Terlihat Bu Saga berdiri di bawah lampu komplek pada malam hari di suasana yang sepi. Dia masih ingat bisikan Pen yang saat itu di halaman sekolah.
"Aku yang membunuh Bu Nia."
"Apa...!!!!!!" Bu Saga langsung terkejut.
"Aku ingin kau merahasiakan ini."
"Kenapa, kenapa kau... Gadis berbahaya!" Bu Saga mencoba menolak tapi Pen menunjukan foto ancaman nya lagi.
". . . Turuti saja atau kau yang akan aku bunuh."
"Apa maksudmu, siapa yang akan dibunuh?"
"Aku akan membunuh Ibuku." kata Pen.
--
"(Dia benar-benar gadis yang mengerikan, aku terpaksa menurutinya karena dia menyimpan rekaman itu, bisa bisanya dia melakukan itu... Aku kini sudah tahu sikap gadis itu ternyata lebih kejam dari sikap pendiam nya, aku harus hati hati jika ingin mempermainkan nya.... Dan sekarang aku tak tahu dia memintaku kemari, yang pasti, dia memberitahuku bahwa dia akan membunuh ibunya,)" Bu saga menjadi terdiam dan masih berdiri di bawah lampu.
Lalu secara tak terduga datang Pen menarik gerobak kecil berisi plastik plastik hitam. Baju Pen juga masih berlumur darah.
"Pen, apa maksudmu memintaku kemari?" Bu Saga menatap. Tapi ia terkejut baru sadar bahwa gadis itu berlumur banyak sekali darah. "(Oh Tuhan!! Aku bertemu iblis sesungguhnya, dia benar benar melakukan keinginan nya!! Dia memang gila!! Gila!!)" Bu Saga hanya bisa gemetar ketakutan.
Lalu Pen menunjuk plastik plastik itu.
"Bakar itu untukku," kata Pen. Bu Saga tak tahu apa yang terjadi, dia hanya gemetar melihat Pen masih berlumur darah. Setelah itu Pen berjalan pulang.
Bu Saga melihat Pen sudah pergi, dia membuka salah satu plastik itu dan ia terkejut menutup mulutnya karena isinya adalah potongan-potongan tubuh manusia. Bu Saga akan muntah dan tidak kuat dengan itu karena bagaimanapun juga dia di paksa oleh Pen.
"(Aku tidak boleh menolak, seharusnya aku melaporkan nya pada polisi, tapi sebelum polisi menangkapnya dia pasti sudah menyebarkan rumor buruk soal aku.... Aku terpaksa harus membantunya...)"
Bu Saga menatap kantong-kantong plastik itu dengan napas memburu. Tangan gemetarnya terulur ragu, mencoba meraih salah satu kantong. Plastik hitam itu tampak menggembung, cairan merah kental merembes melalui celah-celah kecil, menetes perlahan ke tanah. Bau amis yang menusuk mulai merayap, membuat perutnya bergejolak.
"Ya Tuhan… gadis itu benar-benar iblis…" desis Bu Saga, menahan mual di tenggorokannya.
Angin malam berembus, membawa aroma busuk yang semakin kuat. Bu Saga menutup hidung dengan tangan, tapi bau itu seolah menembus sela-sela jarinya, meresap ke dalam paru-parunya. Dia hampir memuntahkan isi perutnya di tempat.
"Apa yang sebenarnya sudah kulakukan... Kenapa aku bisa sampai terjebak di neraka seperti ini?" gumamnya, matanya berkaca-kaca.
Ia memandang sekeliling, memastikan tak ada orang yang melihat. Malam begitu sepi, hanya suara jangkrik dan dedaunan yang berdesir. Dengan jantung berdebar, ia mulai menyeret kantong pertama menuju sudut kosong di belakang komplek, tempat tumpukan sampah dibakar setiap pagi.
Setiap langkah terasa berat. Cairan merah menetes dari plastik, meninggalkan jejak gelap di tanah. Di dalam kantong itu, daging yang cacahannya kasar beradu satu sama lain—ada yang keras, ada yang kenyal, seolah potongan tubuh manusia itu masih memiliki tekstur asli. Beberapa bagian menonjol keluar, seperti ruas jari yang mencuat, menekan tipis dinding plastik.
Bu Saga menggigit bibir, menahan isak yang nyaris pecah. Kepalanya dipenuhi suara-suara bisikan Pen.
"Bakar itu untukku."
Dengan mata nanar, Bu Saga menyalakan korek api. Nyala kecil itu bergetar di tangannya, memantul di mata yang mulai basah. Ia melemparkan api ke tumpukan kayu di bawah plastik, yang segera mulai membara.
Bau daging yang terbakar langsung menusuk hidung, lebih mengerikan dari bau amis sebelumnya. Asap hitam menari-nari di udara, membawa aroma busuk yang membuat Bu Saga terbatuk-batuk.
"Dasar anak setan…," desisnya lagi, menahan air mata yang tak terbendung.
Sementara api melahap kantong plastik, suara meletup kecil terdengar—seperti lemak yang meleleh, atau mungkin… organ yang terbakar.
Bu Saga menutup mulutnya, gemetar, membiarkan api melahap kantong plastik terakhir. Di tengah-tengah asap yang mengepul, matanya menangkap sesuatu di sisa-sisa plastik yang belum habis terbakar.
Sebuah mata.
Masih utuh, menatap kosong ke arahnya membuatnya terpucat.
--
Sementara itu Pen sudah kembali ke rumahnya, ia sendiri yang membersihkan tempat kejadian perkara tersebut. Di tengah-tengah ia membersihkan, ia teringat sesuatu. "Haruskah aku menyerahkan diriku," ia terdiam lalu mengambil 2 obatnya dan melihat masih ada 5 butir di setiap kotak. Tanpa basa basi, ia langsung menelan semuanya bahkan tak takut akan terkena overdosis. Lalu ia membuang 2 kotak obatnya di tempat sampah.
Kemudian meletakan penanya yang berlumur darah di meja dapur. "Aku sudah melakukan apa yang ku mau, tapi ini rasanya masih kurang,"
Ia menutup matanya di ruangan yang gelap itu dan Pen juga menoleh ke pisau dapur yang ada didekatnya.
". . . Ini sudah memuaskanku, aku sudah tak butuh balasan apapun," kata Pen sambil mengambil pisau itu. Ia kemudian membuka pintu gudang yang ada dua mayat tadi dan posisi nya membawa pisau cincang tadi. Di bagian tubuh mayat itu ada yang berkurang, seperti tak ada pergelangan tangan, kaki, bahkan badan lainnya, sudah jelas Pen tadi mencincang mereka sebagian dan memberikan nya pada Bu Saga.
Ia lalu masuk ke gudang itu dan menutup pintu, sekarang ia di dalam bersama para mayat mayat itu. Sudah terlihat dia akan melakukan apa, apalagi dengan pisau cincang itu.
Sementara itu Ezra berjalan pulang dari pekerjaan malamnya. Ia berjalan ke parkiran mobilnya sembari mengisap rokok yang ada di mulutnya. Dia bahkan masih memikirkan senyum Pen sebelum benar-benar masuk ke dalam mobilnya.
"(Cih... Gadis itu sudah membuatku terpincut... Akh, aku tak bisa menahannya, dan juga... Dia tidak datang ke rumah sakit hari ini… Apa mungkin karena lelah... Mungkin memang benar aku terlalu tertarik padanya... Pria dewasa seperti ku akan menjatuhkan harga diriku sendiri jika aku terlalu memaksa menyukai Pen... Tunggu.... Tapi kenapa aku bisa suka padanya?!" dia panik sendiri dalam hati karena dia menyukai Pen. "Hm... Haruskah aku mengajaknya malam ini...)" dia berhenti dan menatap langit.
"Tak apalah, sekali kali melamarnya haha," ia tersenyum sendiri lalu berjalan pergi ke rumah Pen. Tapi ponselnya berbunyi di tengah jalan ke rumah Pen.
Ia menghentikan mobilnya dan menerima telepon itu. "Halo?"
"Ezra bisa kau kemari malam ini, ada urusan yang penting di sini... Dokter bedah kami tidak berangkat, jadi bisa kau gantikan?"
"Apa? Tapi pekerjaan ku adalah Dokter umum."
"Tak apa!! Aku tahu dulu kau adalah Dokter bedah, cepat kemari," kata pria itu.
Lalu Ezra terdiam dan menghela napas. "Kau tahu aku dulu Dokter bedah, tapi kau pasti tahu kenapa aku berhenti menjadi Dokter bedah."
Ia memutar balik jalan dan akhirnya tak jadi ke rumah Pen karena sebuah pekerjaan.