Chapter 11 Budak Mulut

"Di sini saja, Dokter..." kata Pen, tatapannya kosong saat menatap ke arah jalan yang mulai sepi. Rumahnya masih agak jauh dari tempat dimana mobil Ezra berhenti karena Pen yang meminta nya, namun ia tidak ingin Ezra mengantarnya lebih jauh lagi.

Ezra meliriknya sekilas sebelum akhirnya menghentikan mobil. Ia masih belum mengerti alasan di balik permintaan Pen, tapi ia memilih untuk tidak langsung bertanya.

"Kenapa? Apa di sekitar sini rumahmu?" tatap Ezra dengan bingung, matanya sedikit menyipit, mencari petunjuk di ekspresi Pen.

Pen menghela napas pelan, lalu mengangguk kecil tanpa benar-benar menjawab. "Hanya, antarkan aku sampai sini saja. Terima kasih... Aku sangat menghargai itu," katanya, suaranya terdengar datar namun ada ketegangan di dalamnya.

Ezra menatapnya lebih lama, seolah berusaha membaca sesuatu di balik wajah dinginnya. Namun sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Pen sudah membuka pintu mobil dan keluar. Langkahnya cepat, hampir tergesa-gesa, seolah ingin segera menjauh.

Ezra hanya bisa menatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh, tenggelam dalam cahaya jalanan yang remang. Perlahan, ia menjatuhkan kepalanya di atas setir dengan napas panjang.

"Ha... Bagaimana cara membuatnya percaya padaku..." gumamnya lelah. Ia menatap langit malam yang kelam di balik kaca depan mobilnya. "Dia memperlakukanku begini, apalagi untuk orang tuanya. Dia pasti hanya menjadi gadis yang pendiam..."

Matanya berkabut sejenak, seolah ada sesuatu dalam benaknya yang tak bisa diungkapkan. Ada sesuatu dari Pen yang membuatnya ingin melakukan lebih, ingin tahu lebih dalam—tetapi sepertinya, tembok di antara mereka terlalu tinggi.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar, memecah lamunannya. Dengan enggan, ia mengangkatnya.

"Halo? Bos? Kenapa?"

Lalu suara seorang pria terdengar di seberang. "Ezra, kau harus bekerja, cepatlah..."

Ezra menghela napas dan mengangguk kecil, meskipun lawan bicaranya tidak bisa melihatnya. "Malam ini? Baiklah, aku akan ke sana... Tapi pastikan aku harus pulang cepat..." katanya sebelum menutup telepon.

Di luar jendela, jalanan tampak semakin sepi. Ezra menatap kursi kosong di sebelahnya, tempat Pen duduk beberapa menit yang lalu, sebelum akhirnya menjalankan mobilnya kembali ke arah lain.

--

Pen melangkah pelan di trotoar, merasakan embusan angin dingin yang menusuk kulitnya. Jalanan di sekitarnya sunyi, hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas dari kejauhan. Lampu-lampu jalan menerangi aspal yang sedikit basah akibat embun malam.

Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya jauh lebih penat. Ia menarik napas dalam, lalu membuangnya dengan perlahan. Langkahnya semakin berat seiring bayangan rumah yang mulai tampak di kejauhan.

Ibunya seharusnya tidak akan heran jika ia pulang larut malam seperti ini. Ibunya tahu bahwa Pen berjalan kaki setiap hari, namun tetap saja—setiap kali pulang, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.

Di jalan, ia terdiam. Pikirannya melayang ke wajah ibunya yang selalu dipenuhi kemarahan. Setiap hari, setiap saat, tak pernah ada perubahan.

"(Aku ingin mengatakan bahwa aku sudah muak dengan hal ini,)" pikirnya, jemarinya menggenggam erat bolpoin yang sedari tadi berada di dalam sakunya.

Akhirnya, ia sampai di depan rumah. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Matanya menatap pintu kayu itu dengan sedikit harapan—harapan kecil bahwa mungkin malam ini ia bisa langsung masuk ke kamar tanpa harus mendengar omelan atau kata-kata menyakitkan.

"(Aku harap, aku bisa langsung ke kamar dan tidur tanpa harus mendengar omelan apa pun,)" gumamnya dalam hati.

Namun harapan itu langsung pupus saat pintu terbuka.

Di ambang pintu, berdiri ibunya—tangannya terlipat di depan dada, ekspresinya penuh amarah. Tatapannya tajam, menusuk langsung ke arah Pen yang berdiri kaku.

"Pen!!! Kau gadis JALANG!!!"

Suara itu bergema di udara malam, menghantam Pen seperti tamparan yang tak kasat mata. Tubuhnya membeku, matanya melebar tak percaya.

Tak disangka, ibunya mengucapkan kata-kata itu di hadapannya sendiri.

Sebelum Pen sempat berkata apa-apa, tamparan keras mendarat di pipinya. Kepalanya terpelanting ke samping, rasa panas menyebar di kulitnya. Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipinya dengan gemetar, namun sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, ibunya sudah menarik telinganya dengan kasar.

"Ah!!" Pen tersentak, rasa perih menjalar dari telinganya hingga ke seluruh tubuhnya.

"Ibu dengar dari teman-temanmu bahwa kau menggoda pria dewasa!! Apa kau tahu itu benar-benar murahan!! Menggoda boleh saja, tapi ingat umurmu!! Kau masih gadis SMA!! Jika mereka tak datang kemari, pastinya aku tidak tahu perlakuanmu di luar sana!!"

Pen menatap ibunya dengan mata terbelalak. Napasnya tercekat. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk dadanya dalam-dalam.

"(Teman-temanku...?!)" pikirnya. "(Jadi mereka benar-benar menyebarkan fitnah itu...?!)"

Ia mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan gemetar di tubuhnya. "Aku sama sekali tidak melakukannya!!" serunya, suaranya sedikit bergetar.

Namun ibunya tidak peduli. Dengan kasar, ia mendorong Pen hingga terduduk di sofa.

"Kau pikir selama ini ibu bekerja untuk siapa, huh?! Jawab, Pen?! Kau boleh bekerja, tapi jangan melakukan hal seperti ini!"

Pen menatap ibunya dengan mata merah. "Lalu bagaimana dengan ibu?! Ibu melakukan hal yang sama?!" teriaknya.

Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan.

Ibunya terdiam, tetapi hanya sesaat sebelum ekspresi marahnya kembali muncul. Kedua tangannya mengepal erat, seolah menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar amarah.

"Hizzz... Jika bukan karena kau lahir, aku tidak akan berpisah dengan suamiku!! Dari dulu dia benci anak perempuan sepertimu!!! Anak yang tidak tahu diuntung!! Sudah dibesarkan, tapi malah malu-maluin!!

Dari awal aku juga tidak pernah mau mengasuhmu!! Lebih baik kau mati atau pergi dari rumah ini saja sebelum kau membunuhku dengan permainan memalukan ini nantinya!!"

Pen menundukkan kepalanya. Matanya kosong, seakan kehilangan cahaya.

"(Yah... Ini adalah kata yang seharusnya aku dengar dari dulu...)" pikirnya. Air matanya mulai jatuh, namun ia tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

Ibunya masih berdiri di hadapannya, menatapnya dengan pandangan penuh kebencian.

"Menangis sajalah terserahmu. Setelah ini, aku akan mengirimmu ke asrama saja dan aku tak akan mengurusmu apalagi melihat wajahmu!!"

Pen mengepalkan tangannya lebih erat. Sesuatu dalam dirinya mendidih—kemarahan, sakit hati, atau mungkin keputusasaan. Tapi ia tidak bisa mengeluarkan suara.

Ia hanya duduk di sana, menangis dalam diam. "(Kenapa... Kenapa ini terjadi padaku... Kenapa.... Kenapa.... Aku hanya ingin seseorang yang dapat dipercaya, kenapa ini harus terjadi, aku benar benar sudah muak...)"

"Pen!! Kau tidak dengar apa yang ku katakan?! Sekarang masuklah ke kamarmu dan jangan bersekolah lagi besok!! Kecuali kau mau klarifikasi..."

"Cih... Banyak bicara... Lebih baik kau mati," Pen tiba-tiba bicara seperti itu dan bahkan mengeluarkan bulpen di sakunya dan menodongkan nya ke depan ibunya sendiri.

"Aku tak pernah mau menjadi budak mulut," ia akhirnya mengatakan nya.

"Aku sudah putuskan, aku akan membunuh satu persatu saja."

***

"Pen... ada apa?" Ibunya menjadi terdiam menatap bulpen itu, dia juga terheran heran kenapa Pen mengeluarkan sebuah bulpen, tapi ia melanjutkan kekesalan nya tadi dengan menjadi tidak takut. "Kenapa? Kau ingin apa? Apa hanya karena ibumu ini melarang mu menulis, kau menunjukan pena padaku? Sudahlah Pen, sepertinya kau memang sudah tidak tertolong," tatap Ibunya yang kini merendahkan putrinya membuat Pen semakin kesal dan mengatakan sebuah kenyataan.

"Aku, menggunakan benda ini, untuk membunuh seseorang, sebelum menulis sebuah cerita…" kata Pen, ibunya yang mendengarnya memang sempat terdiam, tapi ia mencoba tidak percaya. "Omong kosong apa yang kau bicarakan?"

"Aku, membunuh Bu Nia," kata Pen sekali lagi, seketika Ibunya terkejut tak percaya.

"Ka-kau pasti bercanda!! Jaga mulutmu!! Kau tidak akan melakukan itu kan!! Pen!!" Ibunya tampak histeris mendengar pernyatan itu.

"Aku, tidak, bercanda…" kata Pen seketika dia membuang Pena itu di lantai dan itu membuat tinta dari pena itu keluar, tapi bukan tinta hitam, melainkan tinta darah merah yang telah hampir menjadi gelap menandakan itu darah manusia.

Melihat hal itu membuat Ibunya terdiam tak percaya, apalagi Pen mengeluarkan pena yang sama yang baru dari sakunya. "Sekarang, aku membutuhkan pena dengan tinta baru," tatapnya dengan tatapan yang penuh sangat hasrat membunuh.

"Tu-tunggu..." Ibunya kini menjadi ketakutan.

Ibunya mundur beberapa langkah, tangannya bergetar saat melihat darah mengalir dari pena yang dibuang Pen ke lantai. Matanya membesar, napasnya memburu, tubuhnya mendadak terasa lemas seolah kehilangan tenaga untuk berdiri tegak.

"Pen… a-apa yang kau lakukan…?" suaranya bergetar, hampir seperti bisikan.

Pen menatapnya dengan senyum kecil yang dingin. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan pena baru. Dengan gerakan perlahan, dia mengklik ujungnya, mengeluarkan mata pena yang tajam. "Aku bilang, aku butuh tinta baru," katanya lirih.

Ibunya menggeleng cepat, kakinya mulai melangkah mundur. "Jangan… jangan lakukan ini, Nak… Aku ini ibumu… Ibumu sendiri…!"

Namun, Pen hanya mencondongkan kepalanya sedikit ke samping, seolah tak memahami ketakutan ibunya. "Dan kau juga orang yang melarangku menulis," suaranya berubah dingin. "Kau pikir aku bisa membiarkan itu begitu saja?"

"Aku minta maaf, Pen! Aku benar-benar minta maaf!" Ibunya berusaha mengulur waktu, tangannya terangkat mencoba menenangkan putrinya. "Aku tidak akan melarangmu lagi! Kau boleh menulis sesuka hatimu! Aku janji, aku janji, Nak!"

Pen melangkah maju. Setiap langkahnya terdengar jelas di ruangan yang kini terasa begitu sunyi. "Tapi kau sudah menghapus banyak ceritaku… membuang catatanku… merobek karyaku…" ujarnya pelan, namun tajam.

Ibunya terisak, air matanya jatuh begitu saja. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu…"

"Yang terbaik untukku?" Pen tiba-tiba tertawa kecil, suara tawanya menggema seperti sesuatu yang tak wajar. "Kalau kau benar-benar ingin yang terbaik untukku, kau seharusnya tidak pernah menghancurkan mimpiku."

Tiba-tiba, Pen menerjang.

"Akh!! Tidak, MONSTER!!!" Ibunya menjerit dan mencoba berlari ke pintu, tapi Pen lebih cepat. Dengan satu tangan, dia menarik ibunya ke belakang, dan dengan tangan lainnya, dia menancapkan pena itu ke bahu wanita itu.

"AARGHH!!"

Ibunya jatuh ke lantai, mencengkeram bahunya yang kini berdarah. Matanya penuh ketakutan saat melihat Pen berdiri di atasnya, menjilat bibirnya seakan menikmati rasa sakit yang baru saja dia ciptakan.

"Ternyata mudah, ya…" Pen berbisik, menarik pena itu kembali. Darah segar mengalir dari ujung pena, menetes ke lantai.

Ibunya merangkak mundur, tubuhnya gemetar. "Pen… jangan, Nak… aku mohon…!"

"Terlambat." Pen menerjang lagi, kali ini menikam perut ibunya.

"A-AAKHH!!"

Darah menyembur ke pakaian Pen, mengotori wajahnya. Tapi dia tak peduli. Dia menarik pena itu keluar, lalu menusukkannya lagi.

Lagi.

Lagi.

Lagi.

Ibunya tersedak darah, tangannya berusaha menahan luka di perutnya, tapi tubuhnya semakin lemas. Dia masih mencoba berbicara, bibirnya bergerak tanpa suara.

Pen menatapnya dengan puas, lalu membungkuk. Dia menempelkan bibirnya ke telinga ibunya dan berbisik, "Kau tidak akan pernah bisa melarangku lagi."

Dengan satu tusukan terakhir ke jantung, tubuh ibunya berhenti bergerak.

Pen menghela napas puas, melempar pena ke lantai. Dia menatap mayat di depannya dengan kepala miring, seakan menikmati karyanya.

Tapi ada satu masalah.

Pena ini sudah kehabisan tinta lagi.

Dia mendongak, menyadari ada satu orang lain yang bisa jadi penggantinya.

Lucas.

Pen tersenyum dan mengambil pena yang baru dari sakunya.