Hari berikutnya, Pen berjalan ke sekolah dengan rasa tidak terjadi apapun.
Ia melihat jam di ponselnya masih pagi hari dan ada banyak waktu sebelum ke sekolah. Ia lalu berhenti berjalan dan melihat sebuah mesin penjual kotak minuman. Ia ke sana untuk membeli minuman kaleng sebentar.
Dengan mata kosong nya ia bisa mengingat bagaimana bentuk mayat ibunya dan saudaranya itu menjadi banyak cincangan tubuh karena ia mencincang semua tubuh mereka dengan pisau yang ia bawa ke ruangan kemarin.
Pen meminum minuman kotak itu lalu menatap ke langit. "Ini belum cukup," pikirnya.
Sementara itu Ezra tertidur di meja nya. Lalu datang seorang dokter lain. "Ezra?" Ia terkejut ada Ezra di sana.
Lalu ia membangunkan nya. "Hei Ezra, kerja bagus tadi malam. Kau benar-benar bisa melakukan tugasmu sebagai dokter bedah," tatap nya. Lalu Ezra perlahan bangun membuka mata.
"Lain kali kau mungkin tidak usah menyuruh ku."
"Kenapa? Apa karena trauma mu lagi, padahal kau itu hebat dalam hal ini.... Sudahlah tak perlu di bahas, pulang saja dan istirahat di rumah, kau hebat kawan," kata dokter itu yang berbalik dan berjalan pergi.
Tapi Ezra menjadi terdiam bersender di kursinya sambil menatap ke poster dinding soal operasi bedah. "(Aku benar-benar tak berani dengan ini, ini bahkan sudah cukup untuk menakutiku,)" ia berpikir begitu tapi dirinya sendiri sama sekali tak menunjukkan rasa takut. Lalu ia berdiri dan berjalan keluar ke dalam mobil untuk pulang. Malam itu ia tidak tidur karena melakukan operasi bedah sepanjang malam hanya untuk menggantikan dokter yang tidak ada dan sekarang ia sangat lelah.
Di sekolah, Pen duduk sendirian di mejanya, ia lalu membuka ponselnya dan mulai men scrol media sosial dengan wajah yang datar. Tapi dia memang seperti fokus pada ponselnya, namun rupanya dia memikirkan hal itu lagi. "(Siapa yang harus aku bunuh, selanjutnya?)"
Lalu tak lama kemudian, Bu Saga datang. "Selamat pagi semuanya," ia mulai ke depan kelas dan akan mengajar. Tapi wajah cerianya berubah pucat ketika melihat Pen ada di mejanya. "(Gadis itu.... Seharusnya aku tidak masuk tadi, aku bahkan langsung mual menatap wajahnya itu,)" ia sepertinya agak takut pada Pen.
Tapi Pen hanya memasang wajah datar padanya seperti tak terjadi apapun.
"(Semua orang tak melihatnya karena mereka memang tidak menganggap Pen menyenangkan, tapi aku belum tahu pasti... Gadis itu akan jadi apa nantinya.) Ehem.... Hanya beberapa pemberitahuan, satu minggu lagi adalah pelepasan rapot untuk kalian naik ke kelas tiga. Setelah kalian kelas tiga, kalian akan lulus dan bisa melanjutkan ke sekolah selanjutnya. Jadi di mohon kalian membawa orang tua kalian saat itu juga.... Aku akan melihat wajah orang tua Pen seperti apa nantinya," kata Bu Saga. Rupanya satu minggu lagi penerimaan rapor untuk siswa.
Seharusnya wajah Pen khawatir, dia akan menggunakan wali siapa, Ibunya kan mati, tapi wajahnya sama sekali tak memikirkan itu membuat Bu Saga benar-benar ketakutan melihat datarnya wajah Pen.
Setelah itu, terdengar bunyi bel menandakan istirahat dimulai. Suasana kelas yang tadi hening seketika dipenuhi suara obrolan dan tawa teman-teman sekelas yang bergerombol di sudut-sudut ruangan. Beberapa siswa sibuk berlari ke kantin, sementara yang lain tetap di kelas, menikmati waktu istirahat dengan berbincang atau memainkan ponsel mereka. Namun, di tengah riuhnya suasana istirahat, ada satu sudut yang terasa begitu sunyi.
Pen seperti biasa hanya terdiam di tempat duduknya, tidak tergerak untuk bergabung dengan siapa pun. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, dia hanya menunduk atau memandangi buku pelajarannya, tapi kini tangannya menggenggam erat sebuah pena. Jemarinya yang ramping bergerak perlahan di atas kertas putih di mejanya, mencoret-coret tanpa pola yang jelas. Garis-garis abstrak terukir di permukaan kertas, seolah mencerminkan pikirannya yang kalut dan berantakan. Matanya kosong, menatap jauh melewati goresan-goresan itu, seakan mencari sesuatu di dalam kekosongan yang ia ciptakan sendiri.
Hingga di saat itu juga, ia mendengar suara pembicaraan.
"Bukankah kemarin rumor Pen menggoda pria dewasa masih ada? Ibunya sudah tahu, kan? Jika aku jadi ibunya, aku tidak akan membiarkannya sekolah, dia hanya bikin malu..."
"Kau benar, rumor itu bilang dia dijemput pria dewasa kemarin, bahkan sampai masuk ke mobil... Kita bahkan tak tahu apa yang mereka lakukan setelah itu... Bukankah itu kotor sekali, padahal masih SMA."
Suara mereka terus berbisik-bisik, semakin tajam menusuk telinga Pen. Tidak ada yang peduli apakah rumor itu benar atau tidak.
Pen hanya diam. Bahkan untuk mengangkat wajahnya pun rasanya berat. Dia lebih memilih mengosongkan pikirannya, membiarkan kata-kata itu berlalu seperti angin. Tapi tetap saja, rasa sesak itu tidak bisa dihindari. Tatapannya kembali tertuju pada kertas putih di mejanya. Perlahan, pandangannya mulai buram. Bukan hanya karena emosi yang menyesakkan dada, tapi ada sesuatu yang lain.
Seketika, sebuah glitch muncul di sudut pandangannya. Dunia terasa bergetar dalam sekejap. Lalu, dalam kilatan singkat, ia bisa mengimajinasikan sesuatu di atas kertasnya. Bukan lagi sekadar coretan tanpa makna, melainkan bercak-bercak merah pekat yang menyerupai darah. Tetesan yang menyebar dan mengalir di permukaan kertas, menciptakan ilusi mengerikan yang membuat napasnya tercekat. Namun, sama cepatnya dengan kemunculannya, penglihatan itu lenyap begitu saja, meninggalkannya dalam kehampaan.
Meski semua itu hanya ilusi, perasaan mencekam masih tersisa. Namun, bisikan-bisikan di sekitarnya belum juga berhenti.
"Lihatlah dia, mentang-mentang wajahnya cantik, dia bisa menggoda pria dewasa... Yah, pantas saja dia menggoda pria tidak sembarangan, prianya kelihatan kaya sekali..."
Jemari Pen semakin erat mencengkeram kertas yang ada di mejanya. Setiap kata yang mereka ucapkan terasa semakin menyakitkan, meresap ke dalam pikirannya seperti racun.
Hingga detik itu, Pen meremas kertasnya, mengerahkan seluruh emosinya ke dalam genggaman tangannya. Dia sudah tak kuat membendung kekesalannya. Napasnya mulai tidak beraturan, dan dadanya terasa begitu sesak. Tapi mendadak, di antara kekacauan pikirannya, muncul satu wajah yang begitu familiar.
Ezra.
Wajah itu terlintas di benaknya dengan begitu jelas. Ia ingat bagaimana ekspresi khawatir yang terpancar di wajah Ezra saat melihat keadaannya kemarin. Bagaimana Ezra berusaha untuk menarik perhatiannya, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk meyakinkannya bahwa ia bisa percaya kepadanya. Ezra, yang tanpa ragu mengatakan perasaannya tanpa sekalipun memandang Pen dengan tatapan aneh atau jijik seperti orang lain.
"(Aku tidak berpikir hanya dia yang akan membantuku... Aku sudah terlalu banyak berpikir orang mengira aku aneh, jadi mungkin dokter juga akan berpikir aku aneh... Dia tidak terkecuali...)"
Bagaimanapun juga, Pen masih butuh waktu untuk percaya pada Ezra, apalagi Ezra terus berusaha untuk mengingat bagaimana dia bisa tertarik pada Pen.
Sepulang sekolah, Pen berjalan menuju gerbang dengan langkah pelan. Cahaya matahari sore mulai memudar, meninggalkan semburat jingga di langit. Udara terasa sedikit lembap, menandakan bahwa malam akan segera datang. Namun, sebelum ia benar-benar keluar dari area sekolah, ada sesuatu yang mengganggunya dari belakang—perasaan aneh, seolah ada tatapan yang tertuju padanya.
Ia memutuskan untuk berhenti berjalan. Jantungnya berdebar pelan saat ia menoleh ke atas. Tepat di balkon atap sekolah, siluet seseorang terlihat duduk di pagar balkon yang tinggi. Pen menyipitkan mata, mencoba memastikan siapa itu, dan saat matanya menangkap sosok tersebut dengan lebih jelas, tubuhnya seketika menegang.
Di sana, dengan santai, Melda duduk di pagar balkon, kaki-kakinya terayun pelan di udara kosong. Rambutnya tertiup angin, dan senyum tipis menghiasi wajahnya. Cahaya matahari terakhir menerpa dirinya, menciptakan bayangan samar yang membuatnya tampak seperti ilusi.
Tak disangka-sangka, Pen melihat Melda ada di atas sana, dalam posisi yang tampak berbahaya. Seperti akan bunuh diri.
Pen terdiam, tubuhnya membeku di tempat. Matanya melebar, sulit mempercayai apa yang ia lihat.
"Itu... berbahaya," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. Napasnya terasa berat, seolah udara di sekitarnya mendadak menjadi lebih dingin.
Namun, Melda hanya menatapnya dengan senyum tipis, tatapannya kosong, tapi juga seakan menyimpan sesuatu.
"Pen... Aku ini tidak nyata," kata Melda tiba-tiba. Suaranya terdengar begitu jelas, seolah angin sore tak mampu membawanya pergi.
Pen terkejut. Ia melihat sendiri bagaimana bibir Melda bergerak membentuk kata-kata itu, tapi rasanya ada yang aneh. Seperti suara itu tidak benar-benar berasal dari dirinya.
"Apa maksudmu?" Pen bertanya dengan suara yang hampir bergetar. Jantungnya masih berdetak kencang, dan tangannya secara refleks menggenggam tali tasnya lebih erat.
Sekeliling mereka terasa sunyi, tapi hanya bagi Pen. Kenyataannya, halaman sekolah masih dipenuhi oleh siswa-siswi yang hendak pulang. Namun, anehnya, tak ada satu pun dari mereka yang tampak melihat ke arah balkon.
Semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing—tertawa, mengobrol, atau berjalan keluar gerbang tanpa menyadari bahwa di atas sana, seseorang tengah duduk di tepi ketinggian yang berbahaya.
Apa mungkin... benar seperti yang Melda katakan? Bahwa ia tidak nyata?
Tiba-tiba, sebuah sentuhan di pundaknya membuat Pen tersentak. Jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya saat ia buru-buru menoleh ke belakang.
"Pen?"
Sosok Ezra berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi bingung.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya lagi.
Pen membuka mulutnya, ingin menjelaskan, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia refleks menoleh kembali ke balkon, dan mendadak rasa dingin menjalari tubuhnya.
Melda... menghilang.