Malam itu, terlihat Bu Saga datang ke rumah Pen dengan menggunakan mobil. Ia lalu berjalan ke depan pintu yang langsung di buka oleh Pen.
"Pen... Bukankah perjanjian kita sudah selesai, kau tidak perlu mengancam ku seperti ini lagi, apalagi memintaku datang, apakah ini berhubungan soal apa yang kau lakukan lagi?" dia menatap dengan sangat ketakutan tapi mencoba tenang.
"Siapa yang bilang aku akan menghentikan nya." kata Pen, karena ia masih memegang foto Bu Saga dengan pria lain, jika di sebar, tentu saja bisa merusak reputasi Bu Saga sebagai guru di sekolah.
"A-apa maksudnya!! Kau bilang bahwa kau akan menghapus nya jika aku sudah membantumu merahasiakan pembunuhan ini dan aku sudah membakar sekantung plastik yang kau berikan waktu itu?!" Bu Saga menjadi berteriak kesal.
". . . Bantu aku sekali ini saja, asal kau tahu, plastik itu belum berisi sepenuhnya daging mereka," kata Pen dengan tatapan kosong membuat Bu Saga gemetar, bahkan ketika mendengar kata daging, itu langsung membuatnya hampir muntah.
"Sepertinya aku akan sakit, dan aku terpaksa."
Ia lalu melihat ke belakang Pen dan terkejut dengan banyak plastik plastik itu. Seketika wajahnya benar-benar tambah sangat pucat.
"Buang mereka ke tempat yang tak akan diketahui banyak orang," kata Pen dengan wajah serius.
Lalu Bu Saga mengangguk dengan cepat karena dia juga tampaknya ketakutan pada Pen.
Setelah itu di rumah Pen tidak ada apapun sama sekali. Ia sudah membersihkan darah yang tercecer dengan oxydol.
Sepertinya dia memang sudah berjaga jaga membeli oxydol untuk membersihkan darah di sana, butuh waktu yang sangat lama karena darah itu sudah membekas kemana mana.
"(Jika ini memang sudah selesai, aku mungkin akan menyerah kan diriku ke kantor polisi... Tapi aku masih memiliki orang yang sangat mengganggu di pikiran ku,)" pikir Pen, rupanya ia terpikirkan Ezra.
Ia masih penasaran kenapa Maelda selalu datang padanya saat itu, padahal dia sudah mati.
Lalu Pen berencana mencari di internet soal pembunuhan tak sengaja oleh Ezra di media sosial.
Tepat pada tiga tahun yang lalu, seorang Dokter bedah hebat memiliki kemampuan tinggi dan merupakan Dokter bedah terbaik dan termuda.
Dia tak lain adalah Dokter Ezra, popularitas nya meningkat seiring dia memiliki apapun, uang, ketampanan, gelar tinggi dan banyak yang berminat padanya.
Namun popularitas nya menjadi jatuh ketika di tuduh membunuh seorang pasien dengan kesengajaan yakni melakukan satu kesalahan karena ia mengambil pekerjaan itu secara gegabah.
Hal itu membuatnya di ancam tidak bisa melakukan pembedahan tanpa izin dari atasan. Sekarang ia lebih fokus menjadi Dokter umum meskipun atasan selalu jarang memanggilnya dalam proses pembedahan.
Korban nya adalah seorang lelaki yang bernama Maelda.
Di sisi lain, Ezra duduk di sofa rumahnya yang sudah gelap karena lampu semuanya mati di tambah gelapnya malam.
Ia duduk bersender seperti lelah. "(Ha... Aku selalu hidup sendirian seperti ini... Sekali kali aku bahkan ingin mencari hiburan sendiri tapi pastinya aku sudah mendapat objeknya.... Namun agak susah mendekati gadis itu... Tunggu, kenapa aku memikirkan umurnya, bukankah aku lebih fokus pada apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan nya, aku harus mencari cara untuk meyakinkan nya, aku harap dia baik-baik saja dengan kondisinya.)"
Pagi-pagi buta, Bu Saga menepuk tangan nya untuk membersihkan noda di telapak tangan nya.
Ia telah dari tempat pembuangan sampah. "(Huf… Akhirnya selesai semua, aku benar-benar tidak menyangka gadis itu membunuh dua orang sekaligus.... Apa dia masih waras?)" pikirnya sambil mengusap kening dari keringat lalu masuk ke dalam mobil. Tapi sebelum ia menyalakan mobil, ia terdiam terpikirkan sesuatu. "(Jika seperti ini terus, apa dia akan membuatku membuang yang lain lagi.... Aku harus menghentikan ini pokoknya!!)" dia kesal, lalu menginjak gas dan menuju ke arah rumah Pen.
Di rumah, Pen ada di dapur, tak di sangka-sangka ia merakit sebuah bolpen dengan adanya silet kecil di dalam boleh itu.
Awalnya ia tenang, tapi saat ia menoleh ke pisau di sampingnya, tatapan nya menjadi merah darah. "(Membunuh orang benar-benar sangat tidak cukup untukku.... Kenapa aku terlahir seperti ini... Lebih baik aku mati di sini,)" ia berencana seperti itu, lalu mengambil pisau itu dan mengangkatnya di belakang kepalanya dengan posisi turun.
Pisau berat itu kemudian di lepas dari tangan Pen. Seketika pisau itu menyayat punggung Pen hingga mengalir kan darah dan jatuh ke bawah.
"Egh….!!" Pen menjadi terkejut gemetar dan sangat kesakitan, sayatan itu benar-benar panjang dari atas hingga bawah.
Ia bahkan meremas ujung meja makan dengan rasa sakit.
"Belum... Cukup.... Aku harus merasakan sakit lebih," ia kembali mengambil pisau itu.
Sementara itu, Ezra duduk di meja rumahnya dengan kaca matanya itu. Ia membuka internet soal gejala akhir depresi.
"(Aku memutuskan untuk lebih dalam memegang tanggung jawab untuk Pen, juga aku harus mengerti dirinya, jika dia masih depresi aku mungkin bisa mengatasinya dengan membaca ini,)" ia memulai membaca artikel yang sudah tersaring benar di sana.
Depresi tentu saja dapat menyebabkan seseorang terpikirkan untuk melukai dirinya sendiri, gejala tersebut akan terjadi apabila penderita sudah tak tahan dengan kesakitan strees yang ia hadapi.
"(Pen bisa saja bunuh diri, tapi karena pikiran nya itu... Dia pasti tidak akan merasakan sakit jika hanya luka saja.... Karena itulah dia akan melakukan banyak luka untuk melihat darah yang ada di dalam dirinya, sepertinya ini memang tanggung jawabku, aku harap ibunya itu segera kembali dari kota,)" batin Ezra yang berdiri dan masih menganggap Ibu Pen pergi keluar kota padahal sudah mati di bunuh oleh Pen sendiri.
***
"Pen.... Buka pintunya!! Pen!!" teriak Bu Saga yang mengetuk keras pintu rumah Pen.
Saat itu Pen ada di dalam dengan banyak luka sayatan di tubuhnya. Ia lalu mencoba berdiri dan berjalan sempoyongan ke pintu depan.
Tak di sangka sangka tangan nya membawa pisau berlumur darahnya tadi.
Ia membuka pintu perlahan dengan melihat wajah Bu Saga yang kesal. "Pen... Aku akan melaporkan mu ke polisi... Tindakan mu ini benar-benar sudah sangat gila," kata Bu Saga. Tapi mendadak pisau di tangan Pen terarahkan ke mata Bu Saga.
"Aaahhhkkkkkk!!!" Bu Saga menjadi berteriak dan Pen menariknya ke dalam dengan tangan penuh darah.
Di sana memang tak ada orang membuat kesempatan Pen menyiksa Bu Saga di dalam dengan menusuk beberapa kali mata Bu Saga.