Bab 28

Fajar perlahan menyingsing di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang mulai mengusir sisa-sisa kegelapan malam. Udara pagi yang menusuk kulit terasa begitu tajam, membawa embusan angin dingin yang menerpa wajah-wajah lesu para pengunjung yang meninggalkan Benteng Govenren dengan langkah berat. Festival yang seharusnya berlangsung selama seminggu penuh kini terpaksa dihentikan lebih awal, akibat kebakaran besar yang melahap gudang pangan semalam. Suasana yang tadinya penuh dengan kegembiraan kini berganti dengan kekecewaan yang jelas tergambar di wajah banyak orang. Beberapa dari mereka menggerutu, menyuarakan keluhan dengan suara pelan, sementara yang lain hanya diam, menerima kenyataan dengan wajah muram.

Di antara kerumunan itu, Alcard berjalan tanpa suara, tubuhnya sedikit membungkuk seakan terbebani oleh sesuatu yang tak terlihat. Sorot matanya kosong, tak ada percikan emosi yang biasanya menyala di dalamnya. Wajahnya pucat, dan meskipun ia bergerak mengikuti arus orang-orang yang meninggalkan benteng, ada jarak yang jelas memisahkannya dari mereka. Ia berjalan bersama mereka, tetapi terasa begitu terasing, seolah-olah dirinya hanyalah bayangan samar yang terseret oleh gelombang manusia di sekelilingnya.

Saat akhirnya mencapai gerbang utama benteng, sekumpulan penjaga yang bertugas di pintu masuk menatapnya dengan pandangan penuh penghinaan. Salah satu dari mereka, seorang pria berbadan besar dengan suara keras, melontarkan komentar sinis yang disengaja agar terdengar oleh siapa pun yang berada di dekatnya.

"Lihat siapa yang keluar dari benteng ini! Outcast tua itu bahkan lebih mirip mayat hidup daripada manusia. Apa dia baru saja menggali kuburannya sendiri?"

Tawa kasar dari para penjaga lain segera menyusul, bergema di udara pagi yang dingin. Mereka tampak menikmati momen itu, memanfaatkan kesempatan untuk merendahkan pria yang bagi mereka tidak lebih dari seorang buangan.

Namun, Alcard tidak menoleh. Ia tidak memberikan reaksi apa pun, seolah-olah kata-kata mereka hanyalah bisikan angin yang lewat tanpa bekas. Tatapannya tetap lurus ke depan, langkahnya tidak berubah. Penghinaan semacam ini sudah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun. Tidak ada yang baru. Tapi pagi ini, ada sesuatu yang jauh lebih berat membebani pikirannya. Bukan ejekan mereka, bukan kebencian mereka—melainkan kenangan yang terus kembali, menghancurkan setiap usaha untuk melupakannya.

Begitu melewati gerbang, Alcard mendekati kudanya yang ditambatkan di luar benteng. Kuda hitam itu berdiri dengan tenang, tubuhnya yang kokoh sedikit bergetar oleh dinginnya udara pagi. Alcard mengulurkan tangan, menepuk leher hewan itu dengan lembut, merasakan kehangatan yang sedikit menenangkannya. Tanpa banyak ragu, ia naik ke atas pelana, meskipun setiap gerakannya terasa berat, seakan tubuhnya sendiri menolak untuk bergerak.

Tangan kanannya menggenggam kendali dengan lemah, sementara tangan kirinya menyentuh pinggangnya secara refleks. Di sana, tersembunyi di balik lapisan kain, sebuah kantong kecil berisi fragment yang ia curi dari kedalaman benteng. Ia masih memilikinya. Itu adalah satu-satunya kepastian yang bisa ia pegang saat ini.

Saat kuda mulai berjalan, Alcard menarik napas panjang, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang menggerogoti dirinya sejak semalam. Namun, sekeras apa pun ia berusaha, bayangan masa lalu terus menghantuinya. Ia terjebak dalam kenangan yang selalu kembali, memaksanya untuk mengingat saat-saat terburuk dalam hidupnya.

Tidurnya semalam tidak membawa ketenangan, hanya menghadirkan serangkaian mimpi buruk yang terlalu nyata. Ia kembali melihat istrinya berdiri di atas panggung eksekusi, wajahnya penuh air mata, tetapi tetap memancarkan ketegaran yang membuat hatinya semakin hancur. Ia kembali mendengar suara putrinya yang menangis, memanggil namanya dengan ketakutan yang menusuk ke dalam jiwanya.

"Ayah! Tolong aku!"

Suara itu menggema di benaknya, terus berulang seperti nyanyian kematian yang tidak bisa ia hentikan. Ia bisa merasakan lagi ketidakberdayaan yang menghancurkannya, bisa melihat lagi bagaimana tali eksekusi itu perlahan mengencang, bisa menyaksikan kembali bagaimana kehidupan mereka direnggut darinya tanpa belas kasihan.

Alcard memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikirannya, tetapi itu hanya membuat kenangan itu semakin jelas. Rasa sakitnya begitu dalam, mencengkeram dadanya dengan kuat, membuatnya sulit bernapas.

Saat ia membuka mata kembali, sinar matahari pagi telah menembus celah-celah pepohonan di jalur yang ia lalui. Bayangan pohon-pohon yang menjulang tinggi bergerak lembut diterpa angin, menciptakan pemandangan yang seharusnya indah. Namun, baginya, cahaya itu tidak membawa kehangatan. Dunia tetap terasa dingin, meskipun pagi telah datang.

Langkah kudanya terus membawa dirinya menjauh dari benteng, menuju perjalanan yang tak bisa dihindari. Ia tahu bahwa dirinya tidak memiliki kemewahan untuk menyerah pada masa lalu. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia lakukan.

Fragment yang tersimpan di kantongnya bukan hanya sekadar benda, melainkan harapan terakhir untuk mencegah kekacauan yang lebih besar. Jika fragment ini jatuh ke tangan The Veil, dunia akan menghadapi ancaman yang lebih buruk dari apa pun yang pernah ia bayangkan.

Itulah satu-satunya alasan ia masih bergerak. Itulah satu-satunya alasan ia belum menyerah.

Namun, meski pikirannya dipenuhi oleh misi yang harus ia jalankan, ia tidak bisa menipu dirinya sendiri. Setiap langkah kudanya, setiap tarikan napas yang ia ambil, semuanya masih dihantui oleh bayangan masa lalu.

Ia tidak hanya melawan musuh yang nyata di luar sana. Ia juga bertarung dengan dirinya sendiri—melawan kenangan, melawan rasa bersalah, melawan kehilangan yang tidak pernah benar-benar bisa ia terima.

Dan meskipun ia terus berjalan, meskipun ia berusaha untuk tetap tegak, ia tahu bahwa sebagian dari dirinya akan selalu tertinggal di masa lalu. Di tempat itu, di hari itu, bersama mereka yang telah diambil darinya selamanya.

****

 

Langit senja mulai memudar, digantikan oleh gelap yang merayap perlahan. Cahaya matahari terakhir tersisa sebagai semburat jingga di cakrawala, sebelum akhirnya hilang di balik cakupan bayangan malam. Angin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang mulai mendingin. Alcard, dengan napas yang stabil namun penuh kelelahan, menarik tali kudanya, mengarahkan langkahnya ke jalur kecil yang tersembunyi di antara pepohonan rimbun.

Perjalanan menuju hutan besar Agrovarnin masih panjang, tetapi tubuhnya mulai menuntut istirahat. Jalan yang ia tempuh semakin menyempit, dikelilingi oleh batang-batang pohon besar yang menjulang tinggi, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi langit. Keadaan ini memberinya keuntungan—tempat yang cukup tersembunyi untuk beristirahat tanpa menarik perhatian.

Tanpa ragu, ia menghentikan kudanya di bawah pohon tua yang kokoh, bayangannya menyatu dengan gelapnya dedaunan. Alcard turun dari pelana dengan gerakan lambat, merasakan ketegangan yang masih mengikat otot-ototnya. Dengan cekatan, ia mengikat tali kudanya di batang pohon, memastikan hewan itu tetap diam dan terlindung.

Perlahan, ia melepas kantung perbekalan dari bahunya, meletakkannya di tanah sebelum mendirikan api kecil dengan ranting-ranting kering yang ia kumpulkan di sekitar. Api itu menyala redup, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menimbulkan cahaya mencolok yang bisa menarik perhatian yang tidak diinginkan. Sementara api berkobar pelan, Alcard menyesap sedikit air dari kantung kulitnya, merasakan cairan dingin mengalir melewati tenggorokannya yang kering.

Hutan besar Agrovarnin, tempat yang telah dipilih Oldman sebagai lokasi strategis untuk penyergapan, masih jauh di depan. Wilayah itu dikenal sebagai salah satu hutan terbesar di Middle Earth, penuh dengan pepohonan tua yang akar-akarnya menembus tanah seperti cakar raksasa. Agrovarnin menyimpan banyak cerita dari zaman dahulu—kisah tentang peradaban yang hilang, reruntuhan dari Tower of Jotun yang legendaris, dan misteri yang tak pernah terungkap. Namun, bagi Alcard, semua itu tidak lebih dari mitos yang tidak ada hubungannya dengan misinya. Malam ini, satu-satunya yang ia butuhkan adalah sedikit ketenangan, meskipun ia tahu bahwa kedamaian tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.

Bersandar pada batang pohon dengan pedangnya tetap berada dalam jangkauan, Alcard menutup matanya sejenak, membiarkan rasa lelah meresap ke dalam tubuhnya. Namun, seperti yang sudah ia duga, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Gelap malam selalu membawa sesuatu yang lebih dari sekadar kegelapan—ia membawa kenangan, luka lama, dan bayangan yang tak pernah benar-benar pergi.

Dalam tidur yang gelisah, pikirannya membawanya kembali ke masa lalu, ke hari-hari awalnya sebagai seorang outcast. Ia kembali ke medan pertempuran di depan The Wall, di mana udara dingin bercampur dengan bau darah dan kematian. Monster-mutasi besar menyerang dari segala arah, mencabik-cabik siapa pun yang terlalu lambat untuk menghindar. Jeritan pertempuran memenuhi udara, suara prajurit yang putus asa bercampur dengan raungan makhluk-makhluk mengerikan yang tak kenal belas kasihan.

Ia bisa melihat wajah-wajah rekan barunya—orang-orang yang dibuang ke The Wall seperti dirinya, dipaksa bertahan hidup dalam kondisi yang mustahil. Mereka muda, beberapa bahkan terlalu muda untuk memahami kekejaman dunia ini. Awalnya mereka memiliki harapan, namun seiring waktu, harapan itu berubah menjadi ketakutan.

"Kenapa kita memilih hidup seperti ini?" suara seorang pemuda terdengar di tengah kekacauan, nada suaranya dipenuhi keputusasaan. "Seharusnya kita mati saja sejak awal! Sekarang kita hanya menjadi umpan bagi monster-monster ini!"

Alcard ingin menjawab, ingin memberi mereka alasan untuk terus berjuang, tetapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, kengerian mulai terjadi.

Satu per satu, mereka jatuh. Tubuh mereka dicabik-cabik, darah mereka mengalir membasahi salju putih yang kini berubah menjadi lautan merah. Salah satu dari mereka, seorang rekrutan muda yang baru saja menerima bloody potion pertamanya, menjerit kesakitan sebelum tubuhnya hancur oleh cakaran monster yang bahkan tak ia lihat datang.

Mimpi itu begitu nyata, begitu brutal, hingga ia bisa merasakan kembali darah yang mengotori wajah dan tangannya. Ia bisa mendengar suara pedang yang menebas daging, bisa merasakan beban tubuh-tubuh yang tak lagi bernyawa menimpa dirinya.

Alcard terbangun dengan napas tersengal, matanya terbuka lebar menatap langit malam yang gelap. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, dadanya naik-turun dengan cepat. Ia butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ia tidak lagi berada di medan pertempuran. Tidak ada monster, tidak ada darah, tidak ada mayat rekan-rekannya. Hanya hutan sunyi, angin yang berbisik di antara dedaunan, dan sisa-sisa api unggun yang mulai padam.

Ia mengangkat tangannya, menyentuh wajahnya yang masih basah, lalu mengalihkan pandangan ke pedangnya yang tergeletak di samping. Ia meraih gagangnya dengan erat, seolah pedang itu adalah satu-satunya hal yang bisa memberinya pegangan dalam dunia yang penuh dengan bayangan kelam.

Napasnya perlahan melambat, tetapi perasaan hampa tetap tertinggal.

"Berapa banyak lagi yang harus mati?" gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar oleh dirinya sendiri. "Berapa lama lagi aku bisa terus berjalan seperti ini?"

Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menelan kata-katanya. Malam terasa semakin panjang, dan meskipun ia tahu bahwa tidur akan kembali membawa mimpi buruk, ia tetap memaksa dirinya untuk memejamkan mata.

Perjalanan menuju Agrovarnin masih panjang, dan di sana, sesuatu yang lebih besar sudah menantinya. Rahasia yang belum terungkap, bahaya yang belum terbayangkan.

Namun sebelum menghadapi itu semua, ia harus bertahan melalui malam ini—satu malam lagi dalam bayang-bayang yang tak pernah benar-benar meninggalkannya.

****

 

Malam merayap perlahan di langit, membawa gelap yang semakin pekat seiring dengan redupnya cahaya senja. Udara di hutan besar Agrovarnin mulai terasa dingin, menggigit setiap inci kulit yang terkena embusan angin malam. Di tengah perjalanan panjangnya, Alcard menarik tali kudanya, menghentikan langkahnya di sebuah bukit kecil yang tersembunyi di antara pepohonan. Ranting-ranting kering berderak di bawah sepatu botnya saat ia turun dari pelana dengan gerakan berat, seolah tubuhnya sendiri sudah kelelahan menanggung beban yang tak terlihat.

Sudah berhari-hari ia melakukan perjalanan tanpa henti, tetapi bukannya semakin ringan, beban di dadanya justru semakin bertambah. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui setiap malamnya, mencabik-cabik sisa keberanian yang ia miliki. Begitu ia memejamkan mata, bayangan istrinya yang tergantung di tiang eksekusi kembali hadir, begitu nyata hingga ia bisa mendengar suara napas terakhirnya. Tangisan putrinya terus menggema di benaknya, suaranya penuh ketakutan, memanggil namanya dengan putus asa. Dan seperti biasa, dalam mimpi itu, ia selalu terjebak dalam jeruji besi, tak bisa bergerak, tak bisa menyelamatkan mereka.

Alcard mendudukkan dirinya di atas batu besar di tepi jalan setapak, membiarkan punggungnya bersandar pada permukaan kasar yang dingin. Pandangannya kosong menatap api unggun kecil yang berkedip-kedip lemah di depannya. Cahaya oranye dari nyala api memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat, tetapi ia tak merasakan kehangatan sedikit pun.

Pedangnya tergeletak di sampingnya, tak tersarung, bilahnya memantulkan cahaya samar dari api unggun. Biasanya, senjata itu adalah bagian dari dirinya, perpanjangan dari tangannya, alat yang melindunginya di dunia yang kejam ini. Namun malam ini, pedang itu terasa begitu asing, begitu tak berguna, seolah mencerminkan hatinya yang hampa.

"Hidup ini… terlalu berat," bisiknya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam desir angin yang berhembus melewati dedaunan. "Aku sudah kehilangan segalanya. Untuk apa aku terus berjalan?"

Napasnya berat, dadanya terasa sesak. Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kenangan yang terus menghantuinya. Ia melihat istrinya tersenyum lembut kepadanya, putrinya berlari kecil dengan tawa riang, suara-suara yang dulu membuatnya merasa berarti. Namun kini, semua itu tak lebih dari bayangan samar yang perlahan memudar, berubah menjadi kehampaan yang menusuk.

Tangannya gemetar saat ia meraih pedangnya, jemarinya melingkari gagang yang terasa dingin di telapak tangannya. Dengan gerakan lambat, ia mengangkatnya, ujungnya berkilat dalam cahaya api yang redup. Ia menatap bilahnya yang tajam, menelusuri pantulan wajahnya sendiri yang tampak begitu kosong.

"Mungkin... ini saatnya," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia mengarahkan ujung pedang ke lehernya sendiri, merasakan dinginnya baja di kulitnya. Napasnya semakin berat, matanya terpejam rapat. "Aku akan bergabung dengan mereka. Aku akan meminta maaf… dan akhirnya, aku akan merasa damai."

Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, sesuatu yang lembut menyentuh bahunya. Sentuhan yang sederhana, tetapi cukup untuk membuat matanya terbuka kembali.

Di depannya, kudanya berdiri diam, tubuhnya yang kekar diterangi oleh cahaya api unggun. Hewan itu mengeluarkan dengusan kecil, mendekatkan wajahnya ke bahu Alcard, mendorongnya dengan lembut. Matanya yang gelap memancarkan sesuatu yang lebih dari sekadar insting binatang—ada ketulusan, ada kepedulian.

Alcard terdiam, membiarkan sentuhan itu membuyarkan pikirannya yang kacau. Kuda itu tetap diam di tempatnya, seolah memahami apa yang baru saja ingin dilakukan tuannya. Hewan itu tak bisa berbicara, tetapi gerakannya berbicara lebih dari cukup. Ia tetap ada di sana, menemaninya, tidak pergi, tidak meninggalkannya.

Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh. Satu tetes, lalu dua, hingga pipinya basah oleh keheningan yang penuh makna. Perlahan, ia menurunkan pedangnya, membiarkan ujungnya menyentuh tanah dengan bunyi lirih.

"Kau… bahkan lebih bijak dariku," katanya dengan suara serak, disertai senyum kecil yang begitu jarang muncul di wajahnya. Ia mengulurkan tangannya, membelai kepala kudanya dengan lembut. Hewan itu tetap diam, hanya mengeluarkan dengusan pelan, menerima sentuhan tuannya dengan sabar.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alcard merasa tidak sendirian.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dadanya yang terasa sesak. "Aku bodoh… bahkan memikirkan untuk menyerah," katanya lebih kepada dirinya sendiri. "Dunia ini memang kejam, tapi menyerah tidak akan membawa mereka kembali."

Air matanya masih mengalir, tetapi kali ini, ia membiarkannya jatuh tanpa perlawanan. Bukan air mata kehancuran, tetapi pelepasan—sesuatu yang telah lama terpendam dalam dirinya. Ia menyandarkan dahinya pada kepala kudanya, membiarkan kehangatan sederhana itu menenangkan pikirannya.

"Terima kasih," bisiknya pelan, hampir seperti doa.

Setelah beberapa saat, ia akhirnya duduk kembali, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Di kejauhan, hutan besar Agrovarnin masih menanti, dengan segala misteri dan bahaya yang tersembunyi di dalamnya. Namun, di dalam hatinya, sesuatu mulai berubah.

Lukanya masih ada, kenangannya masih menghantuinya, tetapi ada sesuatu yang lain—seberkas cahaya kecil yang mulai menyelinap masuk ke dalam kegelapan yang selama ini menelannya.

Dia belum selesai.

Masih ada yang harus ia lakukan. Masih ada janji yang harus ia tepati.

Dunia mungkin telah menghancurkannya berkali-kali, tetapi selama ia masih bisa berdiri, ia akan terus berjalan.

****

 

Cahaya keemasan dari matahari pagi mulai merembes melalui celah-celah dedaunan, membasahi tanah hutan dengan kilauan lembut yang berpendar di atas embun yang masih menggantung. Udara dingin yang menggigit perlahan tergantikan oleh kehangatan pagi, tetapi di tengah semua itu, Alcard tetap berdiri diam. Matanya menatap tanah yang kini telah menutupi fragment ungu, lubang dangkal yang ia gali malam sebelumnya. Tangannya menggantung di sisi tubuhnya, dan sorot matanya kosong, seolah pikirannya masih tertahan di kegelapan yang baru saja ia lalui.

Malam sebelumnya, tubuhnya telah dipenuhi kelelahan, bukan hanya dari perjalanan panjang, tetapi juga dari pertempuran batin yang tak henti-hentinya mencabik jiwanya. Fragment ungu itu, yang semula berada dalam genggamannya, tampaknya menyimpan kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan. Setiap detik bersamanya seperti pertarungan melawan sesuatu yang tak terlihat—bayangan hitam yang merayap perlahan, menghisap sisa-sisa keberanian dan keteguhan hatinya. Keputusasaan yang mendalam, ketakutan yang tidak beralasan, dan keinginan untuk menyerah menjadi semakin kuat setiap kali ia menyentuh benda itu.

Namun, pagi ini terasa berbeda. Saat membuka mata, ia merasakan sesuatu yang aneh—beban itu, meski belum sepenuhnya hilang, terasa lebih ringan. Udara pagi yang dingin tidak lagi terasa sesak, dan dadanya tidak lagi penuh dengan tekanan yang menghancurkan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia tidak merasa tenggelam dalam kegelapan. Dengan ragu, ia menyentuh dadanya, lalu mengangkat kepalanya, menatap langit biru yang cerah di atasnya.

"Jadi... ini semua berasal dari fragment itu," gumamnya pelan, suaranya hampir larut dalam kesunyian pagi. Ia kembali melirik tanah di depannya, tempat ia mengubur benda itu semalam, mencoba mencerna semua yang telah terjadi. Ada sesuatu yang begitu mengerikan tentang kekuatan fragment itu—sesuatu yang tidak hanya mempengaruhi tubuh, tetapi juga menembus jauh ke dalam jiwa, merusak dari dalam. Mimpi-mimpi buruk yang membelenggunya, rasa takut yang begitu nyata, serta dorongan untuk mengakhiri segalanya—semua itu bukan hanya berasal dari pikirannya sendiri. Itu adalah pengaruh fragment.

Alcard menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih berputar. "Fragment ini bukan sekadar artefak kuno," katanya dengan suara lebih berat. "Aku bisa mengerti kenapa Avros menyembunyikannya. Jika orang yang mentalnya tidak cukup kuat memegang ini terlalu lama... mereka akan hancur sebelum sempat memahami apa yang mereka pegang. Dan jika The Veil mendapatkannya… semua akan berakhir."

Ia menutup matanya sejenak, mengingat kembali setiap detik ketika ia bersentuhan dengan fragment itu. Rasa sakitnya begitu nyata, seolah ia dipaksa menghadapi segala ketakutan dan kesalahannya dalam bentuk paling brutal. Ia akhirnya mengerti kenapa banyak pihak menginginkan fragment ini. The Veil, Avros, dan mungkin masih banyak lagi yang mengetahui keberadaan benda ini. Tapi, ia juga sadar—fragment ini bukan hanya sekadar peninggalan kuno dengan kekuatan besar. Ia juga bisa menjadi senjata yang menghancurkan siapa pun yang tidak cukup kuat untuk mengendalikannya.

Perlahan, Alcard berlutut di dekat lubang yang telah ia gali sebelumnya. Dengan hati-hati, ia mulai menyingkirkan tanah yang menutupi fragment. Saat ujung prisma ungu itu mulai tampak, sinar matahari pagi menyentuh permukaannya, menciptakan kilauan tajam yang hampir tidak nyata. Ia mengangkat benda itu perlahan, tetap membungkusnya dengan kain tebal agar tidak bersentuhan langsung dengan kulitnya. Bahkan sekarang, meski tidak menyentuhnya langsung, ia masih bisa merasakan energi halus yang bergetar dari dalamnya.

Tatapannya penuh dengan emosi yang bercampur—ketakutan, kemarahan, kewaspadaan, dan mungkin sedikit keingintahuan. "Kau tidak akan menghancurkanku," katanya lirih, suaranya nyaris seperti bisikan. Ia menatap fragment itu seolah sedang berbicara dengan makhluk hidup yang mampu mendengar. "Aku sudah kehilangan terlalu banyak. Aku tidak akan membiarkan diriku jatuh lagi."

Dengan gerakan tenang namun tegas, ia membungkus fragment itu lebih rapat, memastikan tidak ada celah yang bisa membiarkan energinya merembes keluar. Namun, kali ini, ia tidak menyimpannya di tubuhnya sendiri. Ia tahu bahwa membawanya terlalu dekat hanya akan membuatnya kembali terseret ke dalam kegelapan. Sebagai gantinya, ia menggantungkan kantong kecil berisi fragment itu di sadel kudanya. Ia tidak yakin apakah jarak fisik ini cukup untuk mengurangi efeknya, tetapi setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkannya terus mempengaruhi pikirannya secara langsung.

Setelah semuanya siap, Alcard melangkah ke sisi kudanya, meletakkan satu tangan di punggung hewan itu, membiarkan sentuhan kasar pada surai hitamnya memberi sedikit ketenangan. Ia kemudian naik ke atas pelana, duduk tegak meskipun kelelahan masih terasa di setiap sendi tubuhnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Meski hatinya masih dibayangi oleh luka dan kenangan pahit, pikirannya terasa sedikit lebih jernih.

Ia menatap jalan setapak yang terbentang di depannya, menuju Agrovarnin—tujuan berikutnya yang mungkin menyimpan lebih banyak jawaban, atau justru lebih banyak pertanyaan. "Kalau ini efeknya pada pemegang biasa..." gumamnya sambil berpikir, "apa jadinya jika orang yang benar-benar dipilih fragment ini akhirnya muncul?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, tak ada jawaban pasti. Namun, satu hal yang ia tahu dengan pasti—perjalanan ini belum berakhir. Masih ada rahasia yang harus dipecahkan, masih ada misi yang harus diselesaikan.

Dengan tarikan lembut pada tali kekang, ia memacu kudanya perlahan, membiarkan suara derap kaki di tanah menjadi satu-satunya irama yang menemani perjalanannya. Hembusan angin pagi mengusap wajahnya, membawa serta aroma hutan yang lembab dan segar.

Di dalam hati, Alcard sadar bahwa pertarungan yang sesungguhnya baru saja dimulai.

****