Di sekolah, Bu Nia membagikan nilai ujian yang sudah dikerjakan dan di nilai. Pen menatap miliknya yang rupanya di nilai merah.
Ia lalu menghela napas dan hanya bersikap biasa lalu menyimpanya. Namun Bu Nia justru aneh dengan sikapnya. Ia lalu mendekat. "Pen, nilai mu sangat buruk, apa kau tak pernah belajar?" tanya Bu Nia.
Pen terdiam saat ia akan menjawan, Bu Nia kembali menyela. "Oh, ya tentu saja, karena kau tak pernah memperhatikan guru saat di kelas,"
"(Apa yang dia bicarakan, aku benar-benar belum paham,)" Pen hanya membisu menatap kosong.
"Dengar semua, Pen adalah salah satu contoh untuk kalian tidak berbuat malas. Entah apa yang kau bisa Pen, aku memang percaya setiap anak itu pasti memiliki bakat, tapi aku belum melihat bakat apapun sama sekali dari dalam dirimu. Jangan sampai kau membuat dirimu benar-benar gagal. Belajar lah dari kesalahan dan dari nilai mu saat ini," tambah Bu Nia.
Seketika mendengar itu Pen terdiam dengan mata membesar tertekan. Bahkan dia mengepal tangan sudah sangat kesal dengan perlakuan itu.
Semua orang di kelas pun menjadi membicarakan nya. Dia mulai memasang mata padanya, hal itu membuat Pen tidak nyaman, dia menjadi dilihat banyak orang bahkan mereka juga membicarakan nya dengan wajah yang sangat buruk.
Setelah itu Bu Nia berjalan pergi dan Pen menoleh ke bulpenya. Ia mengambilnya dan menggenggamnya sangat erat.
"Ingat Pen, kau harus belajar lebih giat lagi," Bu Nia melirik. Di saat itu juga bulpen yang Pen tinggal sangat erat menjadi patah. Teman semeja nya yang melihat itu menjadi terkejut dan merasakan aura membunuh pada Pen. Ia hanya terdiam membisu sementara Pen masih menunduk dengan suasana yang sangat-sangat suram.
"Kita akhiri di sini, aku pergi dulu," kata Bu Nia, lalu ia berjalan keluar kelas karena waktu nya selesai mengajar.
"Pelajaran sudah selesai, mari kita jajan," kata mereka yang asik mengajak teman dekatnya. Mereka semuanya punya teman dekat namun Pen sama sekali tidak. Dia menyendiri dengan kesedihan nya, tak bisa jajan sendiri karena terlalu malu untuk keluar.
"Apa yang harus kulakukan," Pen terduduk di bangkunya sambil menatap bulpen nya.
Tapi ada seseorang yang langsung duduk di depan nya menghadap nya. Pen menaikan pandangan perlahan dan melihat bahwa itu seorang lelaki, tepat nya lelaki yang menatap nya dengan serius.
"Kau Pen bukan?" tatap nya.
Pen yang mendengar itu terdiam sebentar lalu mengangguk. Meskipun begitu dia juga bertanya tanya bagaimana orang mengenalnya seperti itu.
Seketika lelaki itu mengulur tangan untuk berjabat tangan, dengan bingung Pen juga berjabat tangan dengan nya.
"Aku Melda, aku dari kelas sebelah... Kau benar-benar Pen bukan?" tatap lelaki yang bernama Melda itu.
Lalu Pen kembali hanya mengangguk.
"Kalau begitu aku tidak salah orang, kau tahu aku melihat mu tadi di tegur Bu Nia bukan... Dan kau hanya diam saja, wajar saja jika perempuan akan diam tak bisa membela dirinya sendiri. Tapi tak apa jika kau membenci Bu Nia, semua orang juga merasa Bu Nia seperti itu," kata Melda.
"Apa yang sebenar nya kau bicarakan?"
"Aku hanya tertarik jawaban mu, kenapa kau ada di kelas ini sendiri?" kata Melda. Lalu Pen melihat sekitar dan baru sadar kelas itu kosong.
"Tentu saja, mereka semua ke kantin tanpa mengajak ku," dia menjadi sedih dan cemas.
"Jaga mental mu Pen, semua nya akan di selesaikan dengan pembalasan takdir bukan pembalasan dendam... Aku pergi dulu," kata Melda yang berdiri dan berjalan keluar.
Di saat itu juga pen terdiam. "(Sebenar nya.... Ada apa.... Siapa dia.... Aku tak pernah tahu ada lelaki bernama nya di kelas lain.... Tapi... Kenapa aku merasa hanya dia yang baru saja mengatakan penderitaan ku,)"
--
"(Aku benar-benar tak mengerti, kenapa mereka lebih memilih menghindari ku. Tapi aku lebih beruntung karena mereka sama sekali tidak merunding ku. Tidak mungkin bisa menerima ini semua,)" Pen masih terdiam di depan kaca kamar mandi murid perempuan.
"(Kadang aku berpikir sangat mengerikan jika memandang wajah ku di kaca. Ini seperti melihat sesuatu yang mengerikan, aku juga merasa ada banyak makhluk gelap yang kini telah menemaniku.... Aku juga terlihat berantakan,)" dia kembali menatap dirinya di kaca.
Lalu menghela napas dan berjalan keluar. Tapi sebelum keluar ada tiga orang perempuan yang sama masuk membuat Pen berhenti untuk bergantian keluar.
Tapi mereka melihat Pen dan menahan lengan Pen. Awal nya Pen menoleh dengan bingung tapi tiba-tiba satu dari mereka menarik lengan Pen dan mendorong nya hingga Pen menabrak ke tembok.
"Akh...." dia kesakitan dan langsung turun ke lantai bawah.
"Hahaha…" lalu terdengar suara tertawa mereka bertiga yang ada di depan nya.
"Lihat dia... Sangat payah... Hei kau gadis bodoh, sangat bodoh sekali hahaha.... Payah, sama sekali tak bisa bergaul haha…" mereka menertawai nya sangat banyak membuat Pen terdiam kaku dengan mata yang membesar.
"Hei lain kali aku akan memasukan pisau ke dalam tenggorokan mu biar kau tak bisa bicara sekalian...." kata salah satu dari mereka, lalu mereka berjalan pergi meninggalkan Pen yang perlahan menangis.
"(Apa yang terjadi.... Aku baru saja berpikir bahwa aku tidak akan di ginikan.... Kenapa harus terjadi,)" dia menjadi menangis tertekan tanpa suara sama sekali.
Tiga perempuan tadi adalah perempuan dari kelas yang berbeda, tepat nya kelas sebelah dan mereka memang di kenal suka seperti itu pada murid sebelum nya hingga murid yang mereka rundung telah pergi dari sekolah.
Hanya saja Pen tak bisa langsung mengatakan itu pada ibunya. "(Aku tak bisa bilang ini pada ibu... Dia akan berpikir bahwa aku kurang perhatian di sekolah.... Lebih baik aku mencoba menyembunyikan ini,)" dia menjadi berdiri dan membasuh wajah nya agar tak terlihat menangis dan mencoba kuat menghadapi apa yang baru saja terjadi. Tapi tetap saja Pen masih ingat yang tadi.
"(Aku bahkan tak bisa melupakan yang tadi meskipun dia tadi sudah bilang untuk tidak membawanya dalam hati, tapi rasa untuk balas dendam sudah muncul dari dalam diriku.... Mungkin aku akan meminum obat itu untuk mengurangi pemikiran ini,)" dia berencana meminum pil-pil itu lagi sepulang sekolah.
***
Saat dia meminum 2 pil dari obat yang berbeda, ia tak merasakan sesuatu apapun. Pen bahkan mencoba merasakan kontraksi obat itu tapi sama sekali tidak ada. Lalu muncul sesuatu yang membuatnya tenang dalam pikiranya. Semua beban pikiranya terbuang sementara dan hal itu membuatnya senang. "(Ini, ini benar-benar hebat... Untuk sebentar aku merasa nyaman.... Obat ini memang benar-benar bekerja... Aku benar-benar merasa semua beban pikiran ku sudah hilang,)" Pen tersenyum, setelah lama tak tersenyum dia akhirnya terlihat tersenyum senang. Tapi bagaimana dengan hari selanjutnya.
Untuk sesaat saja ia terpikirkan masa depanya. Ia takut dirinya akan menjadi gadis yang tak tahu apa-apa. ". . .Apa yang baru saja kulakukan, seperti mengonsumsi narkoba saja," dia menyimpan obat itu lalu duduk dan belajar di meja kamar nya.