Terlihat mobil Ezra berhenti di sebuah taman sakura yang belum mekar. Langit senja membentang lembut di atas mereka, menyapu cakrawala dengan warna oranye keemasan yang mulai meredup. Cahaya matahari yang hampir tenggelam menciptakan bayangan panjang dari pepohonan yang berdiri kokoh, ranting-rantingnya merangkul langit kosong tanpa kelopak bunga.
Ezra mematikan mobilnya, bunyi mesin yang terhenti membuat kesunyian terasa semakin pekat. Ia menatap Pen yang terdiam, matanya menatap keluar jendela dengan ekspresi yang sulit dibaca. Bayangan wajahnya memantul samar di kaca mobil.
"Baiklah, ayo turun..." tatap Ezra, nada suaranya ringan, mencoba memberi dorongan pada Pen.
Namun, Pen hanya diam, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya. Udara di dalam mobil terasa hangat dibandingkan angin luar yang mulai membawa kesejukan malam.
"Apa maksud dokter membawaku kemari?" tatap Pen, suaranya datar namun terdengar waspada.
Ezra tersenyum kecil, lalu menyandarkan kepalanya sejenak ke jok sebelum membuka pintu.
"Hei, nikmatilah. Orang stres itu pengen jalan-jalan, jadi jalan-jalan melihat taman di sini juga termasuk enak," katanya dengan nada santai. Ia melangkah keluar lebih dulu, membiarkan angin senja menyapa tubuhnya sebelum akhirnya disusul oleh Pen yang akhirnya ikut turun, meski dengan langkah ragu.
Suasana di taman itu terasa sunyi, hanya terdengar desir angin yang sesekali menggesek dedaunan. Burung-burung mulai kembali ke sarang mereka, sesekali terdengar kicauan terakhir sebelum malam benar-benar datang. Udara sejuk meresap ke dalam paru-paru, membawa aroma tanah yang lembap dan samar-samar wangi rumput.
Pen menghirup udara dalam-dalam, membiarkan aroma alam memenuhi kepalanya yang terasa penuh. Pandangannya menjelajahi sekeliling taman, melihat deretan pohon sakura yang masih kosong, ranting-ranting mereka menjulur bagai tangan yang menunggu sesuatu untuk kembali. Ia berjalan perlahan.
Sementara itu, Ezra masih bersandar di mobil, menatap langit yang perlahan berubah jingga merah. Namun, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dengan malas, ia merogoh sakunya dan mengangkatnya.
"Hei... Bos, aku sudah izin, kan? Aku minta temanku untuk menggantikanku..."
Sementara Ezra berbicara, Pen terus berjalan sendirian di antara pepohonan sakura. Taman itu begitu luas, dan meski tak ada kelopak bunga yang berguguran, ada sesuatu yang tenang dari tempat ini.
"Jadi, ini rasanya..." gumamnya dalam hati.
Angin berhembus lembut, mengusap pipinya. Ia menatap ranting-ranting di atasnya, membayangkan bagaimana tempat ini akan terlihat jika sakura telah mekar.
Di kejauhan, Ezra masih berbicara di ponselnya.
"Tidak, aku tidak sakit, hanya suatu urusan saja... Ini baik-baik saja, kan, jika aku izin satu hari ini saja? Aku membantu pasien... Hm, apa? Membayar? Tidak, aku tidak meminta bayaran darinya... Biarkan saja..."
Suara Ezra samar terdengar di latar belakang, tenggelam dalam keheningan taman. Pen, yang tadinya hanya berjalan tanpa tujuan, kini benar-benar tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia berhenti di salah satu sudut taman, matanya kembali menelusuri pohon-pohon yang belum berbunga.
"(Aku tidak tahu tempat seperti ini memang ada... Aku selalu takut untuk menjelajahi tempat lain karena aku tidak berani... Aku hanya ingin ditemani, tapi ditemani siapa? Ibu tidak bisa menemaniku, dan sekarang, dokter membawaku kemari. Aku rasa dia benar, aku agak tenang sekarang, dan yang lebih baiknya, aku jadi kepikiran membuat cerita baru...)"
Senyuman kecil muncul di wajahnya, meskipun hanya sesaat. Angin berhembus sedikit lebih kencang, mengacak rambutnya yang tergerai.
Meskipun taman itu masih sepi dan sakura belum mekar, ada sesuatu yang damai di tempat ini. Pen menikmati suasana itu, meskipun ia sendiri tak tahu kenapa.
Namun, pikirannya kembali mengembara ke tempat yang lebih gelap.
"(Kemana aku selama beberapa tahun ini? Di mana masa kecilku yang bahagia? Aku hanya bisa diam di rumah, aku tak berani menjelajahi tempat baru karena aku khawatir orang tuaku mencemaskanku. Tapi seiring berjalannya waktu, untuk apa mereka mencemaskanku? Bukankah Mereka sudah menunjukkan sikap mereka yang buruk hingga sampai saat ini? Aku tidak berani untuk keluar selain di sekitar rumah, supermarket, bahkan sekolah. Untuk menuju ke rumah sakit pertama kali sendirian, itu membuatku panik. Aku takut aku tak bisa melewati bagaimana caranya masuk ke dalam rumah sakit karena aku sendirian... Aku tak mau Ibu berpikir apa pun soal aku yang... terlalu banyak drama...)"
Langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang menusuk hatinya, sesuatu yang membuat dadanya terasa berat.
Lalu, seperti air yang mendadak meluap dari wadahnya, ingatan tentang malam itu kembali menerpanya.
"(Yeah, aku membunuh orang untuk pertama kalinya, dan anehnya, sampai saat ini aku tidak tertangkap. Hukum benar-benar payah, tidak bisa mendeteksi. Padahal aku amatir dalam membunuh, aku hanya asal membunuh. Aku hanya jaga-jaga menggunakan masker dan menyelinap diam-diam dari Ibu untuk keluar... Aku melakukannya dengan menikmati prosesnya, aku juga tidak buru-buru. Dan rasanya, untuk sejenak, kenapa begitu enak? Aku bisa membalas dendam dengan baik... Tapi karena itu... aku membunuh seekor kucing tak bersalah...)"
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya mulai berair.
"(Dia mempercayaiku untuk mengelusnya, tapi aku malah menyakitinya... Sama seperti bagaimana aku percaya pada orang tuaku. Mereka menyayangiku, tapi kenapa malah sebaliknya yang kudapatkan? Lingkungan orang tua membuatku tak bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial... Aku tak bisa sembarangan menyalahkan orang tua, aku hanya membenci diriku sendiri...)"
Air mata perlahan mengalir di pipinya, tanpa suara. Ia berdiri di sana, diam, menatap jalan taman yang membentang panjang di hadapannya.
Sementara itu, di sisi lain taman, Ezra terengah-engah setelah berlari mencari Pen. Saat matanya menangkap sosok Pen di kejauhan, ia menghela napas lega.
"(Oh, di sana ternyata...)" pikirnya. Senyum kecil muncul di wajahnya sebelum ia berjalan mendekat.
"Pen... Ini sudah sore dan hampir malam. Aku pikir kita lanjutkan besok akan lebih baik," katanya, suaranya sedikit lebih lembut kali ini.
Namun, langkahnya melambat saat melihat bahu Pen gemetar.
"Pen?" Ia semakin dekat, dan saat melihat wajah Pen yang meneteskan air mata, ekspresinya berubah.
"Pen? Kenapa? Kau teringat sesuatu?"
Ezra menatapnya dengan khawatir, mencoba memahami emosi yang terlihat begitu dalam.
Namun, Pen hanya diam. Tangisannya begitu aneh—air matanya mengalir, tapi matanya tetap kosong, seolah berada di tempat lain.
Ezra menelan ludah. "Pen, aku... Temanku bilang, pelukan bisa meredakan sedih, jadi... aku bisa memberimu pelukan jika kau mau..." tatapnya dengan ragu.
Namun, Pen hanya menggeleng pelan, lalu menyeka air matanya. Ia menghela napas dan membelakangi Ezra.
"Maafkan aku. Terima kasih membawaku kemari... Aku ingin pulang," katanya lirih.
Ezra masih diam sesaat, namun akhirnya mengangguk dan mengantarnya kembali.