"Gila..." gumam Pen dengan tatapan kosong. Ia ingat bagaimana dia melakukan sesuatu pada seekor kucing. Di mana kucing yang menganggap Pen aman telah berharap ia dielus oleh Pen. Tapi ketika Pen mengarahkan tangannya ke arahnya, ujung pena kanji itu menyentuh perut kucing yang terdiam, tidak tahu bahwa itu adalah bahaya.
Hingga, "tusuk..." dia menusuk perut kucing itu, membuat kucing itu terkejut dan meronta. Tapi dengan kejamnya, Pen menahan leher kucing itu agar tetap diam.
"Meong!!!! Meeoooong!!!" Suara kucing itu semakin besar, dan dia terus mencoba memberontak dengan mencakar tangan Pen. Tapi tangan Pen tidak mau kalah. Dia masih menusuk perut kucing itu dan menggesernya, sehingga menciptakan sayatan besar yang mengeluarkan darah dan seisi perut kucing itu.
Tak hanya itu, Pen menusuk leher kucing itu. Tapi kucing itu belum mati dan masih meronta-ronta.
"Darah..." gumam Pen yang terdiam, membiarkan kucing itu melarikan diri dengan menyeret tubuhnya. Kucing itu terus menyeret tubuhnya, dan sekarat tidak bisa dihindari. Hingga ketika Pen berdiri menatap kucing itu, kucing itu telah menjatuhkan kepalanya, mati di sana.
Tangan Pen penuh darah dan cakaran kucing. Dia mengeluarkan sebuah tisu dan mengelap darah di sana, tak peduli dengan cakaran kucingnya. Ia tetap berjalan seperti biasa.
Hingga tak lama kemudian, terlihat dia pulang dan ibunya sudah menunggu.
"Kenapa lama sekali? Kau tahu ibu sudah menunggumu sangat lama?! Kau seharusnya menghargai ibu yang masak sekarang...." Tatapannya kesal.
Tapi Pen hanya menatap kosong. Ia ingat akan sesuatu.
"(Untuk apa dia memasak? Faktor utama penyebab perceraiannya sudah jelas. Aku tahu, itu karena dia tidak pernah memasak. Dan sekarang dia hanya memasak apa? Dari telur, garam, bahkan gula... Dia tidak pernah memasak. Dia hanya memesan makanan murah dan kemudian membiarkanku makan. Dia memasak nasi saja tidak bisa, berlagak harus dihargai memasak...)" pikir Pen penuh dengan kebencian.
Memang tatapannya semakin suram akhir-akhir ini.
Lalu ia harus mencari alasan lain.
"Aku mencari toko lain karena toko terdekat tutup..." Ia mengulurkan plastik belanjaan yang langsung diterima ibunya. Tapi ibunya menatap tangan Pen yang penuh luka cakaran kucing, dan sebagian masih ada yang berdarah.
"Hei, apa itu? Kau melukai dirimu sendiri... lagi?!!" Tatap ibunya membuat Pen terkejut.
"Pen!! Kau jangan berlagak lebay di sini!! Ingat bagaimana kau menunjukkan bahwa kau melukai dirimu sendiri?! Untuk apa kau melakukannya?! Untuk menarik perhatianku, huh?! Apa maumu... berlagak sok kuat!!!?"
Ibunya menatap tajam, membuat pandangan mata Pen tak bisa tenang. Bahkan pupil matanya bergetar ke mana-mana sambil memegang tangannya.
"(Aku ingat! Aku ingat bagaimana aku ingin menunjukkan bahwa aku sedang terluka, aku mengalami stres dan depresi yang berat...!! Dan itu karena Ibu... Aku masuk ke dalam kamar dan mengambil silet. Dengan sangat takut, aku menyayat pergelangan tanganku secara sejajar. Dan meskipun itu sakit, aku berharap lukanya lebih besar. Tapi itu tetap tidak membuat Ibu mengerti aku...)"
"Pen!!" Tiba-tiba ibunya mengguncang bahunya.
"Pen!! Dengarkan aku!! Kau mau bersikap sok kuat, huh?! Aku tahu kenapa kau ingin melukai dirimu sendiri! Kau pasti ingin caper padaku, kan?! Jika kau ingin cari perhatian, naikkan nilaimu! Jadilah gadis berguna dan buat aku bangga!! Hanya karena aku bersikap begini saja kau bersikap sangat lebay...."
Tatap ibunya lalu melepasnya dan berjalan pergi, membuat Pen benar-benar terdiam, mengepalkan tangan.
"(Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengatasi hal ini... Aku sudah tidak kuat lagi... Aku mengizinkan tubuhku terluka karena aku ingin merasakan sakit luka, bukan sakit karena stres... Dia hanya tidak mengerti...)"
Ia menyimpan rasa dendam yang begitu besar. Mau bagaimana lagi? Ibunya juga bukan seperti seorang ibu yang baik dan hanya bisa membentak.
2 hari kemudian semuanya mulai berjalan kembali normal. Pen kembali terlihat bermain dengan bulpenya di meja sambil menatap guru baru yang ada di depan. Dia adalah Saga, guru perempuan baru mengajar fisika pada kelasnya.
Dia guru yang menyenangkan karena ramah terhadap siapapun, juga memiliki wajah yang cantik.
"Salam kenal semuanya, atas apa yang terjadi pada Bu Nia aku akan menggantikan nya dan mohon bantuan nya ya," dia tersenyum dengan ramah pada mereka yang tampaknya menyukai kecantikan nya, kemudian ia mulai mengajar, tapi ditengah Saga menulis di papan tulis, ada beberapa siswa yang mengobrol.
"Apa kau tahu apa yang terjadi dengan Bu Nia?"
"Ya, dia meningggal karena terbunuh, saksi yang melihat korbanya juga melihat adanya bekas bulpen di mulut dan lehernya."
"Benar-benar sadis dan kejam sekali, siapa yang tega sekali membunuhnya, kematian nya menjadi kematian pembunuhan."
"Tapi itu akan membuat Pen senang karena dia tak dimarahi Bu Nia lagi," mereka menjadi membicarakan Pen.
"Itu tidak benar!!!" Pen menyela dengan suara keras. Ternyata dia bisa mendengar mereka.
Karena teriakan pemberontakan miliknya itu, menjadikan semua orang menoleh padanya termasuk Saga yang menatap ke Pen dengan wajah serius.
"Kenapa kalian jadi membicarakan aku dengan mayat yang sudah mati!!!?" kata Pen, dia akhirnya berteriak dan sekarang mencaci maki mayat Bu Nia.
"Pen, apa kau baik-baik saja?" Saga mendekat dengan bingung.
"Bu Saga, Pen menjelek kan Bu Nia tadi," kata siswa itu yang dengan sialan nya inisiatif mengadu, seketika Pen menjadi kesal dengan tuduhan nya dengan mengepal tangan nya.
"Pen, kenapa kau begitu. (Rupanya benar, dia gadis yang tidak sopan. Pen kau harus berdiri di luar kelas, ini hukuman untukmu,)" kata Saga yang langsung menentukan hukuman untuk Pen.
"Apa maksudnya, aku tidak bersalah," Pen mencoba membela dirinya sendiri tapi Bu Saga tetap tak percaya padanya. Bahkan semua teman-temannya pun memprovokasi dirinya sendiri membuatnya hanya bisa menyimpan rasa dendam nya.
"Oh Pen, aku sudah tahu semua rumor tentang gadis kosong sepertimu..." tatap Bu Saga membuat Pen benar benar tidak percaya.
"(Apa maksudnya? Apa kebodohan ku digunakan untuk perbincangan topik yang buruk seperti itu?! Kenapa... Kenapa, apakah aku salah tinggal di tempat seperti ini, atau dunia memang menginginkan aku terinjak injak begini, kenapa jadi aku yang harus disalahkan?!?)" ia tampak gemetar menahan kebencian nya.
Di dalam pemikiran Bu Saga dia juga tampaknya prihatin sambil menggeleng. "(Ketika aku pertama kali melihat wajah Pen, wajahnya sangat cantik bahkan dia memiliki wajah yang manis di antara semua, tapi begitu aku dengar rumor soal bagaimana dia benar benar menjadi siswa teraneh, aku tidak akan ragu untuk mendukung hal itu karena aku juga iri dengan kecantikan nya. Biarkan dia menyimpan kecantikan nya melalui tingkah laku anehnya....)"