***
"Jadi kamu datang kembali setelah pulang sekolahmu ini Pen?" kata Dokter yang duduk didepan nya. Lalu Pen mengangguk dengan sangat pelan. Dia adalah dokter yang sama ketika pertama kali mereka bertemu.
"Tak perlu khawatir soal semuanya, yang harus kau lakukan adalah menghilangkan semua kesedihanmu," Dokter menambah, dia Dokter yang sebelum nya tidak membolehkan Pen memakai obat antidepresan.
"Bukankah aku sudah bilang datang saja di psikolog," Dokter menambah.
"Aku kemari untuk meminta obat... Sakit," kata Pen dengan nada kecil dan di akhir kata yang ia ucapkan, ia tampak sangat menahan kesakitan.
Dokter yang melihat itu menjadi terdiam bingung dan mulai mengamati hingga menyadari sesuatu.
"Ada apa dengan suara mu... Bisa kau buka mulut mu?" Dokter mengambil senter.
Tapi Pen menutup mata dengan wajah sakit. Hal itu membuat Dokter tersebut khawatir.
"Buka, Pen... Jika sakit, berusahalah untuk menahannya... Biarkan aku melihat nya dulu," tatap nya. Dia bahkan berdiri dan berjalan mendekat di samping kursi Pen sambil menunjukan senter yang ia bawa membuat Pen terdiam dan kemudian membuka pelan-pelan mulutnya dengan menutup matanya.
Sebelumnya Pen tidak menyangka bahwa Dokter itu sangat tinggi, tubuhnya juga terlihat berisi, sepertinya tinggi pria seperti itu memang adalah hal yang wajar
Kemudian Pen perlahan membuka mata dengan menatap kosong padanya. Dia juga kebetulan menatap nama pengenal Dokter itu yang bernama Ezra.
Dokter itu menatap di dalam mulut Pen, seketika dia terpucat karena di dalam, lidah bagian belakang Pen tersayat dan terus mengalirkan darah secara perlahan masuk ke dalam tenggorokan.
Di saat itu juga, dia mendengar pertanyaan Pen. "Dokter, memangnya umur berapa aku boleh memakan obat itu?"
"Kenapa kau bertanya sekarang, ada apa dengan mulut mu dulu, tidak kah kau tahu bahwa itu sangat parah, itu menyakiti mu," tatap Dokter Ezra itu.
Tapi Pen hanya diam tak mau berkata kata. Dari sana Ezra mengerti apa yang telah di alami Pen. "(Dia terluka dalam lidah nya, untung nya bukan tenggorokan nya, itu akan menjadi luka seperti sariawan di lidah belakang nya, dan sepertinya itu karena benda tajam...)" dia terus menatap serius pada Pen, tentu saja dia juga mencoba mengaitkan luka itu dengan apa yang di alami pen soal depresinya.
"(Apa jangan-jangan dia membuatnya sendiri?! Biasanya dalam kasus stress remaja begini, mereka akan menyakiti diri mereka sendiri... Aku memang bukan khusus menangani itu, tapi aku tahu sendiri dari rekan ku yang merupakan psikolog, dia selalu bercerita kasus kasus seperti ini dan... apakah gadis ini termasuk?)" dia pikir Pen yang melukai dirinya sendiri padahal itu tidaklah benar.
Lalu menjawab pertanyaan Pen tadi. "Sekitar tujuh belas tahun nanti. Kau bertanya soal obat itu kan, 17 tahun adalah usia paling minimum dan masih harus dalam pengawasan ketat...."
"Bagaimana denganmu, apa kau pernah mengalami hal sama sepertiku? Aku begini, karena sesuatu yang sangat banyak menekan ku..." tanya Pen. Mereka kembali ke pembicaraan obat antidepresan.
". . . Jika dibilang, aku selalu mengalaminya, bukan karena hal yang agak sepele tapi mungkin karena terlalu banyak memaksakan diri untuk belajar, aku sempat putus asa dengan semua pengetahuan yang tak pernah nyangkut di kepalaku, tapi dengan berusaha keras aku bisa menjadi seperti ini, hanya duduk dan pekerja yang simple, pertama kali bekerja aku hampir kena sakit pinggang jadi aku juga berolahraga..."
"Aku yakin, bukan begitu ceritamu mengejar cita citamu," Pen menatap dingin tidak percaya karena nada yang digunakan pria itu benar-benar aneh.
"Haiz... Ya, aku membayar untuk dapat jurusan kedokteran, seharian hanya duduk disini menerima pasien yang sakit apapun lalu bayaran ku selalu besar hampir menyaingi seberapa banyak aku memberikan uang untuk mendapatkan pendidikan."
"Kau terlalu jujur," Pen menatap terdiam.
"Tapi Pen... Menurutku kau istimewa, kau datang ke Dokter umum untuk memberitahu depresi mu seharusnya kau ke psikolog saja, tapi aku senang jika kau kemari, wajah yang manis, Pen," kata Ezra. Entah kenapa tiba-tiba dia mengatakan hal itu, sepertinya dia tertarik pada Pen karena awalnya dia penasaran dengan depresi yang di alami Pen.
"Jangan mencoba merayuku dengan umurmu Dokter," siapa yang menyangka, dengan tenang Pen menatap datar dan kemudian berdiri dari kursinya.
"E-apa, kau tak suka, hei tunggu aku pria dewasa bukan tua, umurku baru 30 ingat itu..."
"Ya, dan kau belum menikah, mencoba mendapatkan sesuatu yang lebih muda begitu," Pen memprovokasinya lagi membuat Ezra terkejut dan terkaku. Bagaimana bisa Pen bersikap begitu, padahal di sekolah maupun di rumah, dia hanya menjadi gadis yang tak berani bicara, namun sekarang, seperti ada sisi lain mengendalikan nya, tepatnya sisi yang lebih baik dari pada dia selalu tertelan ketakutan nya.
"Apa maksud mu, gadis kosong... Aku tidak bermaksud menjadi orang yang aneh, hanya saja aku belum menemukan pasangan yang cocok," Ezra menatap dengan serius. "Karena itulah, mungkin gadis SMA adalah sasaran yang paling enak...."
Pen terdiam berdiri membelakangi nya. "Dokter..." dia menoleh perlahan dengan tatapan kosong. "Aku dengar di internet... Bahwa suka pada seseorang dapat mengurangi depresi," kata Pen. Seketika Ezra terdiam kaku menatap.
"Eh, iya, kenapa memang nya?" Ezra menatap penasaran.
"Sayang sekali, aku tak pernah suka pada seseorang..." tambah Pen sambil berjalan pergi dan benar benar keluar dari sana.
"Gadis itu.... Apa dia benar-benar mencoba untuk main-main dengan ku...?" ia tampak kesal, tapi ia ingat sesuatu dimana ketika ia memeriksa Pen, ia melihat bekas cakaran kucing di tangan Pen.
"(Luka itu terlihat seperti luka baru, meskipun cakaran kucing merupakan luka yang cepat sembuh. Tapi, kenapa harus cakaran kucing? Dan kenapa dia terlihat tidak kesakitan sama sekali...)"
Ezra yang sedang berpikir menatap ponselnya. Dia lalu melihat kontak nama seorang teman. Ketika akan menghubungi, tiba-tiba ada panggilan masuk, membuat Ezra terkejut.
"Maaf, aku belum memanggil pasien selanjutnya!"
Dia awalnya menatap kesal, tapi kemudian terdiam karena yang datang adalah seorang pria yang hampir mirip dengannya. Tampilannya seperti seorang pria berkepala dua.
"Ezra, ini aku. Kau menganggapku pasien?" pria itu menatapnya.
Ezra menghela napas panjang. "Aku baru saja ingin menghubungimu... Kau tidak boleh mengganggu pekerjaanku jika kau tidak sakit..." tatapnya. Rupanya pria itu adalah psikolog yang pernah Ezra bicarakan pada Pen.
"Siapa bilang aku tidak sakit? Aku sakit..." pria itu duduk di hadapan Ezra. "Akhir-akhir ini aku tidak semangat dalam bercinta..." tatapnya.
Seketika Ezra menatap tajam. "Apa kau sengaja memancingku? Mentang-mentang aku belum menikah?"
"Hei, aku tak ada niatan begitu kok. Hanya saja, aku sudah bosan dengan istriku..." pria itu menatap Ezra.
"Kau tidak bisa bicara seperti itu tentang wanita, Tuan..." Ezra menatapnya tajam.
"Kalau begitu, aku menyesal menikahi seorang wanita... Seharusnya aku menikahi seorang gadis..." pria itu kembali menatapnya.
Seketika Ezra teringat pada Pen. "Oh benar, aku ingin bertanya sesuatu padamu... Apa seorang remaja yang mengalami depresi bisa ditenangkan oleh seseorang yang dia sukai? Kau kan psikolog, bayaranmu lebih besar dariku, seharusnya kau tahu..." tatapnya.
"Hm... Jarang ada remaja yang depresi di zaman sekarang. Aku juga tidak pernah lagi menerima pasien remaja. Kebanyakan pasienku berusia 20 sampai 40 tahun... Tapi jika kau bertanya begitu... memang benar, riset membuktikan seperti itu. Karena seorang remaja mengalami depresi akibat lingkungan yang tidak mencintainya, sehingga dia juga sulit mencintai seseorang. Jadi jika kita membuatnya mencintai sesuatu, dia juga pasti perlahan akan tahu apa itu mencintai diri sendiri..." pria itu menatap Ezra, membuatnya mengangguk mengerti.
"(Dia adalah Devnath. Orang-orang memanggilnya Dev. Dia adalah seorang pria berusia 36 tahun dan memiliki seorang putra yang masih kecil serta istri yang cantik dan dewasa. Tapi sisi gelap pria ini adalah harimau pengincar kelinci. Dia lebih suka kelinci-kelinci kecil yang manis... alias gadis segar... Dia selalu berbicara ingin merayu seorang gadis, tapi dia menyesal karena sudah menikah, jadi keinginannya terhalang. Meskipun begitu, dia adalah seorang pria yang pandai membaca gerak-gerik seseorang. Dia sangat pandai dalam hal itu, membuatku menyesal kenapa dulu tidak mengambil jurusan psikologi saja...)"
--
Pen kemudian kembali ke tempatnya, dia menatap dirinya sendiri di kaca kamarnya dengan tatapan datarnya. Sebelum dia masuk ke kamar, dia melihat Ibunya yang terduduk di sofa bermain ponsel.
"Aku pulang," dia mengatakan nya dengan pelan.
Lalu ibunya menatap. "Hei, dari mana? Apa kau keluyuran setelah sekolah?" Ibunya menatap tajam.
Tapi Pen membalas dengan lirikan nya. "Hanya ada pelajaran tambahan," setelah membalas itu, Ibunya menatap percaya padahal Pen pergi ke rumah sakit untuk memeriksa luka setelah di tindas tadi, tapi Ibunya kemudian meminta sesuatu.
"Hei, sebelum ke kamar, buatkan aku mie, kau bisa buat mie nya sendiri juga," tatapnya sambil fokus ke ponselnya.
Pen tampak terdiam kesal sambil mengepal tangan. "(Aku tak akan bercerita pada apa yang terjadi dengan lidahku, aku mencoba untuk menahan rasa sakitnya ketika bicara dan sepertinya aku akan terbiasa dengan luka ini, darah yang terus aku telan membuatku berpikir, darah juga membuatku kenyang. Sehingga aku hanya akan memasakan mie untuknya saja, mau bagaimana lagi, setiap hari dia jarang memasak dan kecuali pangggilan pekerjaan, dia hanya akan duduk bersantai tanpa mempedulikan apapun,)" pikirnya hingga ia kembali ke dapur.
Setelah selesai, dia memang sudah ada di kamarnya dan sekarang menatap obat antidepresan yang ada di rak meja belajar yang ia buka. Ia juga kebetulan melihat lembar kertas yang ia tulis di meja belajar menggunakan tinta merah setelah membunuh Bu Nia malam itu.
"(Bukti akan mengarah padaku jika saat itu aku tak memakai sarung tangan. Untungnya tak ada saksi yang melihatnya, itu memang membuatku senang tapi... Ada seseorang yang telah menggantikan mayat itu,)" Pen mengingat wajah Bu Saga. Lalu ia menoleh ke laptopnya yang ada di meja. Ada notifikasi masuk disana dimana novel yang ia buat telah di baca banyak orang dan banyak yang menyukainya.
Pen hanya berwajah biasa sambil menutup layar laptopnya. "Aku tak bermaksud menggunakan kenyataan untuk hal seperti ini,"
"Pen..." Ibunya tiba-tiba datang membuka pintu membuat Pen terkaku, tapi ia mencoba tenang dan tidak bergerak.
Untungnya Ibunya hanya menyampaikan permintaan. "Bisa kau beli beberapa baju ukuran Lucas"
"Lucas, siapa?"
". . . Apakah kau lupa? Dia sepupumu. Dan sepupumu itu akan datang hari ini, dia butuh beberapa pakaian santai nanti, jadi jangan lupa membelinya," kata Ibu Pen, lalu ia menutup pintu.