Malam itu, aku tidur lebih awal. Tubuhku lelah setelah seharian di sekolah. Kamar apartemenku gelap, kecil, tapi terasa luas dan tak berujung saat lampu dimatikan.
Aku berbaring menatap langit-langit. Siang hari warnanya putih, tapi dalam gelap, ia tampak kelam, seolah menyerap semua cahaya.
Suara jam dinding mulai terdengar. Tik... tik... tok... Biasanya menenangkan, tapi malam itu terasa mengganggu.
Aku memejamkan mata, berharap bisa tidur nyenyak. Tapi tidurku tak pernah damai.
Kadang, aku bermimpi dipukul seseorang. Saat bangun, rasa sakitnya masih ada. Pernah juga aku bermimpi jatuh dari sepeda, dan lututku benar-benar perih. Bagaimana bisa mimpi meninggalkan luka di dunia nyata?
Malam itu, aku kembali mengalaminya. Dalam mimpi, aku berdiri di ruangan kosong yang gelap. Udara terasa berat. Tiba-tiba, bayangan gelap melilit tubuhku, mencengkeram dada dan perutku. Aku berusaha bergerak, tapi sia-sia.
"Hentikan... Aku mohon..." suaraku nyaris tak terdengar.
Pelukannya semakin erat. Dadaku sesak, paru-paruku seolah berhenti bekerja.
Aku terbangun. Napasku tersengal, keringat dingin mengalir di dahiku. Di samping ranjang, bayangan hitam itu perlahan memudar. Aku tahu itu bukan ilusi.
Aku sudah terbiasa dengan keanehan ini, tapi malam itu aku benar-benar takut.
Di dalam mimpiku, aku sering melihat sosok yang sama—seorang pria tinggi berkulit gelap, berambut perak, semakin lama semakin mengerikan.
Setiap kali melihatnya, meskipun dari jauh, dia hanya diam. Dari dekat, dia terus berubah-ubah. Aku mulai berpikir... mungkin masalahku dan masalahnya sama.
Aku yakin dia nyata. Hanya saja, dia tidak mau terlihat di dunia ini. Dia memilih muncul dalam mimpiku—mimpi yang perlahan menghilang dari ingatanku.
Tapi apa yang dia inginkan dariku? Apakah dia pelindungku? Atau Dewa Kematian yang menunggu saatnya menjemputku?
Malam-malam berikutnya, semuanya kembali terjadi. Aku bersiap untuk tidur, tapi mimpi itu menunggu. Menungguku kehilangan kesadaran, lalu menyeretku kembali ke dunia gelap yang penuh kekacauan.
Dalam mimpi itu, aku melayang, bukan dengan tenang, melainkan seperti dilempar tanpa kendali. Ruangan gelap mengurungku, dinding-dinding bayangan seolah mengejek kepanikanku. Aku mencoba meraih sesuatu, tapi hanya kehampaan yang kudapat.
Lalu aku merasakannya—sesuatu yang dingin, basah, dan bergerak.
Tali hitam itu, atau lebih tepatnya, sesuatu yang licin dan berlendir, melilit leherku. Semakin erat, semakin sesak. Napasku tersendat, tubuhku terasa makin berat. Aku menunduk dan melihatnya.
Monster itu ada di sana. Kulitnya hitam pekat, bergerak seperti genangan air beriak. Matanya, merah membara, menatap dengan kebencian. Tangan besarnya mencengkeram kakiku, menarikku perlahan ke arah kegelapan.
Aku berusaha melawan, tapi tidak ada gunanya. "Tolong... Jangan lagi!" suaraku nyaris tak terdengar.
Tiba-tiba, suara tajam mengoyak udara. Lilitan di leherku terlepas. Aku jatuh, terbenam dalam cairan hitam yang kental dan dingin. Seperti pusaran tak berdasar, menyeretku semakin dalam.
Aku tersedak. Air hitam itu meresap ke paru-paruku. Aku berusaha berenang, tapi sia-sia. Dalam keputusasaan, sebuah tangan muncul. Besar, kasar, mirip tangan monster tadi, tapi kali ini terasa berbeda.
Aku ragu. Bagaimana jika jebakan? Jika tangan itu malah menyeretku ke tempat yang lebih buruk?
Jadi aku memilih tenggelam.
Namun, saat aku hampir kehilangan kesadaran, sesuatu menyentuh pipiku. Bukan genggaman kasar, melainkan sentuhan hangat. Aku membuka mata.
Monster itu masih di sana. Tatapannya... iba?
Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, tubuhnya terbelah begitu saja. Tidak seperti luka biasa, melainkan terpotong rapi, seakan diiris pedang tajam. Bayangan hitam muncrat, lalu tubuhnya runtuh, menghilang begitu saja.
Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Langit-langit kamarku menyambutku kembali. Dengan tangan gemetar, aku menutup mata, mencoba menenangkan diri. Tapi mimpi itu masih melekat jelas di pikiranku.
"Mimpi itu lagi..." bisikku, menghela napas panjang.
Tapi kali ini, rasanya berbeda. Seperti sebuah peringatan. Atau... pesan?
Aku juga merupakan seorang gadis yang telah dua tahun bersekolah di SMA, hidup di antara paradoks kutukan dan keberuntungan. Lebih aneh lagi, aku memang memiliki kemampuan melihat sesuatu yang tak dapat dilihat orang lain—bayangan misterius yang selalu menyelamatkan ku.
"Bayangan itu selalu muncul... Tapi apa sebenarnya dia?"
Langit sore merona oranye saat aku berjalan pulang. Angin membawa aroma aspal dan dedaunan kering, menemaniku yang larut dalam pikiran. Namun, lamunanku buyar saat sebuah besi besar dari konstruksi gedung meluncur turun.
Orang-orang berteriak. Waktu seolah melambat. Aku seharusnya mati. Namun, tanpa sadar, tubuhku tersandung dan jatuh ke belakang. Hanya sejenak setelah itu, besi menghantam trotoar tepat di tempatku berdiri.
Tubuhku gemetar. Aku yakin telah melihatnya lagi—bayangan hitam itu melesat di depanku sebelum aku tersandung. Ini bukan kebetulan. Setiap hari, kematian seolah menghampiri, hanya untuk ditunda oleh kehadiran yang tak kasat mata.
Seperti saat aku berdiri di tepi peron stasiun, menikmati suara deru angin yang datang bersama kereta. Tanpa peringatan, dorongan kuat menghantam punggungku, membuat tubuhku hampir jatuh ke jalur rel. Aku bahkan tak sempat berteriak. Namun, sesuatu menarik kerah bajuku dengan kuat, membuatku terjerembab ke belakang.
Saat aku menoleh, tak ada siapa pun di dekatku. Orang-orang hanya menatap bingung, bertanya apakah aku baik-baik saja. Tak ada yang mengaku telah menyelamatkanku.
Kejadian semacam ini sudah terlalu sering terjadi. Sejak kecil, aku selalu lolos dari maut dengan cara yang tidak masuk akal. Seperti saat truk besar kehilangan kendali dan meluncur ke arahku, lalu tiba-tiba berbelok sendiri. Atau ketika pecahan kaca jendela menghujaniku, tapi anehnya, tak satu pun melukaiku.
Bayangan hitam itu selalu ada. Kadang hanya siluet yang bergerak cepat, kadang terasa melilit tubuhku seperti parasit. Aku tidak tahu apakah dia penyelamat atau sesuatu yang lebih mengerikan.
Di tengah segala keanehan ini, aku juga tumbuh dengan kehidupan yang tak kalah dinginnya. Ayahku pergi sebelum aku lahir. Ibu, yang tak sanggup menghadapi kenyataan, menyerah dan meninggalkanku di panti asuhan. Di sana, aku bukan anak yang menangis untuk menarik perhatian, tapi aku tetap menjadi bahan ejekan. Setiap kali seseorang mencoba mencelakaiku, sesuatu selalu terjadi pada mereka.
Akhirnya, aku memilih pergi. Rumah kecil peninggalan ibuku menjadi tempat tinggalku. Retak di dinding dan atap bocor tidak masalah, karena setidaknya itu milikku. Aku tumbuh tanpa wali, tanpa siapa pun yang memelukku saat aku butuh kehangatan.
Saat teman-temanku pulang dengan seseorang yang menunggu mereka, aku hanya pulang ke keheningan. Kadang aku bertanya, jika tidak ada yang menginginkanku, untuk apa aku terus hidup?
Tapi setiap kali aku mendekati kematian, sesuatu selalu menarikku kembali.
Aku ingin tahu siapa dia. Aku ingin melihatnya lebih dekat, meskipun dia menyeramkan. Karena meskipun kehadirannya membuatku takut, ada sesuatu yang terasa... familiar.
Aku tidak berbohong. Ada banyak kejadian yang membuktikannya. Salah satunya terjadi saat aku kecil. Aku hampir tertabrak truk besar yang kehilangan kendali. Orang-orang berteriak, tapi aku hanya berdiri diam, terlalu muda untuk memahami bahaya. Namun, truk itu tiba-tiba berbelok tajam, menghantam tiang lampu, dan berhenti. Aku selamat tanpa luka sedikit pun.
Atau saat aku di apartemenku, jendela besar tiba-tiba pecah. Pecahannya melayang seperti hujan tajam. Aku terpaku, tak bisa bergerak. Tapi bayangan hitam itu muncul—dan kaca yang seharusnya melukaiku jatuh ke lantai begitu saja.
Aku tidak tahu apa sebenarnya bayangan itu. Dia bukan iblis, karena menyelamatkanku di dunia nyata. Tapi dia juga bukan malaikat, karena kehadirannya membawa mimpi buruk tanpa akhir. Aku pernah melihatnya. Sebuah siluet besar, gelap, dan menyeramkan. Kadang, terasa seolah dia melilit tubuhku—seperti parasit, tapi tanpa rasa sakit.
Aku sering bertanya dalam diam. Apa salahku sampai dia terus menggangguku? Kenapa dia tidak pernah menunjukkan siapa dirinya? Tidak adil. Dia bersembunyi, hanya muncul saat maut mendekat.
Aku sudah lama tidak diinginkan. Luka itu tak pernah sembuh, hanya tertutup oleh waktu. Bahkan aku sudah tahu banyak, aku tahu kenapa aku sering di hindari, di benci, itu karena aura ku yang buruk...
"Kalau begitu, kenapa aku masih hidup?"
Kematian selalu gagal mendekatiku. Setiap kali aku di ambang kehancuran, sesuatu menarikku kembali. Seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menolak membiarkanku pergi.
"Untuk apa?"
Aku ingin tahu. Aku ingin melihat sosok itu lebih dekat. Bahkan jika dia mengerikan, bahkan jika dia menakutkan—aku ingin tahu. Kenapa dia terus menyelamatkanku?
Dan lebih dari itu… apa yang dia inginkan dariku?
--
Malam itu, ada saat dimana, aku kembali bertemu dengannya. Langit di luar pekat, dihiasi bintang-bintang yang terasa terlalu jauh untuk dijangkau. Angin malam menusuk kulit, membawa pesan bisu dari semesta.
Namun, meski terus bermimpi tentangnya, aku tak pernah benar-benar melihat wajahnya. Sosok itu selalu samar, seperti bayangan di balik kabut tebal.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyaku, suaraku bergetar.
Di ruang gelap ini, suaraku seolah ditelan kehampaan, menyisakan hanya gema yang nyaris tak terdengar. Aku melangkah pelan, mencari sosok itu dalam kegelapan. Lantai di bawah kakiku terasa dingin, hampir seperti es.
Ia mendekat. Langkahnya tenang, berat, seolah menanggung sesuatu. Saat ia mengangkat tangan, gerakannya begitu perlahan, hampir seperti ritual sakral.
Aku mundur.
Ia berhenti, menurunkan tangannya dengan hati-hati. Seolah takut salah langkah.
"Kenapa?" suaraku bergetar, tapi aku tak bisa berhenti. "Apa selama ini kau yang melindungiku? Jawablah, aku mohon… Aku sudah lama menunggumu."
Aku menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban di dalam sosoknya yang berdiri diam.
Perlahan, bayangan hitam itu memudar. Dari kabut yang mengelilinginya, sesuatu mulai muncul—wajah. Bentuknya hampir seperti manusia. Rahang, pipi, hidung, semuanya ada, tapi buram. Seperti lukisan yang dilumuri air hingga detailnya memudar.
Aku mengerjap, berusaha memahami apa yang kulihat. Tapi semakin aku fokus, semakin kabur wajah itu. Seperti ada tirai tak kasatmata yang menghalangiku dari kebenaran.
“(Apakah kau monster?)” pikirku, meski tak sanggup mengatakannya.
Tapi jika memang begitu, kenapa wajahnya menyerupai manusia?
Ruangan terasa semakin dingin. Keheningan makin menyesakkan. Seolah waktu berhenti, hanya menyisakan aku dan sosok itu yang berdiri diam, enggan berbicara.
---
Sejak malam itu, pikiranku terus dihantui olehnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab menusuk benakku seperti duri. Bahkan saat aku memejamkan mata, bayangan buram wajahnya terus muncul di sudut pikiranku.
Kegelapan kamarku terasa sama seperti ruang gelap dalam mimpi itu.
"Apakah dia benar-benar melindungiku? Atau sebenarnya… dia sesuatu yang lain?"
Kekhawatiran itu tak pernah mereda. Malam-malamku penuh kegelisahan. Aku sering terbangun dengan napas tersengal, seperti baru saja berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Mataku terbuka lebar, menatap langit-langit kamar yang kosong.
Tapi… aku selalu merasa ada yang memperhatikanku.
Dan ketika aku akhirnya tertidur, mimpi itu datang lagi.
Ruang gelap. Langkah kaki. Sosoknya yang muncul perlahan. Aku mencoba menghadapinya, tapi wajahnya tetap buram. Seakan menjadi teka-teki yang tak mungkin terselesaikan.
Aku terbangun dengan dada sesak, keringat dingin membasahi tubuhku.
“Kenapa dia selalu muncul? Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?”
Tapi tak ada jawaban. Hanya kesunyian malam yang menemani.
Siang harinya, aku mencoba mengalihkan pikiranku. Berusaha melupakan semua ini.
Tapi sia-sia.
Bayangan wajahnya sudah tertanam dalam benakku, mengikuti ke mana pun aku pergi. Bahkan di tengah keramaian, aku merasa dia berdiri di sudut, mengawasiku dalam diam.