Hutan besar Agrovarnin menyambut kedatangan Alcard dengan keheningan yang mencekam. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan kewaspadaan, ia akhirnya tiba di titik penyergapan yang telah direncanakan oleh Oldman. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi di sekelilingnya, cabang-cabang mereka membentuk kanopi lebat yang menutupi langit, menyisakan hanya sedikit celah bagi sinar matahari untuk menembus. Aroma tanah basah bercampur dengan dedaunan yang mulai membusuk, memberikan kesan seolah hutan ini menyembunyikan sesuatu di balik kegelapannya.
Alcard turun dari kudanya dengan gerakan yang perlahan dan terkendali. Tudung jubahnya diturunkan, memperlihatkan wajah yang penuh kelelahan dan mata yang menyiratkan kehati-hatian. Ia mengamati sekeliling dengan saksama, memastikan bahwa tidak ada bahaya yang mengintai di antara bayangan pepohonan. Setiap suara kecil—gemerisik daun, desir angin, atau gerakan halus di semak-semak—tidak luput dari perhatiannya.
Tak perlu menunggu lama, tanda-tanda kehidupan mulai bermunculan dari balik kegelapan hutan. Satu per satu, para outcast yang telah bersembunyi dalam diam akhirnya memperlihatkan diri. Wajah-wajah yang tampak lelah karena berminggu-minggu menunggu di tempat ini kini dipenuhi dengan kewaspadaan dan rasa ingin tahu. Senjata mereka tetap terhunus, siap untuk menghadapi ancaman yang mungkin datang, bahkan dari orang yang mereka kenal sekalipun.
"Alcard." Suara serak seorang pria paruh baya memecah keheningan, nada suaranya menyiratkan kelegaan yang bercampur dengan keraguan. "Kau kembali. Apa kau berhasil dalam misimu? Apakah Avros sudah mati?"
Pertanyaan itu membuat Alcard terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa Oldman pasti telah memberikan informasi yang berbeda kepada para outcast ini, menjaga rahasia tentang fragment dan rencana yang lebih besar agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Menyadari bahwa terlalu banyak penjelasan hanya akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan, Alcard menjawab dengan nada datar namun tegas, "Tidak. Aku gagal membunuhnya."
Sejenak, suasana menjadi lebih tegang. Beberapa outcast saling bertukar pandang, kekecewaan terlihat jelas di mata mereka. Ada yang mendengus kesal, sementara yang lain menundukkan kepala, seolah menahan rasa frustrasi yang mendidih dalam hati mereka.
Alcard mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat agar mereka mendengarkan sebelum mengambil kesimpulan sendiri. "Benteng Govenren bukanlah tempat yang mudah untuk disusupi, apalagi untuk menyerang seseorang sekuat Avros. Festival besar baru saja berlangsung, dan keamanannya diperketat. Jika aku bertindak ceroboh, kita bukan hanya akan kehilangan kesempatan, tapi juga mempertaruhkan nyawa lebih banyak orang."
Salah satu outcast muda di barisan depan, wajahnya masih menyiratkan semangat perang, memberanikan diri untuk berbicara. "Tapi Avros adalah ancaman bagi kita, bukan? Bukankah seharusnya kita—"
"Aku tahu siapa dia," potong Alcard cepat, suaranya tetap tenang, tetapi ada ketegasan yang tak terbantahkan dalam nada bicaranya. "Avros hanyalah seorang pion dalam permainan yang jauh lebih besar. Dia mungkin memiliki pengaruh dan kekuatan, tetapi jika kita menyerangnya sekarang tanpa pemahaman yang lebih dalam, kita hanya akan menjadi bagian dari permainan yang tidak kita mengerti. Percayalah, aku sudah menyelidiki cukup dalam. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di balik layar."
Meskipun beberapa dari mereka masih tampak ragu, secara perlahan, para outcast mulai mengangguk. Mereka mungkin merasa kecewa, tetapi mereka juga tahu bahwa Alcard bukan orang yang berbicara tanpa alasan. Dua penjaga mendekat, memberi isyarat agar ia mengikuti mereka ke perkemahan utama, tempat sebagian besar outcast berkumpul.
Di dalam perkemahan, suasana tegang masih terasa di antara para outcast yang telah menunggu terlalu lama dengan harapan yang tinggi. Tanpa membuang waktu, Alcard berdiri di hadapan mereka dan berbicara dengan suara yang cukup keras untuk didengar semua orang. "Misi ini tidak berjalan seperti yang kalian harapkan. Setelah mengamati sangat lama, Avros juga kemungkinkan besar membatalkan perjalanannya ini," katanya tanpa basa-basi. "Oleh sebab itu, aku telah mengambil keputusan. Kita mundur."
Suara keluhan langsung terdengar dari beberapa outcast. "Berhari-hari kita menunggu di sini hanya untuk kembali dengan tangan kosong?" seru seorang pemuda, melemparkan ranting kecil ke tanah dengan frustrasi.
Yang lain menggelengkan kepala, wajahnya dipenuhi ketidaksabaran. "Aku lebih baik bertarung sampai mati daripada hanya duduk di sini menunggu perintah untuk mundur," gumam seorang pria yang tubuhnya dipenuhi bekas luka lama.
Alcard tetap diam sejenak, membiarkan mereka meluapkan emosi mereka. Ia tahu mereka berhak merasa kecewa, tetapi ia juga tahu bahwa mereka tidak memahami bahaya sebenarnya. Setelah memastikan semua orang mendengar, ia akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih dalam dan tenang. "Aku tahu kalian lelah. Aku tahu kalian ingin bertarung. Tapi percayalah, keputusan ini bukan karena kita takut. Ini adalah langkah terbaik yang bisa kita ambil sekarang."
Tatapan tajamnya menyapu wajah mereka satu per satu. "Perang yang sesungguhnya belum dimulai. Jika kita bertindak gegabah, kita hanya akan menjadi korban lebih cepat dari yang seharusnya. Jika kalian masih percaya padaku, maka percayalah bahwa kita masih memiliki kesempatan. Tetapi bukan sekarang."
Pelan-pelan, suasana mulai berubah. Meskipun masih ada suara ketidakpuasan, sebagian besar outcast mulai mengemasi peralatan mereka, bersiap untuk kembali ke The Wall sesuai perintah. Mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami alasan di balik keputusan ini, tetapi mereka tahu bahwa Alcard bukan seseorang yang berbicara tanpa pertimbangan.
Sementara para outcast sibuk membereskan perkemahan, Alcard tetap berdiri di tempatnya, menatap ke dalam hutan besar Agrovarnin yang seakan menyimpan rahasia yang belum terungkap. Di dalam pikirannya, ia bertanya-tanya apakah semua ini sepadan. Fragment ungu yang kini tergantung di sadel kudanya terasa lebih berat daripada beban apa pun yang pernah ia pikul.
Kekuatannya yang tak terduga, pengaruhnya yang perlahan merayap ke dalam pikirannya, dan fakta bahwa benda itu menjadi objek perebutan antara kekuatan besar membuatnya semakin gelisah. Jika fragment ini sudah begitu berbahaya hanya dalam genggamannya, apa yang akan terjadi jika ia jatuh ke tangan yang salah?
Namun, ia tahu satu hal: mundur bukan berarti menyerah. Ini hanya berarti menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. Pertarungan yang sebenarnya masih berada di depan, dan saat itu tiba, ia akan siap.
Dengan tekad yang mulai diperbarui, Alcard menatap hutan yang semakin gelap di kejauhan. Dunia di sekelilingnya mungkin penuh dengan bahaya dan ketidakpastian, tetapi ia telah memutuskan untuk terus berjalan, tidak peduli seberapa gelap jalannya.
****
Di bawah rimbunnya pepohonan Agrovarnin, Alcard memacu kudanya dengan kecepatan yang stabil, membiarkan langkah hewan itu menyelaraskan diri dengan gerakan para outcast yang mengikutinya. Dua puluh orang berkuda di sekelilingnya, tersebar dalam formasi yang tampak longgar namun tetap teratur. Oldman yang memilih jumlah ini, lebih besar dari biasanya, yang menunjukkan betapa pentingnya misi kali ini. Jika Oldman merasa perlu mengerahkan lebih banyak orang, berarti bahaya yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang tampak di permukaan.
Alcard mengamati mereka satu per satu, sebagian besar adalah wajah-wajah baru, para outcast muda yang masih menyimpan semangat meskipun telah dibuang oleh dunia yang seharusnya melindungi mereka. Mereka menunggang kuda dengan sikap santai, seakan perjalanan ini hanyalah perjalanan biasa, bukan bagian dari misi yang bisa menentukan hidup dan mati. Beberapa bercanda, tertawa, mengusir sedikit ketegangan yang tak terelakkan dalam perjalanan seperti ini.
"Hei," salah satu dari mereka berkata dengan suara yang cukup keras untuk didengar semua orang. Nada bicaranya penuh jenaka, menandakan bahwa ia menikmati momen ini meski mereka sedang dalam perjalanan menuju kemungkinan pertempuran. "Pernahkah kalian berpikir kalau para lord di benteng-benteng megah itu harus berhadapan dengan monster mutasi selatan? Aku yakin mereka akan kencing di celana sebelum sempat mengayunkan pedangnya."
Komentar itu langsung memicu gelak tawa. Beberapa outcast mulai menimpali, membuat suasana di dalam kelompok menjadi lebih ringan.
"Bayangkan Tanivar menghadapi seekor arachnid mutasi dengan perut buncitnya," sahut yang lain sambil terkekeh. "Satu gigitan saja dan dia akan menyerah, lalu berlutut memohon ampun!"
Seorang lagi menambahkan, "Atau Edmun! Dia mungkin lebih sibuk menjaga rambutnya tetap rapi daripada mengangkat pedangnya!"
Gema tawa mereka menyebar di antara pepohonan, mengusir keheningan yang sebelumnya mendominasi perjalanan mereka. Di tengah suara riuh itu, Alcard hanya tersenyum tipis, membiarkan mereka menikmati momen kebebasan ini. Ia tahu, di balik candaan dan tawa mereka, tersembunyi luka dan kelelahan yang tak terlihat. Hidup sebagai seorang outcast bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja, tetapi mereka telah menemukan cara untuk bertahan—dan salah satunya adalah dengan menciptakan tawa di tengah penderitaan.
Matanya menyapu wajah-wajah di sekelilingnya. Beberapa dari mereka masih terlalu muda untuk menghadapi dunia yang begitu kejam. Wajah-wajah yang dulunya mungkin milik petani, pedagang, atau bahkan mantan prajurit kini menampilkan keuletan yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah kehilangan segalanya. Ia teringat saat pertama kali tiba di The Wall, bagaimana hidupnya terasa seperti hukuman yang tiada akhir. Namun kini, melihat orang-orang ini, ia menyadari bahwa para outcast telah menjadi lebih dari sekadar kelompok orang buangan. Mereka telah berubah menjadi keluarga—komunitas yang memahami satu sama lain lebih dari siapa pun.
"Lucu juga," pikir Alcard sambil menatap ke depan, "betapa penderitaan bisa menciptakan ikatan yang lebih kuat daripada darah."
Di belakangnya, terdengar bisikan dari dua outcast yang berbicara dengan nada pelan, tapi cukup jelas untuk didengarnya. "Kalau dipikir-pikir, kita ini seperti prajurit bayangan," ujar salah satu dari mereka. "Dunia membuang kita, tapi kita masih bertarung untuk menyelamatkan mereka. Ironis, bukan?"
Yang lainnya menjawab dengan nada datar, meskipun terselip humor di dalamnya. "Setidaknya kita punya kebebasan. Tidak ada yang memberi perintah pada kita selain Oldman, bukan?"
Alcard tetap diam, tetapi dalam hatinya, ia merasa lega. Meski hidup mereka penuh dengan ketidakpastian dan bahaya, para outcast ini telah menemukan cara untuk menerima nasib mereka tanpa harus tunduk pada kebencian dan keputusasaan. Mereka telah memilih untuk terus berjuang, bukan demi kerajaan yang telah membuang mereka, tetapi demi satu sama lain. Dan bagi Alcard, itu lebih dari cukup.
Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar hutan mengisi paru-parunya. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya menikmati momen ini—suara canda, tawa, dan rasa kebersamaan yang jarang mereka dapatkan. Di dalam pikirannya, ia tahu bahwa perang besar masih menunggu di depan, dan kebersamaan ini mungkin tidak akan bertahan lama. Tapi untuk saat ini, kebahagiaan kecil ini cukup untuk membuatnya merasa bahwa semua ini masih berharga.
"Setidaknya kita masih punya ini," gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia lalu memacu kudanya sedikit lebih cepat, mendekati barisan depan, memastikan bahwa ia tetap berada di posisi untuk mengawasi mereka semua.
Alcard tahu bahwa tidak ada perjalanan yang berlangsung selamanya dalam damai, terlebih di dunia yang penuh dengan pengkhianatan dan perang. Ia juga tahu bahwa tidak mungkin menjaga mereka semua tetap hidup dalam pertempuran melawan monster mutasi atau musuh yang lebih besar. Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk menikmati kebersamaan yang singkat ini—sebuah pengingat bahwa di balik semua kegelapan, masih ada cahaya kecil yang bisa mereka pegang erat.
****
Di bawah cahaya bulan yang samar, Alcard melangkah perlahan menjauh dari lingkaran api unggun tempat para outcast berkumpul. Malam semakin larut, udara dingin merayap melalui dedaunan, menyelinap ke dalam pakaiannya, namun bukan itu yang membuat tubuhnya terasa berat. Dalam genggamannya, sebuah kantong kecil berisi fragment ungu, benda yang telah menjadi beban bagi pikirannya sejak pertama kali ia menemukannya di menara Govenren. Langkahnya terhenti di bawah sebuah pohon tua dengan akar-akar besar yang menjalar di atas tanah, seolah menggenggam bumi dengan kokoh. Pohon itu tampak seperti penjaga kuno, menyaksikan perjalanan waktu tanpa suara, menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya.
Tanpa membuang waktu, Alcard berlutut dan mulai menggali tanah dengan tangannya. Gumpalan tanah yang dingin dan lembap terangkat sedikit demi sedikit, sementara pikirannya terus berputar. Ia tahu bahwa fragment ini bukan sekadar benda mati, melainkan sesuatu yang memiliki dampak lebih besar dari yang bisa dibayangkan kebanyakan orang. Ia telah merasakan sendiri bagaimana kekuatan fragment itu nyaris menghancurkan mentalnya, mengubahnya menjadi seseorang yang bahkan ia sendiri hampir tidak kenali. Jika ia saja nyaris kalah oleh fragment ini, bagaimana dengan orang lain? Bagaimana jika jatuh ke tangan seseorang yang tak memiliki ketahanan mental yang cukup?
Saat lubang itu cukup dalam, Alcard memandangi kantong di tangannya, merasakan beratnya keputusan yang harus ia buat. "Aku tak punya pilihan lain," bisiknya, suaranya tenggelam dalam gemerisik dedaunan yang tertiup angin malam. Ia menaruh kantong itu di dalam lubang, menatapnya sejenak, seolah menilai apakah keputusannya ini benar. Dengan gerakan mantap, ia mulai menutupnya kembali, meratakan tanah dan menyamarkan bekas galian, memastikan tidak ada tanda yang mencurigakan. "Setidaknya, untuk saat ini, kau tidak akan menjadi ancaman," lanjutnya, berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada fragment itu.
Setelah memastikan semuanya tersembunyi dengan baik, Alcard berdiri dan menghela napas panjang. Dengan langkah tenang, ia berjalan kembali menuju tempat para outcast berkumpul, mengikuti suara tawa dan percakapan yang semakin jelas terdengar. Api unggun masih menyala terang, cahaya jingganya menari-nari di wajah-wajah yang dipenuhi semangat dan kehangatan. Beberapa outcast tengah mengunyah roti kering, sementara yang lain bercanda, menikmati malam yang langka tanpa tekanan pertempuran atau bahaya yang mengintai.
"Kalau monster punya akal seperti kita, mereka pasti tidak akan pernah mencoba mendekati para outcast. Itu akan jadi keputusan paling bodoh dalam hidup mereka!" seru salah satu dari mereka dengan nada penuh humor.
Pernyataan itu langsung memicu gelak tawa di antara mereka. "Benar!" sahut yang lain. "Tapi aku yakin, kalau ada lord pengecut seperti Tanivar yang harus menghadapi goblin, dia akan lari lebih cepat daripada kudanya sendiri!"
Tawa mereka semakin keras, bergema di antara pepohonan hutan besar Agrovarnin. Suasana yang ringan dan penuh keakraban ini sejenak mengusir kegelapan yang terus membayangi pikiran Alcard. Ia duduk di pinggiran lingkaran, hanya tersenyum tipis mendengar guyonan mereka. Sesaat, ia merasa seperti kembali ke masa-masa sebelum semua kekacauan di Jovalian terjadi, saat hidupnya masih memiliki makna yang lebih sederhana.
Namun, lamunannya buyar ketika seorang outcast muda menoleh ke arahnya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Bagaimana menurutmu, Alcard?" tanyanya. "Menurutmu, monster apa yang paling sulit untuk dihadapi?"
Obrolan yang tadinya riuh seketika mereda. Semua mata kini tertuju padanya, menunggu jawaban. Alcard tetap diam sejenak, menatap nyala api yang berkedip-kedip sebelum akhirnya menjawab dengan nada yang lebih dalam dan serius, "Orc mutasi di Gunung Orcal."
Keheningan mendadak menyelimuti kelompok itu. Gelak tawa yang sebelumnya menggema kini lenyap, digantikan oleh ekspresi serius. Beberapa outcast muda tampak kebingungan, sementara para senior menunjukkan ekspresi tegang, seolah kenangan buruk dari kata-kata itu langsung kembali menghantui mereka.
"Orc mutasi?" salah seorang pemula bertanya ragu, suaranya hampir bergetar. "Aku pikir mereka sudah punah? Bagaimana bisa mereka masih ada?"
Alcard tidak segera menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada api unggun, seolah nyala itu membawanya kembali ke masa lalu. Ia teringat medan perang yang dingin dan penuh darah, bagaimana ia pernah menganggap enteng ancaman itu, bagaimana keputusannya yang salah membuat banyak orang mati sia-sia.
Dulu, ia berpikir bahwa orc mutasi di Gunung Orcal tidak berbeda dengan yang mereka hadapi di hutan selatan—monster ganas yang cukup mudah diprediksi. Namun, kenyataannya jauh lebih buruk. Ia dan pasukannya tidak hanya bertemu dengan makhluk buas, tetapi dengan sesuatu yang jauh lebih cerdas, lebih kuat, dan lebih kejam daripada yang bisa mereka bayangkan. Mereka tidak hanya bertarung dengan insting, tetapi dengan strategi. Dan dia telah membayar harga mahal karena meremehkan mereka.
Sambil mengeratkan genggaman tangannya di lutut, Alcard akhirnya berbicara dengan suara yang lebih tenang, namun penuh makna. "Mereka belum punah," katanya singkat. "Dan mereka tidak seperti yang kau bayangkan."
Tatapan para outcast yang mendengarnya berubah. Beberapa terlihat penasaran, sementara yang lain tampak lebih waspada. Namun satu hal yang pasti—tidak ada lagi yang menganggap enteng percakapan ini. Api unggun masih menyala, tetapi suasana di antara mereka telah berubah. Malam yang sebelumnya terasa ringan kini dipenuhi dengan kesadaran bahwa bahaya yang lebih besar masih mengintai di tempat yang mungkin tak mereka duga.
****
Api unggun berderak perlahan, cahayanya memantulkan bayangan panjang di wajah-wajah para outcast yang berkumpul dalam lingkaran. Udara malam di hutan besar Agrovarnin terasa lebih dingin, seolah menyesuaikan diri dengan cerita yang baru saja disampaikan Alcard. Tawa dan canda yang sebelumnya menghangatkan suasana kini lenyap, digantikan oleh keheningan yang menekan. Mata mereka, yang tadinya berbinar oleh obrolan ringan, kini dipenuhi keseriusan. Kata-kata Alcard tentang orc mutasi Gunung Orcal menggantung di udara seperti kabut tebal, menyelimuti benak setiap orang yang duduk di sekeliling api.
Alcard menghela napas perlahan, pandangannya tetap tertuju pada api yang berkedip-kedip di hadapannya. "Orc biasa mungkin sudah jarang terlihat, terutama di luar wilayah selatan," katanya, suaranya dalam dan berat. "Banyak yang percaya mereka telah punah, menjadi sekadar legenda yang diceritakan oleh para petualang. Namun kenyataan jauh lebih buruk. Mereka tidak punah. Mereka beradaptasi, dan perubahan itu membuat mereka menjadi lebih mematikan." Ia membiarkan kata-katanya mengendap, membiarkan para pendengarnya mencerna makna di baliknya sebelum ia melanjutkan. "Dan aku pastikan, orc mutasi Gunung Orcal jauh lebih buruk dibandingkan orc mutasi di tempat lain, atau bahkan orc biasa."
Beberapa outcast saling bertukar pandang, ekspresi mereka menampilkan kombinasi antara kewaspadaan dan rasa ingin tahu. Seorang pemuda yang duduk di pinggir lingkaran akhirnya mengangkat suaranya. "Jadi, orc mutasi di Gunung Orcal benar-benar ada?" tanyanya dengan nada ragu. "Apa yang membuat mereka begitu berbeda dari yang lain?"
Alcard mengangguk pelan. "Bukan hanya berbeda, mereka jauh lebih berbahaya," jawabnya. "Orc biasa hanya bertindak berdasarkan naluri dan kekuatan mentah. Mereka bertarung dengan brutal, tanpa strategi yang jelas. Tapi yang ada di Gunung Orcal? Mereka lebih dari sekadar makhluk buas. Mereka mampu berpikir, merencanakan, dan menyesuaikan diri dengan cepat terhadap situasi yang mereka hadapi." Ia berhenti sejenak, matanya menyapu wajah-wajah di sekitarnya, memastikan bahwa mereka mengerti betapa seriusnya pernyataannya.
Seorang outcast muda, yang tampaknya masih pemula, memberanikan diri untuk bertanya. "Tapi, Alcard… apakah mereka benar-benar lebih sulit dihadapi dibandingkan dengan ogre mutasi kepala dua?" Ia menelan ludah, sebelum menambahkan, "Para senior bilang, serangan besar ogre mutasi kepala dua adalah yang terburuk yang pernah ada."
Alcard menatapnya dengan sorot mata yang tajam, lalu menghela napas panjang. "Tidak mudah untuk membandingkan mereka," katanya perlahan. "Ogre mutasi kepala dua memang mengerikan dalam hal kekuatan fisik. Satu pukulan mereka bisa menghancurkan gerbang The Wall, meremukkan tulang manusia seolah-olah itu hanyalah ranting kering. Tapi orc mutasi memiliki sesuatu yang tidak dimiliki ogre—akal yang cerdas. Mereka tahu kapan harus menyerang dan kapan harus mundur. Mereka bisa membaca kelemahan musuh, memanfaatkan medan pertempuran, dan bahkan memasang jebakan."
Para outcast saling melirik satu sama lain, beberapa di antara mereka tampak mulai memahami mengapa Alcard begitu serius tentang ancaman ini. Seorang pemuda dengan rambut hitam acak-acakan bergumam pelan, suaranya hampir tenggelam dalam bunyi kayu yang terbakar. "Jadi… mereka bukan hanya sekadar monster biasa?" gumamnya. "Mereka lebih seperti prajurit?"
Alcard mengalihkan tatapannya padanya, lalu menggeleng pelan. "Prajurit?" ulangnya, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Tidak. Mereka lebih dari itu. Mereka adalah pemimpin." Ia menatap api unggun, matanya seperti melihat sesuatu yang tak terlihat oleh yang lain. "Setiap orc mutasi yang cukup kuat untuk bertahan di Gunung Orcal akan menjadi pemimpin bagi yang lainnya. Mereka tidak hanya sekadar bertahan hidup, mereka berkembang. Mereka mengorganisir kelompok kecil mereka seperti pasukan yang terlatih. Dan setiap kali kita bertemu mereka, kita selalu kehilangan banyak orang."
Wajah para outcast senior menjadi lebih suram. Beberapa dari mereka mengangguk pelan, seolah mengingat cerita-cerita lama tentang misi yang gagal di Gunung Orcal. Salah satu dari mereka, seorang pria yang sudah cukup lama hidup sebagai outcast, akhirnya berbicara. "Aku pernah mendengar cerita tentang regu yang dikirim ke sana beberapa tahun lalu," katanya pelan. "Mereka tidak pernah kembali."
"Itu benar," balas Alcard, suaranya terdengar lebih berat. "Dan bukan hanya satu regu. Banyak yang telah dikirim, tetapi hanya sedikit yang kembali. Mereka yang berhasil selamat menceritakan hal yang sama—tentang orc yang bisa berbicara bahasa manusia, yang merancang strategi, dan yang selalu tahu kapan kita sedang lengah." Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Itulah sebabnya, saat kita mencari Rotrofila Root di Gunung Orcal, kita tidak boleh ceroboh. Kekuatan orc mutasi yang telah tinggal di gunung itu selama bertahun-tahun melampaui apa pun yang pernah kita hadapi sebelumnya. Jika kita tidak berhati-hati… kita mungkin tidak akan pernah kembali."
Keheningan kembali menyelimuti lingkaran. Bahkan suara api unggun yang sebelumnya terdengar biasa saja kini terdengar nyaring di tengah kesunyian itu. Beberapa outcast tampak merenung, mencoba memahami tingkat bahaya yang mereka hadapi. Beberapa lainnya menelan ludah, menyadari bahwa misi yang mereka anggap sebagai tugas sederhana bisa berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih mematikan.
Seorang pemula, mungkin mencoba meredakan ketegangan, tertawa kecil meski terdengar canggung. "Yah… setidaknya kita hanya perlu khawatir tentang ular atau serigala di sini," katanya, mencoba terdengar santai. "Itu jauh lebih baik daripada harus menghadapi orc yang bisa berbicara."
Tawa kecil menyebar, meski tidak seceria sebelumnya. Beberapa orang mencoba mengalihkan pikiran mereka dari cerita yang baru saja mereka dengar, sementara yang lain tetap tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Alcard hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ia tahu kebenaran yang lebih mengerikan menanti mereka. Mungkin, malam ini mereka masih bisa tertawa, masih bisa merasa aman di bawah cahaya api unggun. Namun, ia tahu bahwa ancaman nyata belum datang.
Misi mereka mungkin tampak sederhana di permukaan, tetapi Alcard merasakan sesuatu yang berbeda. Ada badai yang mendekat, sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan ke Gunung Orcal. Dan fragment ungu yang masih ia simpan, serta bayangan The Veil yang terus bergerak dalam kegelapan, hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Untuk saat ini, ia membiarkan mereka menikmati kedamaian sementara ini—karena mungkin, momen ini adalah keheningan terakhir sebelum badai datang melanda.
****
Api unggun terus berderak, nyala apinya menari-nari di tengah kegelapan malam, melemparkan cahaya oranye yang bergerak liar di wajah para outcast yang duduk melingkar. Mereka semua terdiam, membiarkan kata-kata Alcard menggantung di udara seperti kabut dingin yang menyusup ke dalam tulang. Wajah-wajah yang sebelumnya dipenuhi dengan canda dan tawa kini berubah menjadi serius, sebagian besar dari mereka tampak berpikir keras, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar.
Nama itu—Ragonar—bergema di benak mereka, seperti gaung yang tak kunjung mereda. Alcard mengulangi nama itu sekali lagi, suaranya nyaris berbisik, seolah menyebutnya terlalu keras bisa membawa sesuatu yang lebih mengerikan ke dalam lingkaran mereka. "Ragonar," katanya pelan, namun penuh makna. "Naga hitam yang selama ini kita anggap hanya sebagai legenda... dia nyata. Dan dia masih ada di luar sana."
Beberapa dari mereka menelan ludah, sebagian lain saling bertukar pandang dengan ekspresi ragu. Salah seorang pemula, yang duduk di ujung lingkaran, akhirnya mengangkat suaranya dengan nada hati-hati. "Tapi... jika dia memang nyata, mengapa tidak ada yang pernah melihatnya selama bertahun-tahun? Bagaimana bisa makhluk sebesar itu tetap tersembunyi?"
Alcard menatapnya dengan tatapan tajam, lalu mengalihkan pandangannya ke api unggun yang berkobar di hadapannya. "Karena dia tidak perlu menampakkan dirinya," jawabnya dengan nada berat. "Ragonar bukan seperti monster biasa yang berkeliaran tanpa tujuan. Dia adalah makhluk dengan kecerdasan yang menyaingi semua makhluk. Dan yang lebih buruk, dia seperti tak memiliki kesabaran. Dia hanya menunggu saat yang tepat."
Seorang outcast senior, pria dengan bekas luka panjang di pelipisnya, mengangguk perlahan. "Aku pernah mendengar cerita lama," katanya dengan suara parau. "Tentang bagaimana Ragonar berperan dalam Battle of Last Hope. Tentang bagaimana dia mengeluarkan raungan yang begitu kuat hingga membuat pasukan manusia dan dwarf kehilangan keberanian mereka dalam sekejap." Ia menghela napas dalam-dalam, lalu melanjutkan. "Mereka bilang, raungan itu cukup untuk mengguncang seluruh medan perang... dan membakar setengah dari pasukan yang tersisa."
Alcard mengangguk, ekspresinya tetap dingin. "Dan setelah itu, dia tidak dikalahkan," katanya, mengoreksi. "Dia hanya memilih untuk mundur."
Keheningan yang lebih berat menyelimuti kelompok itu. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang mencoba mencari celah untuk menenangkan diri dengan candaan seperti sebelumnya. Bahkan suara angin yang berbisik melalui dedaunan hutan terasa sepi, seolah alam pun enggan mengganggu pembicaraan mereka.
Akhirnya, seorang outcast muda, dengan wajah yang masih dipenuhi semangat dan keberanian seorang pemula, mengangkat tangannya dengan ragu-ragu. "Jadi... The Wall dibangun bukan hanya untuk menghalangi monster biasa?" tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar. "Apakah tembok itu dibuat untuk menghentikan sesuatu sebesar... Ragonar?"
"Ya," jawab Alcard tanpa ragu. "The Wall bukan hanya sekadar penghalang bagi makhluk-makhluk buas dari selatan. Ia adalah benteng terakhir, peringatan yang diciptakan untuk mengingatkan dunia bahwa ada sesuatu di luar sana yang tidak boleh dilepaskan. Dan Ragonar adalah salah satu alasan utama mengapa The Wall dibangun."
Salah satu outcast yang lebih tua, pria dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih, bersandar ke belakang dengan ekspresi yang dipenuhi kecemasan. "Jika naga itu bangkit lagi..." katanya dengan nada lelah, "kita tak punya harapan. Bahkan The Wall pun mungkin tak cukup untuk menghentikannya."
Kata-kata itu menggantung di udara, berat seperti timbunan batu yang menekan dada mereka semua. Tidak ada yang membantahnya. Tidak ada yang mencoba memberikan harapan kosong. Mereka semua tahu, jika Ragonar benar-benar bangkit, Middle Earth akan menghadapi sesuatu yang lebih buruk dari perang atau invasi monster biasa.
Namun, Alcard tidak membiarkan rasa takut itu sepenuhnya menguasai mereka. Ia mengalihkan pandangannya dari api unggun dan menatap mereka satu per satu, suaranya lebih tenang, namun tetap penuh kewaspadaan. "Kita tidak boleh tenggelam dalam ketakutan," katanya. "Selama kita tidak mendengar kabar tentang Ragonar meninggalkan Gunung Orcal, kita masih punya waktu. Tapi kita harus tetap berjaga. Jika dia benar-benar kembali... maka kita harus siap menghadapi sesuatu yang bahkan dalam mimpi buruk pun sulit dibayangkan."
Suasana tetap tegang, tetapi salah satu pemula, mungkin mencoba meredakan ketegangan yang terlalu mencekik, tertawa kecil dan berkata, "Yah... kalau itu benar-benar terjadi, setidaknya aku bisa bilang bahwa aku sudah mendengar cerita ini langsung dari Alcard sebelum semuanya berakhir."
Tawa kecil itu menyebar, meskipun terdengar tipis dan dipaksakan. Bahkan mereka yang masih terlalu muda untuk memahami betapa seriusnya ancaman ini bisa merasakan beban yang menggantung di udara. Mungkin mereka berharap dengan sedikit humor, mereka bisa menepis ketakutan yang merayap masuk ke dalam hati mereka.
Alcard hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ancaman itu nyata. Ragonar bukan sekadar cerita yang diceritakan untuk menakuti anak-anak atau mitos yang berkembang dari generasi ke generasi. Naga itu masih ada. Masih menunggu. Masih mengawasi.
Dan suatu hari, ketika waktunya tiba, dunia akan menghadapi kengerian yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Api unggun terus berkobar, memancarkan cahaya yang sedikit mengusir kegelapan di sekitar mereka. Namun, malam itu, meskipun api menyala terang, setiap outcast yang duduk di lingkaran itu membawa pulang sesuatu yang jauh lebih menakutkan dari sekadar cerita sebelum tidur—kesadaran bahwa dunia yang mereka kenal jauh lebih gelap dan penuh rahasia dari yang mereka bayangkan sebelumnya.
****