Chapter 3 Kurang Sakit?

Karena tak mendapatkan obat itu, Pen berniat membelinya di apotik. Saat menghadap farmasi, ia mengatakan 2 obat itu. "Aku ingin antidepresan dan antipsikotik."

". . . Untuk apa?" wanita farmasi menatap terkejut.

"Em... Tidak, hanya untuk pekerjaan sekolah," Pen tersenyum mengalihkan perkataan. Dia terpaksa berbohong. Meskipun berwajah curiga, itu tetap pekerjaan nya dan dia tidak berhak tahu masalah pembeli, lalu akhirnya wanita farmasi itu memberinya 2 obat itu sesuai dengan permintaan Pen tanpa menanyainya lebih lanjut.

"(Aku mungkin tidak dulu meminumnya, aku tak tahu kapan depresi itu akan datang lagi,)" ia meletakan 2 obat itu di laci dan melihat jam dinding menandakan waktu malam telah tiba.

"Aku bahkan melewatkan makan malam lagi,"

Hari esok tiba, Pen bangun duduk dengan rambut nya yang panjang. Rambut Pen memang sangat panjang, karena dia selalu mengikatnya kuncir kuda menjadikan nya terlihat simple.

Sekarang Pen memang bangun subuh lalu memakai jaket dan headset, ia berjalan keluar berniat melakukan lari pagi sambil mendengarkan musik dari headset nya. Ia melakukan itu untuk mengurangi rasa beban pikiranya dengan melihat jalanan yang sepi di kompleks subuh nya.

"(Kadang aku berpikir, pemandangan seperti ini memang lah sangat bagus untuk hati milik ku, meskipun hanya sederhana tapi ini akan sangat berarti karena aku hanya bisa melakukan nya satu kali di hari libur.)"

Sudah setengah kompleks ia lewati dan berhenti sambil bernapas lelah. Ia lalu terdiam mengingat semuanya. "Aku merasa, diriku payah," ia menengadah menatap langit. Lalu seseorang berjalan mendekat. "Pen..." rupanya Bu Nia. Pen menoleh dan terkejut ia bahkan hampir salah tingkah.

"Kenapa kau ada disini?" Bu Nia menatap. Tapi Pen hanya diam dengan gugup.

"Hei, aku bertanya padamu?" Bu Nia menatap lalu ia baru tahu bahwa Pen memakai headset.

"Maaf aku agak gugu..."

"Oh, bagus yaaa, kau mulai bersikap tidak sopan padaku Pen," Bu Nia menyela. Sementara Pen tak tahu apa-apa sambil melepas headsetnya.

"Dimana sopan santun mu dan sikapmu. Kau itu perempuan seharusnya tahu apa yang harus kau lakukan didepanku."

"Maafkan aku, aku memang lambat menyadarinya, aku juga masih bisa mendengar suara dari balik headsetnya," Pen mencoba meminta maaf.

"Halah alasan kamu ya."

Lalu tak disangka Ibu Pen datang. "Pen...?"

"Oh, selamat pagi Ibu Pen," Bu Nia langsung bersikap ramah, dia juga sepertinya mengenal Ibu Pen dengan sangat baik.

"Ada yang bisa di bantu?" Ibu Pen menatap. "(Apa jangan jangan Pen membuat masalah lagi?)" ibunya langsung melirik ke Pen yang tidak berani menatapnya.

"Ah putri ibu, sepertinya bermasalah di SMA ini, dia selalu meremehkan saya," kata Bu Nia.

"(A-apa yang dia katakan, itu tidak benar,)" Pen terkejut sendiri. Lalu ibunya menatap kecewa dirinya.

"Pen, ada apa denganmu, bukankah aku sudah mendidikmu dengan benar, kenapa sikapmu seperti ini. Lihat teman-teman mu dekat sini, mereka bahkan tak sampai dipanggil guru mereka, dan kamu, selama kamu di panggil beberapa kali ke ruang guru, kenapa tidak pernah mengatakan nya padaku!" Ibu Pen menatap nya yang ada duduk di sofa bersamanya. Mereka sudah pulang tadi.

"Ibu, itu semua sangat salah, aku tak pernah meremehkan nya," Pen mencoba untuk menjelaskan tapi saat ia melihat wajah Ibunya yang marah, ia menjadi terdiam dan tak berani berkata apa-apa.

"(Aku benar-benar tak bisa mengatakan apapun, ini mungkin karena aku tidak bisa membela tubuh ku sendiri dengan adanya mulut yang tidak mendukung sama sekali. Sebenarnya apa yang harus kulakukan... Aku butuh seseorang untuk membela ku,)" Pen hanya terdiam menundukkan wajah.

"Pen!! Kenapa selama ini tidak memberitahu!! Aku ini ibumu!!" dia tiba-tiba membentak Pen membuat Pen terdiam dengan pandangan kosong.

"Aku, hanya, tak ingin, ibu marah padaku.."

"Ingat ini Pen, jika sampai kau berulah seperti ini lagi.... Ibu akan mengurung mu di kamar... Lihat... Apa yang kutemukan di kamar mu!!" Ibunya menunjukan sebuah buku dan kertas naskah cerita.

Pen yang melihat itu menjadi terkejut. "Ibu.... Itu!"

"Itu apanya.... Apakah ini yang membuat mu tak fokus belajar.... Sebenarnya apa yang kau lakukan!!.... Ibu sudah mengatakan padamu bahwa ini semua tidak berguna!! Kau membuat ini sama saja membangkang pada ibu!!" teriak ibunya lalu dia berjalan ke belakang dengan membawa kertas naskah yang banyak itu.

"Ibu... Kertas nya mau di bawa kemana!?" Pen mengikutinya dan rupanya kertas dan buku cerita sebanyak itu yang di tulis Pen menggunakan tangan nya sendiri telah di bakar semuanya oleh ibunya didepan mata nya.

Pen menjadi terkaku dengan cahaya api yang terpantul ke mata nya. Karya yang dia buat dengan tulisan tangan telah hancur dan terbakar di depan rumahnya juga pandangan bola mata yang ikut terbakar.

"Ibu tak akan pernah mengizinkan mu melakukan hal yang berkaitan dengan seni, karena seni tak ada guna nya… Menjadi pegawai negri itu yang ibu inginkan... Dan kau harus melakukan nya," kata ibunya. Dia benar-benar dengan tega merusak keinginan masa depan dan keterampilan Pen sendiri.

Setelah itu Pen terdiam di kamar dan mengambil 2 obat yang ia beli dan meminum satu pil di 2 obat itu.

Dia masih berdiri di depan pintu dengan menggigit bibir nya sendiri. "(Kenapa... Kenapa... Kenapa ini sangat menjadi paksaan untukku... Aku tak mau itu... Aku hanya ingin menjadi seorang penulis.... Tapi kenapa!!)" dia hanya bisa berteriak di dalam hatinya yang mulai menangis tapi mata milik nya sama sekali tak mencoba untuk menangis.

Pen menjadi berlutut jatuh dan meneteskan air mata, dia tak kuat menahan itu semua.

"Aku akan mencoba itu saja," dia menengadah dan berdiri mengambil dua kotak obat langsung itu. Ia bahkan belum membaca seberapa dosisnya untuk umurnya.

Pen meminum dua pil itu dengan air putih yang sudah tersedia lalu duduk dan menulis buku di meja belajarnya.

"(Semua cerita yang aku siap kan telah pergi begitu saja.... Padahal itu adalah waktu... Waktu yang selama ini aku berikan hanya untuk memikirkan dan menulis sebuah cerita... Tapi.... Apa yang sebenarnya terjadi di sini, aku bahkan tak sempat mengupload nya di situs yang susah payah aku buat,)" dia melanjutkan tangis nya.

Namun ia menjadi terdiam di tengah-tengah menulis. Pen terdiam hingga tak sadar tinta bulpen hitam itu menetes di lembarnya. Pen tersadar dan terkejut melihat tetesan itu. Ia kembali terdiam menyesali kecerobohan nya.

"(Kenapa aku sering diam, apa yang membuatku terdiam tanpa sadar, apakah karena aku tidak bisa fokus akan sesuatu, sebenarnya ada apa dengan diriku ini,)"

Di sekolah, Bu Nia membagikan nilai ujian yang sudah dikerjakan dan di nilai. Pen menatap miliknya yang rupanya di nilai merah.

Ia lalu menghela napas dan hanya bersikap biasa lalu menyimpanya. Namun Bu Nia justru aneh dengan sikapnya. Ia lalu mendekat. "Pen, nilai mu sangat buruk, apa kau tak pernah belajar?" tanya Bu Nia.

Pen terdiam saat ia akan menjawan, Bu Nia kembali menyela. "Oh, ya tentu saja, karena kau tak pernah memperhatikan guru saat di kelas,"

"(Apa yang dia bicarakan, aku benar-benar belum paham,)" Pen hanya membisu menatap kosong.

"Dengar semua, Pen adalah salah satu contoh untuk kalian tidak berbuat malas. Entah apa yang kau bisa Pen, aku memang percaya setiap anak itu pasti memiliki bakat, tapi aku belum melihat bakat apapun sama sekali dari dalam dirimu. Jangan sampai kau membuat dirimu benar-benar gagal. Belajar lah dari kesalahan dan dari nilai mu saat ini," tambah Bu Nia.

Seketika mendengar itu Pen terdiam dengan mata membesar tertekan. Bahkan dia mengepal tangan sudah sangat kesal dengan perlakuan itu.

Semua orang di kelas pun menjadi membicarakan nya. Dia mulai memasang mata padanya, hal itu membuat Pen tidak nyaman, dia menjadi dilihat banyak orang bahkan mereka juga membicarakan nya dengan wajah yang sangat buruk.

Setelah itu Bu Nia berjalan pergi dan Pen menoleh ke bulpenya. Ia mengambilnya dan menggenggamnya sangat erat.

"Ingat Pen, kau harus belajar lebih giat lagi," Bu Nia melirik. Di saat itu juga bulpen yang Pen tinggal sangat erat menjadi patah. Teman semeja nya yang melihat itu menjadi terkejut dan merasakan aura membunuh pada Pen. Ia hanya terdiam membisu sementara Pen masih menunduk dengan suasana yang sangat-sangat suram.

"Kita akhiri di sini, aku pergi dulu," kata Bu Nia, lalu ia berjalan keluar kelas karena waktu nya selesai mengajar.

"Pelajaran sudah selesai, mari kita jajan," kata mereka yang asik mengajak teman dekatnya. Mereka semuanya punya teman dekat namun Pen sama sekali tidak. Dia menyendiri dengan kesedihan nya, tak bisa jajan sendiri karena terlalu malu untuk keluar.

"Apa yang harus kulakukan," Pen terduduk di bangkunya sambil menatap bulpen nya.

Tapi ada seseorang yang langsung duduk di depan nya menghadap nya. Pen menaikan pandangan perlahan dan melihat bahwa itu seorang lelaki, tepat nya lelaki yang menatap nya dengan serius.

"Kau Pen bukan?" tatap nya.

Pen yang mendengar itu terdiam sebentar lalu mengangguk. Meskipun begitu dia juga bertanya tanya bagaimana orang mengenalnya seperti itu.

Seketika lelaki itu mengulur tangan untuk berjabat tangan, dengan bingung Pen juga berjabat tangan dengan nya.

"Aku Melda, aku dari kelas sebelah... Kau benar-benar Pen bukan?" tatap lelaki yang bernama Melda itu.

Lalu Pen kembali hanya mengangguk.

"Kalau begitu aku tidak salah orang, kau tahu aku melihat mu tadi di tegur Bu Nia bukan... Dan kau hanya diam saja, wajar saja jika perempuan akan diam tak bisa membela dirinya sendiri. Tapi tak apa jika kau membenci Bu Nia, semua orang juga merasa Bu Nia seperti itu," kata Melda.

"Apa yang sebenar nya kau bicarakan?"

"Aku hanya tertarik jawaban mu, kenapa kau ada di kelas ini sendiri?" kata Melda. Lalu Pen melihat sekitar dan baru sadar kelas itu kosong.

"Tentu saja, mereka semua ke kantin tanpa mengajak ku," dia menjadi sedih dan cemas.

"Jaga mental mu Pen, semua nya akan di selesaikan dengan pembalasan takdir bukan pembalasan dendam... Aku pergi dulu," kata Melda yang berdiri dan berjalan keluar.

Di saat itu juga pen terdiam. "(Sebenar nya.... Ada apa.... Siapa dia.... Aku tak pernah tahu ada lelaki bernama nya di kelas lain.... Tapi... Kenapa aku merasa hanya dia yang baru saja mengatakan penderitaan ku,)"