WebNovelRed & Ink43.33%

Chapter 13 Ezra

Pagi itu, kota masih diselimuti embun tipis. Jalanan mulai ramai oleh langkah-langkah pekerja dan siswa yang hendak memulai hari mereka. Sinar matahari yang belum sepenuhnya terik menyinari aspal, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Suara kendaraan yang melintas berpadu dengan deru angin pagi yang sejuk.

Pen berjalan menyusuri pinggir kota dengan langkah tenang, namun pikirannya terasa penuh, sangat penuh sekali. Ada sesuatu yang mengganggunya sejak tadi pagi, sesuatu yang terus membuatnya memikirkan Melda.

"(Sebenarnya... siapa lelaki itu? Aku selalu saja bertanya-tanya soal keberadaannya yang bahkan selalu muncul di saat yang aneh,)" gumamnya dalam hati.

Angin berembus pelan, membawa aroma roti panggang dari kedai kecil di dekat halte bus. Namun, pikirannya yang sibuk membuatnya kurang memperhatikan sekeliling, sampai tiba-tiba—

BRUK! Ia menabrak seseorang.

"Oh... Maaf," katanya cepat, lalu ia menengadah, dan seketika terdiam. Siapa yang menyangka, rupanya itu Ezra.

Pria itu menoleh, ekspresi santainya tetap terjaga. "Oh, Pen... Apa kau akan ke sekolah hari ini? Kau rupanya terlihat rapi jika masih pagi-pagi," katanya, tatapannya mengarah padanya sambil memegang rokok di tangan.

Asap tipis mengepul dari ujung rokok yang masih menyala, bercampur dengan udara pagi yang masih segar. Pemandangan yang aneh—seorang dokter merokok di pinggir jalan.

Pen diam beberapa saat, matanya tertuju pada rokok itu sebelum akhirnya bertanya, "Dokter... apa rokok itu enak?"

Ezra melirik batang rokoknya, ekspresinya berubah sedikit ragu. "Ee... ya, rasanya hanya... menenangkan..."

"Kalau begitu, apa aku bisa merokok juga?"

"Apa!!" Ezra langsung terkejut.

"Aku baca di internet, sepertinya orang merokok karena banyak pikiran. Jadi aku berpikir rokok dapat menenangkan pikiran."

"Tunggu, tunggu... bukti medis menunjukkan bahwa merokok tidak menenangkan. Itu hanya efek sementara nikotin yang memberikan rasa tenang sesaat... Kau salah mengartikan jika rokok itu dapat menenangkan, itu malah membuat otak rusak saja."

"Lalu... kenapa dokter merokok sekarang?"

Ezra langsung terdiam. Ia menatap batang rokoknya sejenak sebelum membuangnya ke tanah dan menginjaknya hingga padam. "Ehem... Aku tidak melakukannya, hanya sebentar saja... Yang pastinya, kau tidak bisa merokok, Pen. Karena kau perempuan."

"Memangnya kenapa jika aku perempuan? Itu tidak diperbolehkan merokok? Aku lihat di bar malam banyak wanita yang merokok. Mereka terlihat menikmatinya dengan baik. Terkadang aku juga melihat ibuku melakukan nya..."

Ezra terkejut mendengar ucapan itu. Dengan cepat, ia menutup mulut Pen dengan satu tangan, membuat gadis itu membeku di tempat.

"Ehem... Pen, sebenarnya di mana saja kau keluyuran sampai-sampai melihat hal seperti itu? Sepertinya peran orang tua di keluargamu kurang memperhatikanmu, ya? Apa mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing? Dan ibunya? Kenapa dia begitu? (Kenapa dia mengajarkan putrinya begitu? Jika tidak mengajarkan, kenapa harus menunjukkan nya sampai putrinya tahu begitu? Bukankah itu sudah kelewat parah?)"

Pen terdiam sesaat, ekspresinya kosong. "...Ayah tidak ada, dia pergi. Hanya aku dan ibuku yang ada di rumah. Dia tidak pernah terlihat bekerja, hingga kemudian pergi sangat lama, dia memang tidak pernah pulang," balasnya datar.

Ezra menatapnya dalam diam. Sorot mata gadis itu... ada sesuatu yang berbeda di sana. Tidak seperti anak-anak lain yang ia kenal. Tatapan kosong, putus asa, rasa balas dendam secara bersamaan memakan isi pandangan Pen dan itu bisa dilihat oleh Ezra sendiri.

Tapi ia segera mengakhiri pembicaraan sebelum dia membuat Pen kembali khawatir dan memiliki perasaan cemas berlebihan. Ia melirik jam tangannya. "Oh astaga, Pen... Kau tidak berangkat ke sekolah? Ini sudah hampir jam tujuh."

Pen menoleh sebentar ke arah jalan, lalu berkata pelan, "...Aku akan pergi. Terima kasih waktunya, Dokter." Ia berbalik dan mulai melangkah pergi, tapi sebelum ia bisa menjauh, tangan Ezra menahan pundaknya.

"Tunggu bentar."

Hal itu membuat Pen berhenti dan menoleh dengan diam.

Ezra mengangkat dagunya sedikit, menunjuk sebuah mobil sport mewah yang terparkir di tepi jalan. Catnya mengkilap, memantulkan sinar matahari yang semakin terang. Kendaraan itu tampak mencolok di antara mobil-mobil lain di sekitar.

"Aku akan mengantarmu, lebih cepat jika diantar."

Pen terdiam, menatap mobil itu dengan ekspresi kaku.

Ezra membuka pintu di dekat bangku penumpang. "Ayo naik, Pen."

Namun, gadis itu tetap diam, tidak bergerak.

"Dokter..."

"Kenapa?"

"Sepertinya aku tidak cocok naik itu. Jadi... aku pergi." Setelah memasang wajah ragu, tidak nyaman bahkan datar secara bersamaan, dia benar-benar menolaknya dengan baik.

Ia berbalik lagi, namun Ezra langsung menyela dengan cepat.

"Pen... Aku menawarkan, kau tidak boleh menolaknya. Bukankah kau akan beruntung aku antar, lebih cepat jika naik mobil, percayalah..."

Pen menatapnya beberapa saat, lalu akhirnya menghela napas pelan dan masuk ke dalam mobil.

Ezra tersenyum kecil. "Bagus, Pen... Suatu hal langka bisa memberi tumpangan pada cewek tipeku ini."

Ia duduk di bangku supir dan menyalakan mesin mobil. Suaranya halus, khas kendaraan mahal.

Sesekali, Ezra melirik ke arah Pen yang duduk diam, memeluk tasnya erat.

"Hei, Pen. Kenapa kau tadi mau menolak tawaranku ini? Apa kau takut aku akan melakukan sesuatu padamu, hm~?"

Pen tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap kosong. Lalu akhirnya ia berkata pelan, "...Aku hanya tidak pernah naik mobil seperti ini. Mobil seperti ini hanya dimiliki orang beruang banyak, jadi aku tidak berhak."

Ezra terkekeh. "Haha, bukankah kau malah beruntung bisa naik mobil bersama orang kaya sepertiku?"

Pen tetap diam, lalu berbisik, "Aku tidak mau seperti Ibu."

Ezra terdiam. Kata-kata itu membuat pikirannya berputar dia bahkan langsung menatap sangat serius.

Dari sini, semuanya mulai masuk akal. Jika dugaannya benar, ibu Pen mungkin bukanlah wanita biasa. Atau mungkin Pen sudah mengetahui segalanya lebih dulu.

Ezra mengeratkan genggaman di setir. Dalam hatinya, ia mulai merasa sesuatu yang tidak biasa terhadap gadis ini.

"(Aku harus mengawasi anak ini. Sia-sia jika tubuhnya harus terkotori... Aku mungkin akan menghampirinya...) Pen, aku akan menunggumu di ruang farmasi."

Pen menoleh sedikit. "Kenapa? Aku sudah tidak butuh itu lagi."

Ezra tetap menatap ke depan. "Kau butuh. Kau jelas sangat butuh... Konsultasilah padaku soal depresimu. Aku harap kau tidak melakukan hal lain selain datang ke tempatku."

"Bukankah kau bukan seorang psikologi?" tatap Pen.

"Aku memang bukan psikologi, tapi aku tahu apa yang kau butuhkan, lagipun aku sudah bertanya pada ahlinya, aku sudah tahu sangat banyak..."

Pen terdiam. "Kenapa kau ingin aku datang ke tempatmu? Bukankah kau sendiri bilang bahwa aku hanya harus ke psikolog saja? Kenapa sekarang malah bilang bahwa dokter menungguku untuk mengunjungimu lagi?"

Ezra tersenyum tipis. "Karena aku tertarik padamu."