjutkan, "...aku bermimpi tentang Reinhard."
Alcard menahan napas sejenak, tidak ingin melewatkan satu kata pun. Arwen menundukkan pandangannya ke arah api, suaranya hampir seperti bisikan. "Reinhard memberiku harapan. Dalam mimpiku, dia menunjukkan jalan yang selama ini aku takuti untuk kulalui. Dia membuatku percaya bahwa aku bisa melangkah keluar dari ketakutan itu."
Namun, ekspresinya berubah gelap, dan suaranya terdengar semakin rapuh. "Tapi ketika aku meninggalkan Edenvila... semua harapan itu berubah menjadi mimpi buruk. Aku mulai mendapatkan penglihatan lain—tentang ibuku yang disiksa oleh Cevral, dipaksa untuk mengungkapkan keberadaanku. Aku tak bisa kembali untuk menyelamatkannya... dan itu menghantuiku setiap malam."
Arwen menghela napas panjang, suaranya bergetar saat dia berusaha menahan emosinya. "Aku tidak ingin menjadi Life-Seer, Alcard. Aku tidak pernah menginginkan kekuatan ini. Aku hanya ingin hidup seperti orang lain. Tapi takdir ini... terlalu berat untuk kupikul."
Alcard masih terdiam, rahangnya mengeras menahan amarah yang mulai mendidih di dalam dirinya. Dia tidak pernah membayangkan seberapa besar beban yang harus ditanggung oleh Arwen selama ini. Ia tahu bagaimana kejamnya dunia ini, tetapi mendengarnya langsung dari mulut Arwen membuat segalanya terasa lebih nyata dan menyakitkan. Dalam dirinya, amarah terhadap Cevral yang selama ini tersembunyi kembali membara, namun dia menahannya untuk saat ini.
"Arwen," gumamnya setelah beberapa saat hening. "Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi dirimu... tetapi aku tahu satu hal, kau lebih kuat daripada yang kau pikirkan."
Namun, Arwen hanya tersenyum kecil, senyum yang tidak menyembunyikan kesedihannya. "Kau salah, Alcard," ucapnya pelan. "Aku hanya belajar berpura-pura kuat. Sama seperti kau."
Alcard terdiam, tak mampu menyangkal kebenaran yang tersirat dalam kata-katanya. Di tengah keheningan yang menyelimuti mereka, Arwen mendekat perlahan. Tanpa peringatan, dia mengangkat wajahnya dan menatap mata Alcard dalam-dalam sebelum akhirnya menyentuh bibirnya dengan lembut. Ciuman yang singkat namun penuh makna itu mengejutkan Alcard, membuat tubuhnya kaku. Dia mencoba berkata sesuatu, tetapi sebelum kata-kata itu keluar, Arwen berbisik pelan di telinganya.
"Lakukan dengan lembut, karena ini pertama kalinya bagiku."
Alcard menatapnya dalam diam, mencoba mencari kepastian dalam sorot mata Arwen. Perlahan, dia meraih tangan wanita itu, membalas ciumannya dengan lembut, membiarkan dirinya terbawa dalam momen yang terasa seperti keabadian. Malam yang dingin perlahan menghangat ketika dua jiwa yang terluka saling menemukan kenyamanan dalam pelukan satu sama lain.
Ketika akhirnya keheningan kembali menyelimuti mereka, Arwen bersandar di dada bidang Alcard, jari-jarinya menggambar pola di kulit Alcard yang penuh bekas luka. "Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu," bisiknya lembut. "Tapi Reinhard melarangku. Katanya jika terlalu banyak masa depan yang berubah, akulah yang akan merasakan akibatnya."
Alcard tidak menjawab, hanya mengusap lembut rambut Arwen dengan penuh perhatian. "Aku akan tetap di sampingmu jika kau membutuhkanku," ucapnya dengan suara rendah.
Arwen menggeleng pelan, senyum kecil masih menghiasi wajahnya. "Tidak, Alcard. Kau punya jalanmu sendiri. Aku tidak ingin menghalanginya."
Alcard menatap langit berbintang yang terlihat dari celah jendela kayu. Ia tahu, malam ini akan terpatri dalam ingatannya selamanya. Malam di mana dua hati yang terbebani menemukan satu sama lain, meski hanya untuk sesaat.
****