Pagi itu, kota masih diselimuti embun tipis. Jalanan mulai ramai oleh langkah-langkah pekerja dan siswa yang hendak memulai hari mereka. Sinar matahari yang belum sepenuhnya terik menyinari aspal, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Suara kendaraan yang melintas berpadu dengan deru angin pagi yang sejuk.
Pen berjalan menyusuri pinggir kota dengan langkah tenang, namun pikirannya terasa penuh, sangat penuh sekali. Ada sesuatu yang mengganggunya sejak tadi pagi, sesuatu yang terus membuatnya memikirkan Melda.
"(Sebenarnya... siapa lelaki itu? Aku selalu saja bertanya-tanya soal keberadaannya yang bahkan selalu muncul di saat yang aneh,)" gumamnya dalam hati.
Angin berembus pelan, membawa aroma roti panggang dari kedai kecil di dekat halte bus. Namun, pikirannya yang sibuk membuatnya kurang memperhatikan sekeliling, sampai tiba-tiba—
BRUK! Ia menabrak seseorang.
"Oh... Maaf," katanya cepat, lalu ia menengadah, dan seketika terdiam. Siapa yang menyangka, rupanya itu Ezra.
Pria itu menoleh, ekspresi santainya tetap terjaga. "Oh, Pen... Apa kau akan ke sekolah hari ini? Kau rupanya terlihat rapi jika masih pagi-pagi," katanya, tatapannya mengarah padanya sambil memegang rokok di tangan.
Asap tipis mengepul dari ujung rokok yang masih menyala, bercampur dengan udara pagi yang masih segar. Pemandangan yang aneh—seorang dokter merokok di pinggir jalan.
Pen diam beberapa saat, matanya tertuju pada rokok itu sebelum akhirnya bertanya, "Dokter... apa rokok itu enak?"
Ezra melirik batang rokoknya, ekspresinya berubah sedikit ragu. "Ee... ya, rasanya hanya... menenangkan..."
"Kalau begitu, apa aku bisa merokok juga?"
"Apa!!" Ezra langsung terkejut.
"Aku baca di internet, sepertinya orang merokok karena banyak pikiran. Jadi aku berpikir rokok dapat menenangkan pikiran."
"Tunggu, tunggu... bukti medis menunjukkan bahwa merokok tidak menenangkan. Itu hanya efek sementara nikotin yang memberikan rasa tenang sesaat... Kau salah mengartikan jika rokok itu dapat menenangkan, itu malah membuat otak rusak saja."
"Lalu... kenapa dokter merokok sekarang?"
Ezra langsung terdiam. Ia menatap batang rokoknya sejenak sebelum membuangnya ke tanah dan menginjaknya hingga padam. "Ehem... Aku tidak melakukannya, hanya sebentar saja... Yang pastinya, kau tidak bisa merokok, Pen. Karena kau perempuan."
"Memangnya kenapa jika aku perempuan? Itu tidak diperbolehkan merokok? Aku lihat di bar malam banyak wanita yang merokok. Mereka terlihat menikmatinya dengan baik. Terkadang aku juga melihat ibuku melakukan nya..."
Ezra terkejut mendengar ucapan itu. Dengan cepat, ia menutup mulut Pen dengan satu tangan, membuat gadis itu membeku di tempat.
"Ehem... Pen, sebenarnya di mana saja kau keluyuran sampai-sampai melihat hal seperti itu? Sepertinya peran orang tua di keluargamu kurang memperhatikanmu, ya? Apa mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing? Dan ibunya? Kenapa dia begitu? (Kenapa dia mengajarkan putrinya begitu? Jika tidak mengajarkan, kenapa harus menunjukkan nya sampai putrinya tahu begitu? Bukankah itu sudah kelewat parah?)"
Pen terdiam sesaat, ekspresinya kosong. "...Ayah tidak ada, dia pergi. Hanya aku dan ibuku yang ada di rumah. Dia tidak pernah terlihat bekerja, hingga kemudian pergi sangat lama, dia memang tidak pernah pulang," balasnya datar.
Ezra menatapnya dalam diam. Sorot mata gadis itu... ada sesuatu yang berbeda di sana. Tidak seperti anak-anak lain yang ia kenal. Tatapan kosong, putus asa, rasa balas dendam secara bersamaan memakan isi pandangan Pen dan itu bisa dilihat oleh Ezra sendiri.
Tapi ia segera mengakhiri pembicaraan sebelum dia membuat Pen kembali khawatir dan memiliki perasaan cemas berlebihan. Ia melirik jam tangannya. "Oh astaga, Pen... Kau tidak berangkat ke sekolah? Ini sudah hampir jam tujuh."
Pen menoleh sebentar ke arah jalan, lalu berkata pelan, "...Aku akan pergi. Terima kasih waktunya, Dokter." Ia berbalik dan mulai melangkah pergi, tapi sebelum ia bisa menjauh, tangan Ezra menahan pundaknya.
"Tunggu bentar."
Hal itu membuat Pen berhenti dan menoleh dengan diam.
Ezra mengangkat dagunya sedikit, menunjuk sebuah mobil sport mewah yang terparkir di tepi jalan. Catnya mengkilap, memantulkan sinar matahari yang semakin terang. Kendaraan itu tampak mencolok di antara mobil-mobil lain di sekitar.
"Aku akan mengantarmu, lebih cepat jika diantar."
Pen terdiam, menatap mobil itu dengan ekspresi kaku.
Ezra membuka pintu di dekat bangku penumpang. "Ayo naik, Pen."
Namun, gadis itu tetap diam, tidak bergerak.
"Dokter..."
"Kenapa?"
"Sepertinya aku tidak cocok naik itu. Jadi... aku pergi." Setelah memasang wajah ragu, tidak nyaman bahkan datar secara bersamaan, dia benar-benar menolaknya dengan baik.
Ia berbalik lagi, namun Ezra langsung menyela dengan cepat.
"Pen... Aku menawarkan, kau tidak boleh menolaknya. Bukankah kau akan beruntung aku antar, lebih cepat jika naik mobil, percayalah..."
Pen menatapnya beberapa saat, lalu akhirnya menghela napas pelan dan masuk ke dalam mobil.
Ezra tersenyum kecil. "Bagus, Pen... Suatu hal langka bisa memberi tumpangan pada cewek tipeku ini."
Ia duduk di bangku supir dan menyalakan mesin mobil. Suaranya halus, khas kendaraan mahal.
Sesekali, Ezra melirik ke arah Pen yang duduk diam, memeluk tasnya erat.
"Hei, Pen. Kenapa kau tadi mau menolak tawaranku ini? Apa kau takut aku akan melakukan sesuatu padamu, hm~?"
Pen tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap kosong. Lalu akhirnya ia berkata pelan, "...Aku hanya tidak pernah naik mobil seperti ini. Mobil seperti ini hanya dimiliki orang beruang banyak, jadi aku tidak berhak."
Ezra terkekeh. "Haha, bukankah kau malah beruntung bisa naik mobil bersama orang kaya sepertiku?"
Pen tetap diam, lalu berbisik, "Aku tidak mau seperti Ibu."
Ezra terdiam. Kata-kata itu membuat pikirannya berputar dia bahkan langsung menatap sangat serius.
Dari sini, semuanya mulai masuk akal. Jika dugaannya benar, ibu Pen mungkin bukanlah wanita biasa. Atau mungkin Pen sudah mengetahui segalanya lebih dulu.
Ezra mengeratkan genggaman di setir. Dalam hatinya, ia mulai merasa sesuatu yang tidak biasa terhadap gadis ini.
"(Aku harus mengawasi anak ini. Sia-sia jika tubuhnya harus terkotori... Aku mungkin akan menghampirinya...) Pen, aku akan menunggumu di ruang farmasi."
Pen menoleh sedikit. "Kenapa? Aku sudah tidak butuh itu lagi."
Ezra tetap menatap ke depan. "Kau butuh. Kau jelas sangat butuh... Konsultasilah padaku soal depresimu. Aku harap kau tidak melakukan hal lain selain datang ke tempatku."
"Bukankah kau bukan seorang psikologi?" tatap Pen.
"Aku memang bukan psikologi, tapi aku tahu apa yang kau butuhkan, lagipun aku sudah bertanya pada ahlinya, aku sudah tahu sangat banyak..."
Pen terdiam. "Kenapa kau ingin aku datang ke tempatmu? Bukankah kau sendiri bilang bahwa aku hanya harus ke psikolog saja? Kenapa sekarang malah bilang bahwa dokter menungguku untuk mengunjungimu lagi?"
Ezra tersenyum tipis. "Karena aku tertarik padamu."
"Baiklah, ini kan sekolah mu? Jangan heran jika aku tahu karena aku selalu lihat logo sekolah mu di seragam yang kau pakai ketika berkunjung ke rumah sakit," kata Ezra, tapi dia terdiam begitu menyadari Pen masih membisu.
"Pen?" dia memastikan.
Hal itu membuat Pen langsung tersadar dengan salah tingkah. "Uhm.... Aku pergi dulu, terima kasih," kata Pen yang membuka pintu mobil dan berjalan pergi.
Ezra menatap nya pergi masuk ke gerbang, lalu ia menjadi tersenyum kecil sendiri. "Haha.... Benar-benar manis, dia tidak tersipu sama sekali. Menurut ku dia itu antara dewasa dan polos, sikapnya tenang hanya karena tercampur dengan keterpurukan nya. Aku akan menunggunya di ruangan rumah sakit ku," gumamnya, lalu ia menginjak gas dan berjalan pergi.
Pen menoleh ke belakang melihat mobil itu pergi, ia lalu terdiam dingin dan kembali berjalan masuk ke gedung sekolah. Tapi ada yang mencegahnya di lorong sekolah tepat nya banyak perempuan yang datang menghadangnya.
"Hei Pen, siapa yang mengantarkan mu tadi, apa itu pria penyewa tubuhmu?" mereka mulai berkata kata
"Jangan-jangan kau menjual tubuhmu untuk pria kaya, gawat sekali padahal baru SMA.... Mau kita laporkan ke kepala sekolah nih," tatap mereka.
"Dia bukan siapa-siapa ku," Pen membalas dengan alis yang serius.
"Tapi bagaimana jika perkataan kami benar, gawat nih hahaha," mereka mulai menertawakan nya.
Hal itu membuat Pen menundukkan wajah dan berjalan pergi menjauh dari mereka yang masih tertawa.
"(Aku yakin, banyak orang yang berada di posisi ku ini.... Tapi ini lebih buruk dari apapun,)" pikir Pen. Ia meletakan tas yang ia bawa di meja nya dan berjalan pergi ke balkon gedung sekolah.
"(Sekarang aku terlihat seperti ibu.... Selalu keluar malam dan pulang pagi dengan keadaan berantakan, di siang hari ia terlihat bersantai terlihat seperti tak terjadi apa-apa pada malamnya.... Apa aku akan seperti itu?)" Pen terdiam di balkon atap itu.
Tapi ada seseorang memanggil. "Hei gadis."
Hal itu membuatnya menoleh perlahan, terlihat bahwa itu adalah Melda. "Kau tidak berniat bunuh diri lagi kan? Kau harusnya tahu bunuh diri tak akan ada artinya."
"Siapa yang mau bunuh diri?" Pen terdiam hanya mengangkat satu alisnya dengan bingung.
"Kau harus mengerti, banyak orang yang ada di posisi mu tapi mereka semua kebanyakan langsung bunuh diri, seharusnya kau kuat saja menghadapi ini," tambah Melda.
"Kau tidak berhak ikut campur dalam hal ini, aku tidak berniat aku mati tapi aku berniat mereka mati."
"Oh... Kau mau membunuh mereka semua, tapi ini akan menjadi kasus pembunuhan berantai nantinya."
Pen terdiam, dia menatap ke arah lain hingga ia menjawab dengan menatap ke arahnya lagi. "Aku tidak melakukan itu--" tapi ia berhenti bicara ketika melihat Melda tidak ada di sana. Sepertinya lelaki itu pergi membuat Pen terdiam dan menghela napas panjang.
"(Apa yang harus kulakukan, apakah aku mulai gila? Kenapa dia pergi begitu saja... Tidak sopan sekali....)"