Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah dedaunan hutan besar Agrovarnin, menciptakan kilauan keemasan yang menari di atas embun yang masih menempel di rerumputan. Udara masih sejuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai mengering. Alcard berdiri di samping pohon besar dengan ekspresi penuh kehati-hatian, matanya tertuju pada tanah yang semalam ia gali untuk menyembunyikan fragment ungu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berlutut dan mulai menggali kembali, jari-jarinya menyingkirkan tanah dengan cekatan, memastikan tidak ada yang mencurigai tempat ini sebagai persembunyian sementaranya.
Saat ujung jarinya menyentuh permukaan kantong kain kasar yang membungkus fragment, ia menariknya keluar perlahan. Cahaya ungu samar masih terlihat dari celah kain, memantulkan sinar mentari pagi yang mulai menghangatkan udara. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap benda itu, mengingat betapa fragment ini hampir merenggut kewarasannya. Ia telah mengalami langsung bagaimana kekuatan yang mengalir dari dalamnya bisa menggiring seseorang ke dalam kegelapan yang paling dalam—membisikkan keputusasaan, menariknya menuju kehancuran.
Alcard menghela napas panjang sebelum membungkus fragment itu lebih rapat dan menyimpannya kembali, kali ini tidak di pinggangnya. Dengan gerakan yang penuh pertimbangan, ia mengikat kantong kecil itu pada sadel kudanya, memastikan benda itu tidak lagi bersentuhan langsung dengannya. Ia telah belajar dari pengalaman—fragment ini tidak boleh terlalu dekat, tidak boleh dibiarkan meresap ke dalam pikirannya lagi.
Ketika ia kembali ke kelompoknya, para outcast sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Barisan mereka bergerak melalui jalan setapak yang dikelilingi pepohonan tinggi, menuju jalur utama yang akan membawa mereka kembali ke The Wall. Namun, perjalanan mereka tidak berjalan tanpa hambatan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin banyak penduduk desa yang muncul di sepanjang jalan, wajah-wajah mereka penuh dengan kegelisahan dan harapan. Mereka datang dengan permohonan yang sama—meminta bantuan untuk mengusir monster yang semakin sering menyerang ladang dan ternak mereka.
Para outcast muda, yang masih dipenuhi semangat dan euforia dari status baru mereka, mulai tertarik. Beberapa dari mereka berhenti untuk mendengarkan keluhan para penduduk, mata mereka berbinar saat mendengar jumlah bayaran yang ditawarkan. Koin perak, kepingan emas, bahkan hasil panen dijanjikan sebagai imbalan bagi siapa saja yang bersedia membantu.
Percakapan di antara para pemula mulai menghangat. Beberapa di antaranya tampak tergoda dengan kemungkinan mendapatkan keuntungan tambahan. Namun sebelum ada yang sempat mengambil keputusan, suara Alcard memecah kebisingan. Dengan nada datar namun tegas, ia berbicara cukup keras agar semua mendengarnya.
"Silakan ambil misi ini jika kalian mau," katanya tanpa ekspresi. "Tetapi pastikan satu hal—bayaran yang kalian terima akan diserahkan sepenuhnya kepada Oldman saat kalian kembali ke markas pusat."
Para outcast yang tadinya bersemangat kini saling bertukar pandang. Beberapa wajah berubah kecewa, sementara yang lain tampak pasrah. Mereka tahu bahwa keputusan Alcard bukanlah sesuatu yang bisa ditawar. Namun sebelum ada yang berani mengajukan protes, Alcard melanjutkan, suaranya sedikit lebih ringan, meskipun matanya tetap tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya.
"Dan bagi siapa pun yang berpikir untuk menyimpan sebagian dari bayaran itu untuk diri sendiri..." ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung, "ingatlah satu hal—penjara di markas pusat bukanlah tempat yang menyenangkan. Tidak ada bloody potion, tidak ada perlindungan. Hanya dinding batu raksasa yang dingin itu dan waktu yang berjalan sangat lambat. Dan kalian tahu bagaimana rasanya hidup tanpa bloody potion, bukan?"
Seketika, suasana berubah. Wajah-wajah yang tadinya penuh semangat kini berubah pucat. Para pemula yang baru saja bersorak kini menelan ludah dengan gugup. Mereka tahu bahwa Alcard tidak sedang bercanda. Penjara markas The Wall adalah tempat yang ditakuti oleh semua outcast. Tidak ada yang keluar dari sana dalam keadaan sehat—baik secara fisik maupun mental.
Seorang pemuda mencoba mencairkan ketegangan dengan tawa gugup. "Kami tahu aturannya, Alcard. Kami tidak akan macam-macam," katanya sambil mengusap tengkuknya, mencoba terlihat santai meskipun jelas ia merasa tertekan.
Alcard menatapnya sejenak sebelum mengangguk pelan. "Bagus," ujarnya singkat, lalu berbalik, membiarkan mereka memutuskan sendiri apa yang ingin mereka lakukan.
Beberapa outcast memilih untuk tetap bersama rombongan, melanjutkan perjalanan kembali ke The Wall. Namun, beberapa lainnya memilih untuk menerima tawaran penduduk desa dan memisahkan diri sementara. Alcard tidak merasa khawatir. Ia tahu mereka semua pada akhirnya akan kembali—dengan atau tanpa keuntungan. Sebab, mereka tahu bahwa di The Wall, hanya ada satu hal yang benar-benar mereka butuhkan untuk bertahan hidup: bloody potion.
Saat kelompok utama kembali bergerak, Alcard mengalihkan perhatiannya ke jalanan hutan yang terbentang di depan. Meski perjalanan ini tampak panjang dan sunyi, ia sadar bahwa ancaman dari The Veil dan fragment ungu yang kini tergantung di sadel kudanya masih mengintai dari bayang-bayang. Bahaya belum berlalu. Musuh yang sebenarnya belum menunjukkan dirinya. Namun, satu hal yang ia yakini—tidak ada jalan mundur.
Dengan satu tepukan ringan pada leher kudanya, Alcard memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan. Kuda hitamnya melangkah maju, mengikuti jalur menuju The Wall. Dalam diam, ia berbisik pada dirinya sendiri, sebuah janji yang hanya bisa didengar oleh bayangan hutan yang mengelilinginya.
"Perjalanan ini belum berakhir."
****
Langkah-langkah berat menggema saat Alcard dan rombongan outcast akhirnya mencapai markas pusat The Wall. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, gerbang besar yang kokoh terbuka di hadapan mereka, memperlihatkan pemandangan yang sudah tak asing lagi—barak-barak yang sibuk, para outcast yang berlalu-lalang dengan berbagai tugas, serta udara dingin yang senantiasa menyelimuti benteng tua ini. Begitu mereka melewati pintu gerbang utama, para outcast segera berpencar. Beberapa langsung menuju barak untuk beristirahat, sementara yang lain melanjutkan urusan mereka masing-masing, entah mengurus persenjataan, menemui penyembuh, atau sekadar mencari makanan.
Namun, tidak bagi Alcard. Sebagai pemimpin rombongan, ia memiliki tugas yang lebih besar—melaporkan segalanya kepada Oldman.
Dengan langkah mantap, ia berjalan menyusuri lorong utama menuju ruangan Oldman. Wajahnya mencerminkan kelelahan mendalam, tetapi sorot matanya tetap tajam dan penuh tekad. Setiap langkah terasa semakin berat, bukan karena fisiknya yang lelah, tetapi karena beban yang ia bawa dalam perjalanannya kali ini jauh lebih besar dari sekadar laporan misi biasa.
Setibanya di depan pintu kayu besar yang menandai ruang kerja Oldman, Alcard tidak ragu untuk mendorongnya terbuka. Suara derit kayu tua bergema di ruangan yang diterangi cahaya redup dari beberapa lilin besar. Oldman duduk di balik meja kayunya yang dipenuhi gulungan peta, dokumen-dokumen berserakan, serta beberapa benda lain yang mencerminkan kompleksitas pikirannya. Mata tajamnya mengamati laporan tertulis yang ada di hadapannya, tetapi begitu Alcard masuk, pandangannya segera beralih.
Tanpa banyak kata, Alcard mengeluarkan sebuah kantong kecil dari sabuknya dan meletakkannya di atas meja dengan gerakan tenang, tetapi penuh makna. Kantong itu jatuh dengan bunyi gedebuk pelan, cukup untuk menarik perhatian Oldman.
Mata lelaki tua itu menyipit curiga. Dengan gerakan lambat namun pasti, ia meraih kantong tersebut dan membuka talinya. Saat kilauan cahaya ungu redup mulai menyusup keluar dari celah kain, ekspresi Oldman berubah dalam sekejap. Wajahnya yang biasanya tenang dan sulit terbaca kini menegang. Meski berusaha menyembunyikannya, Alcard yang telah mengenalnya selama bertahun-tahun bisa melihat kilatan keterkejutan dalam tatapannya.
"Fragment ungu…" gumam Oldman, menggenggam benda prisma itu dengan hati-hati, seolah takut menyentuhnya terlalu lama. Ia membolak-baliknya di antara jemarinya, meneliti setiap detailnya seakan mencari sesuatu yang tersembunyi. "Kita baru saja berhasil mengamankan fragment hijau beberapa bulan lalu, dan sekarang kau membawa yang ini?"
Nada suaranya terdengar setengah tak percaya, seolah menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar keberuntungan, tetapi juga sebuah peringatan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.
Alcard mengangguk perlahan, tubuhnya terasa semakin berat begitu ia akhirnya duduk di kursi di depan meja Oldman. "Ya. Fragment ini ada di tangan Avros," katanya, nada suaranya serius dan tanpa keraguan. "Aku menemukannya di ruang bawah tanah tersembunyi di kastilnya, terkunci dalam kotak besi yang hampir tidak bisa ditembus."
Oldman meletakkan fragment itu kembali ke dalam kantong dan menatap Alcard dengan sorot mata penuh penilaian. "Dan kau membiarkan Avros tetap hidup?"
Pertanyaannya sederhana, tetapi di baliknya terdapat makna yang lebih dalam.
Alcard bersandar ke kursi, menghela napas panjang sebelum menjawab. "Avros bukan ancaman langsung seperti yang kita kira. Dia memang licik, tetapi dia bukan serakus Tanivar." Ia berhenti sejenak, memastikan kata-katanya dipahami sepenuhnya sebelum melanjutkan. "Dari apa yang kudapat, dia tidak sepenuhnya berada di bawah kendali The Veil."
Oldman mengangkat alisnya sedikit, menandakan bahwa ia tertarik dengan informasi tersebut. "Lalu kenapa dia memiliki fragment ini?"
Alcard mengusap pelipisnya sejenak, mengingat kembali percakapannya di kastil Avros. "Dia berusaha menemukan seseorang yang dapat beresonansi dengan fragment ini. Menggunakannya untuk kepentingan dirinya sendiri."
Mata Oldman menyipit. "Mencari pengguna yang cocok?" Ia mengulangi kata-kata itu dengan hati-hati, seolah menimbang-nimbang maknanya. "Berarti dia tahu bahwa fragment ini tidak bisa digunakan oleh sembarang orang."
Alcard mengangguk. "Dan itu berarti dia memahami lebih banyak tentang fragment ini dibanding yang kita duga sebelumnya."
Keheningan menyelimuti ruangan sejenak. Oldman mengusap dagunya, ekspresinya semakin dalam. Ia berpikir, menghubungkan informasi ini dengan berbagai kejadian yang telah terjadi. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan suara rendah, tetapi penuh ketegasan. "Jika Avros memahami fragment ini lebih dari yang kita duga, kita mungkin sedang berhadapan dengan musuh yang jauh lebih berbahaya dari perkiraan awal. Jika fragment ini jatuh ke tangan yang salah, kita tidak hanya menghadapi ancaman bagi The Wall, tetapi juga bagi seluruh ras manusia. Atau bahkan seluruh dunia."
Ia menatap Alcard dengan serius. "Kita harus segera mencari tahu siapa yang mungkin menjadi pengguna yang dipilih oleh fragment ini. Jika tidak, fragment ini akan terus menarik perhatian orang-orang yang seharusnya tidak pernah menyentuhnya."
Alcard hanya mengangguk. Beban yang selama ini ia bawa mulai terasa sedikit lebih ringan setelah menyerahkan fragment itu ke tangan Oldman. Namun, di dalam dirinya, ia tahu ini bukanlah akhir. Ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Fragment ini bukan sekadar benda mati, tetapi sesuatu yang memiliki kehendaknya sendiri. Dan jika suatu saat pengguna yang tepat benar-benar muncul, pertanyaannya adalah—apakah mereka akan menjadi sekutu, atau justru musuh yang lebih berbahaya?
****
Di dalam ruangan yang diterangi cahaya lilin redup, Alcard menarik napas dalam sebelum kembali melanjutkan laporannya kepada Oldman. Udara di dalam ruangan terasa berat, seolah setiap kata yang akan ia ucapkan membawa beban yang sulit ditanggung. Wajahnya tampak letih, dengan mata yang menyimpan kelelahan mendalam, bukti dari malam-malam panjang tanpa tidur yang dideritanya selama perjalanan.
Oldman, yang duduk di balik meja kayunya, menatapnya dengan mata tajam, penuh perhatian. Ia menunggu tanpa mendesak, membiarkan Alcard mengambil waktu yang ia butuhkan untuk menyusun kata-katanya. Akhirnya, dengan suara rendah namun tegas, Alcard mulai berbicara, setiap kata mengandung ketegangan yang tak bisa diabaikan.
"Ada sesuatu hal lain yang harus kau ketahui tentang fragment ini, Oldman," katanya, menatap langsung ke dalam mata pemimpin tertinggi itu, memastikan bahwa pesan yang ia bawa benar-benar diterima dengan serius. "Saat aku membawanya, aku mulai dihantui oleh mimpi-mimpi yang bukan sekadar ilusi atau kenangan samar. Ini bukan sekadar bayangan masa lalu yang datang dan pergi, tetapi sesuatu yang terasa begitu nyata… seolah-olah aku sedang menghidupinya kembali."
Ia berhenti sejenak, menekan telapak tangannya ke atas meja, seakan mencoba menahan perasaan yang kembali membanjiri pikirannya. "Kenangan buruk dari masa laluku kembali menghantuiku dengan cara yang belum pernah kualami sebelumnya. Aku bisa merasakan ketakutan itu seolah-olah aku berada di dalamnya lagi. Dan ada saat di mana aku hampir menyerah… aku hampir membiarkan fragment ini mengambil kendali penuh atas diriku."
Tatapan Oldman menyipit, ekspresinya berubah lebih tajam. Suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya saat ia bertanya, "Kau berpikir untuk mengakhiri hidupmu?"
Nada itu bukan sekadar pertanyaan biasa. Itu adalah peringatan.
Alcard mengangguk pelan, mengalihkan pandangannya ke meja, enggan menatap langsung mata Oldman. "Aku juga berpikir hal itu mustahil terjadi padaku," lanjutnya, suaranya terdengar lebih pelan. "Tapi fragment ini… ada sesuatu di dalamnya yang begitu kuat, begitu gelap, dan aku tidak bisa menahannya. Ada dorongan yang luar biasa untuk menyerah, untuk mengakhiri semuanya. Dan satu-satunya cara aku bisa melawannya adalah dengan menjauhkan fragment itu dari diriku."
Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Malam itu, aku menggali lubang di hutan, jauh dari perkemahanku, dan menguburnya di sana. Baru setelah itu aku bisa tidur dengan tenang untuk pertama kalinya dalam berhari-hari."
Oldman mengangguk lambat, ekspresi seriusnya tidak berubah. Ia tampak sedang memproses informasi ini, menghubungkan segala sesuatu yang telah ia ketahui tentang fragment dengan pengalaman langsung yang dialami Alcard. "Jadi fragment ini tidak hanya memiliki kekuatan fisik atau magis, tetapi juga mempengaruhi mental seseorang dengan cara yang sangat berbahaya," katanya, tangannya mengepal di atas meja, seolah tengah mempertimbangkan sesuatu yang lebih besar.
Alcard mengangguk sekali lagi. "Itu sebabnya aku memastikan fragment ini tidak pernah terlalu dekat dengan para outcast dalam perjalanan kembali. Aku tidak ingin mereka mengalami apa yang kualami, atau lebih buruk lagi… menyerah kepada kegelapan yang ditanamkan fragment ini."
Oldman menarik napas dalam, mengusap wajahnya sejenak sebelum berbicara. "Kau telah melakukan yang terbaik, Alcard. Tapi ini membawaku pada sesuatu yang sudah lama kupikirkan." Ia menatap Alcard lebih dalam, seolah ingin memastikan bahwa yang akan ia katakan bisa diterima dengan baik. "Saat aku pertama kali menyimpan fragment hijau beberapa bulan lalu, aku sempat tertidur di dekatnya tanpa sengaja. Dan ketika aku terbangun… aku merasa kehilangan sebagian dari energiku, seolah fragment itu menyedot kekuatanku perlahan-lahan."
Mata Alcard menyipit, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Tapi itu tidak terjadi padaku," gumamnya pelan, berpikir keras. "Fragment hijau… aku membawanya selama berhari-hari, dan aku tidak mengalami apa pun. Tidak ada mimpi buruk, tidak ada perasaan lelah yang berlebihan. Aku bisa menyentuhnya tanpa merasa ada sesuatu yang aneh."
Oldman memandangnya dengan penuh arti, ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang menyusun teori baru dalam benaknya. "Mungkin…" katanya perlahan, seolah-olah ia sedang berbicara kepada dirinya sendiri. "Fragment hijau telah memilihmu."
Alcard terdiam. Kata-kata itu menggantung di udara seperti beban berat yang tiba-tiba dijatuhkan di pundaknya. Ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya—perasaan yang bercampur antara keterkejutan dan ketidakpastian. "Jika itu benar… mengapa?" tanyanya akhirnya, suaranya sedikit bergetar oleh ketidakpastian. "Dan mengapa fragment ungu menolakku? Seolah aku adalah ancaman bagi keberadaannya."
Oldman mengetukkan jarinya ke atas meja, berpikir dalam diam sebelum akhirnya berbicara lagi. "Mungkin setiap fragment memiliki sifat dan kehendaknya sendiri," ujarnya. "Bisa jadi fragment hijau cocok dengan jiwamu, dengan prinsip yang kau pegang teguh. Sedangkan fragment ungu… mungkin ia mencari sesuatu yang berbeda. Seseorang yang memiliki karakteristik yang tidak kita pahami. Atau mungkin, fragment hijau dan fragment ungu memiliki esensi yang berlawanan satu sama lain."
Alcard mengusap wajahnya, kelelahan mulai terasa semakin menekan. "Apa pun alasannya," katanya dengan nada datar namun penuh kepastian, "fragment-fragment ini terlalu berbahaya untuk berada di tangan siapa pun. Jika fragment ungu bisa mengguncang mental seseorang sekuat aku, maka di tangan orang yang salah… itu bisa menjadi bencana yang lebih besar dari yang bisa kita bayangkan."
Oldman mengangguk, ekspresi di wajahnya penuh dengan keprihatinan yang mendalam. "Kau benar. Kita harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun, terutama The Veil, mengetahui keberadaan fragment ini. Kita telah melihat bagaimana mereka mampu beroperasi hanya dengan sedikit informasi. Jika mereka mendapatkan fragment ini…"
Ia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Alcard sudah tahu apa yang dimaksudnya.
Oldman menarik kantong kecil yang berisi fragment ungu itu lebih dekat, tatapannya masih penuh pertimbangan. "Aku akan menyimpannya di tempat yang paling aman, jauh dari jangkauan siapa pun. Sama seperti yang kita lakukan dengan fragment hijau. Sementara itu, kita harus mencari tahu lebih banyak tentang hubungan antara fragment dan penggunanya. Jika kita bisa memahami bagaimana fragment ini memilih pemiliknya… mungkin kita bisa mengantisipasi langkah musuh sebelum terlambat."
Alcard terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia menerima keputusan itu, meskipun ia tahu ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar. "Aku serahkan semuanya padamu, Oldman. Aku hanya berharap kita cukup cepat sebelum mereka yang mengejar fragment ini menemukan kita lebih dulu."
Oldman tersenyum tipis, senyum yang tidak membawa kehangatan, tetapi lebih seperti ekspresi seseorang yang sudah terbiasa menghadapi ketidakpastian. "Kecepatan bukan sekadar soal langkah kaki, Alcard. Ini tentang ketepatan. Dan aku yakin kita akan menemukan jawabannya sebelum semuanya terlambat."
Dengan itu, Alcard bangkit dari kursinya, matanya masih menyimpan kelelahan yang dalam, tetapi juga tekad yang tak tergoyahkan. Ia tahu tugasnya belum selesai—fragment ungu hanyalah satu bagian kecil dari teka-teki yang lebih besar yang harus mereka pecahkan sebelum semuanya berantakan.
****
Hari-hari di markas pusat The Wall berjalan seperti biasa bagi Alcard, setidaknya dalam hal rutinitas. Ia tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang outcast—mengasah keterampilan tempurnya, melakukan patroli, serta menghadiri pertemuan-pertemuan strategis dengan para komandan. Namun, di balik semua aktivitas itu, pikirannya tetap dihantui oleh misteri fragment ungu yang telah ia serahkan kepada Oldman. Bahkan setelah menyerahkan benda itu ke tangan yang lebih berpengalaman, perasaan gelisah tidak kunjung menghilang. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya telah membawa dampak yang benar atau justru membuka jalan menuju bencana yang lebih besar.
Di tengah kesibukan markas yang dipenuhi dengan derap langkah, dentingan logam dari latihan para prajurit, dan suara diskusi serius mengenai logistik serta laporan misi, sebuah kejadian tak terduga tiba-tiba mengguncang suasana. Seorang utusan berlari tergesa-gesa ke dalam aula utama, napasnya tersengal dan wajahnya basah oleh keringat. Semua orang yang sedang berkumpul di dalam ruangan itu seketika menghentikan aktivitas mereka, menunggu kabar yang dibawa oleh utusan itu dengan waspada.
"Avros… dia telah mengeksekusi banyak prajuritnya sendiri, termasuk tangan kanannya yang paling ia percayai," kata utusan itu dengan suara terbata, masih berusaha mengatur napasnya. "Eksekusi besar-besaran ini terjadi tak lama setelah insiden kebakaran di gudang pangan saat malam festival."
Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan keheningan tegang di dalam ruangan. Alcard, yang duduk di sudut ruangan dengan tangan bersedekap, langsung merasakan ketegangan merayapi tubuhnya. Ia sudah menduga bahwa Avros tidak akan tinggal diam setelah kehilangan fragment ungu, tetapi keputusan ekstrem ini menunjukkan sesuatu yang lebih dalam. Eksekusi bukan hanya sekadar hukuman, melainkan sebuah tanda paranoia dan ketidakstabilan. Avros jelas mencurigai adanya pengkhianatan dalam barisannya sendiri. Namun, yang menjadi pertanyaan utama bagi Alcard adalah apakah tindakan itu lahir dari kepanikan, ataukah Avros sebenarnya tahu lebih banyak daripada yang mereka perkirakan?
Alcard bersandar pada kursi kayu yang telah usang, tatapannya kosong menatap meja panjang di hadapannya. Ia tidak benar-benar memperhatikan percakapan para outcast di sekitarnya. Pikirannya terperangkap dalam berbagai kemungkinan yang bisa terjadi setelah peristiwa ini. Jika Avros mulai mengeliminasi orang-orangnya sendiri, itu berarti situasi di Middle Earth akan semakin kacau, dan tidak ada yang bisa memprediksi dampak dari tindakan tersebut.
Namun, sebelum Alcard bisa menarik kesimpulan lebih jauh, suara dentangan lonceng besar bergema ke seluruh markas, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. Jeritan dari menara pengawas segera menyusul, mengirimkan gelombang kepanikan ke seluruh penjuru markas.
"Serangan! Kawanan direwolf dalam jumlah besar bergerak menuju markas dari arah selatan!"
Seketika, suasana markas berubah drastis. Para outcast yang awalnya sibuk dengan urusan mereka masing-masing kini bergegas mengambil posisi tempur. Beberapa langsung mengenakan armor mereka dengan cepat, sementara yang lain meraih senjata yang telah disiapkan di sepanjang dinding pertahanan. Dalam hitungan detik, area yang sebelumnya dipenuhi dengan diskusi santai kini menjadi hiruk-pikuk penuh ketegangan.
Alcard langsung bangkit dari kursinya, tangannya sigap meraih pedangnya sebelum melangkah cepat ke luar aula, menuju bagian selatan The Wall. Begitu tiba di atas tembok pertahanan, pemandangan yang menyambutnya membuat dahinya berkerut tajam.
Di kejauhan, kawanan direwolf berlari dengan kecepatan tinggi, jumlah mereka jauh lebih besar dari serangan-serangan sebelumnya. Mata merah mereka bersinar menembus bayangan hutan, sementara langkah kaki mereka yang tak terhitung jumlahnya membuat tanah di bawah mereka bergetar hebat. Puluhan, mungkin ratusan makhluk itu datang dalam formasi yang tidak biasa bagi predator buas seperti mereka. Mereka tidak hanya bergerak sebagai gerombolan liar—pergerakan mereka memiliki pola, seolah-olah dikendalikan oleh sesuatu yang lebih cerdas.
"Direwolf sebesar ini... mereka tidak mungkin bergerak sendiri," gumam Alcard, suaranya rendah namun penuh waspada. Matanya tetap terkunci pada gerombolan makhluk itu, menganalisis setiap pergerakan mereka dengan saksama. "Seseorang… atau sesuatu, pasti telah menggiring mereka ke arah kita."
Oldman, yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi serius, ikut mengamati situasi di luar tembok. "Kau pikir ini bukan sekadar pergerakan alami?" tanyanya, meski nada suaranya menunjukkan bahwa ia juga mulai mencurigai hal yang sama.
Alcard mengangguk. "Direwolf memang bergerak dalam kelompok, tapi tidak sebesar ini. Dan mereka bukan makhluk yang mudah diarahkan, kecuali ada sesuatu yang cukup kuat untuk memaksa mereka bergerak seperti ini. Kita harus siap menghadapi kemungkinan yang lebih buruk."
Tanpa ragu, Oldman segera mengambil alih komando situasi. Suaranya bergema di sepanjang tembok saat ia memberi perintah kepada pasukan outcast yang telah bersiap dengan senjata di tangan.
"Pemanah, segera ke posisi kalian! Jangan lepaskan anak panah sampai aku memberi perintah! Pasukan barisan depan, siapkan perisai dan tetap di garis pertahanan! Tidak ada yang melewati The Wall!"
Suara perintahnya disambut dengan teriakan semangat dari para outcast. Dengan cepat, pasukan pemanah naik ke pos mereka di atas tembok The Wall, menarik busur dan menyiapkan anak panah yang sudah diasah dengan racun khusus. Sementara itu, pasukan garis depan berdiri tegak dengan perisai besar mereka, membentuk barikade kokoh yang siap menahan gempuran pertama.
Alcard berdiri di depan mereka, menghunus pedangnya dengan tatapan yang penuh fokus. Udara di sekitarnya terasa tegang, seakan seluruh dunia menahan napas, menunggu bentrokan besar yang akan segera terjadi. Suara derap langkah kawanan direwolf semakin mendekat, dan tanah mulai bergetar lebih keras di bawah tekanan gelombang makhluk buas itu.
"Bersiaplah," serunya dengan suara tegas yang menusuk keheningan. "Pertempuran ini tidak akan mudah."
Seiring dengan semakin sempitnya jarak antara kawanan direwolf dan The Wall, Alcard merasakan aliran adrenalin mengalir deras dalam dirinya. Meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh kekhawatiran tentang fragment ungu dan intrik politik yang membayangi Middle Earth, untuk saat ini, hanya ada satu ancaman yang harus ia hadapi—dan ia tidak akan membiarkan satu pun direwolf melewati pertahanan mereka.
Dengan napas yang stabil dan tangan yang menggenggam pedang dengan erat, Alcard bersiap menyambut pertempuran yang akan menentukan nasib mereka semua.
****
Di bawah bayang-bayang pekat hutan selatan, sosok gelap melintas dengan langkah yang hampir tak terdengar, seolah menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri. Ia bukan sekadar makhluk biasa yang berkeliaran di belantara ini—kehadirannya membawa aura yang berbeda, sesuatu yang lebih licik dan berbahaya dibandingkan monster liar yang menghuni wilayah ini. Tubuhnya kecil dibandingkan prajurit manusia, namun sorot matanya yang merah membara mencerminkan kecerdikan yang jauh melampaui sekadar naluri bertahan hidup.
Jubahnya compang-camping, kotor oleh lumpur dan darah yang telah mengering, dihiasi dengan simbol-simbol aneh yang diukir dengan tangan, seolah memiliki makna ritual yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. Dari bawah tudung yang menutupi sebagian besar wajahnya, sepasang mata berkilauan mengamati medan pertempuran dengan ketajaman yang mengerikan. Ia tidak bergerak gegabah, tidak ikut bertarung di antara kawanan yang menyerang tembok besar di depan mereka. Tidak, perannya lebih besar dari sekadar menjadi bagian dari pertempuran ini.
Makhluk itu duduk tegap di atas seekor direwolf yang berbeda dari kawanan lainnya. Binatang besar itu memiliki bulu kelabu gelap yang hampir menyatu dengan bayangan malam, namun ekornya dihiasi semburat merah samar—tanda dari sesuatu yang lebih dari sekadar predator alam liar. Matanya bersinar seperti bara api, bukan karena amarah, tetapi karena kekuatan yang mengalir di dalamnya. Dengan satu gerakan halus dari penunggangnya, direwolf itu tetap diam di puncak bukit kecil, mengamati dari kejauhan bagaimana pasukannya berhadapan dengan penjaga-penjaga tembok yang berusaha menahan serangan.
"Ghorz thrak'ur, lat grash golug lat ob goth!" gumamnya pelan dalam bahasa asing yang kasar, nyaris seperti desisan ular yang merayap di telinga.
(Tuan telah berkata, bahwa sesuatu yang sangat berharga tersembunyi di sana!)
Kata-katanya diucapkan dengan penuh kehati-hatian, seolah tidak hanya sekadar pernyataan, tetapi sebuah pengulangan dari perintah yang telah diberikan kepadanya.
Tangan kurusnya yang berselimut jubah lusuh terangkat perlahan, dan dalam sekejap, kabut hitam pekat mulai berputar di sekelilingnya. Kabut itu bukan sekadar fenomena alam—ia bergerak dengan kesadaran, menyusup turun dari atas bukit menuju kawanan direwolf yang bertempur di garis depan. Setiap serigala yang terjamah kabut itu mengeluarkan raungan panjang, tubuh mereka bergetar saat energi asing merasuk ke dalam daging dan tulang mereka. Seketika, mereka menjadi lebih ganas, lebih cepat, lebih buas dari sebelumnya.
Namun, makhluk bertudung itu tidak terburu-buru mengerahkan seluruh kekuatannya. Ia hanya mengamati dengan seksama, memperhatikan formasi musuh, mencatat bagaimana para penjaga The Wall merespons serangan, menghafal titik-titik lemah yang mungkin mereka abaikan. Ia tidak melihat pertempuran ini sebagai ajang pembantaian, melainkan sebagai ujian. Sebuah kesempatan untuk mempelajari musuh yang selama ini dianggap tak terkalahkan.
"Snaga lat!" bisiknya, suara seraknya seakan menyatu dengan desir angin malam.
(Sedikit lagi.)
Matanya tetap terpaku pada benteng kokoh di hadapannya. Bukan tembok itu yang menjadi fokusnya, bukan manusia-manusia yang berusaha mati-matian mempertahankannya, tetapi sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Sesuatu yang jauh lebih berharga dibandingkan nyawa-nyawa yang berjatuhan di pertempuran malam ini.
"Snaga lat... agh kran-ob hon. Maim lat grish ob goth lat narz!" bisiknya lagi, lebih pelan, lebih dingin.
(Sedikit lagi... semuanya akan berakhir. Kami akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milik kami!)
Dengan gerakan halus, ia menarik kendali direwolfnya, membiarkan kabut hitam yang menyelimuti kawanan serigala itu perlahan-lahan mereda. Para direwolf yang tersisa akan terus bertempur, tetapi kini tanpa kekuatan tambahan yang sebelumnya diberikan kepada mereka. Baginya, tidak ada gunanya menghabiskan lebih banyak energi dalam pertempuran yang hanya sebuah permulaan.
Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya membalikkan arah kudanya. Dalam diam, ia membiarkan dirinya dan tunggangannya tenggelam kembali ke dalam kegelapan hutan yang lebih dalam. Langkah-langkah mereka nyaris tak bersuara, seperti bayangan yang menyelinap tanpa meninggalkan jejak. Ia tidak perlu bertahan di sini lebih lama—semua yang perlu ia ketahui telah ia pelajari malam ini.
Sebelum benar-benar menghilang di tengah rimbunnya hutan, sebuah gumaman terakhir meluncur dari bibirnya, pelan seperti doa yang hanya bisa didengar oleh malam itu sendiri.
"Thrak lat agh hon snaga... kran-ob thrakat lat, agh nub lat-ob krim hon!"
(Pertempuran ini hanyalah permulaan... semuanya akan berada dalam genggaman kami, dan tak satu pun dari mereka akan mampu menghentikannya.)
Dengan itu, ia menghilang, menjadi bagian dari bayangan malam yang terus mengintai.
****