Chapter 14 Bingkai Foto

Tak ada siapa pun di sana. Hanya angin yang berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan pohon di sekitar sekolah.

"(Apa yang terjadi? Apa itu tadi hanya halusinasi?)" pikirnya.

Sementara itu, teman-temannya yang melihat interaksi antara Pen dan Ezra mulai berbicara satu sama lain.

"Hei... Siapa itu?" seseorang bertanya dengan nada penasaran.

"Apa itu pria yang tergoda oleh Pen?" bisik yang lain, nadanya penuh dengan gosip.

"Wah, bener-bener deh... Tidak bisa disangka," mereka mulai berbisik-bisik, pandangan mereka melirik ke arah Pen dan Ezra dengan ekspresi penuh arti.

Ezra yang mendengar gumaman itu melirik ke arah mereka, alisnya sedikit berkerut. "(Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?)" pikirnya, tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Namun, perhatian Pen masih tertuju ke balkon. Tak peduli dengan omongan orang-orang di sekitarnya, pikirannya masih berusaha mencerna apa yang baru saja ia alami.

Ezra menatapnya dengan tatapan serius.

"Hoi, Pen, apa yang terjadi di sini? Kenapa mereka mengatakan hal itu?" tanyanya.

Tapi Pen masih terdiam, pikirannya berputar-putar dalam ketakutan yang mulai menyelimuti dirinya.

Ia menelan ludah, lalu dengan suara pelan, ia bergumam, "Dokter... Bisa kau jelaskan semuanya? Kenapa aku mulai berhalusinasi?"

Ezra terkejut. Ada sesuatu dalam ekspresi Pen yang membuatnya khawatir—mata gadis itu terlihat kosong, tapi sekaligus dipenuhi ketakutan.

"Apa ini dampak dari depresinya?" pikir Ezra.

"Pen... Katakan padaku... Siapa yang kau lihat?" Suaranya lebih serius kali ini, dan ia langsung memegang kedua pundak Pen dengan kuat.

Pen menatapnya, tapi tak benar-benar melihatnya. Pandangannya kosong, seolah terjebak dalam dunianya sendiri.

Orang-orang di sekitar mereka mulai memperhatikan situasi itu dengan lebih serius.

"Pen... Bilang saja padaku, siapa orang yang kau lihat... Depresi itu telah membuat dampak halusinasi untukmu... Dia akan mengganggumu jika kau tidak beri tahu aku siapa yang mengganggu!!" Ezra berbicara lebih keras, berusaha membuat Pen sadar.

Namun, bagi Pen, suara Ezra terasa semakin jauh. Semakin samar.

Di sekelilingnya, bisikan-bisikan semakin nyaring.

"Apa yang terjadi? Pen punya depresi?"

"Jadi, pria itu adalah dokternya?"

"Gadis seperti ini punya depresi."

"Kasihan sekali."

Bisikan-bisikan itu menusuk pikirannya seperti jarum tajam. Mereka terdengar seperti suara orang-orang di sekelilingnya, tapi juga terasa seperti sesuatu yang lebih mengerikan.

"Tidak!!! Hentikan!!!"

Pen tiba-tiba menjerit, menutup telinganya. Ia berlutut di tanah dengan tubuh gemetar. Ketakutan memenuhi wajahnya, dan matanya yang biasanya bersinar kini tampak gelap—kosong, seolah sedang berada di tempat lain.

Pupil matanya bergetar, napasnya memburu.

Ezra yang melihatnya langsung bereaksi.

"Pen?" panggilnya, tapi gadis itu hanya tetap di tempatnya, seolah tak lagi mendengar suara dunia nyata.

Ezra menatapnya dengan ekspresi khawatir yang mendalam. Ia menarik napas dalam, lalu dengan cepat berlutut di depan Pen.

"Aku akan membawamu. Maaf..." katanya pelan, lalu tanpa ragu, ia mengangkat tubuh Pen dan menggendongnya dengan hati-hati.

Pen tidak bereaksi. Ia hanya diam, tubuhnya terasa lemah, seolah kehilangan semua energi.

Orang-orang di sekitar mereka hanya bisa terdiam, menonton dengan tatapan tak percaya.

Mereka semua tahu... Sebuah rumor baru akan segera tersebar.

 

Malamnya, keheningan menyelimuti ruangan luas itu. Cahaya lampu temaram memberikan kesan hangat, tapi bagi Pen, semua terasa asing.

Ia terbangun perlahan di atas ranjang besar. Kelopak matanya terasa berat, pikirannya masih terasa kabur.

Ia duduk perlahan, memegang kepalanya yang terasa pening. "Apa yang terjadi?" pikirnya, matanya melirik ke sekeliling ruangan.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka membuatnya tersentak.

Ezra masuk, membawa secangkir teh hangat. Uapnya masih mengepul, memenuhi ruangan dengan aroma yang menenangkan.

"Oh... Kau sudah bangun. Minumlah ini dulu," katanya dengan suara lembut, mendekat ke arahnya.

Pen menatapnya ragu, tubuhnya sedikit menegang.

"Tak apa, Pen. Kau akan lebih baik dengan ini," kata Ezra lagi, meyakinkannya.

Akhirnya, Pen perlahan mengambil cangkir itu dan mulai meminumnya.

Ezra duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian.

"Sekarang katakan padaku... Bagaimana perasaanmu?"

Pen hanya menggeleng, menolak mengatakan apa pun.

Ezra terdiam. Kekhawatiran masih terpancar dari matanya.

Tak beberapa lama, Pen tak sengaja melihat ke arah sebuah bingkai foto yang ada di meja depan ranjang. Ia terdiam melihat foto itu. "(Aku seperti mengenal nya?)" ia semakin mengamati dan rupanya itu adalah foto Maelda. Ia menjadi terkejut bermata lebar tak terpercaya.

"Pen.... Kau baik-baik saja kan?" Ezra menatap.

"Dokter... Siapa orang di foto itu?" Pen menunjuk bingkai nya lalu Ezra ikut menoleh. "Oh itu.... Dia adikku, Melda." Dia mengatakan itu dengan tenang dan bahkan itu adalah sebuah fakta yang sangat besar ketika dia mengucapkan itu.

Seketika Pen yang mendengar itu menjadi terkejut tidak karuan ia tidak menyangka bahwa Melda adalah adik Ezra.

"Tapi sayang nya.... Dia telah mati 3 tahun yang lalu," tambah Ezra, fakta mengerikan pun dia katakan tanpa sadar pada Pen yang mengalami sesuatu yang aneh.

"Apa?!" Pen tambah terkejut ketika tahu fakta kedua itu.

"Ada apa Pen? Apa ada sesuatu? Kau kenal dia juga? Tapi mustahil sih, dia memang bersekolah di tempatmu, tapi itu sudah ada 8 tahun lamanya,"

"Ti-tidak mungkin, kau, tidak bercanda kan?"

"Aku tidak mungkin bercanda, dia justru yang aku sayangi tapi malah tidak ada, apa kau mengalami sesuatu yang membuatmu bertemu dengan nya?" tatap Ezra.

"Di-dia yang selalu muncul... Dan bilang bahwa aku tidak boleh putus asa," balas Pen dengan gemetar dan tak percaya. Ezra yang mendengar itu pun juga ikut terkejut tak percaya.

"Kau... Tidak mungkin kan? Dia sudah mati!"

"Tapi aku selalu melihatnya dengan mata kepalaku sendiri..."

"Ti-tidak mungkin…" Ezra tampak masih berwajah tak percaya, bahkan secara tiba-tiba dia memegang kedua pipi Pen. "Kau jangan bercanda dengan permainan mu Pen,"

"Aku tidak bercanda!! Kau pikir siapa yang membuatku terdiam menatap balkon sekolah tadi, itu adalah dia, dan dia ingin bunuh diri, aku juga sempat mengetahui bahwa dia mengatakan dirinya tidak nyata," kata Pen.

Ezra menjadi menelan ludah. "(Tidak mungkin, gadis seperti Pen? Melihatnya? Dan dia mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal?!)"

"Dokter, sebenarnya kenapa dia bisa mati?" tatap Pen. Tapi Ezra sempat terdiam sebentar hingga menghela napas Panjang memberitahunya.

". . . Karena kita hanya berdua saja.... Aku mungkin akan mengatakan nya, bisa di bilang saat itu dia mengalami kecelakaan.... Dan bagian dalam tubuhnya sangat parah dan kritis. Aku yang hanya Dokter bedah satu satunya di rumah sakit menjadi turun tangan setelah mengetahui bahwa adikku sendiri harus di operasi. Tapi aku terlalu gugup mengoperasinya karena aku takut, dia tidak akan selamat di tangan ku.... Dan rupanya benar, aku membuat satu kesalahan fatal yang membuatnya tak bisa di nyatakan selamat... Karena itu adalah kesalahan ku.... Aku di hukum dari pihak hukum dengan ancaman... Aku tidak bisa menjadi Dokter bedah lagi dengan semauku. Aku harus menunggu atasan untuk memberiku perintah melakukan bedah,"

Pen yang mendengar itu menjadi terdiam, ia merasakan wajah Ezra yang sedih menatap ke bawah.

Lalu Pen memegang pipi Ezra membuat Ezra terkejut dan menatap nya.

"Dokter.... Apa kau sedih karena dia pergi?"

"Ya... Untuk sebentar aku terpikirkan dia yang selalu saja cerewet tapi tetap santai. Mengingat kan aku pekerjaan rumah seperti ibu dan kadang bersikap tegas seperti ayah dulu... Tapi jika memang dia muncul dalam mata mu, mungkin kemungkinan kita ada takdir yang terikat... Aku sudah bilang bukan bahwa aku tertarik padamu... Pen," tatap Ezra dengan senyum dewasa nya. Tapi Pen terdiam dan melepas kembali tangan nya.

"Kenapa? Kenapa Dokter tertarik padaku, setelah semua orang mengatakan sesuatu yang buruk soal kita,"

"Aku tidak tahu akan hal itu, dan kalaupun itu nyata, aku tidak akan menggubris hal itu, buat apa memikirkan perkataan mereka yang bahkan tidak akan pernah menjadi benar, aku juga pernah bermimpi, bahwa takdir tidak akan bisa mendukungku soal apa itu cinta dan kasih sayang, jadi takdir meminta ku untuk mencari seseorang yang bisa ku buatkan cinta, awalnya aku bisa menerima adikku itu, dia tipe orang yang paling tenang dan gampang menghiburku, tapi aku telah membunuhnya dalam meja operasi, bahkan setelah dia mati, aku bermimpi dia mengatakan sesuatu. 'Kau akan bertemu dengan seseorang yang membutuhkan cinta dari mu' kurang lebih itu yang dia katakan," kata Ezra membuat Pen agak terdiam mendengarnya, tapi ia tetap terdiam ragu.

"Maaf dokter, tapi aku tidak bisa melakukan hal itu... Aku ingin pulang."

"Kenapa tidak di sini saja, waktu aku ke rumah mu tak ada siapapun di sana. Bukankah kau tinggal bersama ibumu?" tatap Ezra. Di saat itu juga Pen berpikir diam untuk jawaban nya.

". . . Dia sedang pergi ke luar kota," dia terpaksa berbohong. Padahal dia yang membunuh ibunya.

"Lihat kan, dia sedang jauh dari mu.... Kenapa kau tidak tinggal sebentar di sini saja Pen?"

"Maaf Dokter.... Aku harus pergi," Pen turun dari ranjang dan akan berjalan ke luar.

"Pen.... Tunggu... Aku akan mengantar mu," Ezra mengejarnya.

Sesampainya di rumah, Pen turun dan sebelum nya ia menoleh ke Ezra yang ada di bangku supir.

"Dokter, terima kasih tumpangan nya..." tatap nya lalu Ezra mengangguk tapi sebelum Pen menutup pintu, Ezra menghentikan nya. "Pen, tunggu…"

Itu membuat pen berhenti dan langsung menatapnya dengan tatapan agak khawatir.

"Pen, aku minta maaf jika aku tidak terpercaya untuk mu, tapi, cobalah untuk berpikir dua kali, hanya aku yang bisa mengerti dirimu," Ezra mencoba meyakinkan Pen.

Tapi Pen tetap ragu dan menjawab dengan pelan. "Kau tidak bisa mengerti diriku, dan sikap ku," balasnya hingga kemudian menutup pintu dan masuk ke dalam rumah, sendirian.

"Haiz.... Gadis itu sangat susah sekali aku bujuk... Padahal aku punya semuanya, mungkin bisa lain kali saja," pikir Ezra, lalu ia segera menginjak gas.

Pen masuk ke dalam rumah, terlihat di sana banyak sekali plastik plastik yang tak terlalu besar berada di ruang tamu. Plastik itu sangat banyak dan isinya adalah potongan potongan tubuh ibunya dan Lucas, saudaranya.

"(Untung saja Dokter tidak ikut kemari membuka pintu, aku juga bertanya tanya kapan dia kemari? Lupakan itu, aku harus pikirkan cara untuk membuang mereka semua,)" pikir Pen lalu ia teringat sesuatu. Soal apa yang akan dia lakukan pada sampah sampah dari mayat yang juga sampah itu.