Chapter 16 Dimana?!

"(Obat itu sudah kosong. Ada banyak pil di dalamnya. Jangan bilang dia selalu mengonsumsinya...)" Ezra berlari mengecek setiap kamar hingga menemukan bercak darah yang menuju ke sebuah ruangan, tepatnya kamar Pen di lantai atas. Darah itu tercecer di setiap tangga. Ezra pun langsung menaiki tangga.

Karena berlari panik tadi, ia jadi bernapas cepat, kelelahan. Sekarang ia berdiri di depan pintu kamar Pen, masih terengah-engah.

"(Huf... Aku harap ini tak seperti bayanganku,)" Ezra membuka kamar yang gelap itu.

"Uh... Terlalu gelap. Di mana saklarnya?" Ia meraba tembok mencari saklar, tapi di kakinya ia merasakan suatu cairan hangat. Lalu, setelah menyalakan lampu, ia tahu apa yang terjadi.

Betapa terkejutnya dia, Pen terbaring di depannya dengan punggung terluka bekas sayatan pisau yang sangat banyak. Darah Pen mengalir di kaki Ezra.

"P-PEN...!!" Ezra berteriak, mendekat, dan mengangkat kepala Pen yang tak sadarkan diri. Pipi kiri Pen juga tersayat sebanyak tiga kali. Ezra tampak terdiam dan menggendongnya di dada. "Bertahanlah! Aku akan mengobatimu. Bertahanlah, Pen!!"

Namun, tangan Pen tiba-tiba bergerak, membuat Ezra terdiam.

"... D... Dokter... Ma... Maafkan aku... Aku... menyedihkan," bibir Pen bergerak.

"Pen!! Tidak, Pen... Kau tidak menyedihkan... Bertahanlah! Aku mohon!! Aku akan membawamu!" Ezra hendak menggendong Pen.

Namun, Pen terkejut kesakitan ketika punggungnya tersentuh. "Ahhhkk."

"Hah? Apa?!" Ezra ikut terkejut, menarik kembali tangannya dan melihatnya berlumur darah Pen. "Sial, ini sudah banyak sekali darah yang keluar. Dia akan mati kehabisan darah."

"Maaf, Pen. Tahanlah sedikit saja," Ezra tetap mengangkatnya, lalu membawanya ke rumah sakit.

"(Apakah itu dibutuhkan? Setelah membunuh seseorang, apakah sikapnya menjadi sangat mengerikan? Bahkan, dia begitu ringan tangan untuk melukai dirinya sendiri. Aku tahu ini sudah terlalu berlebihan. Dia membunuh orang di malam itu dan malam sebelumnya, yang bahkan tidak akan kuketahui. Malam itu telah menjadi malam darah, dan rumah itu telah menjadi rumah darah.)"

--

Pen membuka mata, ia ada di ranjang sebuah rumah sakit dengan pakaian pasien nya. Ia terbangun duduk melihat sekitar. Lalu ada yang membuka tirainya dan rupanya itu Ezra. Sudah jelas Pen diletakan di ruangan milik Ezra yang sudah lengkap dengan ranjang dan tirai rumah sakit. "Oh, kau sudah bangun, bagaimana perasaanmu?" Ezra menatap.

Tapi Pen hanya diam menundukan wajahnya.

". . . Punggungmu, terluka sangat parah, banyak sayatan di setiap pinggirnya... Sebenarnya apa yang terjadi padamu?" tanya Ezra dengan pakaian putih dokternya. Tapi Pen masih saja diam.

"Sepertinya dia sudah terkena anhedonia. Aku akan kembali sebentar lagi, istirahatlah terlebih dahulu," kata Ezra yang berjalan keluar dan menutup tirai nya.

Pen menjadi terdiam mengalamun melihat tangan nya sendiri. "Aku... Akan ketahuan."

--

"Dokter Ezra, terima kasih atas kerja kerasnya, selamat kembali pulang," kata resepsionis rumah sakit.

Lalu Ezra kembali lagi ke ruangan nya dan membuka tirai dimana Pen tadi berada.

"Aku tidak bisa menghubungi orang tuamu dari tadi, aku akan mengantarmu pulan— Ezra menghentikan bicaranya dan melihat bahwa Pen tak ada disana. Ia menjadi terkejut dan panik. "(Kemana dia, jangan sampai dia pergi dengan luka yang masih basah... Lagipun, dia masih terkena overdosis... Sial...)" Ezra berlari pergi mencari Pen. Disertai hujan deras yang tiba-tiba saja datang dan ikut menghambatnya dalam mencari Pen.

Sementara itu Pen sudah sampai di rumahnya sendiri. Disana rupanya ada seorang tetangga yang mengetuk pintu. "(Kenapa tak ada Pen... Orang tua nya pun juga tak ada,)" ia menjadi akan berbalik akan pergi. Namun ia terkejut Pen sudah ada di depanya ke hujanan. "P-pen..."

". . . Kau... Kenapa?" tetangga wanita itu menjadi ketakutan melihat kondisi Pen di tambah malam yang gelap. Tiba-tiba Pen mendorongnya masuk. "Ah... Tidak!!!!"

--

"Di mana... Di mana dia... Dia tidak mungkin jauh, kan," Ezra berlari di jalanan basah, hujan mengguyur tubuhnya tanpa ampun. Entah kenapa, hujan ikut datang dengan derasnya dari tadi, menambah berat langkah pencariannya yang tak kunjung berujung.

Tapi pencariannya tak kunjung selesai karena tak tahu Pen sudah berada di mana. Kepalanya terus menoleh ke kanan dan kiri, lalu ia mencoba ke rumah Pen, satu-satunya tempat yang mungkin dituju.

Sesampainya di sana, Ezra terdiam di depan pintu yang terbuka setengah. Lampu ruang tamu menyala redup. Ia melihat kaki seorang perempuan tergeletak tak bergerak di dalam.

Ezra berjalan masuk dan terkejut melihat Pen duduk di atas tetangga itu dengan masih memegang sebuah benda tajam yang terbuat dari pecahan kaca. Di sampingnya juga terletak tempat meja kaca berada—meja itu sudah hancur, pecah berkeping-keping, seolah baru saja dihantam amarah yang tak terkendali. Sudah dipastikan bahwa kaca meja itu pecah dan Pen mengambil satu pecahan, menggunakannya sebagai pisau yang menancap di dada tetangga wanita itu.

"P-Pen..." Ezra terdiam tak percaya.

Pen menoleh, wajahnya pucat, matanya kosong namun basah. Bukannya menyerang Ezra, ia malah berekspresi terkejut, seperti baru sadar dari mimpi buruk. Tiba-tiba Pen berlari kencang keluar, langkahnya terburu dan tak beraturan, meninggalkan jejak basah di lantai rumah itu.

"Hah... Pen..." Ezra terkejut dan segera mengejarnya keluar.

Pen berlari sangat cepat, menyusuri gang sempit dan jalan licin, tapi untungnya Ezra bisa memadai larinya karena kaki Ezra juga lebih panjang dari Pen. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun cepat. "(Ke mana dia akan pergi?) Pen!! Berhentilah!!" teriaknya, tapi hanya dijawab oleh gemuruh hujan dan langkah yang semakin menjauh.

Pen begitu panik, matanya liar, napasnya terengah-engah. Hingga pada akhirnya, di depannya adalah jalan raya. Lampu penyebrangan pejalan kaki telah berubah menjadi merah. Mobil-mobil mulai bersiap melaju. Tapi Pen tak peduli. Dalam detik-detik penuh ketegangan, dia tetap berlari. Detik terakhir dia melintas membuat mobil-mobil yang hendak melaju mengerem mendadak, klakson dibunyikan keras, suara ban menggesek aspal, tapi Pen benar-benar berhasil sampai di seberang. Membuat Ezra berhenti berjalan, tangannya terulur ke depan, tapi tubuhnya tak bisa bergerak karena arus kendaraan sudah memenuhi jalan.

"(Sial!)" Ia melihat ke arah Pen yang terus berlari, bahkan masuk ke kawasan gang sempit. Cahaya jalanan makin temaram, suara hujan makin menelan segalanya, membuat Ezra terdiam, menggertakkan giginya. "(Sial... Pen!!!)" Hingga pada akhirnya, dia kehilangan Pen di balik bayangan dan gemerlap air hujan yang memantul dari lampu jalan.

Bahkan ketika dia mencari ke mana pun, Pen tidak ditemukan. Gadis itu, dengan penuh luka, kabur begitu saja.

"(Sial... Sial!!)" jeritnya dalam hati, frustrasi, matanya menatap kosong ke arah jalan yang baru saja ditinggalkan Pen.

-

Sementara itu, Pen terlihat berjalan lambat, tubuhnya menggigil. Ia menahan tubuhnya yang mulai lemas dengan menyandar di dinding dingin sebuah gedung di gang sempit. Lampu gang remang-remang memantul di genangan air dan dinding basah. Perlahan dia jatuh dan duduk, punggungnya bersandar di dinding kasar yang lembap.

"(Kenapa... Kenapa aku lari... Bukankah aku sudah puas melakukan banyak hal... Dari kecil, aku selalu saja sial... Sial... Sial... Tak hanya hinaan, tapi takdir layaknya ingin aku mati...)" pikirnya, dan darah masih mengalir pelan dari luka di lengannya.

Tapi mendadak, ketika dia menengadah melihat ke atas, dia terkejut karena ada papan iklan besar di atasnya yang goyah tertiup angin, siap jatuh, akan tepat mengenainya, membuat Pen terdiam pasrah.

"(Takdir ini... Muncul lagi... Takdir tidak suka padaku, dia ingin aku mati... Karena aku sudah membunuh orang... Sekarang, ini baik-baik saja jika aku mati...)" Dia menutup mata perlahan. Suara papan kayu yang bergoyang terdengar semakin nyaring. Tapi siapa yang menyangka, papan itu tidak jatuh mengenainya. Justru jatuh ke sisi lain, menghantam tanah dengan suara keras yang membuat gang itu bergetar. Pen terdiam, tak percaya. Matanya terbuka perlahan, menatap langit yang kini tampak lebih kelabu.

Tapi karena dia sudah sangat terluka, lemas, dan kehilangan banyak darah, tubuhnya tak kuat lagi bertahan. Dia memutar bola matanya dan jatuh tak sadarkan diri di sana. Kepalanya bersandar ke dinding, tubuhnya tergelincir sedikit. Hujan terus mengguyur, dinginnya menyusup masuk, menyelimuti tubuhnya yang tak bergerak—membuatnya perlahan membeku dalam keheningan malam yang kelam.

"(Sebenarnya, sejak kecil, aku mengalami hal-hal aneh yang terasa seperti mimpi buruk tak berujung. Setiap kali aku mencoba melupakan, sesuatu yang baru muncul, mengingatkanku bahwa hidupku tidak pernah normal. Mungkinkah ini kutukan?

Namun, malam itu berbeda. Dalam kegelapan yang mencekam, seorang pria muncul dengan aura yang menakutkan. Dia tampak seperti Dewa Kematian, tapi ada sesuatu yang membuatku tak bisa mengalihkan pandangan.

Setiap malam, aku merasa ada yang mengawasi. Dari sudut gelap kamarku, dari balik tirai yang bergerak pelan, atau dari bayangan di cermin yang seolah bergerak saat aku tidak memperhatikan. Dan anehnya, saat aku datang bulan, semuanya terasa lebih kuat.

Aku ingin lepas dari ini. Kenapa mereka terus menggangguku? Apa yang mereka inginkan?

Sejak kecil, aku tahu ada bayangan gelap yang selalu menemaniku. Aku tidak berani menatapnya terlalu lama, tapi aku tahu ia ada—diam di sudut ruangan, menunggu. Kadang, aku hanya bisa berbaring, memeluk lututku, mencoba mengabaikan kehadirannya. Tapi semakin aku berusaha, semakin kuat tatapannya menembus tubuhku.

Orang-orang menjauh dariku. Mereka bilang aku memiliki aura yang mengerikan, seperti monster.

Tapi apa itu monster? Kebanyakan orang membayangkan makhluk besar yang menyeramkan. Tapi bagiku, monster lebih dari itu. Ia mencengkeram jiwamu, membuatmu merasa kecil, tak berdaya... dan sendirian.

Bagi sebagian orang, monster hanyalah mitos atau ketakutan yang berlebihan. Tapi bagiku, monster itu nyata. Dan yang paling menakutkan? Monster itu mungkin saja manusia. Atau sesuatu yang pernah menjadi manusia, seperti *Shinigami*.

Aku ingin menceritakan kisah ini. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya, apakah aku akan menemukan kebahagiaan atau tenggelam lebih dalam dalam ketakutan ini.

Tapi, itu di mulai sejak 10 tahun yang lalu, bahkan ketika aku masih sangat kecil. Setelah 10 tahun berlalu, aku melupakan kejadian itu, layaknya aku tidak pernah melihat monster itu mengangguku, aku tak merasakan aura itu lagi. Tapi aku sadar, bahwa aku yang telah menjadi monster itu, orang orang melihat aura monter ku membuat mereka ingin menghindari ku dan bagaimana itulah takdir membentuk keburukan di tubuhku.)"