WebNovelRed & Ink53.33%

Chapter 16 Budak Mulut

"Di sini saja, Dokter..." kata Pen, tatapannya kosong saat menatap ke arah jalan yang mulai sepi. Rumahnya masih agak jauh dari tempat dimana mobil Ezra berhenti karena Pen yang meminta nya, namun ia tidak ingin Ezra mengantarnya lebih jauh lagi.

Ezra meliriknya sekilas sebelum akhirnya menghentikan mobil. Ia masih belum mengerti alasan di balik permintaan Pen, tapi ia memilih untuk tidak langsung bertanya.

"Kenapa? Apa di sekitar sini rumahmu?" tatap Ezra dengan bingung, matanya sedikit menyipit, mencari petunjuk di ekspresi Pen.

Pen menghela napas pelan, lalu mengangguk kecil tanpa benar-benar menjawab. "Hanya, antarkan aku sampai sini saja. Terima kasih... Aku sangat menghargai itu," katanya, suaranya terdengar datar namun ada ketegangan di dalamnya.

Ezra menatapnya lebih lama, seolah berusaha membaca sesuatu di balik wajah dinginnya. Namun sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Pen sudah membuka pintu mobil dan keluar. Langkahnya cepat, hampir tergesa-gesa, seolah ingin segera menjauh.

Ezra hanya bisa menatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh, tenggelam dalam cahaya jalanan yang remang. Perlahan, ia menjatuhkan kepalanya di atas setir dengan napas panjang.

"Ha... Bagaimana cara membuatnya percaya padaku..." gumamnya lelah. Ia menatap langit malam yang kelam di balik kaca depan mobilnya. "Dia memperlakukanku begini, apalagi untuk orang tuanya. Dia pasti hanya menjadi gadis yang pendiam..."

Matanya berkabut sejenak, seolah ada sesuatu dalam benaknya yang tak bisa diungkapkan. Ada sesuatu dari Pen yang membuatnya ingin melakukan lebih, ingin tahu lebih dalam—tetapi sepertinya, tembok di antara mereka terlalu tinggi.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar, memecah lamunannya. Dengan enggan, ia mengangkatnya.

"Halo? Bos? Kenapa?"

Lalu suara seorang pria terdengar di seberang. "Ezra, kau harus bekerja, cepatlah..."

Ezra menghela napas dan mengangguk kecil, meskipun lawan bicaranya tidak bisa melihatnya. "Malam ini? Baiklah, aku akan ke sana... Tapi pastikan aku harus pulang cepat..." katanya sebelum menutup telepon.

Di luar jendela, jalanan tampak semakin sepi. Ezra menatap kursi kosong di sebelahnya, tempat Pen duduk beberapa menit yang lalu, sebelum akhirnya menjalankan mobilnya kembali ke arah lain.

--

Pen melangkah pelan di trotoar, merasakan embusan angin dingin yang menusuk kulitnya. Jalanan di sekitarnya sunyi, hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas dari kejauhan. Lampu-lampu jalan menerangi aspal yang sedikit basah akibat embun malam.

Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya jauh lebih penat. Ia menarik napas dalam, lalu membuangnya dengan perlahan. Langkahnya semakin berat seiring bayangan rumah yang mulai tampak di kejauhan.

Ibunya seharusnya tidak akan heran jika ia pulang larut malam seperti ini. Ibunya tahu bahwa Pen berjalan kaki setiap hari, namun tetap saja—setiap kali pulang, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.

Di jalan, ia terdiam. Pikirannya melayang ke wajah ibunya yang selalu dipenuhi kemarahan. Setiap hari, setiap saat, tak pernah ada perubahan.

"(Aku ingin mengatakan bahwa aku sudah muak dengan hal ini,)" pikirnya, jemarinya menggenggam erat bolpoin yang sedari tadi berada di dalam sakunya.

Akhirnya, ia sampai di depan rumah. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Matanya menatap pintu kayu itu dengan sedikit harapan—harapan kecil bahwa mungkin malam ini ia bisa langsung masuk ke kamar tanpa harus mendengar omelan atau kata-kata menyakitkan.

"(Aku harap, aku bisa langsung ke kamar dan tidur tanpa harus mendengar omelan apa pun,)" gumamnya dalam hati.

Namun harapan itu langsung pupus saat pintu terbuka.

Di ambang pintu, berdiri ibunya—tangannya terlipat di depan dada, ekspresinya penuh amarah. Tatapannya tajam, menusuk langsung ke arah Pen yang berdiri kaku.

"Pen!!! Kau gadis JALANG!!!"

Suara itu bergema di udara malam, menghantam Pen seperti tamparan yang tak kasat mata. Tubuhnya membeku, matanya melebar tak percaya.

Tak disangka, ibunya mengucapkan kata-kata itu di hadapannya sendiri.

Sebelum Pen sempat berkata apa-apa, tamparan keras mendarat di pipinya. Kepalanya terpelanting ke samping, rasa panas menyebar di kulitnya. Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipinya dengan gemetar, namun sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, ibunya sudah menarik telinganya dengan kasar.

"Ah!!" Pen tersentak, rasa perih menjalar dari telinganya hingga ke seluruh tubuhnya.

"Ibu dengar dari teman-temanmu bahwa kau menggoda pria dewasa!! Apa kau tahu itu benar-benar murahan!! Menggoda boleh saja, tapi ingat umurmu!! Kau masih gadis SMA!! Jika mereka tak datang kemari, pastinya aku tidak tahu perlakuanmu di luar sana!!"

Pen menatap ibunya dengan mata terbelalak. Napasnya tercekat. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk dadanya dalam-dalam.

"(Teman-temanku...?!)" pikirnya. "(Jadi mereka benar-benar menyebarkan fitnah itu...?!)"

Ia mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan gemetar di tubuhnya. "Aku sama sekali tidak melakukannya!!" serunya, suaranya sedikit bergetar.

Namun ibunya tidak peduli. Dengan kasar, ia mendorong Pen hingga terduduk di sofa.

"Kau pikir selama ini ibu bekerja untuk siapa, huh?! Jawab, Pen?! Kau boleh bekerja, tapi jangan melakukan hal seperti ini!"

Pen menatap ibunya dengan mata merah. "Lalu bagaimana dengan ibu?! Ibu melakukan hal yang sama?!" teriaknya.

Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan.

Ibunya terdiam, tetapi hanya sesaat sebelum ekspresi marahnya kembali muncul. Kedua tangannya mengepal erat, seolah menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar amarah.

"Hizzz... Jika bukan karena kau lahir, aku tidak akan berpisah dengan suamiku!! Dari dulu dia benci anak perempuan sepertimu!!! Anak yang tidak tahu diuntung!! Sudah dibesarkan, tapi malah malu-maluin!!

Dari awal aku juga tidak pernah mau mengasuhmu!! Lebih baik kau mati atau pergi dari rumah ini saja sebelum kau membunuhku dengan permainan memalukan ini nantinya!!"

Pen menundukkan kepalanya. Matanya kosong, seakan kehilangan cahaya.

"(Yah... Ini adalah kata yang seharusnya aku dengar dari dulu...)" pikirnya. Air matanya mulai jatuh, namun ia tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

Ibunya masih berdiri di hadapannya, menatapnya dengan pandangan penuh kebencian.

"Menangis sajalah terserahmu. Setelah ini, aku akan mengirimmu ke asrama saja dan aku tak akan mengurusmu apalagi melihat wajahmu!!"

Pen mengepalkan tangannya lebih erat. Sesuatu dalam dirinya mendidih—kemarahan, sakit hati, atau mungkin keputusasaan. Tapi ia tidak bisa mengeluarkan suara.

Ia hanya duduk di sana, menangis dalam diam. "(Kenapa... Kenapa ini terjadi padaku... Kenapa.... Kenapa.... Aku hanya ingin seseorang yang dapat dipercaya, kenapa ini harus terjadi, aku benar benar sudah muak...)"

"Pen!! Kau tidak dengar apa yang ku katakan?! Sekarang masuklah ke kamarmu dan jangan bersekolah lagi besok!! Kecuali kau mau klarifikasi..."

"Cih... Banyak bicara... Lebih baik kau mati," Pen tiba-tiba bicara seperti itu dan bahkan mengeluarkan bulpen di sakunya dan menodongkan nya ke depan ibunya sendiri.

"Aku tak pernah mau menjadi budak mulut," ia akhirnya mengatakan nya.