Ada saat dimana, 10 tahun yang lalu, Pen berjalan pulang dari sekolah sambil melamun, mengalihkan kesadaran nya dari hiruk-pikuk jalanan.
Namun, tiba-tiba seseorang menabraknya—atau lebih tepatnya, sengaja menabraknya. Tubuh nya terdorong mundur, sementara pria itu tetap berdiri kokoh. Dia langsung buru-buru meminta maaf.
“Ah, maafkan aku…” ucapnya, menatapnya untuk membaca ekspresinya.
Pen malah tertegun. Pria itu asing dan mencurigakan. Wajahnya keras, penuh garis tajam yang seolah terukir oleh amarah dan kebencian. Tatapannya intens, menusuk, membuat nya tak nyaman. Senyumnya—senyum mesum yang menyiratkan niat buruk.
“Hei… kau sengaja, kan, menabrakku?” suaranya rendah, tetapi cukup jelas untuk membuatku bergidik.
Pen tahu aku harus pergi. Napas nya tersengal, kata-kata nya terputus-putus karena ketakutan, sementara tangannya mulai gemetar.
“Aku benar-benar minta maaf…” bisiknya hampir tak terdengar. Dia menunduk dalam, lalu mencoba berjalan melewatinya. Namun, pria itu mencengkeram lengan nya. Jari-jarinya besar dan kasar, menahan kuat pergerakannya.
“Hei, gadis cantik, tak boleh berjalan sendirian. Nasib baik kau cantik, kalau tidak, aku tak akan melepaskanmu. Tapi sebelum itu…” bisikannya begitu dekat hingga Pen bisa merasakan napasnya yang bau alkohol basi.
"(Aku ingin lari. Namun, sesuatu terjadi.)"
"(Dari belakangku, seseorang muncul. Langkahnya begitu berat, tetapi aku tak mendengar suaranya sebelumnya. Dalam pandanganku yang kabur karena ketakutan, sebuah tangan besar meraihku. Hangat, kokoh—membuatku merasa aman. Dalam sekejap, tangan lainnya mendorong pria itu hingga melepaskanku.)"
“Hei!!” pria itu berteriak marah, tapi ekspresinya segera berubah.
Tatapan garangnya memudar menjadi kepanikan. Dia terdiam sejenak, lalu tanpa berkata banyak, berbalik dan pergi begitu saja.
“Awas kau…” gumamnya sebelum menghilang di antara keramaian.
"(Aku masih terkejut, tubuhku gemetar. Tangan yang tadi menahanku masih terasa di lenganku, mengalirkan kehangatan yang anehnya menenangkan. Aku menyingkirkannya perlahan, lalu menoleh ke belakang.
Yang kulihat membuatku menahan napas.
Sosok tinggi itu berdiri di sana. Sama seperti dalam mimpiku—bayangan yang besar, tidak sepenuhnya nyata. Garis-garis tubuhnya buram, seolah berada di antara dunia mimpi dan kenyataan. Dia tidak melihatku, hanya menatap lurus ke tempat pria tadi berdiri sebelum pergi.
Aku harus memastikan sesuatu.)"
“Tunggu!! Aku mohon, apakah kamu yang selalu ada di mimpiku?!”
"(Aku berlari mengejarnya, tetapi langkahku terlalu lambat dibandingkan gerakannya yang hampir seperti melayang. Sosok itu berjalan menembus keramaian, semakin jauh, hingga akhirnya… hilang.)"
Pen akhirnya berdiri di tengah trotoar, napasnya terengah. Tangannya mengepal, menahan rasa frustrasi.
"(Jika pria itu tadi bisa melihatnya, kenapa aku tidak bisa? Kenapa aku tak bisa melihatnya dengan jelas…?
10 tahun lalu, memang aku pernah melihatnya, tapi ingatan ku kacau dan aku melupakan nya, baru sekarang, baru sekarang ketika aku sekarat aku baru mengingatnya.)"
--
"(Dan sekarang, aku melihatnya lagi... Aku sadar, dialah pria yang muncul di mimpiku. Sosok samar, antara monster dan bayangan.)"
Pikiran Pen kacau. Udara terasa berat, seolah pria itu membawa aura aneh yang mengusik tubuhnya.
Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang jadi nyata. Namun ada yang berbeda. Sesuatu yang membuat dadanya sesak.
Malam sunyi. Angin membawa aroma tanah basah dari hutan. Cahaya bulan redup, membentuk bayangan pria itu.
Sebelum Pen sempat berpikir, pria itu mulai memudar, seperti kabut terserap oleh bayangan.
“Ah, tunggu!”
Suaranya menggema.
“Aku mohon, jangan pergi...”
Tangannya terulur, tapi yang tertangkap hanya udara kosong. Bayangan itu hampir menelan pria itu—lalu berhenti.
Pen menahan napas.
Bayangan itu hanya mencapai perutnya. Pria itu menengadah perlahan.
Mata mereka langsung bertemu.
Mata pria itu gelap, dalam, seperti tak berdasar, bahkan berwarna hitam tak ada warna apapun dari tubuhnya selain kegelapan.
Pen semakin yakin bahwa yang di depan nya adalah sosok yang begitu ia harapkan datang.
“Apakah kau yang menyelamatkanku? Dan 10 tahun lalu melindungiku?”
“Atau... kau yang muncul dalam mimpiku? Atau... seorang monster yang berharap aku mati?”
Wajah pria itu diterangi cahaya bulan. Pupilnya melebar.
Dia tetap diam.
Ia menunduk, matanya terpejam. Tubuhnya membelakangi cahaya.
Keheningan terasa mencekam, Pen menjadi menggigit bibir. Ia juga tampak Frustrasi. Bagaimanapun juga, dia tak terbiasa dengan keheningan ini.
"Jika kau tidak mengatakan apa pun..."
"Aku akan membunuh diriku sendiri. Aku sudah cukup dengan semua penderitaan ini...."
Ucapannya menggantung di udara malam.
Dia melangkah cepat menuju pagar balkon. Tanpa pikir panjang, ia memanjat di sana.
Langkahnya terburu-buru.
Malam hening. Hanya suara sepatunya beradu dengan besi tua.
Pria itu tetap diam. Lalu ia menghela napas panjang.
Bayangan hitam di bawahnya mulai bergerak.
Bayangan itu merambat cepat, melesat ke arah Pen dan melilit tubuhnya. Tidak kasar, tapi kuat. Dingin menjalar hingga ke tulang.
Dalam sekejap—Pen terlempar ke belakang.
“Ahk!”
Tubuhnya bersandar pada sesuatu yang keras. Tepatnya di dada pria itu, tangan nya menahan tubuh Pen.
Dinginnya hilang saat ia diturunkan, berdiri di depannya.
Pen menatapnya, terkejut, ia tak percaya.
Pria yang selama ini ia anggap sebagai ancaman—justru menyelamatkannya.
“Kamu... menyelamatkanku?” suaranya hampir berbisik. “Apa itu artinya? (Dia memang nyata, 10 tahun lalu dia menghilang dan menyisakan ku yang masih seperti pecundang, membiarkan ku menahan semua rasa sakit ejekan bahkan, dia tidak pernah muncul, hingga sekarang, setelah aku membunuh orang.... Dia benar-benar muncul dan akhirnya aku bisa melihatnya langsung....)”
Udara malam terasa semakin berat.
Namun, pria itu masih diam.
Dan Pen, untuk pertama kalinya, merasa bahwa diamnya membawa lebih banyak jawaban daripada yang bisa ia pahami.
“Kamu menyelamatkanku? Apa itu artinya?” tanyanya dengan suara hampir berbisik, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja terjadi.
“Kau sudah puas? Jadi biarkan aku pergi,” kata pria itu dengan nada datar, namun suaranya yang berat dan dalam membawa kehangatan yang aneh, seperti alunan lagu yang tidak pernah dia dengar sebelumnya.
"Apa maksudmu? Kamu pikir aku membuat semua sandiwara ini untuk tidak memanggilmu kemari? Aku ingin tahu kau siapa dan kenapa kau selalu menyelamatkanku? Apakah aku punya masalah denganmu?" Pen menatap tajam.
Di depannya, pria itu berdiri kokoh.
"Aku sudah berusaha membuatmu takut. Aku sudah berusaha menghancurkan kehidupanmu, dan kau masih berpikir aku menyelamatkanmu? Lihat saja bahwa dirinya sudah begitu hancur...." Suaranya dalam dan dingin, bergema seperti bisikan di lorong kosong. "Bukankah aku mengerikan? Kau seharusnya sudah cukup puas melihat siapa aku sebenarnya... Aku adalah monster itu."
Wajahnya mendekat perlahan, napasnya menusuk udara yang kian berat di antara mereka. Pen tanpa sadar mundur, langkahnya menggesek lantai berdebu.
"Kau pasti takut," pria itu melanjutkan, kali ini dengan nada yang nyaris mengejek. Dia kembali berdiri tegak, posturnya penuh otoritas. Tatapannya turun ke pergelangan tangannya, menatap jam tangan tua yang berdetak pelan—seolah membunyikan nada kematian. Setelah beberapa detik, matanya kembali pada Pen, kini lebih gelap, lebih menakutkan.
"Kau harus tahu, kau lebih mengerikan daripada monster yang kau lihat selama ini."
Tangan pria itu terangkat perlahan. Sarung tangan hitamnya menyelimuti kulitnya yang gelap, memancarkan aura misterius. Udara mendadak terasa lebih berat. Dari jemarinya, cahaya hitam berpendar samar, mengaburkan pandangan Pen.
Dan saat itu juga—dia melihatnya.
Mulut monster besar yang menganga di hadapannya.
Siap menelannya dalam sekali gerakan.
"Ahk!!!"
Jeritannya memenuhi ruang. Langkahnya goyah, hampir kehilangan keseimbangan. Jantungnya berdetak liar, napasnya tersengal seperti seseorang yang baru saja diselamatkan dari tenggelam. Tapi seiring kesadarannya pulih, ia menyadari—semua itu hanyalah ilusi.
Pria itu tetap berdiri di sana, tatapannya dingin, tanpa rasa bersalah.
"Aku tidak takut!!" Teriakan Pen mengguncang udara. Pria itu, untuk pertama kalinya, mengangkat alis—terkejut, meski samar.
"Aku yakin kaulah pelindungku 10 tahun yang lalu bahkan sekarang!" Pen melangkah maju, menatapnya tanpa gentar. "Kau menyelamatkanku setiap kali kematianku datang tidak wajar. Kau bukan monster! Kau tidak ingin aku takut padamu. Cukup katakan saja bahwa kaulah penyelamatku! Dan sekarang kau kembali lagi padaku!"
Matanya penuh tekad, meski tubuhnya masih sedikit gemetar.
Keheningan menggantung di antara mereka, begitu tegang hingga hampir menyakitkan.
Hingga akhirnya—pria itu berbicara.
"Jika aku penyelamatmu, atau jika aku adalah monster yang menginginkan kematianmu... apa yang akan kau lakukan?"
"Aku tidak percaya kau monster, justru monster sesungguhnya adalah aku...." Pen menatap kedua telapak tangan nya. "Kenapa kau tidak membiarkan ku mati....?" Tangan nya mulai gemetar menahan rasa bersalah.
Pria itu masih diam. Hingga akhirnya, dia membuka mulutnya kembali.
"Aku... Dewa Kematian."
Udara seolah membeku. Kata-katanya bergema di kepala Pen, seperti palu yang menghantam keras kesadarannya.
"De... Dewa Kematian...?" bisiknya hampir tak terdengar.
Pria itu melangkah mundur sedikit, mengangkat tangannya. Dari bayangan di sekelilingnya, sesuatu mulai terbentuk—sebuah pedang sabit besar dan mengerikan. Ujungnya tajam, seolah mampu membelah udara.
Tanpa peringatan, pedang itu melayang ke arah Pen.
Begitu dekat hingga ia bisa merasakan dinginnya logam pada kulitnya.
"Kau tahu apa yang terjadi jika ujung ini hanya menyentuhmu sedikit saja?" Suara pria itu begitu datar, nyaris tanpa emosi. "Aku bisa membunuh sesuai kemauanku."
Tapi siapa sangka, Pen tampak menutup mata membiarkan itu terjadi layaknya Pen benar-benar tidak mau lagi hidup membuat Pria itu merasa terganggu, dia hanya heran.
Namun, sesaat kemudian, pedang sabit itu menghilang—seperti asap yang tertiup angin.
Pen menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya meskipun dadanya masih berdegup kencang. Dia tadi berharap dia akan di bunuh tapi ternyata tidak.
"Kau ketakutan?" Pria itu bersandar santai, melipat tangan di dadanya. "Sudah melihat betapa mengerikannya aku? Masih yakin aku penyelamatmu?"
Namun, Pen menatapnya kembali. Tangannya terangkat, menunjuk pria itu dengan jari yang sedikit gemetar.
"Jika kau tidak mau aku terus meyakinkanmu, maka berhenti menutupi semuanya. Jika kau terus menghindar, aku justru semakin yakin akan dugaanku!"
Pria itu menghela napas panjang, masih tanpa ekspresi. "Baiklah. Apa yang kau inginkan?"
"Apa yang aku inginkan?" Pen mendengus, frustrasi. "Aku ingin tahu alasannya! Kenapa kematian selalu tidak tepat dalam membunuhku? Apa itu karena kau?! Aku sudah cukup menderita sekatang, kenapa kau malah datang ketika aku hampir sekarat, biarkan saja aku mati!"