Chapter 1 Ini Aku

Japan, 28 Nov

Ctik... Ctik... Ctik...

Seorang gadis menengah atas bernama Pen sedang memainkan bolpen tintanya karena sedang bosan melihat Guru menjelaskan didepan kelas.

Dengan tatapan sipitnya, dia terus mencoba untuk mendengar dan memperhatikan apa yang di jelaskan Guru di depan kelas. Namun tak sadar bahwa dia sendiri sedang mengantuk dan gurunya pun tampak tahu dan mendekatinya dengan kesal. Dia bernama Bu Nia yang seorang pengajar matematika.

"(Kehidupan di sekolah itu sangat lah menjengkel kan, kami hanya belajar dan harus belajar setiap hari. Berangkat dari jam tujuh hingga jam 5 sore. Ini sangat melelahkan apalagi dengan pekerjaan rumah yang harus selesai di hari esok nya. Aku tak bisa membuka mataku lagi,)" Pen menjadi menutup mata nya.

Di sana Bu Nia menjadi menggeleng kepala dari jauh ketika melihat Pen mulai menutup mata.

Bu Nia di kenal sebagai Guru wanita yang tegas. Umur nya juga tidak main main, dia sudah lama di sana dan menjadi salah satunya yang tertua. Kerap memberitahu lisan pada siswa yang tidak patuh di mata nya dan sekarang dia melihat Pen yang begitu saja tertidur di saat ia sedang mengajar.

"Pen..." Bu Nia memanggilnya sambil berdiri di samping mejanya.

Semua teman-temannya pun juga menjadi menoleh padanya. Namun sepertinya Pen asik tidur tanpa tahu apapun.

"Pen!!" Bu Nia kembali memanggil keras dengan mendobrak mejanya membuat Pen terkejut bangun.

Hal itu membuat semua teman-temannya menjadi menertawainya pelan.

"Apa kau tahu apa yang baru saja aku jelaskan?" kata Bu Nia. Pen hanya diam bersalah. "(Apa yang terjadi, kenapa aku tidur? Padahal aku tidak berniat tidur, lagipula tak perlu semarah itu,)" dia hanya diam.

"Memang benar-benar gadis yang sudah sok tahu, kamu pikir paling hebat, paling pinter. Dikelas hanya tiduran saja dan memainkan bolpen. Aku sudah membiarkanmu seperti ini sangat lama. Tapi kali ini kesabaranku sudah habis. Pulang sekolah nanti masuk ke kantorku... Hari ini pelajaran sampai di sini, jika ada yang bersikap sepertinya lagi, aku tidak akan memaaf kan kalian!" Bu Nia menatapnya yang diam lalu berjalan keluar kelas.

"(Aku tak salah apapun... Kenapa menyalahkan ku, aku juga tidak tahu kenapa aku tidur. Kenapa aku yang di beginikan saja, aku tak sengaja melakukan nya, yang aku lihat dari tadi, juga banyak yang menurunkan kepalanya, tapi aku yang hanya menutup mata pun dimarahi,)" Pen masih terdiam sambil menggenggam bulpen yang ada di tangan nya dengan sangat erat, sepertinya semua teman nya mulai menganggapnya aneh dan termasuk siswa gagal.

"Kenapa Pen selalu begitu?"

"Setiap ada guru masuk, pasti yang jadi inceran marahan itu dia, apa dia separah itu membuat guru marah?"

"Mungkin iya, sebaiknya jangan terlalu dekat dengan nya, dia memang aneh, sudah beberapa kali tak ada yang mau berteman dengan nya," gosip mereka pada Pen. Lalu dia menundukan wajah mengingat sesuatu, mengingat hal yang sangat mengerikan yang terjadi di rumah nya. Lebih mengerikan dari apapun.

"(Aku tak mau mengingat itu...)"

Untuk sebentar, dia mengalami gemetar hebat ketika mendengar semua perkataan hitam yang terus menerus bisa di dengar dari telinganya. Hal itu membuat Pen menjadi berlari keluar kelas memasuki kamar mandi wanita.

Dia menatap dirinya yang ada di cermin di depannya. Wajahnya penuh dengan antara penyesalan bersalah, terbuang dan kesal terhadap apa yang baru saja terjadi padanya. "(Apa yang terjadi padaku, kenapa aku tak bisa membela diriku dengan satu kata apapun, kenapa aku menjadi lupa apa yang di bicarakan nya tadi, aku memang payah,)" ia menundukan pandangan dan mencuci mukanya. Tentu saja setelah di provokasi didepan kelas memanglah sangat menyakitkan.

Sepulang sekolah seperti yang di bicarakan, dia memasuki ruang Guru. Semua Guru yang berada di meja mereka menjadi melihatnya di depan pintu. "Permisi," dia mencoba baik-baik untuk bertanya, tapi semua guru yang ada di sana malah mengabaikan nya setelah melihatnya tadi membuat Pen harus langsung melanjutkan perkataan nya. "Aku mencari Bu Nia...." kata Pen dengan suara kecilnya yang tak percaya diri.

Lalu Bu Nia berdiri dari mejnya dan mendekat. "Ikut kemari," Bu Nia menuntun nya ke kantor sidang.

"Jika kau terus melakukan sikap ini pada pelajaran ku, aku akan memanggil orang tuamu Pen, kau juga buruk dalam pelajaran apapun, memangnya apa yang kau bisa selain belajar. Belajarlah bersikap sopan dan jangan lupakan setiap mapel," kata Bu Nia. Pen hanya diam menundukan wajah.

"(Sejak kapan aku bersikap tidak sopan?)"

Tapi di antara Pen berpikir, dia tenggelam dalam pemikiran nya tadi, sejak kapan dia bersikap tidak sopan, bahkan dia melupakan untuk mendengarkan apa yang dikatakan Bu Nia selanjutnya. Hanya bibir Bu Nia yang bergerak dan pen tidak mendengarkan.

"Pen, kau mendengarku kan?" Bu Nia menatap. Lalu Pen menatapnya kembali dan asal mengangguk.

"Apa yang kukatakan tadi...?"

Itu membuat Pen kembali terdiam mengingat, padahal dia tak mendengarkan perkataan Bu Nia karena dia memang tak bisa mendengarnya tadi. ". . . Aku, Tidak tahu... (Kenapa kau bertanya di saat perasaan ku tak nyaman karena kau baru saja membentak ku,)"

"Apa maksudmu, itu berarti kau tadi tidak mendengarku, kau punya telinga bukan, jika ada orang berbicara kau harus mendengarkan nya!! Pen!! Dengarkan aku!!" dia terus berteriak membuat Pen menatap kosong dan mengangguk satu kali, pandangan nya menjadi kosong dan yang ia lihat hanyalah sekumpulan bayangan dari tinta hitam menutup mata miliknya.

"Ingat itu, jika kau melakukan hal ini didepan ku lagi, aku panggil orang tuamu," kata Bu Nia sambil bernada kesal dan langsung berjalan pergi.

"(Apa yang baru saja dia katakan...)" Pen meremas kainnya dengan perasaan yang terus terendam.

"(Ini membuatku terluka. Aku mendapat perlakuan aneh disini, kenapa aku bisa melakukan hal yang seperti itu,)" pikirnya dengan masih menundukan pandangan nya, tapi ia mencoba untuk mengangkat pandangan nya dan menguatkan mentalnya. "(Kenapa aku harus begitu memikirkan nya. Ini sudah biasa di sini. Tapi... Dirumah, aku pasti tidak akan mendengarkan apapun lagi,)" Pen berbatin dengan rasa melupakan semuanya.

Kemudian memutuskan untuk keluar dari ruangan itu, mengambil tasnya dan berjalan pulang, jarak sekolah yang agak jauh seharusnya membuatnya di jemput, tapi ketika dia keluar dari gerbang sekolah, tak ada seseorang yang dia kenal untuk menjemputnya, bahkan tak ada satupun orang karena semuanya sudah pulang dan di jemput.

Dia terdiam di sana sendirian, menunggu sesuatu hingga akhirnya tersadar bahwa tak akan ada yang menjemputnya memutuskannya untuk menundukan kembali pandangan nya dan berjalan pulang sendirian.

"Untuk apa menunggu, aku sudah setiap hari harus berjalan…" tapi ia teringat sesuatu yang membuat nya terdiam berhenti di jalan.

"(Apa yang kupikirkan, apa aku ini berpikir dewasa.... Aku sudah besar tapi kenapa mereka sama sekali tak menganggap ku menjadi seseorang yang bertumbuh kembang. Aku di manapun tak bisa melakukan apapun yang membuat ku bicara dengan tenang. Aku ingin berjalan ke kehidupan yang baik, mendapatkan lingkungan yang nyaman, hanya saja, aku tak bisa bergaul,)" dia menjadi terdiam. Sepertinya Pen memiliki trauma yang besar.

Namun semuanya mulai menjadi sangat berbeda saat dia melihat Ibunya duduk di sofa termenung. Pen mendekat. "Ibu, apa yang kau pikirkan?" tanya Pen.

"Haiz... Aku hanya berpikir soal pencapaian nilaimu, aku baru saja melihat kertas ujian yang berserakan di kamar mu, aku sudah lelah dengan kenyataan mu, lihat saja para anak tetangga Pen, mereka bahkan rangking teratas sementara kau kapan mendapat rangking atas. Teman temanmu disini saja disebut murid kesayangan di sekolah lain, Ibu harap kau bisa belajar lebih giat lagi, hanya itu permintaan Ibu," kata Ibu Pen. Dia memang mengatakan itu dan hatinya juga tidak lain mengatakan nya. "(Dia seperti tidak berguna, percuma saja aku membayar untuk sekolahnya, teman teman di kelasnya ketika aku tanyai pun mereka tidak pernah bisa berteman dengan Pen karena dia membosankan, sebenarnya apa yang terjadi pada putriku ini sih?)"

Pen yang mendengar itu hanya bisa kembali menundukan wajah dan mengangguk mengerti. "Aku akan belajar sekarang," dia membalik masuk kamar.

Tapi sebelum benar-benar masuk, ibunya mengatakan sesuatu yang secara kebetulan di dengar oleh Pen. "Apa benar yang dikatakan mereka, pemikiran mu lebih rendah dari manusia normal? Sejauh ini, aku juga sudah mencukupi kehidupan mu, kau makan dan minum menggunakan uang ku dan sampai saat ini, itukah yang kau tunjukan untuk membanggakan ku?"

Meskipun Pen mendengarnya, tapi ia hanya diam dan menutup pintu kamarnya.

Di kamar, dia benar-benar terpukul. Tahu bukan rasanya di seperti itu kan? Hanya beberapa orang saja yang bisa merasakan seperti yang telah di alaminya. Namun Pen bukanlah gadis yang cepat tertekan. Dia tak menangis sama sekali dan hanya diam termenung menatap buku di mejanya.

"(Aku tak bisa melakukan ini, kenapa rasanya sangat aneh... Aku terus memikirkan ini semua, jika aku ingin, aku akan membalas perkataan mereka. Tapi jika di pikir-pikir lagi, aku seharusnya merasa bersalah karena tidak bisa membuat permintaan Ibu menjadi kenyataan,)" ia terus berpikir hingga tak bisa konsentrasi dalam belajarnya. Antara kecewa pada dirinya sendiri dan kesal pada setiap perkataan yang telah ia dengar.

Pen menghela napas dan berdiri berjalan pergi dari meja belajarnya. Ia mematikan lampu kamar dan duduk di bawah pintu. Ia bahkan masih mengingat perkataan gurunya tadi.

"Ukh.... Aku tak bisa melakukan apapun," dia menjadi stres sambil memegangi kepalanya sendiri.

"(Kenapa dunia ini begitu menekan ku.... Perasaan ku sama sekali tidak nyaman karena mereka begitu menganggap ku sangat gagal... Sangat gagal... Apa yang harus kulakukan, mereka terus mengatai ku begitu, apa salahku, dimana aku membuat kesalahan sehingga itu membuat mereka kesal dan menjadi mengatai ku,)" dia mulai menjadi sangat depresi. Rasa yang tak akan bisa hilang akan terus melekat selama dia di aliri oleh hawa suram yang terus bersamanya.

Tapi tiba-tiba saja, bolpen tintanya jatuh dari sakunya. Ia terdiam lalu mengambilnya. Sambil melihat bolpen itu ia juga ingat pada perkataan gurunya seperti dalam 2 penglihatan dimana dia yang berposisi di bentak oleh gurunya dan juga di tuntut oleh ibunya sendiri, tapi mendadak telingan nya berdenging.

"Ahhh..." ia terkejut dan refleks menjatuhkan bolpen itu dan menutupi kedua telinganya. Suara menyakitkan itu tak mau berhenti. Pen bahkan hampir kejang dan jatuh di lantai.

"Aku, sangat takut."

Dia sendiri bernapas berat dan sedikit bingung merasakan suara yang sangat aneh itu dan ia juga menatap ke arah bolpenya. "(Apa yang terjadi?)" ia mengambil bolpenya. Lalu menjadi mengkerutkan alisnya dan menggigit bibir nya.