Kabut perlahan menipis, memperlihatkan hutan lebat yang masih basah setelah hujan deras. Ranting-ranting kecil patah di bawah langkah Eldric saat ia mengikuti wanita berambut perak yang masih tetap berjalan di depannya. Meski telah berjalan cukup jauh, wanita itu belum juga berbicara.
Eldric semakin waspada. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seolah membawa mereka lebih dalam ke dalam misteri yang belum terpecahkan. Ia ingin bertanya, namun ada sesuatu dalam tatapan wanita itu yang membuatnya menahan diri.
"Berapa lama lagi kita akan berjalan?" tanya Eldric akhirnya.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia berhenti di tengah jalan, lalu menoleh ke arahnya.
"Kita sudah hampir sampai."
Eldric mengerutkan kening.
"Sampai di mana?"
Wanita itu hanya tersenyum kecil sebelum melanjutkan langkahnya.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah tebing tinggi yang menghadap ke lembah luas di bawahnya. Udara di tempat ini lebih dingin, dan angin berembus lebih kencang, membawa aroma tanah basah dan dedaunan.
Di tengah tebing, terdapat sebuah altar batu tua yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno. Sebagian besar sudah terkikis oleh waktu, namun beberapa masih cukup jelas untuk dikenali. Eldric bisa melihat simbol-simbol aneh yang mengingatkannya pada sesuatu—sesuatu yang familiar, meskipun ia tidak tahu dari mana ingatannya berasal.
Wanita itu berjalan mendekati altar dan meletakkan tangannya di atasnya. Seketika, ukiran-ukiran kuno itu mulai bercahaya samar, seolah merespons kehadirannya.
"Apa ini?" tanya Eldric.
"Inilah tempat di mana semuanya dimulai," jawab wanita itu pelan.
Eldric semakin bingung. "Aku tidak mengerti."
Wanita itu menatapnya, seakan mempertimbangkan sesuatu. Kemudian, ia berkata, "Ini adalah sisa-sisa peradaban yang telah lama terhapus dari sejarah. Peradaban yang dulu memahami rahasia dunia lebih dalam dari siapa pun, namun akhirnya menghilang tanpa jejak."
Eldric menelan ludah. "Dan apa hubungannya denganku?"
Wanita itu terdiam sejenak sebelum menjawab, "Karena kau adalah bagian dari sejarah itu, Eldric."
Jantung Eldric berdegup lebih kencang. Ia mundur selangkah, mencoba memahami kata-kata itu.
"Aku? Bagian dari sejarah itu? Aku bahkan tidak tahu siapa dirimu, apalagi tentang peradaban yang kau bicarakan."
Wanita itu menatapnya tajam. "Namaku Seraphina. Aku adalah penjaga sisa-sisa pengetahuan yang masih tersisa dari peradaban yang telah menghilang ini. Dan kau, Eldric... adalah orang yang seharusnya tidak pernah ada."
Eldric membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"
Seraphina melangkah mendekatinya. "Sejarah telah dihapus dan dimanipulasi. Orang-orang yang dulu mengenal dunia ini dengan benar telah dibungkam, dan kau adalah salah satu dari mereka—seseorang yang seharusnya sudah lama lenyap bersama peradaban itu. Namun entah bagaimana, kau masih ada di sini."
Eldric merasa kepalanya berdenyut. Kata-kata itu seperti memicu sesuatu dalam pikirannya, sesuatu yang selama ini terkubur di bawah lapisan ingatan yang tidak bisa ia akses.
"Aku... tidak mengerti..."
"Tidak mengapa," kata Seraphina dengan suara lembut. "Kau tidak perlu mengerti semuanya sekarang. Yang perlu kau tahu adalah bahwa dunia yang kau kenal bukanlah dunia yang sebenarnya."
Seketika, suara gemuruh terdengar dari langit. Eldric menoleh ke atas, matanya melebar saat melihat awan-awan gelap yang berkumpul dengan cepat, seakan ada sesuatu yang mengganggu keseimbangan alam.
Seraphina tampak semakin waspada. "Mereka telah menyadari keberadaan kita."
Eldric berbalik menatapnya. "Siapa mereka?"
Seraphina menggertakkan giginya. "Orang-orang yang ingin memastikan kebenaran tidak pernah terungkap."
Tiba-tiba, udara di sekitar mereka bergetar. Dari balik kabut yang masih tersisa, beberapa sosok muncul—mereka mengenakan jubah hitam dengan simbol yang sama seperti yang terukir di altar. Wajah mereka tersembunyi di balik tudung, namun Eldric bisa merasakan aura mematikan yang mengelilingi mereka.
Salah satu dari mereka melangkah maju. Suaranya dingin dan berat saat berbicara.
"Kau sudah terlalu jauh, Seraphina."
Seraphina tidak menunjukkan rasa takut. "Dan kalian sudah terlalu lama bersembunyi dalam bayangan."
Sosok berjubah hitam itu mendengus. "Kebenaran yang seharusnya tetap terkubur, tidak akan kami biarkan muncul ke permukaan."
Eldric merasakan hawa dingin menjalar di punggungnya. Ia bisa merasakan bahwa orang-orang ini bukanlah musuh biasa.
"Seraphina, siapa mereka?" tanyanya dengan suara rendah.
Seraphina mengangkat tangannya perlahan, dan sebuah cahaya biru mulai mengelilinginya. "Mereka adalah penjaga kebohongan, Eldric. Dan mereka datang untuk menghapus kita."
Seketika, pertempuran meledak.
Salah satu dari penjaga berjubah hitam melesat dengan kecepatan luar biasa, menyerang Eldric dengan pedang bayangan yang nyaris tak terlihat di tengah kegelapan. Eldric dengan refleks menghindar, namun serangan itu meninggalkan retakan di tanah di mana ia berdiri.
Seraphina tidak tinggal diam. Dengan satu gerakan tangannya, lingkaran sihir kuno muncul di udara, menembakkan cahaya biru yang menembus kabut dan menghantam salah satu penjaga, membuatnya terpental jauh ke belakang.
Namun jumlah mereka terlalu banyak.
Eldric tahu bahwa mereka tidak akan bisa bertahan lama jika hanya bertahan di tempat ini. Mereka harus mencari jalan keluar.
"Seraphina! Kita harus pergi!" teriaknya.
Seraphina menggertakkan giginya, lalu mengangguk. "Ikuti aku!"
Ia melompat ke arah altar, meletakkan tangannya di atasnya. Seketika, sebuah portal biru terbuka, berputar cepat seperti pusaran air di tengah udara.
Eldric tidak berpikir dua kali. Tanpa menoleh ke belakang, ia melompat ke dalam portal.
Saat tubuhnya tersedot ke dalam pusaran energi, ia hanya bisa berpikir satu hal—
Apa sebenarnya kebenaran yang disembunyikan darinya?
Dan siapa dia sebenarnya?
---