Bab 27

Langit malam di atas benteng Govenren kini berpendar merah, dipantulkan oleh kobaran api yang terus menjalar di salah satu gudang pangan utama di sisi barat benteng. Asap tebal mengepul ke udara, membentuk awan hitam pekat yang perlahan-lahan menyebar tertiup angin. Suara jeritan panik bercampur dengan teriakan para penjaga yang berlarian, berusaha mengendalikan situasi yang tiba-tiba berubah menjadi kekacauan.

Denting lonceng peringatan menggema di seluruh penjuru benteng, berdering tanpa henti, menambah kecemasan yang telah merayap ke setiap sudut. Para penduduk yang sebelumnya terlelap kini terbangun dan keluar dari rumah mereka dengan ekspresi ketakutan, sementara para prajurit dengan tergesa-gesa membawa ember-ember air untuk mencoba memadamkan api yang semakin melahap struktur gudang.

Di tengah semua hiruk-pikuk itu, tersembunyi di balik bayangan gang sempit di sisi timur benteng, Alcard berdiri diam, menyaksikan hasil dari rencana yang telah ia susun dengan hati-hati. Matanya tetap dingin, namun di dalam hatinya, ada sedikit rasa tidak nyaman yang mencoba menyeruak.

"Ini bukan sesuatu yang ingin kulakukan," gumamnya, suaranya hampir tenggelam oleh suara gaduh di sekelilingnya. Ia menatap api yang membakar gudang, api yang sengaja ia nyalakan, menyaksikan bagaimana para penjaga dan penduduk berusaha keras memadamkannya. "Tapi aku tidak punya pilihan lain. Jika aku ingin fragment itu, aku harus mengalihkan perhatian mereka."

Kekacauan yang ia ciptakan telah membuahkan hasil. Sebagian besar penjaga yang sebelumnya tersebar di sekitar benteng kini bergegas menuju titik kebakaran, meninggalkan banyak area tanpa pengawasan ketat. Termasuk menara kecil yang sejak awal telah mencuri perhatian Alcard.

Dia berbalik, matanya tertuju pada bangunan batu yang menjulang di ujung timur benteng. Cahaya redup masih tampak dari jendela kecil di puncaknya, membuatnya semakin yakin bahwa sesuatu yang penting tersembunyi di dalamnya.

"Menara itu," bisiknya, memperhatikan dari jauh. "Hanya beberapa penjaga yang tersisa. Ini kesempatan terbaikku."

Alcard bergerak cepat melalui jalanan yang kini hampir kosong, menghindari perhatian dari siapa pun yang masih ada di sekitar. Bayangan-bayangan bangunan membantunya tetap tak terlihat saat ia mendekati menara. Begitu sampai di dekat pintu masuk, ia berjongkok di balik tembok batu, mengamati penjaga yang masih berjaga di sana.

Tiga orang. Satu di antaranya berpatroli, berjalan bolak-balik dengan pola yang jelas, sementara dua lainnya berdiri di depan pintu, tampak berbincang santai.

Alcard mengatur napasnya, lalu menunggu saat yang tepat. Begitu penjaga yang berpatroli berbalik arah dan berjalan ke arah lain, ia langsung melesat dari balik bayangan. Gerakannya secepat kilat—dengan satu pukulan tepat di tengkuk, ia melumpuhkan pria itu tanpa suara.

Tanpa membuang waktu, ia beralih ke dua penjaga lainnya. Dalam hitungan detik, ia melangkah mendekati mereka dari belakang, lalu menghantam kepala mereka dengan gagang pedangnya. Salah satu dari mereka sempat mengeluarkan suara pendek sebelum tubuhnya ambruk, tetapi tidak cukup keras untuk menimbulkan kecurigaan.

Alcard berdiri sejenak, memastikan bahwa tidak ada yang menyadari apa yang baru saja terjadi. Setelah memastikan area itu aman, ia mendekati pintu kayu menara, mencoba membuka gagangnya dengan hati-hati. Yang mengejutkan, pintu itu tidak terkunci.

Ia menarik napas dalam, lalu perlahan mendorong pintu agar terbuka. Suara derit kayu terdengar pelan, tetapi tidak ada pergerakan dari dalam. Dengan langkah ringan, ia memasuki menara, menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara berlebihan.

Di hadapannya, tangga batu spiral membentang ke atas, menuju puncak menara yang remang-remang diterangi obor kecil di sepanjang dindingnya. Suasana di dalam menara terasa lebih sunyi dibandingkan luar. Keheningan yang begitu mencekam membuat setiap langkahnya terasa lebih tajam, setiap suara sekecil apa pun menjadi jelas.

Alcard menaiki tangga itu dengan gerakan hati-hati, memastikan tidak ada orang yang bersembunyi di balik tikungan atau sudut yang gelap. Tangannya tetap siaga di gagang pedangnya, siap untuk menariknya kapan saja jika situasi tiba-tiba berubah.

Namun, di dalam benaknya, kekhawatiran mulai menyelinap. Jika fragment benar-benar berada di sini, maka besar kemungkinan The Veil sudah mengetahuinya. Bisa jadi ini adalah jebakan, dirancang untuk menunggu siapa pun yang berani mencari tahu lebih jauh.

Langkahnya melambat ketika ia mendekati puncak menara. Cahaya dari ruangan di atas semakin terang, menandakan bahwa seseorang atau sesuatu berada di sana.

Dalam keheningan yang semakin menegangkan, ia berhenti di depan sebuah pintu kayu kecil di ujung tangga. Cahaya dari dalam merembes keluar melalui celah di bawahnya, bergetar samar seolah ada seseorang yang bergerak di dalam.

Alcard menempelkan punggung tangannya ke pintu, mencoba merasakan ada atau tidaknya getaran dari suara langkah. Ia menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan dirinya untuk apa pun yang akan ia temukan di balik pintu ini.

"Apa pun yang ada di sini," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin yang masuk melalui celah batu. "Aku harus menemukannya sebelum terlambat."

Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangannya ke gagang pintu dan menekannya perlahan. Suara kayu berderit pelan saat pintu itu mulai terbuka, mengungkapkan ruangan yang tersembunyi di puncak menara. Cahaya remang-remang di dalamnya menyinari wajah Alcard, yang tetap tak tergoyahkan meskipun ia tahu bahwa apa yang akan ia temukan bisa mengubah segalanya.

****

 

Di puncak menara yang sunyi, Alcard bergerak perlahan, menyelinap ke dalam bayang-bayang yang membentuk celah gelap di antara dinding batu yang dingin. Dari sudut persembunyiannya, ia bisa mendengar suara Avros menggema di ruangan yang tak jauh darinya. Nada suaranya tajam, dipenuhi kemarahan yang meledak-ledak, seolah menyalakan ketegangan di udara.

Melalui celah kecil di dinding, Alcard mengamati sosok Avros yang berdiri dengan tubuh kaku, wajahnya memerah karena marah. Di hadapannya, seorang penjaga berdiri dalam posisi tegak, tetapi jelas tampak gugup, seolah menanggung beban berat dari amukan majikannya.

"Kalian semua benar-benar tidak berguna!" Avros menggeram, suaranya menggema di ruangan yang remang-remang. Ia menghantam meja kayu kecil di hadapannya dengan kepalan tangan, menyebabkan dokumen-dokumen dan peta yang sebelumnya tertata kini berantakan, beberapa jatuh ke lantai. "Berapa banyak waktu lagi yang harus kalian buang hanya untuk menemukan kandidat yang tepat?! Apakah aku harus turun tangan sendiri untuk memastikan segalanya berjalan sesuai rencana?! "

Mata Alcard menyipit di dalam bayangan, mencoba memahami maksud dari kata-kata Avros. "Kandidat? Kandidat untuk apa? Apakah ini ada hubungannya dengan fragment?" pikirnya.

Avros terus melampiaskan kemarahannya, matanya menyala dengan frustrasi. "Benda itu… fragment itu tidak berguna tanpa seseorang yang bisa menggunakannya dengan benar! Aku sudah berulang kali mengatakan ini, tapi kalian tetap gagal! Apa yang akan kukatakan pada mereka?! Pada organisasi besar itu?! Apa kau tak tahu, berapa lama lagi aku bisa membuat alasan untuk mereka?! Mereka ingin segera benda ini jatuh ke tangan mereka, kau tahu?! Apa kalian ingin aku mati konyol karena ketidakmampuan kalian?!"

Alcard menahan napasnya, menyusun potongan informasi di kepalanya. "Jadi, Avros tidak hanya mencari fragment, tapi juga seseorang yang bisa menggunakannya?" pikirnya. Hal ini semakin memperjelas bahwa fragment bukan sekadar objek berharga, tetapi sesuatu yang memerlukan pemilik yang tepat agar dapat berfungsi dengan maksimal.

Di tengah kemarahan Avros, seorang penjaga berbadan besar yang mengenakan zirah berat akhirnya mencoba berbicara. Suaranya terdengar lebih tenang dibandingkan majikannya, meskipun jelas ada ketegangan dalam nada bicaranya. "Tuan Avros, kita masih memiliki waktu. Seleksi berikutnya akan dilakukan besok pagi. Tapi sebelum itu, ada masalah lain yang perlu kita tangani... salah satu gudang pangan terbakar, dan para penjaga sedang berusaha mengendalikan situasi."

Avros menghentikan cercaan untuk sesaat. Ekspresinya masih kesal, tetapi kini pikirannya teralihkan oleh kabar yang baru ia dengar. Ia menarik napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar sebelum akhirnya mengangguk dengan berat hati. "Baiklah, kita tunda ini sampai besok. Tapi jangan beri aku alasan lagi. Pastikan kandidat berikutnya memberi hasil, atau kalian semua akan menyesalinya."

Penjaga berbadan besar itu memberi isyarat pada lima orang lainnya yang berdiri di belakang. Dengan gerakan terkoordinasi, mereka mulai mengangkat lima tubuh yang tergeletak di lantai. Beberapa dari mereka tampak tak sadarkan diri, wajah mereka tertutup kain gelap.

Alcard mengamati dengan penuh kewaspadaan. "Siapa mereka?" pikirnya, matanya memperhatikan setiap detail. Tubuh-tubuh itu tampak lemah, beberapa di antaranya bahkan tidak bergerak sama sekali. "Apakah ini bagian dari seleksi yang dimaksud Avros? Apa yang mereka lakukan pada orang-orang ini?"

Avros melangkah keluar lebih dulu, diikuti oleh para penjaganya yang membawa tubuh-tubuh tak berdaya itu. Suara langkah kaki berat terdengar menuruni tangga spiral menara, perlahan-lahan menghilang seiring dengan bayangan mereka yang lenyap dari pandangan.

Alcard tetap berada di tempatnya, menahan napas hingga keheningan kembali menguasai menara. Ia memastikan tidak ada suara lain sebelum akhirnya berdiri perlahan, keluar dari tempat persembunyiannya. Pandangannya langsung tertuju pada ruangan tempat Avros sebelumnya berdiri. Meja kayu itu masih berantakan, dengan dokumen-dokumen berserakan dan beberapa peta terbuka yang menandai wilayah tertentu. Nyala obor kecil di dinding memberikan penerangan cukup untuk membaca isi ruangan.

Dengan gerakan senyap, Alcard mendekati meja. Ia membiarkan matanya memindai setiap sudut, mencoba mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan. 'Avros, apa yang kau rencanakan?' pikirnya, sambil menyisir tumpukan dokumen.

Di antara peta-peta yang tersebar, ada beberapa yang menandai daerah tertentu di utara dan barat Middle Earth. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah selembar daftar berisi nama-nama dan lokasi. Ia menyipitkan mata, membaca dengan cepat. "Apakah ini daftar kandidat? Atau mungkin tempat persembunyian mereka?"

Saat mengamati lebih jauh, matanya tertuju pada sebuah kotak kecil yang tergeletak di sudut meja. Kotak itu tampak sederhana, tetapi material kayu gelapnya terasa halus, dengan ukiran simbol misterius di permukaannya.

Dengan hati-hati, Alcard mengulurkan tangannya dan membuka kotak itu. Namun, yang ia temukan hanyalah kehampaan. Kotak itu kosong.

"Terlambat," gumamnya pelan, menyadari bahwa apa pun yang sebelumnya ada di dalam kotak itu sudah tidak ada lagi.

Namun, kekosongan itu justru mengonfirmasi sesuatu—Avros telah memindahkan sesuatu yang sangat penting. Kemungkinan besar, fragment atau benda lain yang berkaitan dengannya. Alcard merasakan frustrasi mulai tumbuh dalam dirinya, tetapi ia menahan diri. "Aku harus mengejar mereka. Apa pun yang mereka rencanakan, aku tidak boleh membiarkannya terlaksana."

Sambil menutup kotak itu dengan tenang, Alcard melangkah mundur, kembali menyelinap ke bayangan. Apa yang ia saksikan malam ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih berbahaya. Jika fragment benar-benar ada di tangan Avros, dan jika The Veil berada di balik semua ini, maka pertarungan baru saja dimulai.

Dengan langkah mantap, ia meninggalkan menara, menyelinap kembali ke dalam kegelapan, membawa serta kebenaran yang baru saja ia temukan—dan sebuah tekad untuk memastikan bahwa rencana Avros tidak akan berjalan mulus.

****

 

Di tengah keheningan malam yang semakin pekat, Alcard bergerak lincah di antara bayangan, menyusuri lorong-lorong bawah tanah kastil Govenren dengan langkah nyaris tanpa suara. Udara lembap di dalam ruangan batu itu bercampur dengan aroma debu dan kelembapan, membuat suasana semakin mencekam. Matanya tetap terfokus pada sosok besar di depannya—seorang penjaga bertubuh kekar dengan kantong kecil yang terikat erat di pinggangnya.

Berbeda dengan para penjaga lain yang bergegas menuju gudang pangan yang terbakar, pria ini tampak memiliki tugas yang lebih spesifik. Langkahnya kokoh dan penuh tujuan, seolah membawa sesuatu yang memiliki nilai lebih besar dari sekadar persediaan pangan. Alcard menjaga jarak aman, membiarkan kegelapan lorong sempit menjadi sekutunya, mengamati ke mana penjaga itu akan pergi.

Lorong panjang itu akhirnya berakhir di sebuah ruangan kecil yang tampaknya jarang digunakan. Melalui celah di dinding batu, cahaya bulan yang redup masuk, memberikan penerangan samar ke dalam ruangan. Alcard menempelkan tubuhnya ke dinding, mengintip dengan hati-hati saat penjaga itu membuka pintu dan melangkah masuk. Ia menunggu dengan sabar di sudut gelap, mengamati gerak-geriknya. Setelah beberapa saat, penjaga itu keluar tanpa kantong kecil yang tadi dibawanya, meninggalkan ruangan dalam keadaan terkunci.

Alcard tahu ini adalah saat yang tepat. Begitu langkah penjaga itu menghilang, ia mendekati pintu, memeriksa kunci dengan sentuhan ringan. Mengeluarkan peralatan kecil dari kantongnya, ia mulai bekerja dengan kecepatan dan ketepatan yang telah terasah selama bertahun-tahun. Dalam hitungan detik, terdengar suara klik pelan, dan pintu terbuka.

Di dalam ruangan, Alcard langsung melihat bahwa tempat ini bukanlah sekadar gudang biasa. Meja kayu besar di tengah ruangan penuh dengan dokumen yang tersebar berantakan, peta yang menandai berbagai wilayah di Middle Earth, serta beberapa gulungan perkamen yang tampaknya berisi catatan penting. Namun, matanya segera tertarik pada satu objek di tengah meja—sebuah kotak besi kecil dengan gembok berat yang tampak dibuat khusus untuk melindungi sesuatu yang bernilai tinggi.

Alcard melangkah mendekat dengan hati-hati, memastikan tak ada jebakan sebelum menyentuh kotak itu. Tangannya dengan cekatan meraba permukaan besi yang dingin, menilai mekanisme penguncinya. Ini bukan gembok biasa—rancangannya rumit, dibuat agar tidak mudah dibuka dengan paksa. Tapi bagi Alcard, ini bukan pertama kalinya ia berhadapan dengan pengamanan seperti ini.

Dari kantongnya, ia mengeluarkan alat-alat pembuka kunci: kawat lentur, kunci pas mini, dan pisau tipis yang sering ia gunakan untuk pekerjaan seperti ini. Dengan keahlian seorang profesional, ia mulai mengutak-atik gembok itu, mendengarkan setiap gerakan mekanisme di dalamnya. Detik demi detik berlalu dalam keheningan tegang, hanya terdengar suara halus dari jarinya yang bekerja.

Hingga akhirnya—klik.

Gembok terbuka.

Perlahan, ia mengangkat tutup kotak itu, dan seketika cahaya lembut berwarna ungu memancar keluar, menerangi ruangan dengan aura yang nyaris mistis. Alcard menahan napas. Tatapannya tertuju pada sebuah prisma segi delapan dengan permukaan berkilau, memancarkan energi yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat. Tidak ada lagi keraguan—ini adalah fragment ungu, salah satu pecahan yang selama ini dicari oleh The Veil.

Saat menatapnya lebih lama, Alcard merasakan sesuatu yang aneh. Getaran halus menjalar melalui tubuhnya, seolah ada sesuatu yang mencoba menembus pikirannya. Ia segera mengulurkan tangan dan mengambil fragment itu dengan cepat, menyimpannya ke dalam kantong khusus di jubahnya. "Aku tidak bisa membiarkan benda ini terlalu lama berada di luar. Ini terlalu berbahaya."

Setelah memastikan fragment tersimpan dengan aman, ia melirik meja sekali lagi. Peta dan dokumen yang tersebar menunjukkan berbagai wilayah strategis di Middle Earth, dengan beberapa tanda mencurigakan yang berpusat di sekitar benteng Govenren. Ia ingin membaca lebih lanjut, tetapi suara langkah kaki dari lorong luar membuyarkan pikirannya.

Tanpa membuang waktu, ia menutup kembali kotak itu dan memastikan semuanya terlihat seperti semula sebelum bergerak keluar. Dengan langkah senyap, ia menyelinap melalui lorong-lorong yang telah dihafalnya, mencari jalur aman untuk kembali ke permukaan.

Di atas, kebakaran di gudang pangan masih menyala, menciptakan kepanikan yang cukup besar di dalam benteng. Alcard memanfaatkan situasi itu untuk tetap tak terlihat, berbaur dengan bayangan, dan bergerak cepat ke arah pasar tempat ia menyewa kamar penginapan.

Sesampainya di kamarnya, ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tak ada yang mengikutinya. Duduk di ranjang kayu sederhana, ia mengeluarkan fragment dari kantongnya, menatapnya dalam keheningan. Cahaya ungu dari permukaan kristal itu berkilau lembut, seolah-olah sedang menunggu sesuatu.

Alcard menghela napas, merasa beban tanggung jawab semakin berat di pundaknya. "Fragment ini... begitu kuat, begitu berbahaya," gumamnya pelan, matanya tetap terfokus pada objek yang kini ada dalam genggamannya. "Tapi kenapa Avros begitu terobsesi untuk menemukan pengguna? Apa yang sebenarnya dia rencanakan?"

Banyak pertanyaan berputar di kepalanya, tetapi satu hal yang pasti—malam ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Apa pun yang akan terjadi selanjutnya, ia harus siap. Karena kini, ia telah mengambil langkah besar dalam pertempuran melawan kekuatan yang bersembunyi dalam bayang-bayang.

****

 

"Hah! Hah! Hah!"

Di tengah kegelapan malam yang pekat, Alcard terbangun dengan tiba-tiba. Nafasnya tersengal-sengal, seakan paru-parunya baru saja dipaksa bekerja setelah menahan udara terlalu lama. Tubuhnya berkeringat, pakaian yang melekat di kulitnya terasa dingin dan lembap, menciptakan sensasi tidak nyaman yang semakin menambah ketegangan di dadanya. Ia menatap langit-langit kamar yang redup, cahaya rembulan dari jendela kecil hanya memberikan penerangan samar, tidak cukup untuk mengusir bayangan mimpi buruk yang masih menempel di pikirannya.

Di kamar sewanya yang sempit, Alcard kembali ke kenyataan. Nafasnya masih tersengal, keringat dingin membasahi tubuhnya. Meski telah bertahun-tahun berlalu, bayangan itu masih menghantuinya setiap kali ia menutup mata.

Tangannya meraba ikat pinggangnya, mencari sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa mengingatkannya pada misinya. Jari-jarinya menemukan kantong kecil yang tersimpan di sisinya, dan ketika ia menyentuh permukaan dingin dari fragment ungu yang berhasil ia rebut, sedikit rasa tenang merayap di hatinya.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Sentuhan dingin fragment itu bukan sekadar pengingat bahwa ia masih hidup, tetapi juga peringatan akan betapa pentingnya misi yang sedang ia jalankan. Jika fragment ini jatuh ke tangan yang salah, jika The Veil atau siapapun yang mengincarnya berhasil mendapatkannya, maka dunia mungkin akan menghadapi kehancuran yang lebih besar dari apa yang pernah ia alami di masa lalu.

Mata Alcard menatap kosong ke luar jendela, ke langit malam yang kelam tanpa bintang. Bayangan masa lalu masih menempel di benaknya, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kenangan itu. Ia harus bergerak maju, bukan hanya demi Middle Earth, tetapi juga demi orang-orang yang telah ia kehilangan.

"Aku tidak bisa melupakan mereka," bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam sunyi malam. "Aku tidak akan pernah melupakan."

Dengan gerakan perlahan, Alcard duduk di tepi tempat tidur kayu yang keras, kedua tangannya menggenggam sisi kasur, seakan berusaha menemukan pegangan yang bisa menstabilkan jiwanya yang terguncang. Napasnya masih berat, detak jantungnya berdebar tidak teratur. Ia mengusap wajah dengan tangan yang sedikit bergetar, baru menyadari bahwa ada jejak air mata yang mengalir di pipinya. Meski sudah bertahun-tahun, kenangan itu masih terasa seolah baru terjadi kemarin.

Mimpi tadi bukan sekadar bunga tidur, melainkan potongan masa lalu yang terus menghantuinya. Ia kembali berada di alun-alun ibukota Jovalian, di tengah kerumunan rakyat yang penuh dengan amarah dan kebencian. Suara sorakan mereka bergema seperti badai, penuh hinaan yang menusuk telinga. Pandangan mereka terhadapnya adalah tatapan penuh penghinaan—tidak ada yang melihatnya sebagai manusia, hanya sebagai pengkhianat yang pantas dihukum.

Di dalam kandang kayu yang kotor, tangan dan kakinya terikat rantai yang berat, membatasi setiap gerakannya. Dari dalam penjara sempit itu, ia hanya bisa melihat dunia luar melalui celah-celah kecil antara jeruji kasar. Kemudian, matanya tertuju pada sosok di panggung utama—Drennal Faerwyn.

Sang Perdana Menteri Jovalian berdiri di sana dengan penuh percaya diri, mengenakan jubah kebesarannya yang melambangkan otoritas mutlak. Wajahnya yang angkuh dihiasi senyuman tipis, dan suaranya bergema di seluruh alun-alun, penuh dengan kepalsuan yang dibalut dalam kefasihan kata-kata yang ia gunakan untuk memanipulasi massa.

"Pengkhianat ini adalah penyebab kehancuran kita!" seru Drennal, suaranya nyaring dan dipenuhi kebencian yang dibuat-buat. "Dia, Alcard, sang mantan komandan, telah membunuh putra mahkota Althar Jovalian! Pengkhianatan ini tidak akan dibiarkan begitu saja. Keadilan harus ditegakkan!"

Sorakan dari kerumunan semakin memuncak. Orang-orang meneriakkan namanya, bukan dengan pujian seperti di masa lalu, tetapi dengan kebencian yang membara.

"Monster!"

"Pembunuh!"

"Hukum dia!"

Kata-kata itu mengirisnya lebih dalam daripada pedang mana pun yang pernah ia hadapi di medan perang.

Namun, yang membuat dunianya benar-benar hancur bukanlah teriakan rakyat, melainkan dua sosok yang berdiri di samping Drennal—di bawah tiang gantung yang sudah disiapkan.

Istrinya, berdiri dengan kepala tertunduk, tubuhnya gemetar meski berusaha tetap tegar. Di sampingnya, anak perempuan mereka yang masih kecil menangis tersedu-sedu, matanya dipenuhi ketakutan yang menusuk hati Alcard lebih dari apa pun.

" Ayah! Tolong aku!" suara putrinya menggema dalam pikirannya, melampaui semua kebisingan di alun-alun. Itu adalah suara penuh kepolosan, ketakutan, dan keinginan untuk diselamatkan.

Alcard berusaha berteriak, memanggil nama mereka, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia mengguncang jeruji kandang kayunya, berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan diri, tetapi rantai di pergelangan tangannya terlalu kuat.

Drennal melanjutkan pidatonya dengan semangat yang lebih besar, seolah-olah ia menikmati penderitaan yang ditimbulkan. "Dan inilah keadilan bagi seorang pengkhianat! Dia akan menyaksikan keluarganya dihukum mati di depan matanya sebelum akhirnya dibuang ke The Wall, tempat bagi mereka yang tidak lagi memiliki kehormatan!"

Algojo di atas panggung mulai menarik tuas. Alcard melihat tali di leher istri dan anaknya mengencang, dan sebelum ia sempat berkata apa pun, mereka terjatuh. Dunia seolah bergerak dalam gerakan lambat. Jeritan terakhir putrinya terhenti begitu saja, tubuh mungilnya menggantung tanpa daya. Istrinya, meskipun wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca, tetap memberikan ekspresi yang penuh ketenangan. Hanya ada satu pesan terakhir yang bisa Alcard baca dari matanya sebelum segalanya berakhir—Tetap hidup. Bertahanlah untuk kami.

Dan saat itu, dunia Alcard benar-benar runtuh. Ia berteriak hingga suaranya habis, tapi tidak ada yang mendengarkan. Tidak ada yang peduli.

****