Namun semuanya mulai menjadi sangat berbeda saat dia melihat Ibunya duduk di sofa termenung. Pen mendekat. "Ibu, apa yang kau pikirkan?" tanya Pen.
"Haiz... Aku hanya berpikir soal pencapaian nilaimu, aku baru saja melihat kertas ujian yang berserakan di kamar mu, aku sudah lelah dengan kenyataan mu, lihat saja para anak tetangga Pen, mereka bahkan rangking teratas sementara kau kapan mendapat rangking atas. Teman temanmu disini saja disebut murid kesayangan di sekolah lain, Ibu harap kau bisa belajar lebih giat lagi, hanya itu permintaan Ibu," kata Ibu Pen. Dia memang mengatakan itu dan hatinya juga tidak lain mengatakan nya. "(Dia seperti tidak berguna, percuma saja aku membayar untuk sekolahnya, teman teman di kelasnya ketika aku tanyai pun mereka tidak pernah bisa berteman dengan Pen karena dia membosankan, sebenarnya apa yang terjadi pada putriku ini sih?)"
Pen yang mendengar itu hanya bisa kembali menundukan wajah dan mengangguk mengerti. "Aku akan belajar sekarang," dia membalik masuk kamar.
Tapi sebelum benar-benar masuk, ibunya mengatakan sesuatu yang secara kebetulan di dengar oleh Pen. "Apa benar yang dikatakan mereka, pemikiran mu lebih rendah dari manusia normal? Sejauh ini, aku juga sudah mencukupi kehidupan mu, kau makan dan minum menggunakan uang ku dan sampai saat ini, itukah yang kau tunjukan untuk membanggakan ku?"
Meskipun Pen mendengarnya, tapi ia hanya diam dan menutup pintu kamarnya.
Di kamar, dia benar-benar terpukul. Tahu bukan rasanya di seperti itu kan? Hanya beberapa orang saja yang bisa merasakan seperti yang telah di alaminya. Namun Pen bukanlah gadis yang cepat tertekan. Dia tak menangis sama sekali dan hanya diam termenung menatap buku di mejanya.
"(Aku tak bisa melakukan ini, kenapa rasanya sangat aneh... Aku terus memikirkan ini semua, jika aku ingin, aku akan membalas perkataan mereka. Tapi jika di pikir-pikir lagi, aku seharusnya merasa bersalah karena tidak bisa membuat permintaan Ibu menjadi kenyataan,)" ia terus berpikir hingga tak bisa konsentrasi dalam belajarnya. Antara kecewa pada dirinya sendiri dan kesal pada setiap perkataan yang telah ia dengar.
Pen menghela napas dan berdiri berjalan pergi dari meja belajarnya. Ia mematikan lampu kamar dan duduk di bawah pintu. Ia bahkan masih mengingat perkataan gurunya tadi.
"Ukh.... Aku tak bisa melakukan apapun," dia menjadi stres sambil memegangi kepalanya sendiri.
"(Kenapa dunia ini begitu menekan ku.... Perasaan ku sama sekali tidak nyaman karena mereka begitu menganggap ku sangat gagal... Sangat gagal... Apa yang harus kulakukan, mereka terus mengatai ku begitu, apa salahku, dimana aku membuat kesalahan sehingga itu membuat mereka kesal dan menjadi mengatai ku,)" dia mulai menjadi sangat depresi. Rasa yang tak akan bisa hilang akan terus melekat selama dia di aliri oleh hawa suram yang terus bersamanya.
Tapi tiba-tiba saja, bolpen tintanya jatuh dari sakunya. Ia terdiam lalu mengambilnya. Sambil melihat bolpen itu ia juga ingat pada perkataan gurunya seperti dalam 2 penglihatan dimana dia yang berposisi di bentak oleh gurunya dan juga di tuntut oleh ibunya sendiri, tapi mendadak telingan nya berdenging.
"Ahhh..." ia terkejut dan refleks menjatuhkan bolpen itu dan menutupi kedua telinganya. Suara menyakitkan itu tak mau berhenti. Pen bahkan hampir kejang dan jatuh di lantai.
"Aku, sangat takut."
Dia sendiri bernapas berat dan sedikit bingung merasakan suara yang sangat aneh itu dan ia juga menatap ke arah bolpenya. "(Apa yang terjadi?)" ia mengambil bolpenya. Lalu menjadi mengkerutkan alisnya dan menggigit bibir nya.
Ia ingat sesuatu saat dia berumur 10 tahun, saat itu dia sedang menunjukan sesuatu pada ibunya yang memasak di dapur.
"Ibu... Apa aku bisa menjadi novelis?" tatap Pen.
Tapi ibunya terdiam dingin dan menoleh pada nya.
"Ibu hanya ingin kau fokus pada pelajaran di kelas. Menjadi novelis itu tidak ada gunanya jadi berhenti berangan angan seperti itu," balas nya membuat Pen terdiam.
Tapi Pen tidak menyerah, dia bertanya lagi di umurnya yang terus bertambah. "Ibu, aku mendapatkan pengakuan dalam akun novel ku, aku butuh tanda tangan orang tua untuk mendapatkan kontrak, aku ingin menjadi penulis...." tatap Pen dengan baik baik.
Itu memang bukan kali pertama ibunya mendengarkan permintaan putrinya yang menurutnya tidak patut di berikan dukungan. Hingga di saat itu juga kesabaran nya habis. "Pen!! Fokus pada belajarmu! Baiklah, begini saja, kau boleh menulis, tapi jangan sampai kau menjadi siswa paling bodoh di kelas! Hampir selama bertahun tahun kau tidak pernah berprestasi kau tahu itu!! Ibu tak akan mendukung apapun selain pelajaran sekolahmu...." Sampai saat itu dia ingat perkataan ibunya yang tidak sama sekali mendukung.
"(Jika aku tidak mendapatkan dukungan dari keterampilan ku, ini pasti akan sangat mudah aku jalani, namun apa daya nya... Masa lalu yang membuat ku seperti ini,)" dia menjadi teringat masa lalu nya yang terasa sangat kelam, tak diperdulikan, ibunya tidak menghargai usaha, tapi dia menunggu hasil yang bagus dari Pen yang bahkan bisa di bilang mustahil.
"(Aku sadar, aku telah sadar menjadi orang paling aneh, aku seperti pecundang, aku tak bisa melakukan kontak sosial dengan baik membuat pengawasan ku tidak pernah naik. Aku sadar aku tak bisa paham akan pelajaran sekolah yang selalu memaksa.... Tapi aku juga tahu batasan yang baik untuk tubuhku, apakah ini salah...?)"
Tapi tiba-tiba saat ia ingin mengingat sesuatu yang kelam itu, jantung milik nya berdetak sangat keras dan sakit, sangat perih dan seperti ada sesuatu menekan nya.
"(Apa yang!!! Apa yang terjadi.... Rasanya seperti tertekan!!)" dia meremas baju di bagian dada milik nya dengan rasa sakit. Tanpa sadar, dia sudah mengalaminya berkali kali, tapi memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Hingga tak lama kemudian ia kembali tenang dan masih berada di tempatnya. Tapi meskipun begitu, ia hanya bisa merenung dan kemudian mengambil ponselnya. Ia mencari sesuatu di internet soal masalahnya.
"(Aku selalu mencari di internet soal kondisiku, terkadang aku bisa pusing berlebihan, tidak nafsu makan bahkan air yang aku gunakan untuk mandi selalu saja menjadi air es ketika menyentuh tubuhku. Aku selalu tidak fokus belajar, dan soal bagaimana dadaku di buat sakit akan kenyataan...)"
Hingga ia selalu menemukan saran untuk ke dokter. Pen yang selalu mendapatkan jawaban sama hanya bisa menghela napas panjang. "(Aku tak ada pilihan lain, selain ke dokter... Jika aku ingin ibu menemaniku, dia pasti tidak mau, aku hanya akan di anggap lemah olehnya... Jadi mungkin, aku akan pergi sendiri sepulang sekolah...)"