Terlihat Pen membuka matanya, dengan mata yang lemas, menatap ke arah atas di mana dia ada di sebuah tempat yang begitu sangat gelap, hujan masih mengguyur di tengah malam.
Pen terdiam sebentar, ia bangun duduk dan mendapati dirinya ternyata ada di sebuah ruangan apartemen yang kecil di lantai atas, balkon terlihat terbuka membuatnya mendengar suara hujan dan guntur kecil secara bersamaan, bahkan angin yang begitu dingin membuatnya harus berdiri dan menutup balkon itu tanpa harus bertanya-tanya kenapa dia bisa ada di tempat itu.
Perlahan, dia menutup pintu kaca balkon dan terdiam menatap keluar. "(Di mana.... Aku....?)"
Ia melihat ke belakang dan menatap sekitar tempat itu yang kosong, lalu melihat ke arah kaca panjang yang memperlihatkan tubuhnya yang berantakan, basah bahkan tak layak dikatakan manusia normal. Dia berjalan ke kaca lalu melihat punggungnya sendiri yang ternyata, lukanya hilang, dia melihat seluruh tubuhnya, lukanya tak ada.
Suatu keajaiban. "(. . . Tidak mungkin....)" Pen malah merasa sedih, seketika ia berlutut dan menatap ke bawah. "(Aku ingat betul, bahwa aku.... Hampir mati.... Apa ini karena... Dewa kematian itu.... Monster itu.... Yang tidak ingin aku mati.... Tidak mungkin...)" Dia yakin sekali, manusia biasa tidak mungkin menyelamatkannya.
"Aku bahkan sudah muak... Aku sangat penasaran dengannya..." gumam Pen, sambil mengepal tangan.
"(Aku bahkan masih ingat, bagaimana aku berpikir dia memang sudah seharusnya tidak ada....)" pikirnya sekali lagi.
\--
Waktu itu, 10 tahun yang lalu, dia terlihat menatap buku akademiknya yang terbuka di atas meja.
Halaman itu penuh coretan angka dan teori, seharusnya menjadi jawaban atas berbagai pertanyaan di dunia. Tapi baginya, saat ini, buku itu tak lebih dari tumpukan kertas kosong tanpa makna.
Tangan kecilnya menopang dagu, sementara matanya yang redup menelusuri huruf-huruf di halaman itu tanpa benar-benar membaca.
Ia duduk di mejanya sendirian, terisolasi di sudut kelas yang terasa seperti dunianya sendiri.
Ruangan itu ramai. Suara bisikan dan gelak tawa terdengar di kejauhan, tapi semua terasa jauh dari jangkauannya.
Namun, suasana itu berubah ketika seseorang mendekat.
"Pen, mau ikut ke kantin?" Sebuah suara lembut namun ragu terdengar. Itu sepertinya suara salah satu teman sekelasnya. Langkah kaki mereka mendekat, menimbulkan bunyi kecil di lantai yang dingin.
Kali ini, Pen benar-benar menggeleng pelan. Kepalanya sedikit bergerak, tetapi matanya tetap terpaku pada buku di depannya. Ia tak berniat menatap mereka, apalagi menjawab. Gestur kecil itu cukup membuat mereka terdiam sebelum akhirnya mundur. Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar lirih, menjauh, tetapi bagi Pen, suara mereka seolah tak pernah benar-benar pergi.
"Bukankah dia aneh? Kenapa kau mengajaknya? Jangan terlalu sok akrab dengan gadis pendiam seperti dia."
Bisikan itu menusuk telinganya, meskipun ia tahu mereka sudah di luar jangkauannya.
"Iya, tak ada yang mau mengajaknya bicara karena dia selalu bertingkah aneh. Dia bilang bisa melihat sesuatu, padahal tidak ada apa-apa."
"Kalau dia terus seperti itu, yang ada dia hanya akan membawa sial..."
Setiap kata terasa seperti luka kecil yang semakin dalam. Buku di depannya menjadi saksi bisu dari rasa sakit yang selalu ia pendam sendirian.
"Tapi nilai akademiknya selalu lebih tinggi dari kita, bahkan dari kelas lain. Dia selalu yang terpintar."
"Dia memang pintar, tapi dia tidak percaya diri. Padahal pihak sekolah sudah menawarinya ikut lomba berkali-kali, tapi selalu ditolak. Sia-sia saja semua yang dia pelajari."
Pen mendengar semuanya. Setiap hinaan yang mereka coba sembunyikan di balik bisikan, setiap sindiran yang menusuk. Suara mereka seperti angin dingin yang merayap, membuatnya ingin meringkuk dan menghilang.
"Aku bahkan heran. Mungkin karena dia selalu diam, dia jadi tidak bisa menunjukkan ekspresi wajahnya. Bahkan pada dunia."
"Dia punya kemampuan, tapi malah membiarkannya tenggelam. Kalau aku jadi dia, aku pasti sudah ikut banyak kejuaraan dan membuat ibuku bangga."
Pen tetap diam, tetapi jari-jarinya mengepal. Matanya masih menatap buku, namun pikirannya melayang. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba mengabaikan mereka, suara-suara itu selalu menemukannya.
Ia tahu kenapa.
Setiap hari, entah bagaimana, Pen bisa mendengar mereka. Bahkan jika mereka berada di kantin, di kelas sebelah, atau di ruangan yang jauh sekalipun, suara mereka selalu sampai kepadanya—jelas, seolah berbisik tepat di telinganya.
Kemampuan ini, bagi orang lain, mungkin terdengar luar biasa. Tetapi bagi Pen, itu adalah kutukan.
Karena meskipun ia bisa mendengar mereka, ia tidak pernah bisa menghentikan apa yang mereka katakan.
Terkadang, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menjawab dalam hati.
"(Kalian bilang aku aneh? Aku memang aneh. Kalian bilang aku pintar? Aku tak pernah meminta ini. Kalian bilang aku menyia-nyiakan kesempatan? Jika aku punya seseorang yang mendukungku, aku mungkin akan ikut kejuaraan itu. Tapi kalian salah. Sekolah tidak mendukungku. Tidak ada yang mendukungku. Mereka hanya menawarkan lomba, tetapi meminta biaya pendaftaran. Aku tak punya uang. Aku tak punya pekerjaan. Aku hanya bertahan dengan uang sisa peninggalan ibuku yang keji. Aku sendirian. Aku selalu sendirian.)"
Ia sudah terbiasa mengatakan itu pada dirinya sendiri.
Namun di balik semua kesepian yang ia rasakan, ada satu hal yang selalu membuatnya bertahan.
Sosok itu.
Bayangan hitam yang selalu datang dalam mimpinya.
Pen tidak tahu siapa dia, apa tujuannya, atau mengapa ia merasa ada ikatan tak kasatmata di antara mereka. Tetapi di saat yang sama, ia takut.
Takut akan jawaban yang mungkin akan ia temukan.
Tapi, itu hanya terjadi 10 tahun yang lalu, setelah itu, semuanya tidak bisa terjadi lagi. Pen tak melihat hal itu lagi, bahkan ketika dia sadar bahwa monster itu sepenuhnya menjadi dirinya. 10 tahun lalu adalah peringatan bagaimana dia akan dilahirkan menjadi seorang pembunuh, dia adalah gadis paling gila.
Karena kekesalan mengingat hal itu, membuat Pen benar-benar lelah. "(Aku sudah muak.....)"
Tetapi kali ini, ia memikirkan sesuatu.
Sebuah ide yang gila.
Sebuah ide yang seharusnya tidak pernah muncul di kepalanya.
"Aku akan melihat wajahnya. Aku akan mengetahui siapa dia."
"Aku akan membuktikan apakah dia benar-benar ingin aku mati, atau justru dia yang selama ini mencegah kematianku."
"Aku akan membunuh diriku sendiri."
"Hingga aku tahu, aku memikirkan sebuah ide yang tidak masuk akal sama sekali. Aku akan melihat wajahnya, pasti, aku akan melakukannya dan aku bertekad ingin mengetahui soal dia. Apakah dia yang selama ini ingin membuatku mati, atau malah dia yang tidak ingin aku mati. Aku akan membuktikannya dengan membunuh diriku sendiri. Jika dia bukan sekadar bayangan. Jika dia lebih dari sekadar ilusi, dia pasti akan menyelamatkanku.
Jika dia tidak muncul...
Maka dia memang monster dan aku sedang berhalusinasi padahal aku sudah ada di neraka.
Malam ini, detik ini, aku akan melakukannya.
Aku tidak peduli apakah aku akan benar-benar mati. Langit gelap tanpa bulan, hanya taburan bintang yang tampak redup, terhalang kabut tipis dan cahaya kota. Apartemen itu sunyi, hanya suara hujan yang deras pelan.
Aku berjalan ke balkon. Angin malam berembus dingin. Aku menatap pagar besi di depanku, dingin dan sederhana, seolah tidak cukup kuat untuk menahanku jika aku memutuskan untuk jatuh.
Kini, keberanian dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Aku naik ke pagar, duduk di sana, kakiku menggantung di udara.
Di bawah, cahaya lampu jalan tampak seperti kunang-kunang yang jauh dan tak bersahabat.
“Hei… kalau kau tidak muncul sekarang, aku akan mati,” bisikku pelan.
Aku menunggu.
Tidak ada jawaban.
Aku mulai berpikir bahwa sosok itu memang tidak ada. Hanya ilusi, hanya harapan kosong yang kuciptakan sendiri.
Mungkin… memang sebaiknya aku mati. Memang selama ini, aku memang sudah gila, setelah ini, aku tidak akan merasakan rasa sakit dan aku akan terbangun di neraka. Aku yakin ini semua hanya halusinasi karena aku terakhir kali ada di bawah sana seperti gelandangan yang melarikan diri dari pembunuhan. Kini aku harus mempertanggung jawabkan kesalahan ku, aku tak peduli neraka panas, karena aku kedinginan sekarang.
Aku melepaskan genggaman dari pagar, tubuhku mulai condong ke depan—
Namun sesuatu menghantamku tiba-tiba.
Dorongan kuat menghantarku kembali ke balkon. Aku terjatuh ke lantai dengan punggung menghantam permukaan dingin. Sesaat, dunia terasa berputar, napasku tercekat.
Seseorang telah menyelamatkanku.
Dan aku tahu siapa dia.
Suara jatuh ku yang renyah di susul teriakan kesakitan. “Ah...” Aku meringis kesakitan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Dadaku naik turun, napasku tersengal-sengal, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi juga karena kejutan yang baru saja menimpaku.
Saat aku mencoba bangun, pandanganku tertuju pada sosok yang berdiri di depan pintu balkon. Bayangan hitam, tinggi dan besar, berdiri di antara aku dan kegelapan di luar. Dia tidak bergerak, hanya diam di sana seperti patung, tetapi keberadaannya sangat nyata. Angin malam yang masih berhembus mengacak-acak ujung jubah bayangannya, menciptakan kesan bahwa dia adalah bagian dari malam itu sendiri.
“Apa... apa...” gumamku, hampir tak bisa berbicara. Tubuhku gemetar, tetapi rasa penasaran mengalahkan ketakutanku. Aku mencoba membuka mataku lebih lebar, berusaha menangkap setiap detail bayangannya yang mengambang di depan mataku.
Bayangan itu perlahan berubah. Dari bentuk yang kabur, sosoknya mulai membentuk wujud yang lebih nyata—seorang pria dewasa yang tinggi dengan bahu lebar dan postur tegap. Pakaian hitamnya menyatu dengan kegelapan, seperti bayangan yang memadat menjadi kain. Sebuah masker menutupi wajahnya, meninggalkan hanya dua mata hitam yang memandangku dengan intensitas yang tak bisa dijelaskan. Mata itu gelap, dalam, seolah-olah menyimpan rahasia dari dunia yang tak kukenal.
Bayangan yang sebelumnya menyelimuti tubuhnya perlahan turun, memperlihatkan sosok yang lebih jelas. Dia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, dilengkapi sarung tangan hitam yang pas di tangannya. Meski begitu, ada sesuatu yang ganjil. Di belakangnya, bayangan gelap terus bergulung dan melayang seperti kabut atau asap, menciptakan aura misterius yang sulit dijelaskan.
“Kau...” bisikku dengan suara bergetar. Tubuhku semakin gemetar, tetapi bukan hanya karena ketakutan. Rasa penasaran dan keterkejutan bercampur menjadi satu. Akhirnya, aku bisa melihat lebih dekat siapa sosok yang selama ini selalu datang, entah untuk menggangguku atau melengkapiku. Wujudnya begitu nyata, tetapi sekaligus terasa seperti ilusi. Dia adalah misteri yang menjelma, dan aku tak tahu apakah aku harus merasa lega atau semakin takut.