Tapi tak lama kemudian, Bu Saga datang untuk mengajar mereka, awalnya semua berjalan seperti layaknya dia menerangkan materi hari ini di papan tulis, tapi ia terus terganggu pandangan nya dan hanya melihat ke Pen, dia terus mencoba melirik ke Pen yang hanya tenang-tenang saja di mejanya sambil mencatat di buku tulisnya. Rupanya dia memutuskan untuk memperhatikan dengan sangat jelas materi yang di papan tulis untuk menambah pengetahuan nya, mengingat dia bukan apa-apa dimata ibunya.
Lalu tak berselang lama, tepatnya 10 menit sebelum pelajaran akan selesai, Bu Saga berjalan mendekat ke meja Pen. "Pen, bisa kau ikut denganku?" tanya Bu Saga.
Tapi Pen terdiam tak merespon, hanya menatap kosong saja. Bahkan dia dengan tenang tenang saja menatap datar seperti layaknya bersikap biasa padanya.
Semuanya mulai memandang aneh ke Bu Saga, mereka juga saling mengobrol membuat Bu Saga mulai tak nyaman hingga dia mengatakan sesuatu pada Pen.
"Ini soal yang tadi, aku ingin membicarakan ini dengan mu saja... Kau harus mau, jika kau memberitahu hal itu pada yang lain, aku akan melakukan sesuatu padamu. Kau tidak bisa lari, Pen," Bu Saga menatap kesal sedikit. Lalu Pen berdiri dan mengikutinya.
"Apa yang terjadi?
"Apa Pen membuat kesalahan?"
"Aku tak melihat dia melakukan apapun, bahkan dia yang fokus mencatat tadi,"
"Aku juga merasa begitu, dia hanya diam saja tapi kenapa sampai di bawa bu saga?"
"Apa jangan-jangan Bu Saga sengaja?" mereka mulai berpikir curiga pada Bu Saga yang hanya akan merendahkan Pen.
"Tapi jika di panggil Bu Saga, pasti dia melakukan sesuatu yang tidak kita ketahui, berhentilah mencurigai bu saga," sebagian dari mereka memiliki pemikiran berkebalikan dan malah menuduh Pen.
"Lalu dia melakukan apa sehingga dia di panggil Bu Saga?"
"Pastinya membuat onar lagi," mereka semakin menjadi jadi menuduh Pen.
"Kenapa kalian berpikir begitu?"
"Dia hanya mengalami sesuatu yang tidak kita ketahui, tapi dia melakukan sesuatu yang juga tidak kita ketahui."
Sementara itu, Bu Saga rupanya membawanya ke halaman belakang sekolah. Lalu dia berhenti berjalan dan menoleh pada Pen.
"Pen, tadi itu tak seperti yang kau lihat, aku hanya—
"Aku mengerti itu, aku sudah bilang aku tak tahu apa-apa. Kenapa kau malah memberitahuku? Kau mau memperpanjang masalah?" Pen menyela.
"Tapi, kau benar-benar melihatnya bukan?"
"Kau pasti berpikir jika aku memberitahu orang-orang hanya dengan berbicara, mereka tak akan percaya padaku, kau berpikir begitu kan?" Pen menatap.
"Yah, kan kamu juga tidak punya bukti, kamu juga bilang tidak melihatnya kan," Bu Saga menjadi menatap dengan angkuh setelah mengatahui Pen tidak melihat apapun tadi, karena dia juga sudah tenang.
". . .Aku tak melihatnya, tapi..." Pen mendadak saja mengeluarkan ponselnya dan juga menunjukan foto diponselnya pada Bu Saga, rupanya dia memotret aksi Bu Saga tadi. Ketika pandangan nya langsung melihat itu, Bu Saga langsung menjadi terkejut.
"Ke-kemarikan ponsel itu!!" dia akan merebut tapi Pen tak mengizinkannya dengan menghindari tangan nya.
"Aku bisa menghapusnya untukmu, asalkan turuti apa yang aku mau."
"Apa maksudmu?" Bu saga menatap kesal. Lalu Pen berbisik membuat Bu Saga terkejut mendengarnya bahkan wajahnya tampak sangat pucat.
Sepulang sekolah, Pen mampir ke rumah sakit. Saat gilirannya masuk, Pen mengetuk pintu ruangan pemeriksaan.
"Masuk..." Ezra mengatakannya sambil menulis sesuatu resep di meja. Ia menoleh dan terkejut baru sadar kalau itu Pen.
"Pen... Kau datang lagi... Bukan nya kau sudah tidak depresi lagi? Oh tunggu, apa kau ingin memeriksakan luka di lidahmu kan? Bagaimana kondisinya? Apa kau sudah lebih baik untuk bicara?" kata Ezra sambil membaca kertas yang ia tulis sendiri tadi. Pen terdiam dan hanya duduk di depannya membuat Ezra menunggu dengan bosan.
Hingga Pen akhirnya mengatakan sesuatu.
"Itu sudah lebih baik, obat yang Dokter berikan memang sangat manjur. Ngomong-ngomong, aku hanya ingin bertanya, apa aku bisa melakukan sesuatu untuk membuat depresi semakin hilang?"
"Yah, rupanya benar ya kau mau membahas depresi lagi, tapi berbicara soal sesuatu yang dapat kau lakukan, selama kau senang melakukanya pasti juga akan baik untuk tubuhmu karena jika kau melakukan sesuatu yang menurutmu membuatmu senang yah... Silahkan saja," Ezra membalas. Tapi mendadak Pen tersenyum kecil. Ezra sekilas menatap senyuman itu dan ia menjadi terkaku sendiri. "(Apa itu senyuman khas orang yang lagi depresi?)"
"Baiklah, terima kasih, sampai jumpa, Dokter," Pen berdiri dan berjalan pergi.
". . . Apa yang baru saja kulihat?" Ezra bingung sendiri masih memikirkan senyum Pen. Ezra mengatakan selagi Pen menyukai apa yang dia lakukan untuk melupakan Depresinya maka itu baik baik saja.
Termasuk Pen yang akan melakukan sesuatu untuk menghilangkan rasa cemasnya. "(Aku ingat ketika aku dengan sadar membunuh Bu Nia, aku merasakan sesuatu yang sangat puas, sekaligus aku merasa semua beban ku hilang hanya dengan mengeluarkan keringat untuk membunuh satu orang. Aku juga puas ketika menulis menggunakan tinta merah, aku selalu ingin menulis menggunakan darah yang merah.... Dan aku, menyukai semua itu....)" pikirnya, tapi ia hanya sebatas berpikir, untuk menghilangkan rasa itu, dia hanya bisa terdiam saja.
Hingga ia pulang ke rumah, ketika di rumah, dia terkejut melihat rumah yang berantakan bahkan ketika masuk, dia melihat ibunya yang terduduk di sofa dengan wajah yang kecewa.
"Ibu....?" Pen menatap membuat Ibunye menatap ke arahnya.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" Pen menatap.
"Pen... Mereka sudah tidak tahan lagi... Mereka ingin ibu melunasi hutang... Ibu meminjam uang dari mereka dan sekarang mereka ingin uang, jika mereka tidak mendapatkan uang nya, mereka akan mengambil rumah ini..." kata ibunya.
Seketika Pen terkejut tak percaya. Tidak di sangka sangka ibunya meminjam uang pada sesuatu yang berbahaya.
Hingga hari berikutnya sepulang sekolah terlihat Pen membuka pintu rumah dan melihat ibunya duduk di sofa seperti tak mempunyai pekerjaan lain. Lalu dia menoleh. "Oh, Pen, bisakah kau mencuci baju di belakang, ibu sudah Lelah."
"Apa yang kau lelahkan?"
"Tentu saja, bekerja untukmu, memangnya mau apa lagi selain mencari uang untukmu yang bahkan tidak menguntungkan, sudahlah, jangan membantah... Contohlah seperti tetangga kita. Dia masih kecil tapi pandai mencuci,"
"Aku tak mau melakukanya!" Pen menyela begitu saja dengan teriakan tingginya.
". . . Kau, menolak perintah Ibumu ini!?!?!" Ibunya berdiri mendekat. "Aku sudah mendidik mu dengan benar kan??"
"Mendidik apanya, kau itu tak pernah sama sekali mendidik ku!! Kau hanya ingin semuanya berjalan sesuai dengan permintaan mu agar bisa dipamerkan di tetangga, bukankah begitu. Memangnya tidak sakit jika aku di banding bandingkan seperti itu. Tak pernah membuatkan aku bekal dan karena ada Lucas, kau membuatkan bekal untukku agar di lihat Lucas seberapa baikmu padaku, sekarang dia sedang tak di sini, kau meminta ku mencuci baju!! Orang mana yang mencuci baju sore hari!!" kata Pen.
"Pen... Kenapa kau menjadi seperti ini, sejak kapan kau mulai berani, aku Ibumu.... Memang benar yah, kau gadis tak tahu diri!!" Ibunya berteriak seketika menampar putrinya. Hal itu membuat Pen terkejut memegang pipinya yang merah.
"Kau gadis tak tahu diri.... Berani kau bilang seperti itu pada Ibumu sendiri huh.... Ibu memang tak mendukung keterampilan mu karena itu yang bukan Ibu mau... Ibu hanya ingin kau bisa fokus pada pelajaran agar kau bisa cepat mendapatkan kesuksesan besar... Dan sekarang kau menganggap ku kurang.... Putri macam apa kau... Jangan salah kan aku jika aku mengusir mu saat kau mengulangi hal ini dua kali.... Lebih baik kau diam dari pada memunculkan kata-kata dari mulut mu itu!!!" teriak Ibunya. Hal itu membuat Pen terdiam menundukkan wajah.
"(Hanya bisa mengutang, mencari kerja apanya... Hanya bisa cari hutang kemana mana dan masih saja berharap ingin sesuatu yang lebih, orang macam apa itu... Kenapa bisa bisanya memiliki sikap yang seperti itu, aku harus apa... Aku sudah sangat muak....)"
Sore itu memang ada pertengkaran dan berakhir dengan sendirinya dengan Pen yang langsung masuk ke kamarnya dengan rasa yang sudah tidak tahan.
Sementara itu Ezra mengambil tas berisi dokumen tulisan nya lalu melepas jas putih Dokter nya dan berjalan pergi. "Akhir nya tugas hari ini selesai," dia menatap jam tangan sudah menunjukan pukul 10 malam dan waktunya untuk pulang.
Saat akan menuju ke parkiran, dia teringat akan sesuatu, yakni Pen. Ezra terdiam tak membuka pintu masih berdiri di samping mobil putih nya.
"(Aku benar-benar penasaran dengan gadis itu.... Apa dia benar-benar mengalami hal yang aneh... Mungkin besok dia akan datang... Aku akan selalu menunggunya, karena bisa saja dia membutuhkan bantuan dari orang sepertiku,)" dia menjadi kembali ke pemikiran pulang dan membuka pintu mengemudi kan mobil nya untuk pulang.
Tapi sesampainya di rumah yang rupanya rumah miliknya sangat besar, ia tetap saja memikirkan Pen. Hingga ia mandi, makan, dan tidur pun tak bisa tenang karena memikirkan gadis satu itu.
"Akh.... Sialan.... Kenapa aku terus terpikirkan dia... Rasanya sangat aneh.... Apa aku suka pada gadis SMA yang masih muda.... Tidak mungkin, sadar diri lah... Aku sudah umur segini harus nya aku cari wanita bukan gadis yang jauh umur nya dengan ku... Tapi jika aku terus memikirkan Pen percuma saja aku dengan wanita lain karena yang aku fokuskan adalah memikirkan Gadis itu... Ha…." Ezra menghela napas.
Lalu ia menoleh ke sebuah bingkai foto yang ada di rak. Dia melihat nya dari jauh saat dia duduk di sofa ruang tamu. Foto itu terlihat seperti seorang lelaki muda yang terlihat mirip dengan seseorang, dan orang itu adalah Melda. Lelaki yang suka menghampiri Pen secara misterius di kelas.
Kenapa Ezra memiliki foto Melda, apa hubungan nya?