Tak lama kemudian muncul ibu Pen membuka pintu. "Kau sedang belajar?" dia mendekat dan melihat Pen membaca buku ilmu pengetahuan. "Ya, aku mengambil IPA, aku juga harus belajar biologi," kata Pen.
"Bagus, teruskan itu, saat kau mendapat nilai bagus lagi, aku tidak akan melirik anak tetangga lagi ya, belajar yang giat ya.... Ibu akan semakin senang jika kau belajar dan mendapat kan peringkat yang besar," Ibunya menatap lalu berjalan pergi.
Pen yang dari tadi mendengar itu menjadi meremas bukunya. "(Dia, terus saja membandingkan aku,)" dia menjadi tertekan. Tapi entah kenapa dia terpikirkan sesuatu seperti sebuah cerita unik yang harus ia tulis. Ia mencoba melupakanya dalam pikiranya tapi sepertinya tak bisa.
"(Aku tidak bisa menulis cerita... Ibu sudah sangat melarang ku.... Tapi.... Aku sangat stress jika tak membuat satu cerita,)" alhasil ia mengganti kertas kosong dan menulis sesuatu disana dengan bulpen yang selalu ia bawa.
Pen menulis hingga malam hari dan ia sadar sudah malam, ia memberhentikan menulisnya dan menutup jendela kamar. Ia terhenti ketika melihat Bu Nia berjalan sendirian pulang disana. "(. . . Aku selalu ingin berbicara sesuatu dengan nya,)" batin Pen sambil menoleh ke bulpenya. Tapi ia terdiam melihat ujung bulpen miliknya yang terlihat tajam.
Ia mengambil nya dan mengamati dari jarak dekat. "Aku ingin tahu apa yang aku tulis dalam ceritaku selanjut nya ini," dia juga menatap ke cerita tadi yang ia tulis dan menoleh ke jendela.
Dia bahkan ingat bagaimana dia membunuh seekor cicak tanpa ada rasa apapun. Tapi dibandingkan dengan Bu Nia, dia tidak bisa membandingkan cicak mudah di bunuh dan Bu Nia tidak.
"(Tunggu, aku tidak berpikir sejauh itu untuk membunuh... Aku hanya, ingin memastikan apakah sikapnya memang lebih buruk dari pada kuda liar, aku selalu bertanya tanya kenapa orang orang membenci ku dengan mudah, menjatuhkan ku dengan mempermalukan ku dan aku yang sekarang, apakah bisa bertahan lebih lama?)" ia tampak kembali cemas.
Hingga sesaat, ia memikirkan sesuatu. "(Aku, dulunya lahir di keluarga yang utuh... Tapi, semenjak usiaku menginjak 5 tahun, di sana sudah mulai berubah... Dan aku tak ingin mengingat hal itu...)"
--
Bu Nia masuk ke gang tempatnya masuk ke kompleks rumah. Tapi ia mendengar sesuatu di belakangnya, ia menoleh dan rupanya itu Pen dengan memakai tudung jaketnya.
"Pen, itu kau?" Bu Nia menatap. Tangan kanan Pen berada di sakunya memegang sesuatu. Pen mendekat membuat Bu Nia bingung. Lalu Pen menunjukan wajahnya.
". . .Rupanya benar ya, kenapa gadis sepertimu keluyuran malam begini, memang benar kau tidak jelas dalam perilaku. Aku akan menghubungi ibumu..."
"Kau pikir, sangat mudah memainkan pemikiran orang lain yang lebih muda darimu," Pen menyela.
"Apa!?" Bu Nia menatap.
"Berkaitan dengan mulutmu yang sangat berisik, aku ingin sekali merobeknya, tidak, tapi lehermu yang terdapat pita suara itu. Bagian pangkal tenggorokan terdapat pita suara milikmu, aku akan menusuknya sekarang," Pen mengeluarkan sesuatu di sakunya membuat Bu Nia terkaku gemetar. Namun Pen mengeluarkan bulpen nya.
". . .Bulpen? Jangan bercanda. Jaga mulutmu gadis muda, anak muda sepertimu harus belajar menjaga mulut juga, apa kau mau aku panggil orang tuamu, Pen?"
"Aku bisa giat belajar jika kau tidak membuatku stres sambil memikirkan semua kekerasan mulutmu itu.... Kau pikir aku bukan gadis yang hanya di sial kan oleh mu.... Memang benar semua orang hanya melihat tampang orang dari luar saja.... Kau menginginkan aku bicara keras seperti ini, sekarang telan lah semua kata kata yang baru saja aku ucapkan!!" teriak Pen dengan nada tegas. Saat dia marah dia terlihat sangat mengerikan seperti akan membunuh.
"... A-apa yang kau bicarakan, Pen?"
"Siapa lagi kalau bukan orang yang di depan ku... Dengar ini, aku akan memberitahu bagaimana rasanya menjadi mental ku yang saat ini jika kau memandang ku dengan mulut saja," Pen menyela. Pen semakin mendekat padanya yang mulai terjatuh ketakutan.
"P... Pen... Jangan bercanda!!"
--
Hari selanjutnya Ibu Pen membuka pintu kamar. Terlihat Pen duduk manis di meja sambil membelakanginya. Pen menulis sesuatu di balik tubuhnya yang tentu saja tidak di ketahui Ibunya, karena Ibunya hanya membuka pintu dan tidak masuk ke dalam.
"Pen sudah dengar berita hari ini?" Ibunya menatap dengan wajah cemas sekaligus takut, tapi Pen hanya diam sambil terus menulis.
"Pen, Bu Nia, guru di sekolahmu, dia di temukan dalam keadaan meninggal karena dibunuh, benar-benar memprihatinkan, mulutnya dan lehernya ada bekas tusukan bulpen tinta kanji, dasar, siapa yang kejam membunuhnya, apa kau baik-baik saja?" Ibunya menatap akan berjalan masuk, tapi Pen mengatakan sesuatu dengan tenang.
"Aku sudah tahu, biarkan aku konsentrasi menulis ini," Pen hanya membalas dingin lalu Ibunya menutup pintu, dan rupanya Pen menulis sebuah cerita di kertas dengan bulpen tinta. Namun yang ia pakai bukanlah tinta tapi darah merah.
PISAUKU MELUNCUR PADANYA,
MENGENAI LEHER BAGIAN KIRINYA.
DIA TERKEJUT DAN MEMBERONTAK.
DIA BERTERIAK SANGAT KERAS SAMBIL TERJATUH.
DAN MENCOBA MERAIH SEKITAR,
DENGAN TANGANYA YANG SEKARAT.
AKU HANYA BERDIRI MELIHATNYA,
YANG TERSIKSA DIDEPAN MATAKU.
AKU KEMBALI MELUNCURKAN PISAUKU,
MENGENAI LEHER TENGAH DAN MELUBANGINYA.
MASIH BISA BERTERIAK,
LANGSUNG SAJA TUSUK MULUTNYA BEBERAPA KALI.
DIA MULAI KEJANG,
AKU TAK PEDULI.
DAN LANGSUNG BERJALAN MENINGGALKANYA.
Itulah yang ditulis Pen sendiri setelah itu dia membuat alur cerita dan mengunggahnya ke internet. Ia menjadi tersenyum sendiri karena dendamnya sudah terbalaskan dan setelah itu, ia kembali menjadi gadis kosong. Bisa terbayangkan senyumnya yang setelah membunuh seseorang.
Tak lama kemudian, dia beranjak dari tempatnya, tapi ibunya langsung memanggil.
"Pen! Bisa kau belikan telur?" teriaknya meminta.
Hingga kemudian terlihat Pen berjalan di trotoar komplek sambil bergumam mengingat.
"Telur, garam, gula..." ia mengingat sambil bergumam.
Tapi ketika ia dengan tenang berjalan, ada seekor kucing jalanan yang melewatinya. Kucing itu bercorak oranye, ia melihat Pen dengan tatapan mata hijaunya.
"Meow..." suaranya melembut ketika melihat Pen, layaknya dia tahu Pen tidak berbahaya.
Pen terdiam menatapnya. Tatapan Pen berbeda dari mata kucing yang imut, tatapannya lebih tajam. Lalu ia berjalan mendekati kucing itu sambil masih terus bergumam.
"Telur, garam, gula... telur, garam, gula... tusuk... darah... gila..."
Tiba-tiba, apa yang ia ingat berbeda. Ia berhenti mengucapkan kata-kata itu, diiringi dengan mengeluarkan pena yang sama dan berlutut pada kucing itu, yang sekarang menunjukkan perutnya dan tertidur. Ia seperti ingin Pen untuk mengelusnya.
Tapi Pen mengeluarkan penanya dan mengucapkan kalimat terakhir.
"Tusuk... darah... gila..."
Seketika, ujung pena itu langsung melesat ke sana, dan apa yang dia lakukan selanjutnya benar-benar lebih kejam dari apa pun.